Share

#6 Risa

Penulis: Feroza
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-04 19:10:07

Risa mengerjapkan matanya. Dia sudah berada di kamar. Sisi kepalanya masih terasa berdentum. 

Risa mencoba bangun, tapi punggungnya terasa berat.

"Berbaring saja!"

Risa menoleh ke arah sumber suara. Senyum Dilger memesonanya. Raut wajah Risa berubah mengeras, percakapan semalam di kamar Vai berputar.

"Kamu menghilang semalaman, lalu tiba-tiba ditemukan di lobi utama." Dilger menatap lamat wajah pucat istrinya.

"Lobi?" Risa mendengus, mengumpat pelan dalam hati, wanita gila itu menelantarkannya saja di luar.

"Apa yang terjadi?"

Amarah Risa menjalari tubuhnya. Dia melengos, Dilger menatapnya sedari tadi dengan raut wajah berkabung.

"Kamu masih bisa menatapku begitu setelah apa yang kamu lakukan padaku?" gumam Risa.

Dahi Dilger berkerut. "Apa maksudmu, Risa?"

Risa mendengus lagi. Tangannya mengepal di balik selimut.

Pria itu menangkup wajah Risa menghadapnya. "Kamu tahu aku mencemaskanmu semalaman. Aku bahkan kesusahan tidur."

Risa melepas tangan Dilger. Menahan diri agar tidak menampar Dilger yang menyebut dirinya suami, tapi berperilaku bangsat di belakangnya.

"Kamu bertanya apa yang terjadi padaku?" katanya pelan. "Justru ada apa denganmu selama ini? Kamu berubah, Dilger. Apa kamu masih menganggapku istrimu?"

Manik Risa berkaca-kaca. Mengingat obrolan Dilger semalam meremukkannya. 

"Kamu bicara apa, Risa? Tentu saja kamu istriku, hanya kamu!'

"Benar." Risa memalingkan wajah. "Tapi kamu memiliki wanita lain."

Hening. Dari sudut matanya, Risa mendapati tubuh kaku Dilger. Sudut bibirnya terangkat.

"Bagaimanapun apiknya kamu menyembunyikannya. Semuanya akan tetap terungkap—"

"Kamu salah paham, Risa!"

"Salah paham?"

Puncak amarah Risa ingin meledak. Dilger berkata seolah-olah Risa-lah yang bersalah, mencerna informasi sebaris yang belum terbukti kebenarannya.

Pintu kamar terbuka, sosok Samara muncul dengan seorang pelayan di belakangnya. Tangannya terlipat melangkah mendekati ranjang.

Samara menatap datar wajah pucat Risa. Suasana tegang ruangan bertambah keruh.

"Kalian berdua berdebat lagi? Sepertinya mertuamu ini tak perlu bersusah payah membawakan makanan untukmu setelah apa yang kamu lakukan. Huh!"

Risa menatap nampan makanan di sampingnya.

"Masih untung, rumah ini menerima menantu kurang ajar sepertimu. Setelah kamu bersenang-senang dengan pria belang luar sana, kamu masih mengingat rumah ini?"

Risa tercengang. Bersenang-senang dengan pria belang? Andai mereka tahu jika Risa dikurung di dalam lemari oleh anak angkatnya.

"Risa, apa kamu—"

Sial, Dilger ikut termakan ucapan Samara. Risa menggeleng cepat. "Aku tidak melakukannya, Dilger!"

"Kalau begitu, kamu dari mana?" 

Risa mendadak bungkam mendengar pertanyaan Samara. Tak mungkin mengatakan tentang semalam, tentu tak akan ada yang percaya padanya. Tak akan ada percaya jika Vai, si wanita polos itu penyebabnya.

"Lihat, kamu diam." Samara tersenyum puas. "Kamu masih betah dengan—"

Ucapan Samara terpotong dengan pekikan Vai.

Rambut wanita itu berkibar seiring langkah cepatnya. Dia langsung berhambur memeluk Risa.

"Aku mencemaskanmu," keluhnya.

Gigi Risa saling beradu, ingin rasanya mendorong tubuh Vai sejauh-jauhnya.

"Bagaimana perasaanmu, Tante?"

