Udara dingin berhembus menggerakkan syal yang mengalung di leher Gerald. Pesawatnya terpaksa harus kembali mendarat dari tempatnya landing tadi, yaitu Bandara Narita, Tokyo, Jepang, karena mengalami turbulensi ketika terbang dalam kondisi cuaca buruk. Setelah berputar di udara selama lima belas menit.
Harusnya dia mendarat di Jakarta, tapi pesawat pribadinya tidak dapat melanjutkan penerbangannya. Malam ini dia harus menghadiri gala dinner dari sebuah peluncuran produk kecantikan dari sahabatnya. Dengan tertunduk, Gerald berjalan menuruni anak tangga pesawatnya, secepatnya Gerald berjalan ke bandara, angin di landasan pacu begitu menusuk tulang.
Assistannya berjalan mengiringi dirinya di belakang, dengan sangat terpaksa Thomas harus mengabarkan pada sang empunya acara bahwa Gerald, tidak bisa hadir, beberapa penerbangan terpaksa ditunda, karena cuaca yang buruk.
Kondisi cuaca di akhir tahun memang susah diprediksi, apalagi cuaca ekstrim di Jepang, yang sering terjadi badai, seperti malam ini, tak ayal membuat Gerald sangat kesal. Meskipun demi kesalamatannya sendiri, Gerald bukan tipe orang yang mudah dibujuk, sifat keras kepalanya yang memaksakan untuk tetap terbang justru membahayakan dirinya sendiri.
Thomas segera memanggil taksi untuk segera kembali hotel tempat mereka menginap sebelumnya. Tanpa basa-basi Gerald langsung masuk dalam taksi dan meninggalkan Thomas dengan koper miliknya. Thomas tidak bisa berbuat apa-apa, selain harus mencari taksi lagi dan pergi sendiri ke hotel.
"Kalau bingung juga pasti telepon," gumam Thomas sendiri.
*
Taksi membawa Gerald ke hotel yang sama dengan Thomas. Mereka tiba tidak berjauhan, sehingga Gerald tidak perlu menunggu lama untuk segera masuk kamar.
“Thomas, aku mau tidur, jangan ganggu aku, kecuali ada kabar jika kita bisa terbang malam ini juga ke Jakarta,” kata Gerald sambil merebahkan badannya ke ranjang king size president suite room.
“Baik Bos,” jawab Thomas, kemudian keluar dan menuju kamarnya yang terhubung langsung dengan kamar Gerald.
Merasa tidak ada yang bisa dia lakukan di dalam kamar, sementara dia belum bisa tidur. Gerald memutuskan untuk pergi ke tempat hiburan malam yang ditawarkan hotel tersebut.
Dentuman musik dan kerlip lampu yang di ruangan yang penuh dengan asap rokok, menjadi pemandangan pertama saat Gerald menginjakkan kakinya di club malam tersebut. Dengan langkah penuh percaya diri Gerald menuju meja bartender. Dibawanya badannya untuk duduk di atas bangku kayu yang dengan tiga kaki penyokong, dan tinggi setengah meter dari lantai, Gerald memesan minumannya. Kepalanya sesekali bergoyang mengikuti musik yang menggema di ruangan itu.
Gerald memesan Coctail untuk menemaninya menikmati malam, dengan kandungan alkohol yang tidak terlalu tinggi. Gerald tidak ingin mabuk malam ini, besok pagi dia harus menemui ibunya yang sedang berlibur ke Bali.
Seorang wanita dengan mini dress hitam, di lantai dansa menarik perhatiannya, wanita itu menari sendirian, gerakkan yang tidak teratur dan terlihat putus asa.
Gerald terus mengikuti gerakan wanita berdress hitam itu sambil menyesap minumannya.
Wanita itu tersadar, ada sepasang mata yang menatapnya. Dia menoleh kearah Gerald, yang terlihat tersenyum dan mengacungkan gelasnya. Sang wanita menoleh ke sekililingnya, hingga dia menyadari, tatapan Gerald hanya untuknya.
