Share

Mr. Airlangga
Mr. Airlangga
Author: Suwati van Rooij

1. Panggilan

Kalau ada orang gila, aku pantas disebut salah satunya. Bagaimana tidak, lagi enak-enaknya menikmati batagor bandung yang kenyal-kenyal lembut itu dengan para sohibku yang cantik dan lucu-lucu, tiba-tiba harus ngibrit kembali ke Jakarta.

Ambil nafas dalaaam … satuuuu … duaaaa.

Mbak Dila editorku dari salah satu penerbit handal di negeri ini mengusik kenikmatan batagorku.

“Lusia, kamu di mana? Bisa ketemu sekarang untuk finalize cover buku kamu?”

Aku ternganga dengan batagor masih di mulut, bukannya finalize cover buku jadwalnya akhir minggu ini?

“Sa … ya lagi di Bandung mbak” dengan lamban aku mencoba mengunyah si batagor lagi yang entah kenapa kenikmatannya mendadak melorot 50%.

“Lho kok di Bandung, apa kamu nggak terima memo dari saya tentang cover buku?”

Memo yang berarti pesan w******p menurut mbak Dila, bukan pesan yang dituliskan di post it warna-warni lucu itu. Kadang aku berharap mbak Dila bakalan beneran ngasih memo di post it warna – warni, terus dikirim lewat Pak pos. Eh Pak Pos masih ada nggak sih hari gini? Di jaman w******p dan e mail atau kadang-kadang hanya ninggalin komen di f******k wall.

“Mbak saya masih di bandung” dengan sisa-sisa sikap keras kepala aku berusaha mempertahankan kenikmatan batagor yang sudah terenggut.

“Ya sudah balik ke Jakarta sekarang, besok aku tunggu di kantor dengan ilustratornya. Pagi ya, jam 9!”

Aku hanya bisa melongo, menelan batagor yang mendadak terasa seret di tenggorokan. Memang mbak Dila ini Editor killer, lha kok apesnya aku dapet editor kayak dia. Dia selalu menganggap aku seperti junior di kantornya yang bebas dikasih instruksi semena-mena, padahal aku ini kan penulis yang sudah memberikan keuntungan di perusahaan publishing tempat dia bekerja. Sumpah lho aku sudah memberikan keuntungan. Biarpun bukan Dan Brown, karya-karyaku cukup laris manis di toko buku, lumayan buat menemani wanita-wanita romantis atau yang berharap menjadi romantis, mereka selalu menunggu buku-buku baruku keluar.

O yah, kenalkan.

Nama : Lusia Maharani

Umur   : 28 tahun

Pekerjaan : Penulis, kepengennya sih nulis thriller sekaliber Dan Brown tapi yang muncul di otak selalu cerita romantis dan romantis lagi, mungkin karena aku sangat mendambakan untuk segera jatuh cinta. Ya sudahlah, sepanjang bisa menghasilkan uang untuk menopang kesejahteraan perut, nongki-nongki cantik dan anggaran bulanan rutin untuk beli sepatu aku tidak masalah. O gosh … aku masih memikirkan sepatu turquois cantik di toko minggu lalu. Harganya alamakjang selangit, tapi bikin aku nggak bisa tidur.

Beli … enggak … beli … enggak.

Ok, back to reality. Setelah telepon sakti dari Mbak Dila, jadilah aku terbirit-birit kembali ke hotel. Melemparkan beberapa baju yang aku bawa ke dalam koper, baik bersih ataupun kotor semuanya jadi satu. Nanti disortir di Jakarta. Meninggalkan Arini dan Inge yang melongo kebingungan nanti bakalan naik apa ke Jakarta. Aku bilang “Naik kereta atau travel saja”, tapi mereka tetap memandangi aku dengan tatapan penghianatan.

“Nanti aku traktir bebek goreng, ok ladies” kataku mencoba melunturkan tatapan sadis mereka.

“Gile, loe ninggalin kita cuman mau diganti bebek goreng. Nggak bisa harus yang lebih trendi” Inge mencoba bernegosiasi.

“Baiklah lebih trendi, sekarang gue kudu cabut dulu nih … sudah jam …,” aku melirik jam guest collection di pergelangan tanganku “gile hampir jam 9 malam!”. membayangkan harus menyetir sendiri, malam-malam untuk kembali ke Jakarta membuat aku jiper. Tapi aku lebih jiper menghadapi kecemberutan mbak Dila, jadilah aku dengan membusungkan dada meraih kunci mobil yang tergeletak di meja hotel. Ke Jakarta aku, kan kembali … i … i ….

