Ternyata, tampak atau tidaknya batang hidung lelaki yang disebut Mr. X itu sama saja. Sama-sama kiamat bagi Cherie.
Cowok yang kini berdiri di hadapannya itu menatapnya dengan dingin. Lalu mengeluarkan suara yang tak kalah dingin, “Selamat malam” ucapnya sebelum melangkah gusar menuju meja.
Setelah duduk dengan kaki menyilang, ia menoleh pada Cherie dengan tatapan datar. “Sudah mau pergi, nona? Jika ya, silahkan.”
Hah? Apa? Cowok itu mengusirnya? Setelah membuatnya menunggu hampir satu setengah jam?
Ah, sekarang Cherie mengerti kenapa si Tata-tata itu menyuruhnya bersabar. Ternyata benar. Belum apa-apa, temannya itu sudah SANGAT menyebalkan.
Walaupun kesal bukan kepalang, bukan Cherie namanya kalau kalah sebelum perang. Dengan semangat “eyes on the prize”, Cherie bertekad untuk tetap melanjutkan pertunjukan.
“Selamat malam, Mr. X,” sapanya lembut.
Alih-alih menjawab, Mr. X hanya menatapnya kesal, lalu membolak-balikan menu tanpa selera. Gelagatnya yang ogah-ogahan memperkuat dugaan Cherie kalau makan malam ini dilakukan atas dasar pemaksaan. Dan Cherie semakin puas dengan wajah kesal yang cowok itu tampilkan.
Setelah memesan makanan, pelayan dengan name tag “Herman” itu pamit undur diri, membiarkan ruangan itu kembali dalam mode hening.
Satu menit, dua menit, sepuluh menit, mereka masih saling diam-diaman. Di luar pun hujan semakin deras, membuat suasana di dalam ruangan itu berlipat kali lebih mencekam. Aura permusuhan diantara mereka pun seperti didramatisir oleh bunyi guntur yang sesekali menggelegar.
Di bawah meja, Cherie sudah menusuk-nusukkan jari dengan kukunya, mulai menyesali keputusannya melanjutkan makan malamnya dengan cowok psikopat.
“Well,” Cherie berjingkat kala suara rendah Mr. X tiba-tiba membelah keheningan.
“Langsung ke intinya saja. Sejujurnya, saya tidak mengharapkan ini,” Ucap lelaki itu sambil menunjuk meja dengan jari.
“Saya tahu,” Jawab Cherie, dengan senyuman yang dipaksakan.
Lelaki itu menatap Cherie dengan satu alis terangkat. “Kalau sudah tahu, kenapa masih dilanjutkan?”
“Disini saya hanya melaksanakan tugas,” Cherie mengangkat bahu sambil tersenyum manis bak tak punya dosa. Walaupun gentar, tetapi Cherie harus tetap terlihat tegar.
“Atau anda mau saya pergi sekarang, Mr. X?”
Lelaki itu tak menjawab, masih mempertahankan ekspresi dinginnya. Walaupun masih acuh, dia sedikit melunakkan tatapannya. “Setelah makan malam. Dan katakan pada siapapun yang membayarmu kalau kencan ini menyenangkan,”
Cherie tersenyum manis lalu mengangguk, “Baiklah,”
“Kau tahu siapa yang mengirimmu kesini?”
“Ya.” Cherie mengangguk, “Namanya Pak Tata,”
Cherie terkejut kala Mr. X tiba-tiba tertawa. Entah bagian mana yang menurutnya lucu, tapi cowok itu tertawa kecil sambil mengulang ucapan Cherie, “Pak Tata,”
Dasar cowok sakit jiwa. “Kenapa, Pak?” Alih-alih mengatainya, Cherie memilih bertanya.
“Tidak apa-apa.” lelaki itu menggeleng sambil mengusap mata. “Katakan pada Tata, kalau kencan ini sukses. Saya tidak mau membuatnya kecewa,” ujarnya lagi.
“Baik, Pak.”
“Jangan panggil saya “Pak”, saya bukan bapakmu,” Kata cowok itu yang mendadak jadi sensi lagi. “And it’s Ax, not Ex,”
Cherie mengangguk patuh, “Baik, Mr. Ax,”
“Just Ax. Nggak usah pakai embel-embel lain.” Pungkas cowok itu dengan suara dingin. “Dan boleh saya minta satu hal lagi?”
“Ya?”
“Jangan berlagak manis di depan saya. Kamu akan tetap mendapatkan bayaranmu, jadi tenang saja,”
Cherie mengerjap bingung. “Tapi disini saya-”
“Saya mengerti disini kamu hanya bertugas. Sama. Saya disini juga karena dipaksa. Jadi, kita berdua tahu kalau disini kita sama-sama terpaksa. So, let’s just cut the crap out of this, shall we?”
Mendengar ucapan itu, wajah sok polos Cherie luntur perlahan, berganti jadi sebuah seringai. “Fine,” Ucapnya. Tentu saja dia sepakat. Dia juga muak beramah-tamah dengan lelaki menyebalkan ini.