Wanita itu menaiki dua anak tangga yang menjadi pemisah lantai dansa dengan bar. Dia menghampiri Gerald. Sambil memegang bahu Gerald, wanita itu berusaha untuk duduk, postur tubuhnya yang mungil, namun pas untuk orang Asia, menyulitkannya untuk duduk di kursi bar.
“Hai, kamu menawariku minum?” tanya sang wanita dengan suara serak.
Gerald, mengulum senyum, wanita di depannya ini cukup cantik, rambut panjang, dan kulit yang putih, matanya sedikit sipit, dengan pupil berwarna hitam. Bibirnya yang tebal cukup sensual di matanya. “Silakan kalau kamu mau,” jawab Gerald, dengan terus menatap tertarik pada wanita di sampingnya ini, yang dia nilai cukup sopan, saat mendekatinya.
“Itu tidak terasa kalau diminum. Aku mau Vodka, red devils,” kata Letha melihat gelas Gerald.
Gerald menatap tidak percaya atas permintaan wanita itu, minuman dengan kadar alkohol yang tinggi dipesan seoang wanita, yang terlihat lugu di matanya.
“Kenapa, tidak jadi mentaktir? Tapi aku sanggup bayar sendiri, minuman itu.”
“Kasih saja,” kata Gerald pada bartender yang masih menunggunya. “Aku tidak melarang, tapi apa kamu tidak salah pilih?”
“Tidak, aku sudah biasa meminumnya,” jawab sang wanita. “Letha, namaku Letha,” kata wanita itu mengulurkan tangannya pada Gerald.
“Gerald Neo Bernado, you can call me Gerald.”
“Mirip nama hewan di kartun Bikini Buttom, Gerald … Garry," jawab Letha tertawa.
Gerald mengulum senyum, biasanya dia akan marah, jika ada yang menyinggung namanya. Tapi dari mulut Letha, ungkapan tadi terdengar lucu, tidak seperti sebuah ledekan ataupun cemooh.
Letha mulai menyesap minumannya begitu sang bartender menghidangkannya. Merasa terus di tatap Gerald, Letha menjadi salah tingkah, dia langsung meminum minumannya dalam sekali teguk.
Garry tercengang menatapnya, dia pun beranjak dan mencoba untuk mengambil gelas Letha, namun gagal, Letha sudah meminumnya, bahkan Letha mencoba mengambil gelas Gerald, namun segera dihalangi oleh Gerald.
Letha terbatuk- batuk dan sempoyongan, dengan sigap Gerald menangkap tubuh Letha yang hampir saja kepalanya terhantam meja. Letha mulai meracau.
Gerald, mengeluarkan kartunya untuk membayar minuman mereka, dengan satu lengannya masih menopang tubuh Letha.
“Kamu bisa jalan?” tanya Gerald sambil memapah Letha keluar dari club.
Letha hanya senyum dan mencubit pipi Gerald. “Tampan, cintai aku. Aku tulus padamu, kenapa kamu permainkan aku,” celoteh Letha.
“Kamar kamu nomor berapa Letha, aku antar ke kamar.”
“Kita ‘kan satu kamar," jawab Letha asal, dia sudah sangat mabuk.
Gerald, merasa bingung, kalau mau diantar pulang, diantar kemana, malam juga semakin larut. "Hmm, belum pernah mabuk, coba-coba mabuk," gumam Gerald, masuk dalam lift.
Di dalam lift, Letha merasa mual, dan ingin muntah. Letha merosotkan badannya dan muntah di bawah Gerald, sepatunya terkena sedikit muntahan Letha. Gerald mendengus kasar nafasnya. Begitu lift sudah sampai di lantai kamarnya, Gerald, memanggul Letha di bahunya dengan kepala Letha dibelakang.
Gerald terpaksa membawa Letha ke kamarnya. Ada sedikit rasa iba dalam dirinya. Sesuatu yang selama ini tidak pernah dia rasa.
Gerald, melepas sepatu Letha dan membaringkannya di tempat tidur. "Untung pakaian kamu tidak kena isi perut kamu," kata Gerald pada Letha yang sudah tertidur.
Gerald mengetuk connecting door kamarnya yang terhubung ke kamar Thomas. Thomas yang belum tidur segera membuka pintu.
