"Saya terima nikah dan kawinnya Aleeya Lucia William binti Carson William dengan maskawin tersebut, tunai."
"Bagaimana para saksi, sah?"
"Sah!"
Ucapan itu selalu terngiang dalam kepala seorang gadis manis, Aleeya Lucia William berusia dua puluh tahun. Kejadian mengenaskan beberapa jam lalu, telah merenggut nyawa sang ayah sekaligus berakhirnya status lajangnya. Di depannya seorang pria maskulin dengan tubuh proporsional sedang berbincang dengan beberapa pria dengan tubuh serupa. Pria itu adalah Adrian Kawena Willson, Agen Khusus berusia tiga puluh tahun yang baru saja sah menjadi suaminya.
"Permisi, Dok. Pimpinan rumah sakit meminta Anda untuk ke ruangannya." Seorang suster muda berparas cantik menghampiri Aleeya yang tengah duduk di depan ruangan.
"Baik, Sus terima kasih." Aleeya menatap lembut suster.
"Sama-sama, Dok." Suster berlalu meninggalkan Aleeya setelah selesai berbicara.
Aleeya melirik sekilas pada Adrian yang juga menatapnya, kemudian beranjak dari duduknya menuju ruangan pimpinan rumah sakit tempatnya bekerja. Setelah melewati dua lantai dengan menggunakan lift, Aleeya sudah sampai pada tujuannya. Seperti biasa, ia tidak perlu mengetuk pintu terlebih dahulu jika pimpinan memintanya untuk datang.
"Dev," ucap Aleeya pada pria yang sedang duduk di kursi kebesarannya.
Davendra melirik Aleeya dengan mata tajamnya. "Duduklah," pinta Davendra.
Aleeya menuruti perintah Davendra dan duduk di depan pria tampan dengan alis tebal dan rahang yang tegas. Ia menundukkan kepala ketika Davendra menatap dirinya dengan intens.
"Aku turut berduka atas meninggalnya Komandan Carson," timpal Davendra dengan nada prihatin.
Davendra berjalan dan berdiri di belakang Aleeya. Tangan berototnya melingkari leher Aleeya. Dalam hitungan detik tubuh Aleeya sudah menghadap Davendra akibat kursi yang diputar pria itu. Davendra mencondongkan tubuhnya dan bertumpu pada sandaran siku. Netra keduanya saling beradu dengan pikiran masing-masing.
"Kau tetap milikku Aleeya dan hanya akan menjadi milikku," bisik Davendra di depan wajah Aleeya yang menegang.
Cup! Bibir lembut Davendra mendarat di bibir ranum Aleeya. Kedua pasangan itu saling bercumbu mencurahkan isi hati mereka. Aleeya melingkarkan tangannya pada leher Davendra dan menikmati ciuman lembut kekasihnya.
Davendra Arsa Brawijaya, pria berusia dua puluh enam tahun. Anak tunggal dari keluarga Alexander, pemilik rumah sakit besar di dalam negeri maupun luar negeri. Pria tampan dan kaya raya tujuh turunan itu memiliki sikap posesif terhadap wanita yang ia cintai. Davendra telah menyatakan cintanya pada Aleeya dua tahun yang lalu dan resminya hubungan mereka. Berkat Davendra juga, Aleeya dapat bekerja di rumah sakit Brawijaya tanpa melewati seleksi yang ketat. Aleeya bekerja sebagai dokter pendamping dan tentunya masih menjalani pendidikan kedokteran di Universitas tersohor di Kota Bandung.
"Tapi, Kak, aku ...," ucapan Aleeya terpotong akibat jari telunjuk Davendra yang pria itu letakkan di bibir ranum Aleeya.
"Aku tidak peduli dengan statusmu sekarang. Aku akan terus mempertahankan hubungan kita!" sela Davendra dengan membelai rambut panjang Aleeya yang tertata rapi.
Adrian berkali-kali menghubungi nomor seseorang yang belum ada jawaban. Wajahnya tampak gusar memikirkan perempuan yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Gadis itu seharusnya berada di sini, di saat mereka sedang berduka, tetapi entah kemana ia pergi setelah seorang suster menghampirinya.
"Di mana istri lo?" tanya seorang pria yang baru duduk di samping Adrian.
Adrian mengedikkan bahu merespon Kenzo, rekan kerjanya.
"Gimana Sandera?"
