"Memang kenapa Kak? Kak Jihan kan cantik udah gitu baik terus pintar lagi, kurang apalagi coba? Kak Jihan tuh bibit unggul loh Kak," Ucap Kiara yang memuji Jihan.
"Aduh Kiara. Kamu itu gak banget deh, terlalu berlebihan muji dia. Justru reputasi Kakakmu ini yang keren dan tampan ini bisa rusak nanti dikampus gara-gara dia! Nggak ah pokonya aku nggak mau titik." Septian menjawab dengan tegas.
"Idih pede kali kau bang. Siapa juga yg mau dijodohin sama Curut macam lo! Masa iya inces yg cantik kayak gini harus nikah sama curut empang macam lo, gue juga ogah banget kali!" Ketus Jihan tidak mau kalah.
"Haduh Kalian berdua ini, terus aja kayak gitu! Bina Mendingan kita cek makanan aja yuk buat acara nanti malam. Dari pada pusing lihat tuh dua bocah yang gak pernah mau akur kayak anak kecil aja. Kia mau ikut Bunda sama Tante Bina gak? Atau mau lihat Tom and Jerry lagi kumat? Dan kalian berdua udah sok dilanjutin aja berantemnya yah! Kalau udah puas berantemnya terus laper bilang ngerti! Biar nanti kami siapin makanan," Ucap Aleta seolah menyindir mereka, lalu dia pun pergi ke dapur diikuti oleh Sabrina dan Kiara.
Sementara Septian dan Jihan kini mereka saling menatap tajam dan dengan penuh kekesalan setelah mendengar ucapan Aleta.
"Lo sih Curut! Tuh mulut gak bisa dijaga kalau ngomong suka seenaknya aja," Ucap Jihan yang terlihat masih kesal.
"Loh kok gue sih? Bukannya lo ya yang kalau ngomong tuh mulut gak pernah difilter dulu? Suka asal jeplak aja!" Ketus Septian sambil menatap sinis kearah Jihan.
Karena kesal dengan ucapan Septian, tiba-tiba saja Jihan mengambil kotak tisu yg tidak jauh darinya lalu melemparkannya kearah Septian.
Pletak kotak tisu itu Jihan lempar tepat mengenai kening Septian.
"Aww...! Anjir sakit bego jidat gue! Kayaknya tangan lo benar-benar perlu dirukiyah tuh biar gak seenaknya lempar-lempar barang ke kepala orang. Dasar cewek jadi-jadian! Gimana kalau gue amnesia? Terus gak inget sama keluarga gue," Ujar Septian penuh drama. Sambil memegang keningnya yang baru saja terkena lemparan kotak tisu.
"Enak kan Curut? Mantep ya lemparan gue langsung kena sasaran, emm...,lo amnesia ya? bodo amat emang gue pikirin. Sorry ya gue gak peduli tuh! Lagian lebay banget loe ah, masa gara-gara dilempar kotak tisu bisa amnesia."
Setelah mengatakan itu, tanpa memperdulikan Septian yang sedang meringis kesakitan, Jihan pun pergi meninggalkan Septian diruang keluarga.
"Eh, tunggu lo cewek jadi-jadian! Lo harus terima pembalesan dari gue Jihan Aiyana!" Seru Septian yg langsung menyusul Jihan yang sudah pergi lebih dulu meninggalkannya.
"Mama, tante, tolong inces mau dianiyaya sama Septian." Lalu Jihan berlari kedapur, tentu saja dengan Septian yang masih mengejarnya.
"Aduh nih dua bocah pada ngapain sih? Kok main kejar-kejaran gini sih? Kayak film india aja," ujar Sabrina yg terlihat pusing karena ulah Septian dan Jihan yg tidak mau berhenti berkejar-kejaran.
"Hufh. Berhenti gak lo curut! Gue udah cape."
"Iya ini gue berhenti, gue juga udah cape. Gak nyangka gue, lo kenceng juga ya larinya," Ucap Septian.