“Carikan Aspirin atau apalah, untuk orang mabuk,” kata Gerald, begitu melihat wajah Thomas.
Thomas sedikit bingung, namun akhirnya dia menelepon room service dan meminta aspirin atau obat sakit kepala.
Gerald, kembali ke kamarnya, dan berganti baju di kamar mandi. Thomas masuk dalam kamar Gerald dengan membawa obat sakit kepala. Thomas mengira yang tidur adalah Gerald, namun saat akan membuka selimut Letha, Gerald keluar dari kamar mandi.
“Sudah?”
“Sudah bos. Eeem, dia siapa bos?”
“Aku juga tidak kenal, kasihan saja melihatnya mabuk, aku tidak tahu nomor kamarnya jadi aku ajak ke sini.”
“Cantik bos. Bibit unggul kayanya.”
Gerald melempar bantal sofa pada Thomas, karena pernyataan Thomas. Thomas pun segera pergi, daripada kena amukan Gerald.
Gerald naik ke tempat tidurnya, dan menatap wajah Letha yang terlihat banyak masalah. Tangan Gerald menyentuh lembut wajah putih itu, menyusuri setiap tulang wajah Letha, dan berhenti di bibir Letha.
Letha tanpa sadar mengalungkan tangannya di leher Gerald, menarik wajah Gerald mendekat pada wajahnya, bibir mereka bersentuhan, Gerald melanjutkan untuk mengecup bibir itu, masih ada sedikit ras manis bercampur pahit dari bibir Letha sisa minuman yang Letha minum tadi.
“Lepas, Fatma.” Dengan kasarnya Bachtiar melepaskan tangan Fatmasari dari lengannya. Tubuh Fatmasari terdorong dan membentur dinding tangga.Bachtiar tidak mempedulikan Fatmasari, dengan langkah cepat dia mengejar Debora yang sudah keluar dari restoran. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan lagi, jika dia ketinggalan.“tunggu, Nak. Papa masih mau bicara!” seru Bachtiar tergopoh – gopoh.Debora masuk dalam mobil, begitupun Pancawati. Mereka sudah tidak sabar lagi untuk pergi dari restoran itu.“Papa untuk apa mengejar mereka? Papa mau tinggal dengan mereka?” seru Manda penuh amarah.“Iya, Papa mau tinggal dengan mereka,” jawab Bactiar dengan keras sambil terus berjalan menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Mobil Gerald telah berjalan meninggalkan restoran, tidak mungkin lagi baginya untuk mengejar dengan kakinya.“Papa memang tidak pernah Sayang dengan Manda,” seru M
Bachtiar merasa begitu senang mendapat kesempatan untuk mendekati Debora dan Pancwati lagi. Dia tahu jika keputusan Debora sangat berpengaruh pada kebaikan Gerald dan Pancawati. Untuk itu Bactiar akan membujuk Debora untuk memberinya kesempatan memperbaiki diri menjadi ayah yang baik untuk Debora.‘Kalau Debby bisa menerimaku lagi, Gerald pasti tidak akan segan lagi untuk memberiku kekayaan. Wati saja sekarang begitu cantik dan terawat,’ gumam Bachtiar dalam hati, ‘hmm …, dia juga sudag memekai perhiasan mahal sekarang, artinya dia sudah hidup enak dalam perlindungan Gerald,’ batin Bachtiar lagi dengan menyeringai dan membayangkan akan hidup enak, dan lebih terhormat lagi bersama Pancawati sebagai mertua dari seorang Gerald.“Mau ke mana lagi Babe?” tanya Gerald menuntun Debora yang kembali masuk ke restoran.“Masuk lagi Gee, biar cepat selesai. Aku sudah malas bertemu dengan orang itu dan keluarganya. Seola
