Share

WANITA ITU, MENAKUTKAN!

"Aku tidak janji untuk membuatmu bisa berbicara dengannya tapi, akan aku usahakan. Juga, tidak semua kebaikanku dibayar dengan uang. Jadi, tunggu di sini sampai aku memberikan tanda."

=====

"Dengarkan aku Alan! Sekali saja, jangan tanyakan aku ada di mana. Aku meneleponmu karena takut kamu menungguku. Sudah, aku harus segera menyelesaikan urusanku. Jangan khawatirkan aku."

Estelle menutup ponselnya kemudian menaruh di saku blazer. Memandang lantai dansa yang penduduknya semakin berkurang. Wajar, ini sudah jam tiga pagi. Ia juga sudah menunggu selama enam jam di tempat itu. Beruntung hari ini dirinya sedang mendapat jatah libur. Yah ... sejak kemarin hanya bagian itu yang bisa ia sebut beruntung. Julia benar-benar wanita pembawa sial.

Rasanya mau muntah, padahal ia tidak minum apa pun di sana. Sejak lahir sampai sekarang, kakinya baru menginjak lantai diskotek, tempat yang teramat ia benci. 

Estelle mendengkus kesal. Menonton pria pirang yang entah siapa namanya, ingatkan dirinya untuk menanyakan nama pria itu, nanti.

Di sana, pria itu masih mengobrol dengan Dave, pria incaran Julia. Tadinya ia ingin pulang saja. Namun, rasanya salah ... meski hanya sebuah benda tetapi, cincin itu memiliki banyak cerita. Lagi pula jika pria itu meminta bayaran dengan tubuhnya, Estelle sudah menyiapkan dalih kalau bukan dirinya yang meminta bantuan, melainkan pria itu yang memaksa untuk membantu. Jika tidak berhasil, sepertinya mengancam dengan membawa-bawa polisi sudah cukup.

"Haah ... apa sih yang mereka bicarakan? Dan juga, apa perutnya tidak kembung? Gila, ini sudah berjam-jam! Apa mereka tidak ingat rumah?!" dumel Estelle, entah sudah berapa kali ia ke toilet hanya untuk membasuh wajah agar tidak mengantuk. Kemarin ia sudah lelah bekerja, lalu pulang membereskan rumah barulah datang ke sini. Sekarang, tubuhnya sudah merengek minta istirahat.

Oh? Mata almond Estelle membulat senang. Saat pria pirang itu memapah Dave. Pikirannya langsung mengira kalau Dave sudah mabuk. 

Estelle pun langsung berdiri, saat diberikan kode oleh pria pirang di sana lalu mengikuti mereka dari jarak aman. Masuk ke salah satu pintu kemudian di sambut lorong yang membuat Estelle terkejut. Ada banyak kamar di sana dan juga, tampilannya begitu menarik di matanya.

Lorong estetis dengan karpet tebal tiga dimensi terlukis tepi pantai, pencahayaan yang pas, serta beberapa dinding terukir bunga daisy. Wangi harum peppermint menyeruak di sana, berbeda sekali dengan ruangan tempat ia menunggu selama enam jam tadi.

Estelle sangat mengagumi tempat itu, ia sampai berpikir apakah setiap diskotek menyediakan ruangan seperti ini?

Awalnya, Estelle mengira pria itu ingin menaruh Dave di salah satu kamar ini. Namun, ternyata dugaannya salah. Mereka keluar lewat pintu belakang. Meski bingung, Estelle tetap mengikuti arahan dari pria pirang tersebut.

"Hei, aku ada urusan mendadak. Jadi, temanku yang akan mengantarkan dirimu, oke?" kata pria pirang, menyandarkan Dave di dinding. 

Estelle menonton mereka dari jarak aman. Ia pun menggeleng prihatin, alkohol benar-benar sebuah bencana. Lihat saja, datang dengan tubuh bugar lalu saat keluar diskotek malah menyusahkan orang!

Dave memegang pelipisnya. "Ugh! Pergilah. Aku bisa sendiri. Panggilkan taksi saja," ucapnya, jika tahu akan begini harusnya tadi ia tidak menyuruh supirnya pulang.

"Tidak. Kamu itu sudah terlalu mabuk. Jadi, biarkan temanku yang mengantarmu, lagi pula dia sudah ada di sini. Tidak perlu menjaga jarak, dia murni temanku. Bukan wanita penggoda. Anggap saja ini untuk latihan kekebalan mentalmu, oke?"

Dave menegakkan kepala, mendengar kata wanita kesadarannya sedikit pulih. "Apa? Hei, tunggu ... ck! Sial!" serunya, rasa pusing yang menusuk kembali mengelayuti dirinya.

