Kalau ada orang gila, aku pantas disebut salah satunya. Bagaimana tidak, lagi enak-enaknya menikmati batagor bandung yang kenyal-kenyal lembut itu dengan para sohibku yang cantik dan lucu-lucu, tiba-tiba harus ngibrit kembali ke Jakarta.
Ambil nafas dalaaam … satuuuu … duaaaa.
Mbak Dila editorku dari salah satu penerbit handal di negeri ini mengusik kenikmatan batagorku.
“Lusia, kamu di mana? Bisa ketemu sekarang untuk finalize cover buku kamu?”
Aku ternganga dengan batagor masih di mulut, bukannya finalize cover buku jadwalnya akhir minggu ini?
“Sa … ya lagi di Bandung mbak” dengan lamban aku mencoba mengunyah si batagor lagi yang entah kenapa kenikmatannya mendadak melorot 50%.
“Lho kok di Bandung, apa kamu nggak terima memo dari saya tentang cover buku?”
Memo yang berarti pesan w******p menurut mbak Dila, bukan pesan yang dituliskan di post it warna-warni lucu itu. Kadang aku berharap mbak Dila bakalan beneran ngasih memo di post it warna – warni, terus dikirim lewat Pak pos. Eh Pak Pos masih ada nggak sih hari gini? Di jaman w******p dan e mail atau kadang-kadang hanya ninggalin komen di f******k wall.
“Mbak saya masih di bandung” dengan sisa-sisa sikap keras kepala aku berusaha mempertahankan kenikmatan batagor yang sudah terenggut.
“Ya sudah balik ke Jakarta sekarang, besok aku tunggu di kantor dengan ilustratornya. Pagi ya, jam 9!”
Aku hanya bisa melongo, menelan batagor yang mendadak terasa seret di tenggorokan. Memang mbak Dila ini Editor killer, lha kok apesnya aku dapet editor kayak dia. Dia selalu menganggap aku seperti junior di kantornya yang bebas dikasih instruksi semena-mena, padahal aku ini kan penulis yang sudah memberikan keuntungan di perusahaan publishing tempat dia bekerja. Sumpah lho aku sudah memberikan keuntungan. Biarpun bukan Dan Brown, karya-karyaku cukup laris manis di toko buku, lumayan buat menemani wanita-wanita romantis atau yang berharap menjadi romantis, mereka selalu menunggu buku-buku baruku keluar.
O yah, kenalkan.
Nama : Lusia Maharani
Umur : 28 tahun
Pekerjaan : Penulis, kepengennya sih nulis thriller sekaliber Dan Brown tapi yang muncul di otak selalu cerita romantis dan romantis lagi, mungkin karena aku sangat mendambakan untuk segera jatuh cinta. Ya sudahlah, sepanjang bisa menghasilkan uang untuk menopang kesejahteraan perut, nongki-nongki cantik dan anggaran bulanan rutin untuk beli sepatu aku tidak masalah. O gosh … aku masih memikirkan sepatu turquois cantik di toko minggu lalu. Harganya alamakjang selangit, tapi bikin aku nggak bisa tidur.
Beli … enggak … beli … enggak.
Ok, back to reality. Setelah telepon sakti dari Mbak Dila, jadilah aku terbirit-birit kembali ke hotel. Melemparkan beberapa baju yang aku bawa ke dalam koper, baik bersih ataupun kotor semuanya jadi satu. Nanti disortir di Jakarta. Meninggalkan Arini dan Inge yang melongo kebingungan nanti bakalan naik apa ke Jakarta. Aku bilang “Naik kereta atau travel saja”, tapi mereka tetap memandangi aku dengan tatapan penghianatan.
“Nanti aku traktir bebek goreng, ok ladies” kataku mencoba melunturkan tatapan sadis mereka.
“Gile, loe ninggalin kita cuman mau diganti bebek goreng. Nggak bisa harus yang lebih trendi” Inge mencoba bernegosiasi.
“Baiklah lebih trendi, sekarang gue kudu cabut dulu nih … sudah jam …,” aku melirik jam guest collection di pergelangan tanganku “gile hampir jam 9 malam!”. membayangkan harus menyetir sendiri, malam-malam untuk kembali ke Jakarta membuat aku jiper. Tapi aku lebih jiper menghadapi kecemberutan mbak Dila, jadilah aku dengan membusungkan dada meraih kunci mobil yang tergeletak di meja hotel. Ke Jakarta aku, kan kembali … i … i ….