Debora masih khawatir dengan Pancawati, meski sang Ibu sudah nampak di depan matanya. Debora tidak ingin sang Ibu terpedaya dengan ucapan Bachtiar.“Gee, kita duduk di sana aja yuk!” ajak Debora pada Gerald menunjuk sebuah bangku kosong yang tak jauh dari Pancawati dan Bachtiar berada.“Jangan Babe, kita di sini saja, kalau terjadi sesuatu yang membahayakan Ibu, baru kita mendekat,” jawab Gerald memaksa Debora untuk duduk di meja yang di pilih Gerald, “tenang saja, enggak akan terjadi apapun pada Ibu,” kata Gerald lagi menenangkan Debora yang masih khawatir.Baru sebentar Gerald dan Debora duduk, dari ujung restoran terdengar teriakan Pancawati yang marah pada Bachtiar.Semua pengunjung restoran ikut menoleh pada meja sepasang pria dan wanita yang sudah tak lagi muda itu.Pancawati terlihat mengancam Bachtiar, bahkan tangan Pancawati pun selalu menepis tangan Bachtiar yang akan menyentuh tangannya.Debora
Debora tidak menemukan ibunya di rumah. Seluruh sudut rumah Gerald sudah dia hampiri, namun belum juga menemukan Pancawati.“Mami, cari siapa?” teriak Ginny dari balkon kamarnya saat melihat Debora keluar dari taman samping rumah.“Lihat nenek, engak sayang?” jawab Debora sekaligus bertanya balik pada Ginny tentang keberadaan Pancawati.“Tadi Ginny lihat Nenek naik taxi Mi, pergi sendirian,” jawab Ginny dengan polosnya.Debora segera masuk ke rumah, mendengar jawaban Ginny. Ruang tengah menjadi tujuannya untuk mencari ponselnya yang seingat dirinya dia letakkan di atas meja untuk di tambah daya, di samping televisi.Debora menelepon Pancawati dengan rasa khawatir, tidak biasanya sang ibu pergi tanpa pamit padanya. Pesan pun tidak di tinggalkan oleh Pancawati di ponselnya.“Ada apa Babe? Gelisah banget, sampai enggak dengar aku jalan,” tanya Gerald mengecup kepala Debora yang berdiri di pinggir
Manager Manda, paham betul jika Manda sedang cemburu pada Debora. Mood Manda yang sedang buruk setelah di tolak seorang produser film, juga Manda yang baru di selingkuhi kekasihnya, melihat Debora begitu beruntung, pasti membuat Manda marah.Sang Manager mengikuti Manda dan berusaha mengajak Manda untuk keluar dari toko, sebelum Manda mempermalukan dirinya sendiri.“Kamu pergi sana, tidak perlu ikut campur urusanku!” seru Manda dengan kencang, membuat para pengunjung toko menatap pada Manda.Gerald dan Debora pun langsung mendongak ke arah Manda, yang berdiri empat meter di depannya.“Manda,” gumam Debora menyerahkan sebuah kaos dalam pada Gerald. Debora ingin berdiri untuk menghampiri Manda.“Duduk saja di sini. Bukan urusan kita Babe,” kata Gerald menahan Debora agar tidak mendekati Manda.“Begitukah?” tanya Debora meminta pendapat.“Iya. Biarkan saja. Ayo pilih lagi, mana
Gerald menyambut Debora dan membantunya menuruni dua anak tangga terakhir dengan mengulurkan tangannya. Sungguh sikap seorang pangeran pujaan, yang begitu perhatian pada istrinya. Dengan tersenyum manis Debora mengucap terima kasih. Debora berjalan ke meja dapur, mendekati satu piring besar kue pukis yang dia inginkan. “Kamu beli berapa sih Gee. Banyak banget!” tanya Debora sambil mengambil piring yang lebih kecil untuk membagi kue pukisnya. “Hmm, seratus lima puluh ribu, dagangannya langsung habis aku beli,” jawab Gerald dengan tersenyum bangga. Kue pukis dengan harga dua ribu perbuah, dia borong semua. “Tadi dapat bonus lima Babe.” Debora tersenyum, tidak heran lagi dengan cara suaminya mengabiskan uang. “Enak ‘kan Josh?” “Hmm. Iya, enak. Santannya terasa, manisnya pas dan tidak eneg. Dengan selai nanasnya jadi segar,” jawab Joshua setelah menghabiskan satu potong kue. “Iya. Dulu aku sering beli di situ kalau mau berangkat terbang. U