Alam sepertinya tidak merestui kepulanganku, o yah jangan kaget yah salah satu kelebihan dari aku selain seorang penulis yang lumayan handal (menurut kesimpulan sepihakku) aku juga agak melow dramatic. Ok, teman-temanku menyebut aku overly melow dramatic but who are they to judge me. Ya kan?

Ya … ya teman-temanku itu adalah orang-orang yang selalu memberi semangat ketika tulisanku ditolak berkali-kali oleh penerbit, selalu ada di saat aku lumayan bokek (dulu, sekarang nggak lagi. Trust me! ), menemani ketika aku dengan impulsive kepengen pergi ke bandung untuk memuaskan seleraku atas batagor dan kemudian meninggalkan mereka tanpa transportasi yang jelas. But still, aku berhak menjudge diri aku sendiri.

Yep, 30 menit setelah aku mengemudikan mobil di tengah kesendirian hujan turun. Bukan gerimis kecil malu-malu, tetapi tumpah ruah. Seperti aku dulu yang menangis ketika menyadari uang di dompet tinggal 50.000 lagi.

Aku melihat sedih ke arah luar. Harusnya aku masih di hotel, dengan hujan selebat ini aku bisa menikmati bandrek hangat sambil mendiskusikan Kim kadharsian yang kabarnya cerai dari Kanye west. Suer aku nggak suka mereka, nggak suka the Kadharsian family itu, tetapi aku kok selalu nonton reality show mereka. Uuurrggghh my guilty pleasure, sama rasanya seperti ketika aku dengan sangat rakus menghabiskan sebungkus chips setelah ngos-ngosan di gym. Sia-sialah semua keringat yang aku keluarkan.

Aku melambatkan kecepatan mobil diangka 40 km/jam, seperti mengemudi di pedesaan eropa saja hanya boleh 40 km/jam plus nggak bisa main salip-salipan kalau nggak mau ditilang. Pandangan aku arahkan setajam mungkin ke arah jalan. Mudah-mudahan wortel yang aku konsumsi setiap hari bisa membantu mataku di saat-saat kritis seperti ini. Tangan dengan erat memegang kemudi mobil seolah-olah benda bundar ini akan meloncat dengan tiba-tiba kalau tidak aku pegang dengan kencang.

Daaarrrr!

Bunyi petir yang sumpah bikin aku melonjak kaget. Duh gusti, tidak cukupkah saya mengemudi sendiri malam-malam dan hujan pula, eeee … pake ada acara petir menyambar lagi. Thor, kamu agak bersahabat dikit kek. Gimana kalau tiba-tiba ada kuntilanak muncul di depan? Hiiii … aku membayangkan dengan ngeri.

Daaaarrr!

Lagi-lagi suara petir, biarpun aku tidak terlonjak seperti tadi tapi cukup bikin hati lumayan ngenes. Dengan kecepatan siput seperti ini jam berapa aku akan sampai Jakarta. Aku mendesah sedih, desahan yang sia-sia karena cuman aku sendiri yang tahu.

Bruukkk!

Aku kaget lima kepalang. Aku menabrak sesuatu? Hah, beneran? Kucing kesasar atau jangan-jangan kuntilanak? Duh aku membayangkan ngeri. Oh sebentar, kalau kuntilanak pasti tidak akan tertabrak, dia akan lolos begitu saja menembus mobilku seperti yang sering aku lihat di film horror. Aku menghentikan mobil, melihat ke kursi belakang dari spion tengah untuk memastikan tidak ada kuntilanak yang sedang menyeringai seram disitu. Aman!

Now what? Apa aku harus keluar?

Ok, aku harus bertanggung jawab, mungkin ada kucing yang sedang kesakitan di depan mobilku. Aku meraih payung kecil yang selalu aku siapkan di dashboard mobil. Membuka pintu mobil setelah memastikan tidak ada mobil lain yang tiba-tiba bisa menyambar dari belakang, jalanan memang sangat sepi. Untung aku menyetir di sebelah kiri.

Buru-buru aku melangkah ke depan mobil, ingin melihat apa yang tadi sepertinya aku tabrak.

Noooooo … orang? Ada orang … eh laki-laki jatuh tertunduk di depan mobilku. Aku menabrak orang. Noooo … kepalaku mendadak pusing. Eh sebentar kalau aku pusing siapa yang akan menyelesaikan masalah. Aku mengusir keteganganku dengan sia-sia, memberanikan diri menghampiri orang yang dengan tanpa sadar sudah aku tabrak.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status