Share

Lima

Risa menoleh menatap Vai yang kini menyengir jahat di samping wajahnya.

"Sebenarnya aku hanya bermain-main saja. Namun, tak kusangka kamu terpancing amarah. Oh, iya, kau tahu aku melihat segalanya kemarin. Kau mungkin tak menyadariku sembunyi di balkon kamarmu!"

Vai memundurkan badannya, tangannya terangkat menampar pipinya sendiri. "Kau melakukan itu di wajah Dilger, kan? Hahahah!" Vai bertepuk tangan.

Risa kembali bergeming.

"Oh, iya, lalu setelah itu kalian baikan, kan? Padahal aku masih ingin melihat kalian berduel lebih lama." Tubuh Vai merosot, lalu kembali menatap Risa diikuti senyumnya.

"Mau lihat sesuatu?"

Tanpa menunggu persetujuan Risa, dia bangkit menuju nakas samping tempat tidurnya, membuka satu per satu lacinya. Namun, tak menemukan benda yang dicarinya. Vai mematung sebentar, memikirkan dimana dia meletakkan benda itu.

"Ah, di sana kau rupanya," ujarnya lalu menarik sebuah tablet yang tertutupi pakaian di atas ranjang. Dia kemudian berlalu menuju hadapan Risa. Namun, berbalik lagi menarik kursi riasnya hingga terdengar suara memilukan gesekan kaki kursi besi dengan lantai.

Vai duduk di kursi tepat dihadapan Risa yang terduduk di lantai, layaknya majikan dan pembantunya. Vai menyilang kaki, jemarinya menari-nari di atas layar tablet. Tak lama kemudian, dia membalikkan layar tablet menghadap wajah Risa.

"Kau masih memercayai ucapannya?" Vai menyungging senyum.

Dada Risa kembali terombang-ambing melihat video berputar di layar tablet. Terlihat Dilger mencium rakus leher seorang wanita yang menangis. Kau tahu siapa wanita yang dicium Dilger? Dia Vai. Wanita yang kini tersenyum sinis menatapnya.

Risa menepis kuat tablet itu dari hadapannya sehingga terpelanting di lantai.

"Kau lihat 'kan apa yang dilakuka–"

"Cukup!" teriak Risa. Matanya memerah dengan gigi bergemertak, dia mendongak menatap Vai. Lalu, tangis Risa meluruh.

"Ku mohon, hentikan. Ku mohon!" lirih Risa dengan wajah menunduk.

Vai menarik sudut bibirnya ke atas, dia menunduk menarik dagu Risa. Vai menampakkan muka belas kasih melihat linangan air mata Risa.

"Mana yang lebih menyakitkan? Di bohongi suami tercinta atau–"

Ucapan Vai terpotong dengan tamparan keras di pipinya dan terasa denyut di bibirnya. Vai mengusap sudut bibirnya dan mendengus kuat.

"Tamparanmu belum cukup!" Vai menoleh cepat menatap nyalang wanita dihadapannya yang membuat sudut bibirnya berdarah. Vai meludah ke lantai, melihat liur dan darah bercampur.

Risa masih menangis di depannya. Namun, sorot matanya menatap Vai dengan tajam.

Vai menangkap dagu Risa, kuku-kukunya menekan keras rahang wanita itu. Risa menggelengkan kepala melepaskan diri, tapi cengkraman Vai begitu kuat di dagunya.

"Kau memang tak sabaran, Risa! Kau tahu, aku memiliki tawaran menarik andai saja kau tak memotong ucapanku!"

Risa meringis saat kuku Vai menancap dalam kulit wajahnya.

"Vai, kau ada di dalam?"

Vai menoleh ke arah pintu, lalu berbalik menatap Risa. Dia melepas cengkraman tangannya dengan menghempas wajah Risa ke samping.

"Kau harus sembunyi," ujar Vai membantu Risa berdiri, lalu menyeretnya masuk ke lemari pakaiannya.

Risa hanya terdiam saat tubuhnya diseret. Sebelum pintu lemari ditutup, dia mendengar kekehan kecil Vai, dan gelap menyergap.

Vai menatap pantulan dirinya di cermin, umpatan kecil lolos keluar dari mulutnya melihat sudut bibirnya terbelah. Kemudian, dia buru-buru membuka pintu yang sudah diburu ketukan.

"Dari mana saja kamu?" tanya Dilger.

Vai melontarkan senyum manis kekanak-kanakannya. "Aku baru saja keluar dari kamar mandi," bohongnya.

Dilger manggut-manggut. "Kau tak mempersilakanku masuk?"

"Ah, iya, maaf!" Vai membuka lebar pintu kamarnya.

Dilger tercengang melihat isi kamar Vai terubrak-abrik.

Vai menyengir, lalu melintas dihadapan Dilger untuk mengalihkan tatapan pria itu kepadanya.

"Kau ingin masuk atau tidak?"

Garis mata Dilger melengkung seiring senyumnya melebar, dia mengelus pucuk kepala Vai dan berlalu masuk.