Alam sepertinya tidak merestui kepulanganku, o yah jangan kaget yah salah satu kelebihan dari aku selain seorang penulis yang lumayan handal (menurut kesimpulan sepihakku) aku juga agak melow dramatic. Ok, teman-temanku menyebut aku overly melow dramatic … but who are they to judge me. Ya kan?
Ya … ya teman-temanku itu adalah orang-orang yang selalu memberi semangat ketika tulisanku ditolak berkali-kali oleh penerbit, selalu ada di saat aku lumayan bokek (dulu, sekarang nggak lagi. Trust me! ), menemani ketika aku dengan impulsive kepengen pergi ke bandung untuk memuaskan seleraku atas batagor dan kemudian meninggalkan mereka tanpa transportasi yang jelas. But still, aku berhak menjudge diri aku sendiri.
Yep, 30 menit setelah aku mengemudikan mobil di tengah kesendirian hujan turun. Bukan gerimis kecil malu-malu, tetapi tumpah ruah. Seperti aku dulu yang menangis ketika menyadari uang di dompet tinggal 50.000 lagi.
Aku melihat sedih ke arah luar. Harusnya aku masih di hotel, dengan hujan selebat ini aku bisa menikmati bandrek hangat sambil mendiskusikan Kim kadharsian yang kabarnya cerai dari Kanye west. Suer aku nggak suka mereka, nggak suka the Kadharsian family itu, tetapi aku kok selalu nonton reality show mereka. Uuurrggghh my guilty pleasure, sama rasanya seperti ketika aku dengan sangat rakus menghabiskan sebungkus chips setelah ngos-ngosan di gym. Sia-sialah semua keringat yang aku keluarkan.
Aku melambatkan kecepatan mobil diangka 40 km/jam, seperti mengemudi di pedesaan eropa saja hanya boleh 40 km/jam plus nggak bisa main salip-salipan kalau nggak mau ditilang. Pandangan aku arahkan setajam mungkin ke arah jalan. Mudah-mudahan wortel yang aku konsumsi setiap hari bisa membantu mataku di saat-saat kritis seperti ini. Tangan dengan erat memegang kemudi mobil seolah-olah benda bundar ini akan meloncat dengan tiba-tiba kalau tidak aku pegang dengan kencang.
Daaarrrr!
Bunyi petir yang sumpah bikin aku melonjak kaget. Duh gusti, tidak cukupkah saya mengemudi sendiri malam-malam dan hujan pula, eeee … pake ada acara petir menyambar lagi. Thor, kamu agak bersahabat dikit kek. Gimana kalau tiba-tiba ada kuntilanak muncul di depan? Hiiii … aku membayangkan dengan ngeri.
Daaaarrr!
Lagi-lagi suara petir, biarpun aku tidak terlonjak seperti tadi tapi cukup bikin hati lumayan ngenes. Dengan kecepatan siput seperti ini jam berapa aku akan sampai Jakarta. Aku mendesah sedih, desahan yang sia-sia karena cuman aku sendiri yang tahu.
Bruukkk!
Aku kaget lima kepalang. Aku menabrak sesuatu? Hah, beneran? Kucing kesasar atau jangan-jangan kuntilanak? Duh aku membayangkan ngeri. Oh sebentar, kalau kuntilanak pasti tidak akan tertabrak, dia akan lolos begitu saja menembus mobilku seperti yang sering aku lihat di film horror. Aku menghentikan mobil, melihat ke kursi belakang dari spion tengah untuk memastikan tidak ada kuntilanak yang sedang menyeringai seram disitu. Aman!
Now what? Apa aku harus keluar?
Ok, aku harus bertanggung jawab, mungkin ada kucing yang sedang kesakitan di depan mobilku. Aku meraih payung kecil yang selalu aku siapkan di dashboard mobil. Membuka pintu mobil setelah memastikan tidak ada mobil lain yang tiba-tiba bisa menyambar dari belakang, jalanan memang sangat sepi. Untung aku menyetir di sebelah kiri.
Buru-buru aku melangkah ke depan mobil, ingin melihat apa yang tadi sepertinya aku tabrak.
Noooooo … orang? Ada orang … eh laki-laki jatuh tertunduk di depan mobilku. Aku menabrak orang. Noooo … kepalaku mendadak pusing. Eh sebentar kalau aku pusing siapa yang akan menyelesaikan masalah. Aku mengusir keteganganku dengan sia-sia, memberanikan diri menghampiri orang yang dengan tanpa sadar sudah aku tabrak.
Bersambung ...