"Maksudnya?" tanya Adrian dengan sebelah alis terangkat, mendengar nama wanita yang tidak asing.
"Hubungan lo sama Sandera?" Kenzo masih fokus pada layar ponselnya tanpa melihat lawan bicaranya.
"Gak ada hubungan khusus selain untuk bersenang-senang," jawab Adrian datar.
"Bukannya dia serius sama lo, yah?" Kenzo mengalihkan tatapannya pada Adrian.
"Dia, bukan gue!" sarkas Adrian sambil memalingkan wajahnya ke Kenzo.
"Paman Kenzo." Sapaan familiar itu mencuri perhatian dua pria yang berdebat kecil.
Aleeya bersama Davendra berdiri berdampingan, dengan wajah yang tampak bahagia seperti muda-mudi yang sedang jatuh cinta.
"Hai, Ale," balas Kenzo dengan cengiran khas pria itu.
"Dari mana saja, kamu?!" Ketus Adrian menatap gadis yang tampak tak berdosa.
"Saya menyuruh Aleeya ke ruangan saya. Jadi, jika ada masalah urusannya sama saya!" balas Davendra menatap tidak suka pada Adrian.
"Untuk apa kau menyuruhnya?" tanya Adrian yang berdiri dari duduknya.
"Urusan pasangan kekasih." Davendra mengatakannya dengan yakin. Tatapannya tepat pada mata Adrian dan sudut bibirnya terangkat.
Adrian menatap tajam Davendra kemudian beralih pada Aleeya yang sedang menunduk. Terlihat dengan jelas tanda merah pada leher Aleeya yang tertutupi kerah kemeja, membuat Adrian meradang.
"Brengsek, lo!" geram Adrian mencekram kerah baju Davendra.
Aleeya yang berada tepat di samping Davendra terkejut, hingga memelototkan matanya pada dua pria yang saling mencekram baju bagian leher lawan.
"Apa masalahmu, Bung?" tanya Davendra dengan santai sambil mencodongkan wajahnya.
Bugh! Pukulan yang tak di sangka berhasil membuat tubuh Davendra tersungkur. Darah segar mengalir dari sudut bibir pria itu.
"Stop!" pekik Aleeya saat Adrian menarik kembali kerah, Davendra.
Kenzo dengan cepat menarik tubuh Adrian agar menjauh. Terlihat beberapa orang tengah memperhatikan mereka seperti tontonan gratis.
"Tenang, Man! What's your problem?" Kenzo mencoba menenangkan Adrian, yang ia sendiri tidak tahu penyebab nya.
"Kak, Dave. Kakak gak apa-apa?" tanya Aleeya yang khawatir.
Aleeya membantu Davendra berdiri, kemudian mengambil sapu tangan dari saku celananya. Ia mendongakkan kepalanya lalu mengusap pelan sisa-sisa darah di sudut bibir kekasihnya.
"Kau, masih membantunya?" tanya Adrian dengan nada sindiran.
"Ale," panggil Adrian.
"Aleeya."
Aleeya mengabaikan Adrian yang terus memanggil namanya. Namun, ia tetap fokus pada Davendra, membersihkan luka pada pria itu. Hatinya merasa sangat kesal pada perlakuan Adrian yang tidak masuk akal.
"Aleeya Lucia Willson!" bentak Adrian mengejutkan orang-orang sekitarnya.
"Kau tidak berhak merubah namaku!" protes Aleeya dengan memicingkan matanya pada Adrian.
"Aku jelas berhak karena aku suamimu!" lantang Adrian sambil menunjuk Aleeya.
"Saya peringatkan, jangan ganggu istri saya!" tegas Adrian dengan penuh penekanan.
"Cukup, Paman!" Aleeya menatap Adrian dengan mata yang tampak berkaca-kaca.
Aleeya merasa malu dengan kejadian saat ini. Ditambah duka yang masih baru dan belum terobati. Perasaan bersalah seketika ikut menghampirinya. Bayangan saat dirinya dan Davendra meresmikan hubungan mereka lalu bayangan ijab qobul dirinya dengan Adrian muncul secara bergantian. Adrian menarik paksa tangan Aleeya. Aleeya yang tersadar dari lamunannya menghentakkan tangannya dari genggaman Adrian. Namun, tidak seperti yang Aleeya harapkan. Justru genggaman itu semakin erat.