"Apa yang terjadi dengan kamarmu?" Dilger menyingkap pakaian yang menutupi dudukan sofa.

Vai menggembungkan pipi, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Aku ingin memperbaiki isi lemariku, tapi berakhir seperti ini."

Dilger bangkit dari duduknya. Vai mengerutkan kening bingung melihat pria itu memungut satu per satu pakaiannya.

"Kalau begitu, aku ingin membantumu merapikannya."

Vai membulatkan mata melihat Dilger menuju lemari dimana Risa bersembunyi di dalamnya. Vai sontak berlari menghadang jalan Dilger.

"Aku akan membereskannya sendiri." Vai mengambil alih pakaiannya di tangan Dilger.

"Kau tentu tak bisa menyelesaikannya dalam satu jam saja." Dilger menepis badan Vai dan kembali melanjutkan langkah.

Di dalam lemari itu, Risa membekap mulutnya kuat. Bisa gawat jika Dilger mendapatinya.

Vai menangkap tangan Dilger sebelum menyentuh tarikan lemari, lalu membawa tangan Dilger bertapak di pinggulnya.

"Aku ingin membahas sesuatu." Senyum Vai terukir tipis, tiba-tiba terlintas ide dalam kepalanya.

"Bagaimana Risa sekarang? Apa dia masih mencurigai kita berdua?" tanya Vai dengan nada sedikit keras.

Dada Risa kembali berpacu mendengar pertanyaan Vai, dengan pelan dia memajukan wajahnya, mendekatkan daun telinganya ke pintu. Ini kesempatan bagus baginya untuk membuktikan siapa kendati yang berbohong; Vai atau suaminya.

Dilger menautkan alis, lalu tawanya berderai. "Kenapa kau bertanya?"

Vai mengerucutkan bibir, menunduk sebentar, dan mendongak lagi menatap Dilger.

"Semuanya aman, dia percaya padaku," ujar Dilger.

Risa membulatkan mulut tak percaya mendengar jawaban Dilger. Amarah kembali menguasainya, ingin sekali dia keluar dari lemari itu dan menampar Dilger sekeras-kerasnya. Namun, untungnya dia yang selalu bertindak sesuai logika mengurungkan niat, dan memutuskan untuk tetap diam mendengarkan kelanjutan perbincangan keduanya di luar lemari.

"Jadi, kapan kau akan menceraikannya? Kau bilang sudah muak melihat dia sewenang-wenang memarahi dan menamparmu," lontar Vai, "aku bahkan sudah bersusah payah merayu Ibu."

"Aku masih memikirkan caranya. Kau tahu sendiri betapa keras kepalanya Risa."

Kali ini, Risa benar-benar tak tahan lagi. Dia memutuskan ingin keluar. Namun, saat dia mendorong lemari, reaksi yang sama juga terdorong dari luar.

"Sebaiknya kita bicara di luar saja, aku tak bisa fokus berpikir di tengah-tengah kehancuran kamarku." Vai terkikik kecil. Tangannya yang berada di belakang punggungnya mengunci lemari. Setelahnya dia merangkul lengan Dilger keluar.

Saat Vai menutup pintu kamarnya, senyum sinisnya tercetak memandangi lemari putihnya yang kini digedor.

Risa memukul-mukul pintu lemari yang tak kunjung terbuka.

"Dia menguncinya, dasar wanita sialan!" umpatnya. Risa menyandarkan kepalanya, sesekali melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul lima sore. Dia memikirkan aneka cara untuk keluar hingga tangannya tak sengaja meraba saku blazernya.

"Astaga, ponselku!" Risa berpekik senang dan merogoh ponselnya, lalu tubuhnya merosot kecewa mendapati ponselnya tak menyala. Sial sekali. Kini tak ada cara keluar selain menunggu Vai kembali ke kamarnya.

Namun, hingga jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Suasana di luar lemari masih senyap.

"Vai!" panggil Risa, entah suaranya terdengar atau tidak. Sesekali tangannya mengetuk pintu lemari. Namun, tak ada tanda-tanda pertolongan mendekat.

Risa mendengus. "Dasar wanita licik!" Alisnya kembali meliuk, menahan geram. Sudah bisa dipastikan, Vai sengaja menguncinya.

"Kenapa kau diam saja saat dia menyeretmu? Argh!" Risa mengacak kesal rambutnya, lalu ringisan keluar dari bibirnya, terdengar bunyi auman lapar, dia lupa kalau belum makan siang dan perdebatannya dengan Vai benar-benar menguras tenaga.

Hingga jam sembilan, masih tak ada tanda-tanda kembalinya Vai. Kini, penglihatan Risa mengabur seiring lapar menyerang.

Oh, Tuhan, kenapa ini harus terjadi padaku! Batinnya.

Sekuat tenaga, Risa mengangkat tangannya mengetuk pintu lemari. "Siapapun di luar sana, tolong buka kuncinya!" lirih Risa dan penglihatannya sempurna menggelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status