Share

Balas Dendam

1 bulan lamanya Aji berlatih fisik. Tubuhnya kini sangat berotot dan terlihat kekar. Namun kulitnya sedikit hitam karena terlalu seringnya dia berlatih di bawah sinar matahari.

Latihan berikutnya yang harus dia lakukan adalah pengolahan tenaga dalam. Prayoga mengajak Aji ke sebuah lubang kawah bekas letusan yang ada di atas gunung. 

Meski sudah meletus, namun kawah gunung tersebut masih mengeluarkan lava panas yang mengepulkan asap tebal. 

Prayoga memberi perintah kepada Aji untuk duduk bersila di bibir kawah yang sangat panas tersebut. Awalnya, Aji masih ragu untuk melakukannya. Namun sebuah penjelasan dari Prayoga membuatnya melupakan rasa takutnya. 

"Takut itu tempatnya ada di dalam pikiran, Aji. Panas, dingin dan semua yang ada di bumi ini hanyalah makhluk ciptaan Dewata, termasuk kita. Jika kita bisa menyatu dengan makhluk lainnya, tidak mungkin mereka akan menyakiti kita," Papar Prayoga menjelaskan.

Aji mengangguk-angguk mencoba memahami penjelasan lelaki tua itu.

Prayoga mengajarkan Aji cara menarik unsur alam yang ada di sekitarnya, dan unsur murni yang ada di dalam tubuhnya. Tak lupa lelaki tua itu juga mengajarkan untuk menyatukan kedua unsur di dalam tubuh dan menampungnya di dalam sum-sum setiap tulangnya.

Butuh waktu cukup lama bagi Aji untuk melakukan apa yang diperintahkan Prayoga. Namun berkat tekad dan kemauannya yang kuat, serta dibantu dengan kualitas tulangnya yang di atas rata-rata manusia biasa, dalam 3 minggu kemudian dia bisa menyelesaikan pelatihan tenaga dalamnya.

Prayoga tersenyum melihat perkembangan yang ditunjukkan Aji. Jika manusia biasa yang melakukan latihan tenaga dalam seperti yang diajarkannya kepada Aji, paling tidak butuh waktu minimal 3 bulan untuk menguasainya.

Setelah memberi waktu tiga hari kepada Aji untuk beristirahat, Prayoga memulai pelatihan ilmu kanuragan kepada lelaki muda itu.

Dengan telaten dan sabar, Prayoga membimbing Aji agar bisa menguasai semua jurus yang dimilikinya. Aji yang sudah terbiasa dengan ritme latihan yang diberikan Prayoga kepadanya, membuatnya lupa dengan yang namanya waktu.

Tak terasa, sudah dua tahun lamanya dia menimba ilmu dari lelaki tua itu. Semua ilmu yang dimiliki Prayoga pun sudah sepenuhnya dikuasainya dengan sempurna.

Kini, tibalah saatnya bagi dia untuk membalas dendam atas kematian anak dan istrinya.

"Aji, entah aku harus bilang apa tentangmu. Tapi, aku merasa sudah saatnya kau membalas kematian anak istrimu. Semua jurus dan ajian yang kumiliki sudah kau kuasai dalam waktu yang singkat. Pergilah dan balaskan dendam anak istrimu!" ucap Prayoga.

"Tapi Kakek dengan siapa di sini?" tanya Aji penasaran. 

"Aku sudah terbiasa sendiri. Mungkin juga sudah saatnya aku kembali ke tempatku setelah sekian lama mencarimu. Tugasku juga sudah selesai untuk membimbingmu. Selebihnya, kau harus mencari sendiri di mana beliau berada!"

"Beliau siapa, Kek? Dan di mana aku harus mencarinya?"

Prayoga mengambil pedang berwarna hitam dari dalam lemari kecil dan memberikannya kepada Aji. "Aku tidak boleh mengatakannya padamu. Pedang Kegelapan inilah yang nanti akan menuntun jalanmu. Pelajarilah pedang ini sebaik-sebaiknya, dan ajaklah dia berkomunikasi dengan hatimu!"

"Berarti pedang ini bernama Pedang Kegelapan? Kenapa dinamakan seperti itu?" Aji sedikit heran dengan nama pedang hitam i yang menurutnya aneh.

"Ratusan tahun dulu, pemilik pedang ini adalah mantan pendekar aliran hitam tingkat wahid yang disegani di dunia persilatan, baik oleh aliran putih, netral atau hitam. Namun suatu ketika, muncul seorang pendekar yang tidak pernah terdengar namanya sama sekali, berhasil mengalahkan dia." Prayoga menerawang memandang keluar gua.