"Tolong lepaskan saya!" sentak Aleeya dengan berontak.
Adrian menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Aleeya. Ia mendekatkan tubuhnya pada Aleeya sehingga terasa hembusan nafas keduanya, dengan tatapan merendahkan ia berkata, "Saya jijik melihat mu seperti ini." Tangannya menyingkap sedikit kerah kemeja Aleeya.
Aleeya yang mengerti maksud dari Adrian, tertunduk lemah dan mengikuti Adrian tanpa memprotes lagi.
Adrian mengguncang pelan tubuh Aleeya yang baru saja ia letakkan di kasur. Betapa terkejutnya ia ketika menemukan gadis itu tergeletak di depan pintu kamar mandi. Tidak ada yang tahu sudah berapa lama Aleeya tidak sadarkan diri, karena ia sedang bekerja dan tidak ada seorang pun di apartemennya. Seminggu yang lalu Adrian membawa Aleeya ke apartemen miliknya usai pemakaman. Seminggu yang lalu juga ia tidak lagi berbicara dengan Aleeya. Gadis itu selalu menutup diri dan tampak uring-uringan. Adrian yang tidak ingin ambil pusing membiarkannya begitu saja dan tetap menyiapkan kebutuhan Aleeya. "Aleeya, bangun! Aleeya bangun, Sayang!" pekik Adrian sambil menepuk lembut pipi Aleeya. Raut wajahnya tampak khawatir, karena gadis itu belum membuka matanya. Sayang? Yah, Adrian biasa menggunakan panggilan itu bahkan sebelum mereka menikah. Adrian sudah menganggap Aleeya seperti kepona
Seorang pria berbalut kaos tipis dan celana pendek sedang berkutat di dapur. Gerakannya cekatan dan terampil. Di atas meja sudah terhidang jenis makanan yang dapat menggelitik penciuman dan membangkitkan selera makan. Sesekali ia melirik lorong kecil yang terdapat dua pintu saling berhadapan. Krek! Suara pintu terbuka menjadi perhatian pria yang sedang memindahkan hidangan ke meja makan minimalis. "Aleeya, kemarilah kita makan," pinta pria itu pada gadis yang baru saja keluar dari kamarnya. Gadis berpiama itu mendekat dengan senyum yang mengembang. "Paman memasak semua ini?" tanya Aleeya tampak kagum. Adrian mengangguk dan menampilkan senyum. Aleeya merasa malu dan minder, karena selama ini ia hanya bisa memasak air dan mi instan. "Duduk!" Aleeya terkejut ketika Adrian sudah menarik kursi untuknya. "Makasih,
Aleeya sedang berdiri di depan cermin yang memperlihatkan pantulan dirinya secara menyeluruh. Ia tampak cantik menggunakan kemeja berwarna merah muda dan rok sepan pendek berwarna putih. Rambut panjangnya ia biarkan terurai. Tidak lupa riasan tipis pada wajah agar terkesan natural. "Aku sudah tidak sabar bertemu dengan Dave," gumam Aleeya, tersenyum. Ia sangat merindukan kekasihnya. Sudah seminggu lebih mereka tidak bertemu. Dave juga tidak pernah menghubungi atau membalas pesan-pesan Aleeya. Tok! Tok! Tok! Aleeya membuang nafas pelan sambil melirik ke pintu yang di ketuk. Ia berjalan santai menuju pintu sambil menenteng hand bag sewarna dengan baju. Krek! Pintu terbuka setelah Aleeya menurunkan handel. "Aku sudah membuat sarapan. Kamu makan dulu, baru kita berangkat," pinta Adrian yang sudah rapi dengan se
Aleeya mendorong tubuh Dave. Kali ini Dave menuruti Aleeya, ia tidak lagi menahan Aleeya berada dalam dekapan. "Paman …." Aleeya memutar tubuh yang masih terkejut. "Pulang!" tegas Adrian. Adrian menjadi saksi perseteruan antara Aleeya dan Dave. Susah payah ia menahan emosi untuk tidak menghajar Dave saat ini juga. Padahal ia bisa saja melakukan tindakan di luar batas pada Dave, jika saja tidak ada Aleeya. Tidak sia-sia ia mencari keberadaan Aleeya untuk mengantarkan barang milik Aleeya yang tertinggal. "Kemari!" pinta Adrian yang masih berdiri tegap di ambang pintu dengan kedua tangan ia masukan dalam saku celana. Aleeya menunduk, perlahan ia berjalan menuju Adrian. Sadar tidak memiliki alasan untuk tetap berada di sini dan Adrian satu-satunya tempat ia kembali untuk melanjutkan hidup. "Aleeya …," lirih Dave. Panggilan itu m