Dada Risa mendadak sesak. Vai menatapnya cemas hampir menangis. Risa tak menyangka, wanita itu begitu lihai memainkan ekspresi wajahnya. Apa selama empat tahun ini dia sudah tertipu?

"Aku baik-baik saja," lirih Risa.

Lalu, Risa menyadari senyum sinis samar dan kepuasan di wajah Vai.

Dasar wanita iblis! Batinnya.

"Kamu tak perlu mengkhawatirkannya, Vai. Wanita yang kau anggap ibu itu tak ada bedanya dengan jalang."

"Ibu!" pekik Risa. Dia menoleh menatap Dilger, menunggu pembelaan, tapi Dilger pun ikut bergeming, ikut menyudutkannya.

"Maksud Nenek, tante Risa bermain-main dengan ... pria lain?" 

Risa menatap nyalang Vai yang ikut-ikutan memanasi keadaan.

Keadaan menjadi rumit, tiga pasang mata menerjangnya. Risa tak memiliki pilihan lain selain diam. Percuma saja dia mengatakan Vai dalangnya, semua orang hanya akan mengiranya mengada-ada.

"Sudah." Dilger mengatur napas. "Ibu sebaiknya keluar—"

"Kamu membela istri pelacurmu itu?"

"Aku bukan pelacur, Bu!" sosor Risa.

Samara hanya mendengus. "Kamu jangan dekat-dekat dengan wanita malam seperti dia?" Samara menarik Vai keluar.

Dada Risa bergemuruh. "Akh!" Risa mengibas nampan makanan di sampingnya. Bunyi berkelontang memenuhi ruangan, makanan berhamburan di lantai.

"Risa!" teriak Dilger. "Aku tak suka kamu begini!"

"Kenapa? Kamu menyuruhku untuk menjilatnya?"

Dilger menyugar kasar rambutnya. Dia berjalan menjauhi ranjang, membuka jendela. 

Hanya ada hening. Risa bedecak kesal, semuanya bertambah runyam. Masalah yang dia kira akan selesai hanya dengan berempat mata dengan Vai, tapi justru bertambah berkobar.

Risa mengibas selimut, berjalan tertatih menuju pintu. Kakinya terasa kaku saking lamanya meringkuk dalam lemari. 

"Kamu mau ke mana, Risa?" 

Merasa pertanyaannya diabaikan, Dilger buru-buru menyambar lengan Risa.

"Lepaskan."

"Kamu harus istirahat!"

"Ibumu mengataiku pelacur. Apa kamu masih peduli?"

"Tidak, tidak. Aku tidak peduli itu, Risa. Kamu istriku, aku sepenuhnya percaya padamu."

Risa beralih menatap rak buku empat tingkat di sisi kanannya. "Aku bahkan belum mengatakan apapun soal semalam."

"Risa ...."

"Entah sebenarnya apa yang terjadi. Aku tak mampu menebaknya, tapi ini semua sebab ulahnya."

"Ulahnya?"

"Vai," gumam Risa datar.

Cekalan tangan Dilger mengendur. Risa mendapati wajah kaku Dilger.

Dia mencondongkan badannya ke depan. "Kenapa? Ada apa antara kamu dan Vai?"

Risa menyungging senyum miring. "Aku sudah meneba—"

"Ini hanya salah paham, Risa. Baik aku atau kamu, ada yang salah—"

"Ya, salah. Aku begitu mencintaimu, tapi kamu mengartikannya sebagai kekangan. Cinta membuatmu muak—"

"Risa!" potong Dilger.

"Istirahatlah kembali. Kondisimu belum pulih. Kita akan membahasnya lain kali." Dilger merangkul bahu Risa membawanya ke ranjang.

"Aku tak suka kalimatku dipotong."

Dilger hanya menghela napas, dia menaikkan selimut Risa. "Aku tahu."

Risa mendecih. "Kalau kamu tahu, kenapa ... ah, sudahlah." Dia membalik posisi tidurnya membelakangi Dilger. Pelan-pelan air matanya meluruh diam-diam.

"Risa," panggil Dilger.

"Pergi. Kumohon pergi, tinggalkan aku sendiri," pintanya.

Dilger setengah terpaksa keluar dari kamar.

Isakan Risa terdengar. Dia merapatkan selimutnya, tak peduli sesak yang menyerangnya.