"Baru nyadar lo. udah ah hari ini udahan dulu yah? Inces mau bersihin badan inces dulu rasanya udah lengket banget nih, terus abis itu Inces mau bobo cantik dulu, biar entar lebih seger pas di pestanya mama sama papa gue. Dan lo sono pulang! Jangan lama-lama dirumah guenya takut temen gue ada yang kesini."
"Maksudnya lo ngusir gue hah?! Teserah gue dong mau pulang atau nggak. Lagian ini rumah tante Bina dan om Angga, jadi lo gak berhak ngusir gue seenak lo, kecuali tante Bina sama om Angga yang nyuruh gue pergi. Ngerti lo!"
"Terserah lo deh, ter-se-rah lo! Emang kalau curut mah gak ada malunya dimana aja bisa nemplok. Kabur...!" Seru Jihan sambil berlari menuju ke kamarnya. Sedangkan Septian masih cengo melihat tingkah laku Jihan yg kini sudah melesat pergi meninggalkannya sendirian yg masih terduduk di sofa.
Malam pun kini telah tiba, pesta dirumah Abimanyu pun sudah dimulai. Beberapa tamu undangan sudah mulai berdatangan, malam ini adalah malam pesta Anniversary Pernikahan Angga dan Sabrina yang ke 22 tahun.
Aleta, Reno, Septian dan Kiara pun sudah datang. Mereka sangat menikmati pestanya.
Maura sahabat Jihan pun datang bersama kedua orang tuanya, karena orang tua Maura adalah rekan bisnis Angga, para tamu undangan mulai berdatangan dan langsung memberi ucapan selamat pada Angga dan Sabrina yg disambut hangat oleh mereka berdua.
Tiba-tiba perhatian para tamu teralihkan pada seseorang yang baru saja hadir. Mereka berdecak kagum pada seorang gadis yg dengan anggunnya menuruni anak tangga dengan senyuman cantiknya. Ya dia lah Jihan Aiyana, gadis cantik putri semata wayang dari Angga dan Sabrina, yang kini mengenakan mini dress berwarna merah marun polos. Kini dia bergabung bersama yang lainnya dengan senyuman manis yg sangat menggoda. Bukan hanya para tamu yang mengagumi kecantikan Jihan, tapi juga Septian yang kini terlihat menatap tanpa berkedip saat melihat Jihan yg tampil sempurna dimalam pesta ulang tahun pernikahan kedua orang tuanya. Entah kenapa matanya seolah tak mau berkedip dan terus menatap kearah Jihan. Angga yg melihat itu pun langsung menghampiri Septian dan berdiri disampingnya.
"Putri Om cantik kan, Yan?" Tanya Angga dengan berbisik tepat ditelinga pemuda itu. Kebetulan dia duduk didekat Septian.
"Iya."
"Tian Suka gak?" Tanya Angga lagi yg disambut anggukan oleh Septian.
"Kalau gitu mau kan tunangan sama Jihan? Kalau kamu gak mau dijodohin sama Jihan. Om mau jodohin Jihan sama cowok lain anak rekan bisnis Om yang lainnya, yang gak kalah gantengnya sama kamu."
Angga terkekeh karna berhasil menjebak Septian yg sedang tiduk fokus dan tidak sadar dengan ucapannya sendiri. Karena Septian sedang fokus menatap Jihan yg kini sedang berbicara dengan Maura.
"Jangan Om!" Sahut Septian tanpa sadar, dengan pandangannya yang terus tertuju pada Jihan.
"Tian mau kok Om, jangan jodohin Jihan sama cowok lain ya," Lanjutannya.
"Tunangan sekarang mau gak, Yan?" Tanya Angga. Lagi-lagi Septian hanya mengangguk.
"Baiklah kalau begitu. Om umumin pertunangan kalian berdua dulu yah?"
Setelah Angga pergi menuju panggung kecil yang sengaja Angga buat untuk MC. Setelah naik ke panggung, tiba-tiba kesadaran Septian pun kembali setelah mendengar kata tunangan yg kedua kalinya dari Angga. Dan dia tersadar setalah Angga mulai meninggalkannya.
"A-apa tadi! Tu-tunangan? Gue gak salah denger kan? Om Angga mau gue tunangan sama Jihan sekarang? Aduh bagaimana ini masa gue harus tunangan sama dia sih?!"