Orang-orang berlari dengan histeris, saat menyadari diri mereka dalam bahaya. "Paman," bisik Aleeya sambil mendongak menatap Adrian yang sedang mendekapnya. Adrian memutar tubuh mereka, sehingga tubuh Aleeya berada tepat di pintu bagasi mobil yang memiliki desain cukup besar untuk berlindung. Adrian tahu, serangan itu berasal dari gedung rumah sakit yang berada tepat di belakang mereka, namun tidak tahu pasti di mana posisi penyerang itu. "Aleeya, apa kau takut?" tanya Adrian sambil membawa tubuh mereka untuk merunduk. Dor ! Dor ! Adrian menggerakan tangannya pada beberapa orang yang juga berada di balik mobil, berdekatan dengan dirinya. Adrian memberi isyarat agar mereka yang terjebak di halaman parkir untuk terus menunduk dan tetap tenang. "Aleeya," panggil Adria
Di kursi mobil dengan pintu terbuka, Aleeya duduk melamun. Pikirannya benar-benar kacau setelah kejadian barusan. Antara memikirkan Dave yang telah mengkhianatinya dan Adrian yang sedang mempertaruhkan nyawa di dalam gedung rumah sakit. "Aleeya …" Aleeya tersentak ketika Dave menghampirinya dengan wajah penuh luka. Bahkan di kemeja yang ia gunakan terdapat bercak darah akibat pertarungan tadi pagi. "Kak, Dave. Ngapain ke sini?" tanya Aleeya dengan suara bergetar. "Apa kamu baik-baik saja? Aku mengkhawatirkan mu," jawab Deve dengan menjaga jarak dari Aleeya. "Mendingan kakak pergi deh. Aleeya gak mau ngeliat Kak Dave lagi!" Emosi Aleeya mulai memuncak. "Aku cuma mau memastikan kondisi kamu, Aleeya," balas Dave. "Pergi!" bentak Aleeya menahan air mata. Dave yang sadar Aleeya akan menangis, memajukan diri mendekati Aleeya. "Maaf, Tuan, lebih baik anda pergi. Tidak aman berada disini. Hanya orang-o
"Uncle, aku hanya jalan-jalan ke Mall, kau tidak usah mencemaskan ku.""....""Aku sudah mengerjakan pekerjaan rumah.""….""Kan aku sudah bilang, aku tidak mau pakai jasa pembantu. Aku ingin mandiri."….""Aku senang melakukannya. Dengan begitu aku punya kegiatan saat di apartment.""….""Terserah uncle saja asal tidak menganggu pekerjaan uncle.""….""Oke … baiklah.""Byeee …." Aleeya memutuskan sambungan telepon. Ia sudah terbiasa dengan Adrian yang selalu menelepon di saat mereka tidak bersama. Padahal, Adrian hanya pergi bekerja di pagi hari dan pulang ketika sore. Setelah dua bulan berlalu, hubungan Adrian dan Aleeya semakin membaik. Gadis itu mulai belajar banyak hal, mulai dari membereskan apartment, memasak, dan berbelanja, meskipun masih banyak
Adrian mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru resto untuk mencari keberadaan seseorang.”Uncle.” Suara familiar menarik perhatian Adrian.Adrian kebingungan, menatap seorang gadis yang melambaikan tangan ke arahnya. Gadis itu berambut hitam sebahu dengan poni tipis menutupi kening. Ia menggunakan dress tanpa lengan berwarna putih dengan corak bunga-bunga. Adrian sempat terpana dengan sosok itu sampai bayangan Aleeya menyadarkannya.Adrian dengan cepat mengalihkan tatapan ke ponsel. Ia tidak ingin tergoda dan terjerumus ke hal yang salah. Hubungan dirinya dengan Aleeya baru saja membaik. Dan mereka baru saja memulainya dari awal. Bahkan untuk kontak fisik pun mereka belum pernah melakukan. Ia menunggu sampai Aleeya siap.”Uncle!”Adrian di kejutkan oleh gadis yang melambai padanya tadi. Kin