Share

#6 Risa

Risa mengerjapkan matanya. Dia sudah berada di kamar. Sisi kepalanya masih terasa berdentum. 

Risa mencoba bangun, tapi punggungnya terasa berat.

"Berbaring saja!"

Risa menoleh ke arah sumber suara. Senyum Dilger memesonanya. Raut wajah Risa berubah mengeras, percakapan semalam di kamar Vai berputar.

"Kamu menghilang semalaman, lalu tiba-tiba ditemukan di lobi utama." Dilger menatap lamat wajah pucat istrinya.

"Lobi?" Risa mendengus, mengumpat pelan dalam hati, wanita gila itu menelantarkannya saja di luar.

"Apa yang terjadi?"

Amarah Risa menjalari tubuhnya. Dia melengos, Dilger menatapnya sedari tadi dengan raut wajah berkabung.

"Kamu masih bisa menatapku begitu setelah apa yang kamu lakukan padaku?" gumam Risa.

Dahi Dilger berkerut. "Apa maksudmu, Risa?"

Risa mendengus lagi. Tangannya mengepal di balik selimut.

Pria itu menangkup wajah Risa menghadapnya. "Kamu tahu aku mencemaskanmu semalaman. Aku bahkan kesusahan tidur."

Risa melepas tangan Dilger. Menahan diri agar tidak menampar Dilger yang menyebut dirinya suami, tapi berperilaku bangsat di belakangnya.

"Kamu bertanya apa yang terjadi padaku?" katanya pelan. "Justru ada apa denganmu selama ini? Kamu berubah, Dilger. Apa kamu masih menganggapku istrimu?"

Manik Risa berkaca-kaca. Mengingat obrolan Dilger semalam meremukkannya. 

"Kamu bicara apa, Risa? Tentu saja kamu istriku, hanya kamu!'

"Benar." Risa memalingkan wajah. "Tapi kamu memiliki wanita lain."

Hening. Dari sudut matanya, Risa mendapati tubuh kaku Dilger. Sudut bibirnya terangkat.

"Bagaimanapun apiknya kamu menyembunyikannya. Semuanya akan tetap terungkap—"

"Kamu salah paham, Risa!"

"Salah paham?"

Puncak amarah Risa ingin meledak. Dilger berkata seolah-olah Risa-lah yang bersalah, mencerna informasi sebaris yang belum terbukti kebenarannya.

Pintu kamar terbuka, sosok Samara muncul dengan seorang pelayan di belakangnya. Tangannya terlipat melangkah mendekati ranjang.

Samara menatap datar wajah pucat Risa. Suasana tegang ruangan bertambah keruh.

"Kalian berdua berdebat lagi? Sepertinya mertuamu ini tak perlu bersusah payah membawakan makanan untukmu setelah apa yang kamu lakukan. Huh!"

Risa menatap nampan makanan di sampingnya.

"Masih untung, rumah ini menerima menantu kurang ajar sepertimu. Setelah kamu bersenang-senang dengan pria belang luar sana, kamu masih mengingat rumah ini?"

Risa tercengang. Bersenang-senang dengan pria belang? Andai mereka tahu jika Risa dikurung di dalam lemari oleh anak angkatnya.

"Risa, apa kamu—"

Sial, Dilger ikut termakan ucapan Samara. Risa menggeleng cepat. "Aku tidak melakukannya, Dilger!"

"Kalau begitu, kamu dari mana?" 

Risa mendadak bungkam mendengar pertanyaan Samara. Tak mungkin mengatakan tentang semalam, tentu tak akan ada yang percaya padanya. Tak akan ada percaya jika Vai, si wanita polos itu penyebabnya.

"Lihat, kamu diam." Samara tersenyum puas. "Kamu masih betah dengan—"

Ucapan Samara terpotong dengan pekikan Vai.

Rambut wanita itu berkibar seiring langkah cepatnya. Dia langsung berhambur memeluk Risa.

"Aku mencemaskanmu," keluhnya.

Gigi Risa saling beradu, ingin rasanya mendorong tubuh Vai sejauh-jauhnya.

"Bagaimana perasaanmu, Tante?"

Dada Risa mendadak sesak. Vai menatapnya cemas hampir menangis. Risa tak menyangka, wanita itu begitu lihai memainkan ekspresi wajahnya. Apa selama empat tahun ini dia sudah tertipu?

"Aku baik-baik saja," lirih Risa.

Lalu, Risa menyadari senyum sinis samar dan kepuasan di wajah Vai.

Dasar wanita iblis! Batinnya.

"Kamu tak perlu mengkhawatirkannya, Vai. Wanita yang kau anggap ibu itu tak ada bedanya dengan jalang."

"Ibu!" pekik Risa. Dia menoleh menatap Dilger, menunggu pembelaan, tapi Dilger pun ikut bergeming, ikut menyudutkannya.