Sayang, ucapan Dave tidak digubris. Pria pirang itu sibuk memanggil taksi yang berada di seberang jalan, kemudian menghampiri Estelle dengan wajah penuh dengan senyum kemenangan. 

"See? Aku berhasil membujuk Dave. Aku juga sudah memanggil taksi. Jadi, tolong antarkan dia ke alamat ini. Ingat, manfaatkan waktu singkat ini untuk memuaskan rasa penasaranmu, oke?"

Estelle berkedip bingung. Semudah ini? Rasanya ada yang salah tetapi, ia tidak tahu apa itu. Sejak dulu, Estelle memiliki keyakinan, bahwa tidak ada yang bisa didapat dengan mudah!

Estelle berdeham pelan. "Eum, itu ... soal bayaran, be--"

"Jangan cemaskan itu dulu. Besok, aku akan mendatangimu lalu meminta bayaranku. Sekarang, pergilah, sebelum kesadaran Dave pulih. Kalau dia bertindak kasar ...." Pria itu mendekat dan berbisik di telinga Estelle. “Larilah secepat mungkin dan jangan menoleh ke belakang.”

Estelle mengerutkan kening seraya tertawa hambar. Berpikir kalau pria itu sedang bercanda. Tidak mungkin ‘kan Dave seseram itu. "Em, terima kasih," cicitnya, mengabaikan peringatan aneh dari si pria sambil mengulurkan tangannya. "Aku, Elle. Kamu?"

"Sam," balas Sam diakhiri dengan senyum yang memunculkan satu lesung pipit di sisi kiri. "Pergilah dan ingat, jangan menyentuh tubuhnya."

Memang aneh, Sam dan Dave, menurut Estelle keduanya sama-sama aneh dan misterius. Estelle mengangguk saja, biar urusannya cepat selesai. Lagi pula ia hanya ingin bertanya, mengobrol lebih ia butuhkan ketimbang sentuh menyentuh. 

Satu tangan melambai sedang satu lagi masuk ke saku celana, Sam melepas kepergian Estelle dengan senyuman manisnya.

"Aku akan menerima hukumanku nanti, Dave. Hanya ini yang bisa aku lakukan untukmu,” kata Sam pelan, kemudian menegadahkan kepala memandang langit New York yang menurunkan salju dengan cantik. “Tubuhmu memang penuh peringatan, ya? Tahu saja kalau hari ini turun salju,” lanjutnya dengan pandangan yang sulit ditebak.

Estelle yang sudah berada di dalam taksi memijat pelan keningnya. Pusing dengan hal-hal aneh yang muncul hanya karena sebuah cincin. Nah, bukan karena cincin melainkan karena rekan iblis satu kantornya!

"Pria aneh. Ah! Besok, bagaimana cara dia menemukanku? Nomor ponsel saja tidak ada," bisik hati Estelle, kemudian menggeleng, memutuskan untuk berhenti memikirkan itu, mungkin hanya basa basi saja.

Wanita itu membenarkan duduknya lalu menata rambut dan kembali mengikat asal. Iris aswadnya melirik pada Dave. Baru ini ia melihat seluruh wajah Dave dari dekat, sejak di diskotek Estelle hanya melihat Dave dari jauh, itu pun hanya memperlihatkan tubuh samping ataupun tubuh belakang.

Estelle mendebas gugup. Rasanya cangung. Dave asik memejamkan mata sambil bersedekap, terlihat sekali kalau pria beralis tebal dengan bulu halus di wajah itu tidak menghiraukan wanita di sampingnya.

Detak jantung Estelle bertabuh cepat. Bukan karena ia melihat rupa tampan di sampingnya, melainkan sungkan untuk bersuara. Namun, jika diam saja ia tidak akan bisa mendapatkan informasi apapun.

"Em, permisi ...." Dave diam. Meski telinganya menangkap suara Estelle. Namun, ia lebih memilih untuk mengabaikannya. Dave sedang menggerutu dalam hati, mendumal kalau besok ia akan memberikan pelajaran untuk Sam. Sudah tahu keadaannya sedang tidak stabil tetapi, malah berani menyodorkan wanita. 

Estelle menghela napas setelah semenit tidak ada jawaban. “Hei, kamu tidak apa-apa? Apa dia pingsan?” ucapnya. Meski begitu, ia yakin Dave itu tidak pingsan ataupun tidur karena, ia melihat jelas bola mata yang masih bergerak-gerak pelan di sana.

