“Luna.”
Pelayan yang baru saja keluar dari kamar majikannya itu menoleh dan mendapati pelayan utama yang memanggilnya. “Ya, Rose?”
“Apa nyonya beristirahat?”
“Ya, baru saja tertidur setelah melihat kami bekerja.”
Rose tampak manggut-manggut dengan jawaban Luna. “Baiklah, kau bisa pergi.”
Luna kemudian pergi meninggalkan Rose sendiri. Pelayan itu menatap ke arah pintu kamar yang tertutup. Senyumnya tersungging dengan langkahnya yang pasti.
Suara derit pintu yang terbuka dengan perlahan membuat Alena yang baru saja akan terlelap kembali terjaga. Matanya mencoba tetap terpejam dengan suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Alena merasa ada yang aneh.
“Kenapa juga tuan mau menikahi perempuan ini? Dia tampak tidak cukup baik dengan penampilan usang.”
Alena mendengarkan meski ia menyetujui ungkapan seseorang itu.
“Wajahnya memang cukup menarik tapi siapa yang tahu isi hatinya? Dia mungkin hanya membutuhkan uang tuan.”
Satu pendapat Alena tentang seseorang ini. dia pasti sangat menyukai bekerja dengan Geovano mengingat betapa kerasnya orang itu menilai semua tentang Alena. Namun Alena juga sadar, dirinya tidaklah pantas berada di sini dan merasakan semua ini.
Alena membuka mata, mengejutkan pelayan itu yang terjungkal ke belakang saking terkejutnya. Alena menguap dengan mengerjap khas orang baru saja bangun dari tidurnya.
“Oh?! Kenapa kamu di sini?” tanya Alena terlihat terkejut sekaligus menyesal melihat bentukan pelayan itu saat ini.
Alena akan membantu saat pelayan itu segera berdiri dan membungkuk hormat, seolah menampakkan ada yang janggal padanya. “Saya minta maaf karena masuk ke kamar Nyonya tanpa izin. Saya hanya mau melihat pekerjaan Luna dan Mai apakah baik-baik saja.”
“Eum. Mereka bagus dalam bekerja.” Alena membalas dengan menunjuk lemari yang sudah rapi.
Rose tampak mengangguk kaku. “Saya akan pergi. Selamat beristirahat, Nyonya.”
Rose pergi kembali, Alena menjadi curiga dengan pelayan itu. Dia tampak baik di depan sebelumnya tapi beberapa saat kemudian memberikan banyak komentar di belakangnya. Alena sepertinya harus berhati-hati dengan pelayan itu dikemudian hari.
“Baru saja beberapa saat di sini sudah terlihat saja masalahnya.”
Alena sudah tidak lagi mengantuk. Ia memilih menyibak tirai jendela dan melihat pemandangan yang ada di luar kamar. Pikirannya penuh tanda tanya tapi ia juga tidak tahu harus memilih jawaban yang mana.
Geovano, pria itu yang menjadi masalahnya sekarang. Bagaimana Alena harus menjalani hari-hari setelahnya bersama pria tidak dikenalnya itu? bagaimana kabar ibu dan adiknya di rumah? Geovano tidak melakukan hal buruk kepada keluarganya, kan? Atau bahkan orang yang menculiknya tidak melakukan sesuatu yang berbahaya kepada kedua keluarganya itu, kan?
Alena menghembuskan napas berat. tidak pernah sekalipun ia bermimpi menjadi penganti pangganti seperti hari ini. dirinya yang dokus bekerja demi melunasi hutang yang ayahnya tinggalkan dan mengurus adiknya yang sakit tidak mau melakukan hal yang menyia-nyiakan waktunya dengan bermain pria.
“Ibu … apa yang kau putuskan dengan menerima penawaran itu?” tanya Alena sendiri.
Ketukan pada pintu membuat Alean menoleh. Ia berjalan perlahan untuk membukanya.
“Nyonya … tuan mengatakan untuk Anda pergi ke ruangan kerjanya.”
“Diaman tempatnya?”
“Mari ikuti saya.”
Alena mengikuti Mai yang berjalan lebih dahulu. matanya mengedar mengingat bagian-bagian ruangan yang tidak hanya ada satu dua. Alena juga memperhatikan kembali jalannya mengingat bagian mana kamarnya berada.
“Tuan ada di dalam. Silakan masuk, Nyonya.”