Ax tersenyum puas. “Good,”
“Jadi, katakan padaku, nona. Berapa harga yang ditawarkan teman saya untuk makan malam sialan ini?”
“Cukup banyak untuk membuat saya rela membuang satu setengah jam untuk menunggu anda, Tuan.” Cherie menjawab datar, walaupun sebenarnya ingin memaki.
Lelaki itu mencondongkan badannya ke depan, mata cokelatnya melebar, “Sudah saya bilang, jangan panggil saya dengan-“
“Oke, kalau begitu, bagaimana kalau sayang? Atau daddy?” Tanya Cherie dengan santai, memotong ucapan lelaki itu sebelum menyentuh titik.
“Jangan main-main, Nona.” Cowok itu menggeram.
“Tapi anda sudah lebih dulu main-main dengan waktu saya, Tuan. Dan sejak tadi, anda sudah bersikap menyebalkan. Masa, saya tidak boleh membalas? Lagipula, tadi anda sendiri yang menyuruh saya untuk tidak berlagak manis di depan anda. Lupa?”
Revenge! Counter attack! Sekarang, cowok itu yang dibuat melongo dengan kata-katanya. Cowok ini memang perlu dikasih pelajaran. Sesuatu di dalam otaknya perlu DITATAR!
“Tata masih teman saya, kalau kamu lupa.” Ucap lelaki itu dengan nada mengancam.
“Bukannya anda menyuruh saya mengaku pada Pak Tata kalau kencan ini sukses besar? Saya juga memegang kunci mati bapak, kalau bapak lupa.” Cherie mengancam balik.
Sial. Gadis ini CERDAS.
Untunglah, perang dingin itu di jeda iklan di waktu yang tepat. Sebelum keduanya adu jotos betulan, Herman datang membawa troli berisi pesanan.
“Filet de Boeuf À La Bordelaise, L'entrecôte-“
“Makasih!” ucap Cherie dan Ax bersamaan, saling beradu tatap dengan sarat kebencian. Tanpa mengindahkan usaha Herman yang sudah menyebut menu Prancis itu dengan susah payah.
Setelah meletakkan pesanan dan memastikan tidak ada lagi yang dibutuhkan, Herman pun pamit undur diri lagi. Yang artinya, babak baru perang pun dimulai lagi.
“Aku antar kamu ke rumah,”Sebenarnya, tawaran Ax itu seperti oase di tengah kekeringan. Seolah Tuhan mengulurkan tangan melalui Ax untuk memberinya pertolongan, tepat seperti yang ia butuhkan.Namun, disaat yang sama, Cherie jadi bingung dan panik sendiri. Mana mungkin dia bisa pulang ke rumah dengan penampilan seperti ini?!Anggaplah, sekarang para penghuni rumah sudah tidur. Tapi, kan, untuk bisa sampai rumahnya, dia harus melewati portal yang dijaga satpam. Biar bapak-bapak begitu, yang namanya gosip kan, tetap jalan.Ingat insiden Dewi yang kegep enak-enak sama pacarnya? Ya, itulah salah satu ulah para satpam-satpam itu. Kalau kali ini dia kegep pulang tengah malam dengan settingan seperti ini, ia yakin besok gosipnya sudah VIRAL sampai ke penjuru RT.Jadi, pertanyaannya, dia harus kemana sekarang?“Ax, aku nggak bisa pulang ke rumah dengan kondisi seperti.. Ini,” Cherie menunjuk pakaiannya dengan nada putus asa. Dia berpikir sejenak sebelum menemukan secercah ide brilian di kepa
Tidak ada ampun bagi Vena, resepsionis yang judes luar biasa itu. Setelah mendengar penjelasan dari ketiganya, Ax langsung menghubungi HR dan meminta Vena dipecat saat itu juga. Tidak terkecuali Pak Arman, yang ikut terkena sial akibat ulah Vena.Cherie shock berat. Selain pertemuannya dengan Ax yang tidak disangka-sangka, dia juga tidak menyangka Ax memiliki wewenang untuk memecat kedua karyawan itu. Memangnya dia siapa? Apakah dia semacam pekerja yang punya kedudukan tinggi disini? Atau… jangan-jangan Ax pemilik rumah sakit itu?“Ampun, Pak! Tolong jangan pecat saya. Nanti, anak-anak saya makan apa, Pak?” Kali ini Vena menangis dan memelas. Pak Arman ikut bersuara, “Saya sudah kerja disini 10 tahun, Pak. Saya sudah menganggap rumah sakit ini sebagai rumah kedua saya. Disini kami sudah seperti keluarga, Pak.” Cherie yang semula kesal, kini malah jadi iba. Dia menyesal masalah ini bisa jadi panjang dan merembet kemana-mana. Menurutnya, Ax itu berlebihan. Kenapa mereka harus dipecat