“Bisa kita bicara sebentar? Aku ingin bertanya sesuatu, tidak apa kalau itu hanya gurauan. Yang penting, jawaban yang aku inginkan keluar dari mulutmu ....”

Sunyi. Sang supir sampai melirik dari kaca kecil yang bertengger di depannya. Estelle mulai kesal. Padahal ia sudah mengatakan maksud tujuan yang menurutnya tidak sampai merugikan pria itu. 

“Dave ....”

Dave tersentak saat Estelle memanggil namanya dengan lembut. Debaran jantung dan denyut di kepalanya meningkat. 

“Jangan, tahan Dave. Kamu sudah merasakan hal yang lebih dari ini,” batin Dave, kedua tangan yang bersedekap itu semakin ia eratkan ke tubuh.

Sial! Dave membuka matanya. Menoleh tajam pada Estelle yang terkejut dengan gerakan dirinya. Rasa kesal langsung memuncak saat Estelle berani menyentuh lengannya. Mual! Rasanya ingin muntah!

“Kamu tidak apa? Wajahmu--”

“Turun.”

“Apa? Turun?” ulang Estelle, ia mengerti sekali kalau Dave mengusir dirinya. “Ingin aku turun di sini? Jangan bercanda!” lanjutnya melihat keluar jendela, salju mulai turun dengan deras. Ditambah, jalanan di sana terlihat menyeramkan. 

Dave menatap tajam Estelle, bibir tebalnya terlihat  pucat. Matanya juga sudah mengeluarkan guratan merah. Ia sedang berusaha menahan gejolak tidak wajar dari dalam tubuhnya. “Apa aku terlihat bercanda? Hentikan mobilnya dan keluar!”

“Tidak, jangan! Hei, aku sudah berbaik hati mengantarkan dirimu. Kalau kamu ingin aku turun, jawab beberapa pertanyaanku lebih dulu, setelah--”

“Ukh!” Dave meng-cover mulutnya. Mendengar kebawelan Estelle semakin membuat rasa mualnya bertambah. Panik. Dave memukul-mukul kursi supir, tanda agar pengemudi segera menghentikan mobilnya.

“Berhenti! Pak, cepat berhenti!” seru Estelle ikut panik saat melihat cairan mulai keluar dari sela jemari Dave. Argh! Ada-ada saja kelakuan orang mabuk!

Sang supir yang mengerti langsung menepikan mobilnya. Dave pun langsung berhambur keluar kemudian berjongkok di pinggir trotoar. Mengeluarkan semua isi perut yang tidak lain hanya berupa cairan. 

Estelle mendekat pelan, melihat Dave tersiksa dengan rasa mual yang hebat itu. “Apa dia belum makan?” batinnya saat melihat hanya air yang dikeluarkan. Tangannya dengan cekatan menepuk pelan punggung pria yang terlihat rapuh.

Mendapat sentuhan seperti itu, amarah Dave kembali memuncak. Urat-urat lehernya sudah menegang. Dengan cepat Dave menepis tangan Estelle kemudian bangkit dan mencengkeram leher wanita bermata almond tersebut.

Estelle terkejut dengan serangan tiba-tiba itu. Apa ia akan mati di tangan seorang pemabuk? Tidak mau! Wanita itu berusaha keras melepaskan tangan kekar Dave dari lehernya. Mata emerald yang menyalang tajam terlihat menggelap seakan tidak bisa melihat kalau apa yang sedang di genggamnya adalah leher dari seorang wanita. 

“Mati saja, dasar sampah!” tandas Dave penuh penekanan.

“Ukh! Tuhan, kenapa aku harus menerima perlakuan ini? Di mana salahku? Ayah, sepertinya, kematianku ada di tangannya,” batin Estelle, pasrah saat dirinya sudah mulai kesulitan mengambil napas. 

“Hei, bung. Hentikan! Lepaskan tangan ini, kamu bisa membunuh wanita ini! Sadarlah!” Sang supir yang awalnya enggan turun kini memutuskan untuk ikut campur. Siapa yang mau berurusan dengan orang mabuk bertemperamen kasar.

“Uhuk!” Estelle terbatuk setelah kungkungan kuat itu terlepas. Kedua tangannya gemetar memegang leher yang masih terasa sekali hangat genggaman Dave. Matanya sudah berair, ia mencoba mengambil udara yang tadi sulit ia hirup.

“Pergi. Pergi kalian semua!” teriak Dave, tangannya menggepal erat. Rasanya memuakkan. Lagi-lagi tubuhnya bertindak semaunya. Namun, mau bagaimana lagi? Dave tidak suka wanita! Baginya, wanita itu menakutkan dan menjijikan!

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status