Mai membukakan pintu untuk Alena, setelah perempuan itu masuk ia kembali menutup pintu dan pergi setelahnya.
Alena berjalan mendekat dengan penuh keraguan. Geovano tampak sibuk dengan pekerjaannya. bukannya tadi pria itu menolak diganggu sampai malam? Kenapa tiba-tiab ingin bertemu dengannya?
“duduk. Kamu bukan patung.”
Alena menurut. Mandudukkan diri di kuris menghadap Geovano yang masih sibuk dengan pekerjaannya. entah apa yang tengah dikerjakan oleh Geovano, tapi pria itu tampak frustasi dengan raut wajahnya saat ini.
“Aku tidak mau membuang banyak waktu dengan seseorang asing seperti dirimu.”
Alena mengangguk.
“Aku ingin kita bekerja sama untuk urusanku. Aku akan memberimu bonus jika urusanku telah usia. Bagaimana menurutmu?”
“Bisa jelaskan lebih rinci? Aku kurang paham.”
Geovano memutar bola matanya malas. Sangat aneh berurusan dengan orang yang tidak kita kenal.
“Alisya. Dia tunanganku sejak satu tahu lalu dan kami telah menjalin hubungan selama 5 tahun dengan 1 tahun pendekatan.” Geovano memulai ceritanya.
“Tapi kenapa saat waktu yang ku tunggu datang dia justru mengganti dengan dirimu.”
Alena menunduk setelah Geovano menatapnya intens. “Aku juga tidak tahu.”
“Aku juga tidak berpikir kau yang akan melakukannya.”
Alena semakin menunduk. Takut dengan aura yang Geovano berikan saat ini. begitu dingin dan menusuk.
“Maka dari itu, aku ingin kita bekerja sama untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.” Geovano yakin dengan pemikirannya. “Jika kamu merasa terbebani, kamu boleh pergi dari rumahku sekarang.”
“Aku paham kamu kecewa, tapi jangan mengancamku. Aku tidak suka.”
“Lalu kamu pikir aku suka dibohongi?”
Alena kembali bungkam. Apapun yang ia lakukan semuanya akan salah di mata Geovano karena pada dasarnya pria itu tidak melihat sudut pandangan dari Alena. Baiklah, Alena lagi yang harus berkorban.
“Bagaimana rencanamu?
***
Alena terbangun dengan tubuh lebih segar. Matanya mengedar perlahan mencoba menerapkan cahaya masuk ke retina. Hum … ini bukanlah kamarnya.
Alena terkekeh kecil dan bangkit. Kaki jenjangnya menapak karpet beludru berwarna coklat sebelum memasuki walk-in closet yang memamerkan deretan pakaian, sepatu, perhiasan, dan tas yang terlihat baru semua. Alena sekejap berdecak kecil.
“Mengapa dia menghabiskan banyak uang hanya demi hal-hal tidak perlu.”
Ya. Alena pikir, banyak barang tidak diperlukan daripada tidak terlalu digunakan nantinya. Seperti semua yang ada di dalam sini. Alena untuk sebentar mengagumi tapi ia lebih reslistis saja dengan kenyataan.
“Seleranya bagus sekali.” Alena kembali mengagumi sendiri bagaimana Geovano mempersiapkan hal seperti ini tentang perempuan. Tentunya semua ini harusnya untuk Alisya bukan dirinya.
“Pilih salah satu dan ayo pergi.”
Alena terperanjat mendengar suara Geovano tiba-tiba ada di belakangnya. Pria itu sejak kapan berada di ambang pintu sebelum kemudian pergi? Alena mendesah pelan. Dirinya harus sadar diri dan tidak boleh terlena dengan semua yang ada di sini.
Alena mengambil dress berwarna biru setelah melihat kemeja yang dikenakan oleh Geovano berwarna senada dengan pakaian yang ia ambil. Setidaknya dirinya harus menjalankan pernikahan bohong ini untuk tetap aman dan Geovano mencapai tujuannya.
Ya. Alena telah menyetujui untuk membantu Geovano menemukan alasan kenapa Alisya meninggalkan pria itu bahkan tidak bisa dihubingi sampai saat ini. Alena tahu dirinya hanya digunakan Geovano sebagai ‘alat’ saja demi tujuannya, anehnya Alena menyetujui.
Geovano menatap penampilan Alena yang telah bersiap setelah ia tunggu beberapa saat. Ia berdecak kecil. “Ganti sepatumu.”