Malam itu Cherie berjalan menyusuri gelap malam tanpa arah. Sudah tidak perlu ditanya lagi seberapa kacau keadaanya. Matanya sudah sembab. Makeup-nya yang semula paripurna kini luntur berantakan. Belum lagi hatinya yang hancur tak karuan. Lebih tepatnya, kini penampakannya seperti pelacur yang dibuang setelah dipakai asal-asalan. Sialnya, baju ganti yang dipakainya dari rumah tadi masih ada di mobil Rio. Ponsel dan tasnya pun juga tertinggal di rumah itu. Tapi, mana mungkin dia tiba-tiba kembali lagi setelah semua yang ia alami? Cherie lebih memilih mati daripada kembali ke rumah laknat itu. Beruntungnya, tas tangan yang ia bawa itu hanya berisi makeup, parfum, sisir, dan nggak ada yang penting seperti dompet atau yang lainnya. Namun tetap saja, ponsel dan bajunya kini yang menjadi masalah. Hidup tanpa ponsel tentu membuatnya hilang arah. Dia jadi tidak bisa menghubungi siapapun untuk meminta bantuan, memesan taksi online untuk pulang, atau bahkan membayar untuk apapun yang
Cherie teringat pada Dewi, anak tetangganya yang pernah menggegerkan satu RT karena kegep enak-enak di mobil sama pacarnya. Gosipnya kemudian merebak kemana-mana, membuat panik para ibu-ibu yang punya anak perempuan, tidak terkecuali Ibunya Cherie, Cecilia Norai, yang setelah mendengar kabar itu jadi parno habis-habisan.Saat itu juga, Cecilia langsung membuat sesi khusus untuk mengkhotbahi kedua anak gadisnya,“Jangan pernah merendahkan harga diri dan kehormatan kalian sebagai perempuan. Jangan jadi cewek murahan yang dengan mudah bisa dimanfaatkan. Mama tahu ini kuno banget, tapi ketika suatu hari ada cowok yang minta ciuman atau pegang-pegang, langsung tinggalkan! Jangan mau diiming-imingi cinta. Yang kayak begitu itu namanya nafsu, bukan cinta. Justru, kalau mereka benar-benar cinta sama kalian, mereka nggak akan merendahkan atau memanfaatkan kalian. Kalau mereka beneran sayang, mereka seharusnya menjaga kehormatan kalian,”“Cherie, Celine, pada saatnya nanti mungkin kalian akan
“Nggak ada yang boleh keluar sampai dia mendapat giliran,” Jason menunjuk Cherie beranjak dari pangkuan Rio. “Sorry, tapi memang begitu aturannya. Right, guys?” Sahutnya lagi sambil mencari pembenaran pada teman-temannya. Tentu saja, para keparat itu mengangguk mengiyakan. Mau tidak mau, Cherie kembali duduk diatas pangkuan Rio lagi. “Setelah mendapat giliran, kita baru bisa keluar dari sini,” Bisik Rio pada Cherie.Cherie menggeram, menahan diri untuk tidak menjambak cowok itu. Sudah tahu teman-temannya itu sakit jiwa, kenapa juga masih ditemani? Dan permainan ini. Kalau sejak awal dia tahu permainan itu bisa jadi segila ini, kenapa dia nggak ngajak cabut dari tadi? Apalagi tadi Cherie juga sudah memberi kode untuk mundur teratur, tapi si sok jagoan itu malah mengabaikannya. Sekarang, kalau sampai benda laknat itu sampai mengarah pada salah satu atau kedua dari mereka, kan yang paling dirugikan adalah Cherie!Jason memutar spinner itu lagi. Dan kali ini, anak panah itu berhenti pa
“Sayang,” Cherie menyerahkan gelas berisi sampanye itu pada Rio. Lalu, dengan SANGAT TERPAKSA, mengikuti permintaan cowok itu untuk duduk di atas pangkuannya. Sedetik kemudian, orang-orang di dalam ruangan itu ramai menyapa sepasang kekasih yang baru datang itu. “Sabrina!” “Jeffrey, my man!” “Hi, guys!” Sapa cewek itu sambil cipika-cipiki dengan teman-temannya, sebelum menyalami pasangan yang baru tunangan itu. “Congratulations, love birds!” Janis, si calon mempelai perempuan yang punya hajatan itu membalas, “Thanks, Sab. Tapi, bukan cuma kami yang love birds disini. Say congrats untuk Rio dan tunangannya, Jasmine!” ucap cewek itu sambil menunjuk Rio dan Cherie dengan suara sekeras toa masjid, seakan sengaja membuat tontonan menarik disini. Teman-temannya pun ikut teriak menyoraki. Sabrina, target operasi mereka malam ini, menatap ke arah Rio dan Cherie dengan tatapan sinis. Lalu, matanya berhenti berhenti untuk menguliti Cherie dari kepala sampai kaki. Sambil tersenyum miring