“Pak … eh mas … aduh … anda tidak apa-apa?” pertanyaan tolol macam apa ini, bagaimana mungkin orang tidak apa-apa setelah tertabrak mobil? Aku menunduk di depan orang itu, keadaan gelap gulita penerangan hanya berasal dari lampu mobilku. Orang itu mendongak, memandangku dengan bingung. Tidak ada darah, aku bernafas lega. “Bapak tidak apa-apa?” tanyaku lagi, sepertinya tidak ada yang terluka tapi siapa tahu. Aku harus membawanya ke rumah sakit! Tapi di mana? Gila ini di tengah tol. “Pak … pak …,” kataku lagi yang terlihat sia-sia karena laki-laki itu hanya memandangku bingung.Aku meraih pundak laki-laki itu yang dengan kasar ditepisnya, dengan kaget aku mengangkat tangan seperti orang yang sedang ditodong senjata membiarkan leher dan kepalaku dengan susah payah menyangga payung di tengah lebatnya hujan. Aku memandang lelaki itu, memberikan tatapan malaikat manis untuk memberitahu bahwa aku tidak bermaksud
Aku menarik nafas lega ketika akhirnya aku berhasil memarkir mobil dengan selamat dan yang paling penting lagi sampai apartemen dengan selamat pula. Sampai detik ini orang ini belum menunjukkan tanda-tanda bahwa dia adalah seorang psikopat, pheeeww.“Ini apartemen saya, besok pagi saya antarkan ke rumah sakit. Sekarang Mas bisa mengeringkan badan di atas biar nggak masuk angin” kataku seolah-olah menghindari masuk angin adalah hal yang paling penting saat ini. Aku membuka pintu dan menggambil koper kecilku yang terletak di jok belakang. Besok harus cuci mobil, kalau nggak mau mobil bau apek pikirku. Aku melihat Ra Putra Airlangga yang masih duduk manis di dalam mobil. Maksudnya, gue yang harus bukain pintu gitu? Amnesia sih boleh, tapi terus jangan bikin gue jadi babu dong. Aku mendengus kesal lalu berjalan kearah pintu penumpang.Aku membuka pintu dengan tampang cemberut dan sukses berubah terbengong ketika setelah beberapa detik si Ra ... haish, aku menam
Dia memandangku dengan pandangan misterius.“Aku tidak tahu ada nama desa Surabaya, Semarang atau Jakarta” katanya lirih, lebih ke dirinya sendiri.Desa? Memang nggak ada nama desa Jakarta atau Surabaya cui, itu nama kota. Kota besar! Tapi seriusan nih orang nggak tahu Jakarta dan Surabaya? Apakah seberat itu amnesianya? Aku menyesal tidak membawanya ke rumah sakit langsung. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa dengannya malam ini di sini? Meninggal? Aku akan berurusan dengan polisi, jadi tersangka utama. Aku dengan tinggi 155 cm ini, mencelakai lelaki yang cocok menjadi espionage sekelas Jason Bourne.“Memang kamu benar tidak tahu Jakarta atau Surabaya?” tanyaku.“Apakah kedua desa tersebut berada di wilayah negara Majapahit?”Dari tadi orang ini ngomongin negara Majapahit terus, kita kan bukan berada di era Patih Gajah Mada!“Kedua kota tersebut ada di wilayah Indonesia, negara persatuan republik
Pelan-pelan aku turun dari tempat tidur, dan dengan gerakan sehalus ninja aku berjingkat-jingkat ke arah pintu. Persis seperti maling, bedanya aku berada di rumahku sendiri.Ceklek!Duh kenapa ini kunci suaranya berisik banget, aku merutuki kunci pintu yang hanya bisa diam tak berdaya. Dengan gerakan sangat pelan aku membuka daun pintu. Treeeettt … terdengar suara pintu yang berdecit memilukan, arrrggghhh … nih pintu kenapa jadi tidak bersahabat begini! Aku mengintip dari celah pintu yang berhasil aku buka. Dia ada di sana! Aku kejapkan mata dan kukucek berulang-ulang, berharap dengan kucekan mata akan merubah keadaan.Aku intip lagi. Dia masih ada di sana, duduk di lantai dengan kaki bersilang dan tangan di atas lutut masing-masing seperti sedang melakukan yoga. Eh yoga?Kali ini aku berdiri di ambang pintu melupakan acara intip-mengintip. Dia duduk dengan sangat tenang, kedua mata tertutup dengan nafas naik turun yang teratur. Mungkin dia