"Sebelum pendekar aliran hitam itu mati, pendekar itu sadar dan dia meminta agar pendekar yang mengalahkannya membawa pedangnya dan memurnikannya." sambungnya.

"Lalu apa hubungannya denganku, kek?" 

"Pendekar aliran hitam itu adalah nenek moyangmu, Aji. Sebelum mati, dia ingin ada keturunannya yang bisa memperbaiki kesalahannya, dengan mempergunakan Pedang Kegelapan ini di jalan kebenaran."

"Aku semakin tidak paham, Kek." Aji menggaruk kepalanya.

"Garis besarnya begini... ternyata pendekar itu tidak bisa memurnikan pedang ini, karena dia tidak mempunyai darah murni sepertimu. Dan Pedang Kegelapan ini akan bisa murni dan kekuatan hitam di dalamnya bisa netral, jika ditetesi oleh darah murnimu. Kau sudah paham sekarang?"

Aji menggeleng, "Lalu kenapa tidak aku tetesi dengan darahku saja sekarang?"

Prayoga mulai kehilangan kesabarannya, "Aku pernah bilang kalau darah murnimu kotor karena perbuatanmu, bukan!?"

Aji kembali mengangguk.

"Lalu apa selanjutnya?" tanya Prayoga.

"Aku harus menemukan pendekar itu untuk memurnikan darahku kembali. Berarti, jika darahku sudah murni kembali, aku baru bisa menetralkan dan memurnikan pedang ini," jawab Aji. 

"Tapi kenapa pedang ini perlu dimurnikan, Kek? Apa dampaknya jika dibiarkan saja tanpa dimurnikan?"

"Itu yang hendak aku jelaskan padamu. Jadi, di dalam pedang ini terdapat sisi iblis yang bisa setiap saat menguasaimu saat kau menggunakan pedang ini. Meskipun kau menggunakannya di jalan kebenaran, kau akan bersikap seperti pembunuh berdarah dingin, dan itu munculnya bisa sewaktu-waktu tanpa kau sadari."

"Apa itu berarti aku tidak perlu menggunakannya sebelum pedang ini dimurnikan?" tanya Aji. Dia merasa perlu banyak bertanya agar bisa memahami tentang pedang kegelapan.

"Nanti seiring waktu berjalan, kau akan bisa mengerti kapan sisi iblis pedang ini berusaha menguasaimu. Dan setidaknya kau harus bisa menekannya agar kesadaranmu tidak sepenuhnya dikuasai."

"Baik, Kek. Aku sudah paham sekarang." 

"Sekarang kau boleh pergi untuk membalaskan dendammu. Aku sudah selesai dengan tugas yang diberikan kepadaku. Selamat tinggal, Aji." Prayoga tersenyum dan tiba-tiba saja menghilang tak berbekas.

Aji menggaruk kepalanya melihat Prayoga menghilang di depan matanya, "Kenapa aku tidak diajari ilmu untuk menghilang?" gumamnya pelan.

Selesai berkemas, Aji menggantung Pedang Kegelapan di punggungnya. Setelah itu dia berjalan menuju markas Winarto.

Seharian berjalan kaki, Aji sudah mendekati markas perampok yang sudah menghabisi nyawa anak dan istrinya tersebut.

Dengan tenang dia berjalan menuju pintu gerbang yang dijaga dua anak buah Winarto.

"Bukankah itu Aji? Ternyata dia masih hidup. Cepat laporkan kepada ketua!"

Salah seorang anak buah Winarto yang menjaga pintu gerbang berlari masuk ke dalam markasnya.

"Berhenti kau, Aji! Apa kau sudah bosan hidup dengan datang lagi kemari!?" 

Aji tersenyum sinis memandang bekas temannya itu, "Aku ingin mencabut nyawa kalian!" 

"Hahaha... Kau jangan bermimpi bedebah!" ucap lelaki itu sambil menarik pedangnya

Aji berjalan mendekati lelaki itu lalu menarik tubuh menyamping untuk menghindari ujung pedang yang mengincar perutnya. Dalam sekali pukulan, lelaki itu menggelepar di tanah setelah dadanya terkena serangan Aji dengan telak.

"Kau mencari mati saja!" Tatapan mata lelaki tampan itu tertuju kepada sosok yang sudah tergeletak di tanah.

Aji kemudian mendekati pintu gerbang yang terbuat dari kayu tersebut dan menendangnya dengan keras.

Braaaak!

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Budi Efendi
lanjutkan mantappp
goodnovel comment avatar
antonoke339
JANGAN DIBACA LEBIH LANJUT DARI PADA KECEWA, SUDAH BACA SAMPAI HABIS, TERNYATA SDH 3 BULAN INI NGGK UPDATE...
goodnovel comment avatar
Wandi Iswandi
lanjutkan...mantap
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status