Risa menyesal.

Andai dia tak memungut gadis itu, mungkin hal ini tak akan terjadi. Risa sudah tertipu dengan wajah polos Vai. Risa berpikir, akankah dia bisa mengubah Vai? Akankah dia bisa menemukan siasat dendam Vai dan membantunya? Tapi mustahil. 

Selama ini, Risa belum sepenuhnya mengerti watak Vai. Wanita itu terlalu sulit ditebak dan sungguh lihai memainkan situasi.

Jika Risa memikirkannya, dia akan kalah. Dia ingin menyerah saja seolah pasrah dengan apa yang akan terjadi.

Namun, keluarga, impian hidup, dan bayi. Risa sudah merencanakan hidupnya ke depan. Apa impiannya selama ini hanya akan menjadi sebatas mimpi saja? Risa tak rela, tapi dia tak kuat menentang.

Pelan-pelan, semua orang akan membencinya. Satu-satunya orang dipercayainya, Dilger, kini berpaling darinya.

Air mata Risa belum berhenti meluruh, justru tubuhnya bertambah bergetar. Lirik isakannya terdengar pilu.

"Aku hanya korban," lirihnya.

"Katanya kebaikan akan dibalas kebaikan, tapi aku melihat hidupku memulai kehancuran."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #20 Vai

    Semuanya dimulai enam tahun silam. Saat ketakutan, amarah, dan dendam bercampur satu. Saat kehidupannya bergilir ke arah berlawanan.Malam itu, hari istimewanya. Kedua kakinya menyilang sambil digerakkan gusar. Tangannya terentang, sesekali memegang dada menahan degup yang kian berpacu seiring pergerakan menit jam.Ah, entah kenapa di hari senangnya itu dia merasa gusar sekaligus.Ibunya akan segera pulang dari tempat kerja, seorang pelayan mansion yang sudah bekerja lebih sepuluh tahun.Namun, hingga pukul sepuluh, belum ada tanda-tanda kepulangan ibunya. Aneh baginya, ibunya tidak biasa pulang telat, jikalau pun terjadi, pasti menitip pesan sebelumnya, tapi itupun amat jarang terjadi.Dia masih berusaha tenang, tapi suara detik menit jam terdengar mengerikan. Di luar begitu gelap, temaram rembulan lenyap seiring awan hitam menutup dan kilat sesekali menyambar.BrakSuara gedebum terdengar. Dia tahu betul, itu suara pot bunga sebab d

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #19 Vai

    Vai membenahi isi lemari, memilah baju yang akan dibawanya. Sesekali bergerundel kesal."Apa yang dia pikirkan semalam?" Vai memasukkan asal midi dress ke dalam koper. Mengingat obrolannya semalam dengan Risa membuatnya kesal kembali.Pintu diketuk.Vai enggan beranjak, dia menduga Risa yang datang. Namun, ketukan tersebut tak berhenti."Vai, ini Nenek, buka pintunya!"Vai menatap pintu sambil membelalak. "Nenek!" Sigap dia membuka pintu."Oh, maafkan aku, Nek. Aku baru saja keluar dari toilet," bohongnya."Tumben Nenek kemari, ada apa?" Vai merangkul lengan Samara, menuntunnya ke sofa.Samara menilik kamar Vai. Dua lemari pakaian terbuka, setengah kosong, dan pakaian berhamburan di atas ranjang."Kamu berencana menetap di rumah Hendy?"Vai mengikuti arah pandang Samara pada koper yang tergeletak dengan isi yang berantakan."Mungkin."Samara mendesah. "Mungkin?" matanya sendu menatap Vai."Aku

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #18 Risa

    Dilger mengguncang tubuh Risa. "Kumohon jangan menyebut kata tersebut.""Kenapa?" Pelupuk mata Risa menggenang."Lebih baik kamu istirahat."Risa menepis tangan Dilger. "Jawab pertanyaanku.""Kamu sudah tahu jawabannya. Sampai kapanpun aku tak akan pernah menceraikanmu meskipun—""Maukah kamu hidup menderita seperti ini selamanya? Aku dan kamu sama-sama tersiksa."Dilger memalingkan wajah, tangannya mengepal."Pikirkan baik-baik, masih belum terlambat untuk menggugat percera—""Tidak. Aku tidak akan melakukannya!" sanggah Dilger. Dia menatap bola mata Risa lekat. "Jawabanku tak akan berubah."Risa menatap hampa lantai yang mengilap. "Keluar!" Suaranya serak. Dia tak mengalihkan pendangannya sedikit pun bahkan ketika Dilger benar-benar meninggalkannya..Risa menekuk lutut, menenggelamkan kepala meredakan dentum di kepalanya."Apa kamu gila, Risa? Bagaimana bisa kamu selemah ini?" Risa bermonolog.