Septian makin panik saat Angga sudah memegang mix, dan mulai berbicara dan dia tahu pasti sebentar lagi om Angga akan mengumumkan pertunangannya dengan Jihan dan itu membuat Septian terlihat kebingungan.
"Mohon maaf pada para tamu undangan. Boleh saya minta waktu dan perhatiannya kalian sebentar. Sebelumnya saya mau mengucapkan Terima kasih kepada para tamu undangan yg sudah menyempatkan diri untuk datang ke acara pesta Anniversary pernikahan saya yg ke 22 tahun. Saya dan istri saya Sabrina Natasya dan juga putri saya Jihan Aiyana Sangat bahagia, atas kehadiran kalian diacara kebahagiaan kami malam ini. Istriku, dan putriku Jihan kemarilah," panggil Angga. Mendengar panggilan Angga. Sabrina dan Jihan pun beranjak dari duduknya dan mendekat kearah Penggung. Mereka pun naik keatas panggung untuk menghampiri Angga yang memanggil mereka berdua.
"Inilah dia dua wanita yg sangat berharga bagi saya, mereka dua wanita yang sangat saya cintai dan sangat sayangi, belahan hidup saya, sumber kebahagiaan saya. Dan mereka berdua adalah harta yang paling berharga dalam kehidupa saya. Tanpa mereka berdua pasti hidup saya hampa dan tidak sebahagia seperti sekarang ini," Ucap Angga membuat semua orang tersenyum dan bertepuk tangan karena ikut merasakan kebahagiaan Angga dengan keluarga kecilnya. Saat Angga tengah tersenyum bahagia, dia tidak sengaja melihat Septian yg akan pergi dari pesta itu. Angga sudah bisa menebak kenapa Septian seperti akan meninggalkan pesta.
Tuh kan Zam, gerbangnya udah ditutup. Kamu sih!" Azzam memandang Zura dari kaca spion. Terlihat wajah gadis itu yang sangat menggemaskan saat dia sedang kesal seperti sekarang ini. "Udah nggak apa-apa. Cuma lima menit kok." Azzam turun dari motornya diikuti oleh Zura. Lalu dia men-standar kan motornya di depan gerbang, tanpa kata dia lalu menarik tangan Zura ke samping sekolah. "Kita mau kemana, Zam?" Tidak ada jawaban dari Azzam. Dia hanya menunjuk ke tembok samping sekolah yang tingginya hampir dua meter dan sudah ada tangga disana. "Maksudnya kita manjat?" "Iyalah, Emang kamu mau dihukum?" "Tapi Zam...." "Udah Ayo! Namish membimbing Zura untuk menaiki tembok itu. Zura terlihat sangat kesulitan saat ingin meloncat. Berbeda dengan Azzam yang sudah sampai dibawah. "Azzam, aku ta
"Zam, kamu itu ngeyel banget sih! Kamu mau belajar sekarang atau aku pulang?" "Aku tinggal bilang ke opa kalau kamu nggak mau nge-lesin aku!" "Apa sih mau kamu, Zam?" Zura bertanya dengan mengacak-acak rambutnya. Wajahnya terlihat sangat frustasi. Bagaimana tidak? Semenjak pulang sekolah. Dia sudah duduk diruang tamu rumah Azzam. Tapi pemuda itu tidak sedikit pun mau membuka bukunya. Dan yang dia lakukan hanya memandangi wajah Zura saja. "Masakin aku ya? Janji deh habis ini mau belajar." Zura memutar bola matanya malas saat mendengar permintaan Azzam. Lalu dia pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur dengan bibir yang tak henti mengucapkan sumpah serapah untuk Azzam. Sementara Azzam dia malah tersenyum senang melihat wajah kesal Zura. Azzam menyusul Zura ke dapur dan duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana. Dia kembali memandangi Zura yang sibuk b