Aku menunggu di ruang ganti pria di salah satu brand yang menyediakan koleksi pakaian pria. Aku pilihkan beberapa potong kemeja, polo shirt dan celana Panjang. Entah bagaimana nanti rupanya Mr. Airlangga dengan baju modern atau apa pendapatnya tentang baju modern.Aku mencari-cari informasi tentang seorang Pangeran bernama Ra Putra Airlangga dari jaman Singosari atau majapahit, tetapi tidak berhasil mendapatkan informasi apapun. Jangan-jangan dia berbohong, pikirku mulai curiga.Terdengar bunyi “ping” pertanda ada pesan masuk di smartphoneku, dari Inge.“Kita sudah sampai di Jakarta, setelah elo terlantarkan dengan semena-mena di bandung. Kapan mau traktir fancy dinner?”Inget aja sama yang namanya perampokan. Dengan semangat aku hendak mengetik di layar handphone menceritakan kejadian luar bisa tentang si Pangeran Airlangga, lalu aku hapus. Apa mereka siap mendengar cerita ini? Aku menghembuskan nafas, tapi sampai kapan aku akan s
“Loe kok nggak cerita sih kalau punya pacar seganteng itu” omel Arini sambil sesekali melirik ke arah Mr. Airlangga.Akhirnya aku mengenalkan juga Mr. Airlangga ke dunia. Diawali dengan berkenalan dengan kedua sahabatku. Pastinya tidak mungkin dia aku sembunyikan terus menerus di apartemen, nanti bisa bonyok terlalu mateng, dan aku tidak bisa terus menerus menghindar dari dunia. Jadilah hari ini aku mengikut sertakan dia ketika aku bertemu dengan Inge dan Arini.Tentunya tidak dengan menerangkan bahwa dia adalah seorang Pangeran dari kerajaan Singosari. Aku mengenalkannya sebagai Ra Putra Airlangga saja, tanpa embel-embel Pangeran.“Namanya cukup antik, Ra Putra Airlangga” kata Inge, direspon dengan senyuman yang mampu meluluhkan batu cadas oleh Mr. Airlangga. Aku bisa melihat binar-binar terpesona di mata Inge. Sebelum dia benar-benar meleleh oleh laki-laki yang berumur ratusan tahun ini, aku meminta Mr. Airlangga untuk duduk di meja ter
Aku mengemudikan mobil ke arah taman mini seperti instruksi Mr. Airlangga. Dia bilang dia perlu bermeditasi, dan bermeditasi di pura akan membantunya untuk lebih berkonsentrasi. Aku tidak tahu apa bedanya, tapi dengan patuh menuruti, lebih cepat pergi akan lebih baik, sudah cukup pusing aku menerangkan ke kedua sahabatku.30 menit kemudian kami sudah sampai di pura, jalanan dengan sangat ajaib cukup sepi sehingga aku bisa memacu mobil dengan mulus tanpa sendatan macet. Mungkin semesta tahu bahwa seorang Pangeran pada masa Majapahit akan lewat dan memberikan ijin. Wah dia memang benar-benar bukan orang biasa, mendadak aku bersemangat, kalau alam semesta saja begitu menghormati dia mungkin tidak lama lagi dia akan bisa kembali ke dunianya. Dan hidupku bisa kembali normal, sebagai seorang Lusia maharani. Bisa kembali menulis lagi, pastinya pengalaman ini akan aku tuangkan ke dalam tulisannku, bagaimana aku bisa melewatkan pengalaman luar biasa ini. Aku tahu kalau aku bercerita k
“Sekarang apa?” tanyaku ke Mr. Airlangga yang sedang asik membaca novel Da Vinci Code. Entah kenapa semenjak berkenalan dengan salah satu buku Dan Brown tersebut dia seperti terobsesi, dengan tanpa henti dia terus menerus terpaku di dengan buku di tangan.“Buku ini sangat menarik, aku benar-benar ingin bertemu dengan orang yang bernama Professor Langdon ini” katanya dengan pandangan masih terkunci ke arah buku.Aku mengerutkan bibir dengan kesal “itu hanya fiksi, karangan, bukan hal nyata, hanya rekaan sang penulis” aku mencoba menerangkan.“Maksudnya ini tidak benar-benar terjadi?” ada nada sedikit kecewa dengan pertanyaannya.“Ya tentu saja tidak, tetapi tempat-tempat di novel itu nyata. Benar-benar ada” jawabku kesal.“Waaahh … jadi benar-benar ada lukisan yang bernama Monalisa?” katanya dengan raut muka penasaran tingkat tinggi.“Iya ada, di musium berna