Share

2. Miss penolong

“Pak … eh mas … aduh … anda tidak apa-apa?” pertanyaan tolol macam apa ini, bagaimana mungkin orang tidak apa-apa setelah tertabrak mobil? Aku menunduk di depan orang itu, keadaan gelap gulita penerangan hanya berasal dari lampu mobilku. Orang itu mendongak, memandangku dengan bingung. Tidak ada darah, aku bernafas lega. “Bapak tidak apa-apa?” tanyaku lagi, sepertinya tidak ada yang terluka tapi siapa tahu. Aku harus membawanya ke rumah sakit! Tapi di mana? Gila ini di tengah tol. “Pak … pak …,” kataku lagi yang terlihat sia-sia karena laki-laki itu hanya memandangku bingung.

Aku meraih pundak laki-laki itu yang dengan kasar ditepisnya, dengan kaget aku mengangkat tangan seperti orang yang sedang ditodong senjata membiarkan leher dan kepalaku dengan susah payah menyangga payung di tengah lebatnya hujan. Aku memandang lelaki itu, memberikan tatapan malaikat manis untuk memberitahu bahwa aku tidak bermaksud jahat. Jahat? Memang apa yang bisa aku perbuat dengan tubuh mungil 155 cm dibanding pria itu yang sepertinya besar dan sangat tegap. “Masuk ke mobil Pak, hujannya deras banget” kataku sambil menunjuk ke arah mobilku. Kali ini dia membiarkan aku menolongnya berdiri. Dan ternyata menolong bukan kata yang tepat, laki-laki ini sangat tegap, tinggiku hanya sama seperti tinggi dadanya. Tetapi tetap tidak mengurungkan niatnya untuk memapahnya masuk ke dalam mobil.

Aku menarik nafas panjang, baru menyadari kebodohan akutku setelah duduk di dalam mobil, aku membiarkan seorang asing masuk dan duduk bersama di dalam mobil. Seorang asing yang juga adalah lelaki berbadan tegap yang kemungkinan hanya dengan menjentikkan jarinya aku akan jatuh pingsan dan baru tersadar tiga hari kemudian. Ya Tuhan bodohnya aku.

Aku melirik lelaki berbadan tegap di sampingku, mukanya masih tampak bingung, memandangi interior mobil seperti baru pertama kali dia melihatnya. Mobilku tidak bisa terlalu lama berhenti di sini, sebelum ada mobil lain yang salah tempat menyusruk mobilku, aku harus segera jalan.

“Mas … bisa saya antar ke mana, ke tujuan mas” aku memutuskan untuk memanggil mas, sepertinya si badan tegap ini belum terlalu tua. Berapa yah umurnya, akhir 30an? Dia menoleh ke arahku, cukup membuat aku tegang. Dari keremangan lampu interior mobil aku bisa melihat wajahnya yang tampan, ala makjang masih sempet-sempetnya aku menilai dia tampan atau tidak disaat kemungkinan aku terjatuh di tangan psikopat. Dia masih diam.

“Mas …” Kataku lagi.

“Tempat apa ini?” akhirnya dia berbicara. Pheeeww … aku menarik nafas lega, minimal dia bisa berbicara, coba kalau dia ternyata tidak bisa berbicara dan aku tidak tahu menahu bahasa isyarat bagaimana kita akan berkomunikasi coba?

“Bandung.” Jawabku ragu-ragu, aku tidak yakin apa maksud pertanyaan dia dengan “tempat apa ini”, apa maksudnya kita di mana? Aku yakin aku belum meninggalkan bandung.

“Bandung? Apa itu nama desa?”

Hah … dia tidak tau Bandung? Mati gue, jangan-jangan tabrakan tandi membuat dia gegar otak. Sekarang dia mengalami amnesia dan tidak tahu siapa dirinya, tidak tahu apapun! Terus apa yang harus aku lakukan? Tiba-tiba aku ingat film Jason Bourne, dimana dia mengalami amnesia setelah tertembak dan jatuh ke laut. Tetapi lelaki ini bukan Jason Bourne, tapi dari postur badan dan wajahnya bisa saja lho dia menjadi the next Jason Bourne. Aarrrgghhh gue ngelantur lagi.

“Mas ingat namanya siapa?” ok, pertanyaan basic untuk memastikan apakah dia amnesia atau bukan.

Dia memandangku sesaat, seperti ingin memastikan bahwa aku ini manusia.  “Aku Ra Putra Airlangga” jawabnya singkat, ada nada kewibawaan Ketika dia mengucapkan namanya.

Nama yang aneh pikirku, Ra Putra Airlangga. Mendengar nama Airlangga saja sudah jarang, apalagi pakai Ra Putra. Tetapi mungkin orang tua orang ini adalah penggemar nama-nama kuno, siapa tahu. Namaku saja memakai Maharani, yang juga bukan nama moderen.

“Kenapa kamu tersenyum?” tanyanya membuyarkan lamunanku.

“Ah … maaf, namanya terdengar agak aneh. Kurang familliar untuk jaman ini” jawabku.

Dia terdiam. “Kamu menggunakan kata-kata yang cukup aneh,” dia seperti sedang mencerna sesuatu. “Tetapi aku bisa memahaminya”. Sumpah aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan.

“Bisa saya antar ke mana?”

“Aku hendak pergi ke kerajaan Majapahit, tetapi tiba-tiba aku berada di sini” katanya sambil celingukan meniti sekeliling yang gelap gulita.