"Lo kenapa diem aja?" Azzam bertanya. Yap, seseorang yang misterius tadi pagi adalah Azzam. Dan sekarang mereka kini berada ditaman kota. Entah apa tujuan Azzam mengajak Zura ke taman. "Hah? Apa, Zam?" Zura balik bertanya dengan gelagapan. Pasalnya Zura canggung disaat dia bersama dengan Azzam. lidahnya mendadak kelu. "Lo kenapa?" Tanya Azzam lagi. "Nggak apa-apa kok, oh iya ngapain kamu ngajak aku kesini?" Zura menjawab dengan pertanyaan. "Gue cuma mau ngasih tau kalo pacar lo itu nggak baik buat lo!" Azzam memandangi wajah Zura yang terlihat manis dengan kalung emas putih yang melingkari lehernya. Dan rambut hitamnya yang terurai. menambah kesan cantik untuk gadis itu. “Pacar? Maksud kamu siapa ya?” Tanya Zura dengan heran. Dia melupakan hal yang tadi malam dibicarakannya dengan Raga. kakaknya. “Itu yang sok kecakepan. Yang kerjaanya antar jemput
"Loh itu bukannya Kak Rania ya, Kakak lo? Yah gue keduluan dong." Richi terlihat sedih. "Iya, tapi cowok yang bareng kak Rania itu. Pacarnya Zura." "Wah nggak bener tuh orang. Udah punya Zura juga masih aja ngembat calon gue." Richi yang juga menatap geram kearah Rania dan Raga. "Kali aja cuma temenan. Jangan berpikiran negatif dulu lah." Kali ini Dika yang berbicara. Dia paling dewasa diantara yang lainnya. "Kita tanya nanti aja waktu udah keluar. Disini malu kalau sampek ribut." Ujar Richi. Azzam semakin geram saat melihat Raga memasangkan jam tangan ke pergelangan tangan kakaknya. Rania. Azzam beranjak dari duduknya saat melihat pergerakan sepasang kekasih itu. Bugh! "Brengsek lo ya!" Raga tersungkur akibat pukulan
"Ekhem." Raga dan Zura memoleh kearah suara orang yang mengganggu quality time keduanya. Dan Zura membulatkan matanya saat dihadapannya berdiri seorang Azzam Dengan senyuman manis meski seperti dipaksakan. "Hai." Sapa Azzam. Yang membuat Zura tersenyum kaku. "Boleh gue duduk disini?" Tanya Azzam. Zura hendak menjawab namun sudah lebih dulu dipotong oleh Raga. "Kenapa harus disini? Kan masih banyak tempat kosong yang ada disana." "Gue nanya sama, Zura bukan nanya lo." Azzam terlihat kesal dengan penolakan yang dilakuan Raga. Dan dengan santainya Azzam malah duduk di samping Zura. "Kenapa lo mau pacaran sama dia? Masih ganteng juga gue." Teja merutuk dalam hatinya. Bisa-bisanya Azzam bicara seperti itu dihadapan Raga yang Azzam ketahui adalah kekasih Zura. "Sebenarnya dia..." "Ya jelas dia pilih gue lah. Lo kan masih ingusan. Dan gue udah dewasa." Kalo masalah ganteng, lo ngaca deh sana. Masih gantengan gu
Zura duduk dengan cemas di sofa ruang kepala sekolah. Setelah bel pulang sekolah tadi ada siswi yang mengatakan bahwa dia dipanggil bapak kepala sekolah untuk ke ruangannya. "Ada apa ya Pak? Apa saya membuat kesalahan?" "Apa kamu sudah lama mengenal, Azzam?" Tanya kepala sekolah itu dengan menatap ke arah Zura dengan intens. "Belum Pak, baru tadi pagi saat Azzam tidak sengaja menabrak saya." "Jangan terlalu formal, Nak. Panggil saja saya Opa seperti, Azzam." Zura pun tersenyum kikuk saat menanggapi ucapan Opa. Dia dibuat semakin bingung. "Begini Zura. Opa lihat kamu itu berbeda. Jadi bolehkah Opa meminta tolong padamu?" "Kalau saya bisa bantu pasti saya bantu Opa." "Sebenarnya Opa capek menasehati Cucu Opa itu. Dia itu keras kepala. Opa dan orang tua juga kakaknya sudah menyerah." "Maksud Opa gimana? Saya ng