Alena menatap ke kakinya. Kenapa Geovano memintanya berganti sepatu? Ini cukup senada dengan dress yang ia kenakan.
Geovano menarik lengan Alena kembali masuk ke walk-in closet. Memilih beberapa sepatu yang menurutnya cocok. “Coba kenakan mereka.”
Alena menurut saja. mengambil sepatu berhak tinggi berwarna biru sedikit mencolok.
“Telrihat kuno.” Geovano memberikan komentar dengan menunjuk salah satu sepatu lagi untuk dicoba Alena.
“Cukup bagus, tapi coba dulu yang satunya.”
Alena hanya menurut saja dengan sepatu terakhir yang dicobanya. Kali ini warna perpaduan antara biru dan silver yang menurutnya bahkan tidak sesuai dengan dress yang ia kenakan. Tapi baiklah, siapa yang bisa menolak perintah seorang Geovano.
“Bagus! Kenakan yang ini saja.”
Geovano kemudian pergi setelah mengganti juga tas yang harus dikenakan oleh Alena. Penampilan seorang istri dari pengusaha tidak sepatutnya buruk dipandang orang lain, bukan?
Alena menatap pantulan dirinya di cermin sebentar sebelum akhirnya menyusul kepergian Geovano. Alena akui selera Geovano benar-benar bagus.
“Kita pergi kemana?”
“Menemui keluargamu.”
“A-apa?!”
Geovano tidak langsung pergi ke rumah Alena. Ia mulai menyadari bahwa Alena tidak kekanakan seperti dirinya dan mengadukan perbuatannya kepada keluarganya juga tidak akan membantu apapun. Namun kemana Alena bisa pergi dalam keadaan sakit dan sendirian?Mobil Geovano terhenti melihat sebuah kerumunan di jalan. Meski ragu untuk melihat, tetapi kakinya lebih dulu melangkah dengan pandangan fokus melihat ke depan. Memastikan bahwa pikiran buruk sesaatnya bukan kenyataan.Geovano menghembuskan napas panjang setelah pikiran buruknya terhempas, tepat dengan seseorang menepuk pundaknya.“Kenapa di sini?”Pertanyaan itu muncul dari bibir pucat Alena yang mententeng satu kresek makanan. Membuat Geovano lega karena Alena masih baik-baik saja dan ada di depannya. Sedangkan Alena bingung dengan ekspresi tidak terbaca Geovano yang menatapnya.“Kamu sakit. Kenapa malah kelayapan?”Alena menaikkan kresek yang ia bawa lalu memperlihatkan isinya.“Kamu bisa minta tolong sama orang di rumah. Nggak perlu
Suasana menjadi canggung setelah Geovano mengungkapkan semuanya. Alena mulai tenang tetapi hati serta pikirannya masih begitu berisik. Menjalani kehidupan seperti ini, bukankah tidak mudah? Setiap ingin melakukan apapun merasa ragu jika saja salah?Geovano kembali menyuapi Alena dalam diam. Ia juga menyadari kekeliruan dalam hubungan singat ini, tetapi mau bagaimana lagi. Semua butuh membiasakan diri sebelum akhirnya menjadi terbiasa, bukan? Jika bukan keinginan setidaknya harus ada sedikit pemaksaan untuk memulai.Geovano keluar setelah Alena menyelesaikan makannya. Sedangkan Alena tersenyum getir. Bukan maksud dirinya ingin memiliki Geovano seutuhnya, tetapi tidak dianggap adalah hal yang mengganggu benaknya. Meski status istri sah ada padanya, tetapi apa gunanya semua itu jika sang pemilik hati bahkan tidak pernah mengharap akan hadirnya?Alena terkekeh. Menertawakan dirinya yang tidak bisa melakukan apapun, bahkan untuk membela harga dirinya seolah sudah lenyap dalam kegelapan tan