Majapahit? Hhhmmm … mungkin dia harus aku bawa ke rumah sakit, bisa saja terjadi gegar otak. Aku harus bergerak cepat sebelum terjadi apa-apa dengan dia. Ok, di mana rumah sakit terdekat?

“Ok … saya bawa Mas ke rumah sakit ya?” dia memandang aku dengan wajah tidak mengerti, seolah-olah kata rumah sakit adalah sebuah kata dari jaman pra sejarah yang belum bisa diterjemahkan oleh ilmuwan sekarang. Aku melihat seat belt dia yang belum terpasang, dengan otomatis mengarahkan tanganku untuk memasangkan seat belt, dan ditangkis dengan genggaman kuat. Sangat kuat. “Aww … aaww” jeritku kesakitan. Dia melepaskan tanganku dengan cepat. “Saya cuman mau masangin seat belt” dengan cepat aku meraih seat belt dan menguncinya, menarik tanganku secepat aku bisa takut kalau-kalau ada tangkisan kedua.

Aku mengemudi dalam diam sambil sesekali melirik ke Ra Putra ... haish namanyan susah bener. Aku berusaha tampak kalem walaupun dalam hati aku benar-benar jiper. Bagaimana kalau dia seorang psikopat beneran? Terus aku diculik, diperkosa dan dimutilasi? Oh nooo, membayangkannya membuat aku bergidik ngeri. Lagian bodoh banget sih aku, kenapa aku masukin laki-laki ini ke dalam mobil.

 Tapi kamu nggak bisa meninggalkan dia sendirian setelah kamu tabrak dodol! Pikiranku mendebat diriku sendiri. Aku mengangguk menyetujui sisi pikiran yang agak baik ini, tapi sisi pikiran takutku menciut di sudut, seperti tikus yang melihat kucing lapar.

Karena sibuk berdebat dengan pikiranku sendiri ternyata aku mengemudikan mobilku meninggalkan bandung, baru tersadar ketika gerbang tol sudah berdiri manis di arah depan. Lha bagaimana dengan rencana membawa dia ke rumah sakit? Aku menengok ke arah penumpang baruku yang masih terdiam. “Saya harus kembali ke bandung atau langsung ke Jakarta?” tanyaku padanya, walaupun itu juga pertanyaan yang sama yang aku ajukan ke diri sendiri. Dia tidak menjawab. Baiklah, Jakarta it is!

Hujan mereda begitu aku memasuki gerbang tol. Akhirnya aku bisa melajukan mobil dengan kecepatan normal, pheeewww. Penumpang baruku masih belum bersuara dari tadi, pikiran kuatir mulai nongol lagi di kepalaku, jangan-jangan dia sedang merencanakan sesuatu yang tidak normal buat aku. Aduh jangan-jangan dia benar-benar psikopat … heeeeelllppp.

“Mas … ada yang terasa sakit, misalnya di kepala atau tempat lain gitu?” tanyaku asal, membuka kesunyian. Dia menoleh, dari sudut mata aku bisa menangkap wajahnya yang ternyata lumayan ganteng. Duuh ini sempat-sempatnya.

“Benda apa ini?” tanyanya dengan suara bariton yang anehnya kok terdengar berwibawa. Gimana bisa?

“Maksudnya?” tanyaku bingung, lha iya maksudnya benda apa.

“Ini …” dengan hati-hati dia menyentuh dashboard mobil.

“Mobil maksudnya?” tanyaku lagi tambah bingung. Suer amnesianya mungkin sangat parah, sampai-sampai dia lupa ada kendaraan bernama mobil.

“Mo bil” katanya pelan, lebih ke diri sendiri.

“Mas inget nggak rumahnya di mana, atau mau ke mana?”

“Aku berasal dari Singosari dan hendak pergi ke kerajaan Majapahit, ketika tiba-tiba aku terbentur benda ini. Mo-bil”

Sumpah aku mau tepok jidat, tapi terhalang perasaan tidak enak dan tidak sopan. Hadooh kenapa gue jadi kena masalah begini sih? Singosari ... Majapahit. Yang aku tahu Singosari itu nama tempat di solo dan Majapahit? Aku memutar otak menimbang-nimbang di mana rumah sakit terdekat yang mempunyai peralatan lengkap. Mungkin dia harus di scan di kepala, masuk di besin besar seperti di film-film itu. Hhhmm … mahal nggak yah kira-kira? Duh, mesti merogoh celengan nih, huaaaa … Mamiiiihh tolonglah anakmu ini.

Setelah melalui perdebatan panjang dengan diri sendiri, lah dengan siapa lagi coba? Pastinya si Ra Putra Airlangga tidak dalam posisi yang aku percaya untuk berdiskusi. Bisa-bisa dia nanti ngomongin tentang Hayam wuruk, perang bubat … apalagi yah … hhhmm baru sadar pengetahuan sejarahku sangat minim, aku berjanji untuk g****e nanti ke depannya atau … a ha, kirim surat ke Menteri Pendidikan supaya materi pelajaran sejarah lebih detail. Betul kan? Kalau bukan kita generasi anak Indonesia yang belajar sejarah Indonesia, siapa lagi?

Setelah berdiskusi panjang dengan diri sendiri akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke apartemen. Dengan mempertimbangkan, satu - sekarang sudah malam walaupun aku ke rumah sakit orang ini hanya akan ditaruh di ruang gawat darurat dan akan menunggu penanganan besok pagi dan  dua - pakaian dia basah kuyup. Pakaianku juga, basah seksi begitu. Pulang adalah keputusan paling bijaksana untuk saat sekarang.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status