"Maksud Nenek, tante Risa bermain-main dengan ... pria lain?" 

Risa menatap nyalang Vai yang ikut-ikutan memanasi keadaan.

Keadaan menjadi rumit, tiga pasang mata menerjangnya. Risa tak memiliki pilihan lain selain diam. Percuma saja dia mengatakan Vai dalangnya, semua orang hanya akan mengiranya mengada-ada.

"Sudah." Dilger mengatur napas. "Ibu sebaiknya keluar—"

"Kamu membela istri pelacurmu itu?"

"Aku bukan pelacur, Bu!" sosor Risa.

Samara hanya mendengus. "Kamu jangan dekat-dekat dengan wanita malam seperti dia?" Samara menarik Vai keluar.

Dada Risa bergemuruh. "Akh!" Risa mengibas nampan makanan di sampingnya. Bunyi berkelontang memenuhi ruangan, makanan berhamburan di lantai.

"Risa!" teriak Dilger. "Aku tak suka kamu begini!"

"Kenapa? Kamu menyuruhku untuk menjilatnya?"

Dilger menyugar kasar rambutnya. Dia berjalan menjauhi ranjang, membuka jendela. 

Hanya ada hening. Risa bedecak kesal, semuanya bertambah runyam. Masalah yang dia kira akan selesai hanya dengan berempat mata dengan Vai, tapi justru bertambah berkobar.

Risa mengibas selimut, berjalan tertatih menuju pintu. Kakinya terasa kaku saking lamanya meringkuk dalam lemari. 

"Kamu mau ke mana, Risa?" 

Merasa pertanyaannya diabaikan, Dilger buru-buru menyambar lengan Risa.

"Lepaskan."

"Kamu harus istirahat!"

"Ibumu mengataiku pelacur. Apa kamu masih peduli?"

"Tidak, tidak. Aku tidak peduli itu, Risa. Kamu istriku, aku sepenuhnya percaya padamu."

Risa beralih menatap rak buku empat tingkat di sisi kanannya. "Aku bahkan belum mengatakan apapun soal semalam."

"Risa ...."

"Entah sebenarnya apa yang terjadi. Aku tak mampu menebaknya, tapi ini semua sebab ulahnya."

"Ulahnya?"

"Vai," gumam Risa datar.

Cekalan tangan Dilger mengendur. Risa mendapati wajah kaku Dilger.

Dia mencondongkan badannya ke depan. "Kenapa? Ada apa antara kamu dan Vai?"

Risa menyungging senyum miring. "Aku sudah meneba—"

"Ini hanya salah paham, Risa. Baik aku atau kamu, ada yang salah—"

"Ya, salah. Aku begitu mencintaimu, tapi kamu mengartikannya sebagai kekangan. Cinta membuatmu muak—"

"Risa!" potong Dilger.

"Istirahatlah kembali. Kondisimu belum pulih. Kita akan membahasnya lain kali." Dilger merangkul bahu Risa membawanya ke ranjang.

"Aku tak suka kalimatku dipotong."

Dilger hanya menghela napas, dia menaikkan selimut Risa. "Aku tahu."

Risa mendecih. "Kalau kamu tahu, kenapa ... ah, sudahlah." Dia membalik posisi tidurnya membelakangi Dilger. Pelan-pelan air matanya meluruh diam-diam.

"Risa," panggil Dilger.

"Pergi. Kumohon pergi, tinggalkan aku sendiri," pintanya.

Dilger setengah terpaksa keluar dari kamar.

Isakan Risa terdengar. Dia merapatkan selimutnya, tak peduli sesak yang menyerangnya.

Risa menyesal.

Andai dia tak memungut gadis itu, mungkin hal ini tak akan terjadi. Risa sudah tertipu dengan wajah polos Vai. Risa berpikir, akankah dia bisa mengubah Vai? Akankah dia bisa menemukan siasat dendam Vai dan membantunya? Tapi mustahil. 

Selama ini, Risa belum sepenuhnya mengerti watak Vai. Wanita itu terlalu sulit ditebak dan sungguh lihai memainkan situasi.

Jika Risa memikirkannya, dia akan kalah. Dia ingin menyerah saja seolah pasrah dengan apa yang akan terjadi.

Namun, keluarga, impian hidup, dan bayi. Risa sudah merencanakan hidupnya ke depan. Apa impiannya selama ini hanya akan menjadi sebatas mimpi saja? Risa tak rela, tapi dia tak kuat menentang.

Pelan-pelan, semua orang akan membencinya. Satu-satunya orang dipercayainya, Dilger, kini berpaling darinya.

Air mata Risa belum berhenti meluruh, justru tubuhnya bertambah bergetar. Lirik isakannya terdengar pilu.

"Aku hanya korban," lirihnya.

"Katanya kebaikan akan dibalas kebaikan, tapi aku melihat hidupku memulai kehancuran."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status