“Hei … makan dulu.”Geovano menepuk pelan pundak Alena yang masih terasa hangat. Meski sedikit tidak tega karena mengganggu istirahat Alena, Geovano tetap tidak mau membiarkan gadis itu seperti ini.Alena menatap Geovano yang begitu teliti menyiapkan suapan untuknya. Faktanya, Geovano juga sama seperti dirinya. Berusaha menerima karena permulaan kisah yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Hanya saja, Geovano pandai menutupinya dengan segala sikap dinginnya yang berubah-ubah dan Alena yang kurang mengerti akan hal tersebut.“Aku nyusahin kamu, ya?”Geovano mengernyit. “Kenapa bilang seperti itu?”Alena menatap Geovano intens. Sedangkan yang ditatap sibuk dengan makanan di tangannya. “Aku nggak sengaja dengar pembicaraan kamu sama ibu tadi.”Geovano diam. Bukan karena merasa tersudutkan karena Alena tahu apa yang ia sembunyikan, tetapi lebih seperti … kenapa Alena ke luar kamar saat tubuhnya bahkan sangat lemas.“Lalu?” tanya Geovano seraya kembali menyuapi Alena, tetapi tangannya d
Jika tubuh Alena sehat pasti itu mulut sudah ia sumpal dengan apapun. Bagaimana bisa Geovano berpikir dirinya hamil saat mereka bahkan tidak pernah melakukan apapun?“Kamu mending keluar dan istirahat sana. Jangan ganggu aku.”“Memang tidak tahu terimakasih.”Geovano bukannya segera pergi tetapi justru ikut berbaring di ranjang. Tidak lupa menyelimuti tubuhnya dengan satu selimut yang sama dengan Alena. Pria itu juga begitu perhatian dengan Alena yang sakit, seolah mengabaikan bahwa keduanya masih ada batasan yang Geovano buat sejak awal.Alena termenung saat Geovano begitu teliti merawatnya. Tanpa disadari oleh Geovano, tatapannya bertemu dengan mata yang menahan kesedihan. Tidak berucap, tetapi sorot mata itu sudah memberikan semua kenyataan menyakitkan yang sedang dihadapi.“Maaf untuk yang kemarin.” Mulut lancang Geovano berucap, tapi kali ini karena ada niat dalam dirinya. Dia tidak ingin menyakiti Alena, tetapi untuk beberapa keegoisan, Geovano masih saja melakukannya.Alena ber
Bukannya menjawab, Alena justru masuk mobil dibagian penumpang. Memasang sealbelt dan mengalihkan pandangan ke luar jendela. Geovano yang melihat tindakan Alena merasa frustasi.“Kamu pikir aku sopir?”Tidak ada balasan apapun. Geovano semakin geram dibuatnya. Ia segera melajukan mobilnya dengan cepat. Akan Geovano tunjukkan bahwa tindakan Alena yang mengabaikan Geovano adalah pilihan yang salah.Alena merasa mual. Mobil melaju begitu cepat. Geovano mahir mengemudi dan Alena menyadari bahwa pria itu sengaja melakukannya. Jika tidak dalam suasan hati yang bagus, Alena sudah akan membalas perbuatan pria itu meski tidak tahu kalah atau menang. Sialan!“Bagaimana? Masih berpikir bisa melakukan apapun sesukamu, Nyonya Aldirge?”“Kekanakan.”Darah Geovano semakin mendidih dengan hinaan Alena. Bisa-bisanya gadis itu!Sial … kenapa Geovano juga semarah ini? Alena juga tidak terlalu penting dikehidupannya.Geovano berusaha menenangkan dirinya. Jika terus mengedepankan emosinya, ucapan Alena be
“Masih marahan sama pak Geo?”Alena menoleh begitu suara Abraham terdengar mendekatinya. Ia menerima secangkir teh hangat lalu menatapnya. “Siapa yang marahan?”Abraham terkekeh. “Muka kalian itu nggak bisa disembunyikan kalau nahan sesuatu.”Alena menyesap teh-nya. Jika saja Abraham bukan rekan kerja sekaligus sepupu Geovano, betapa beruntungnya Alena karena cukup akrab dengan pria baik sepertinya. Sayangnya, meski hanyalah pernikahan abal-abal, tetapi Alena tidak mau merendahkan dirinya demi kesenangan sekilas. Ia akan menghargai keberadaan Geovano sebagaimana suami.“Aku nggak marah, cuma kecewa saja, Pak. Saya nungguin dia 3 jam lebih. Kalau bukan karena cowok asing itu yang online taksi saya juga masih di sana sampai malem.”Abraham tersenyum kecil. “Pak Geo memang terkadang kekanakan, tapi percayalah dia orangnya perhatian. Semua diperhatikan bahkan hal sepele sekalipun.”“Semua diperhatikan tapi kalau melakukan kesalahan diabaikan. Begitu?”Abraham tersedak kopinya. Mau mengata