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #17 Risa

    Sore itu, mereka berkumpul di ruang keluarga. Vai mengamati tiap-tiap kepala yang nampak menikmati tayangan TV. Saat pandangannya bertemu dengan Risa, wanita itu menatapnya lurus yang membuat Vai menyeringai samar. "Apa katamu tadi? Kamu akan pergi lusa?" Samara menatap Hendy dan Maya. "Kalian pergi berbulan-bulan, lalu pulang hanya lima hari?" "Kami akan bolak-balik mengunjungi Ibu. Atau Ibu ikut kami saja?" "Jaga ucapanmu, Hendy!" Dilger menyipitkan mata. "Jangan memperebutkan Ibu dan aku tak akan kemana-mana. Hendy, bisakah kamu tinggal lebih lama?" "Ibu tahu sendiri, aku tak terbiasa menyuruh tangan kananku mengelola bisnis selagi aku berleha-leha di rumah—" "Dasar penggila kerja. Entah ayahmu mendidikmu bagaimana dahulu." Samara menyengir. "Aku melakukan ini demi Ibu juga." "Nek," panggil Vai. Dia bertemu pandang dengan Maya seolah dia berujar, "Kamu yakin melakukannya?" "Boleh aku ikut sama Tante M

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #16 Risa

    Vai melirik kepala tangan Risa. "Selamat malam, Risa!" Vai berbalik pergi."Kupastikan hidupmu tak akan tenang setelah ini, Vai!" Gigi Risa bergemertak. Dia mendongak, seseorang yang berdiri di balkon sudah lenyap.Risa mencengkram rambutnya, lalu menghempas tangannya kesal. "Jangan bertingkah bodoh, Risa!" ujarnya.Risa berbalik pergi. Saat dia menaiki tangga, dia berpapasan dengan Maya. Risa tersenyum tipis. Keduanya saling memandang menunggu siapa yang harus membuka mulut lebih dahulu.Namun, tatapan lurus Maya seakan-akan mendesaknya."Apa yang kamu lihat?" tanya Risa diselingi tawa kecilnya."Aku bisa saja langsung mengartikannya sesuai dengan apa yang kulihat. Mencoba menampar Vai? Untungnya pencahayaan remang-remang, aku tak tahu pasti bagaimana wajahmu saat itu. Namun, aku mengenalmu, Risa. Kenapa wajahmu tegang seperti itu?"Risa membuang pandangan. "Ah, sedang banyak pikiran. Dia kekeh ingin memotong pendek rambutnya, aku me

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #15 Risa

    Risa memundurkan wajahnya seiring Samara yang kian maju."Benar, ada sesuatu di matamu. Ketakutan dan kekhawatiran." Samara memiringkan kepala. "Ada sesuatu yang membuatmu risau, menantu? Dan jangan menatap Ibu seperti itu."Mulut Risa menganga bahkan matanya tak berkedip. Samara menatapnya, tersenyum lebar sambil menaikkan satu alisnya, lalu menepuk tangannya."Kenapa?" tanyanya."Bukan apa-apa?""Terkejut?" tantang Samara."Apa Ibu ... tak marah padaku?"Bulu kuduk Risa meremang menyaksikan senyum Samara. Tampang Samara jauh lebih menyeramkan menurut Risa."Kamu lebih senang melihatku marah dibanding seperti ini?"Risa menarik napas, merilekskan tubuhnya yang menegang."Aku tak mengatakan itu, Bu." Suara Risa mulai melunak.Samara mengangguk-angguk. "Sampai di mana kita tadi? Ah, pertanyannku, tapi lupakan saja. Ada hal yang lebih penting.""Lebih penting?"Samara membuang pandangan, dia ber

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status