"Aku dan Tiara sibuk, Pa. Kapan-kapan saja," sergah Bima yang membuat Tiara menghela napas lega. Setidaknya dia dan Bima satu suara kali ini.
"Emang kalian berdua sibuk apa sih?" tanya papa Bima santai. Lelaki senja berperawakan mirip Bima minus rambut gondrong plus uban di beberapa bagian rambut itu menyalakan cerutu. Sementara Mama mertua Tiara sedang sibuk di dapur membuatkan minuman. Wanita berwajah hangat itu menolak bantuan Tiara dan menyuruh menantunya tetap duduk di samping Bima.
"Papa kan tahu, kita mulai masuk masa panen. Ditambah investor dari Jepang mau datang buat lihat-lihat lahan dan hasil panen jengkol super beberapa bulan lalu. Belum lagi rapat .... " Kata-kata Bima terputus saat papanya mengangkat tangan.
"Semua sudah papa limpahkan ke Pak Sastro. Serahkan aja sama kami, Anak Muda."
Bima masih ingin mendebat ketika Pak Dwijaya menatap menantunya. "Lalu kamu, Tiara, sibuk apa?"
Tiara tergagap, sesaat bingung. "Aku ada kelas me
Terima kasih buat yang sudah mampir dan baca Tiara dan Bima. Terlebih lagi buat Rindiani yang selalu kasih bintang dan gem. Semoga selalu sehat dan bahagia buat para pembaca.
Bulan madu bagi pasangan suami istri memang manis rasanya. Bagi Bima, berdekatan sepanjang hari, menikmati ekspresi lepas Tiara membuat hatinya hangat. Tiara sendiri sepertinya menikmati kebersamaan mereka, dia banyak tertawa dan malu-malu kalau digandeng dan difoto mesra berdua Bima. "Besok kita jalan-jalan ke pantai, ya. Pengen diving trus snorkeling nih, siapa tahu ketemu ikan duyung yang bisa kuajak pulang dan kujadikan istri kedua," seloroh Bima saat Tiara mencebikkan bibirnya. "Konon ikan duyung cantik dan seksi." "Dugong? Seksi?" Tiara memutar bola mata. "Asal jangan kamu bawa pulang trus kamu sembelih." "Apa aku sekejam itu?" "Kamu kan raksasa yang sadis. Jengkol aja bisa kamu gepret dijadikan kerupuk. Apalagi ikan duyung seksi dan lemah lembut begitu." "Apa kamu bilang? Raksasa? Coba bilang lagi ... coba kalau berani ... hey, Liliput!" Senja yang jatuh jadi saksi saat Tiara cekikikan dan lari meninggalkan Bima. Laki-laki itu m
Masih dengan mengatur degub jantung yang tak beraturan, Bima mengangkat tubuh kecil Tiara. Rasa bersalah karena lupa mengawasi Tiara hingga kejadian ini menimpa, khawatir kehilangan, cemas dengan keadaannya kian berlomba-lomba menelusup dalam dada.Dibaringkannya tubuh basah itu segera kemudian melakukan pertolongan pertama sebisanya, berkali-kali dipanggilnya sang pemilik nama. Namun, terlalu lama tenggelam sepertinya telah merenggut seluruh kesadaran Tiara.Bima menunduk dengan niat memberi napas buatan, hingga wajah mereka tak lagi berjarak, mata yang tadi terpejam kembali terbuka.Tiara yang kaget dengan penampakan wajah Bima tepat di hadapannya segera mendorong sekuat tenaga. "Dasar Rahwana mesum!"Bima tersentak dengan respon Tiara, khawatir yang tadi sempat meraksasa berubah kesal."Harusnya aku yang marah! Kenapa kamu pergi sendirian? Kalau gak bisa berenang ngapain harus main ke tengah air sih! Kenapa enggak manggil aku dulu buat nemenin!"
Di malam terakhir bulan madu mereka berdua. Tiara menyandarkan kepala di bahu kokoh Bima. Entah mengapa kini di sisi Bima Sena ditemuinya nyaman yang membuatnya enggan kehilangan.Dalam dekap tubuh lelaki berdada bidang itu, detak jantung Bima menjadi candu yang selalu menenangkan resahnya. Belaian demi belaian tangan dari Bima berubah menjadi hal yang selalu dinantikannya."Kenapa kamu harus baik kepadaku? Bukankah selama ini aku menyebalkan? Aku selalu berusaha mencipta jarak di antara kita, tapi kau, tak pernah menyerah untuk memutuskannya," ungkap Tiara."Karena kamulah Sinta yang dicari Rahwana. Pertemuan kita seperti roda, tak peduli kita yang berbeda. Kamu di atas, dan aku dibawah. Namun pada putarannya ada temu yang menyatukan kita. Pada dua pilihan selanjutnya yang disajikan untuk kita, bersama atau saling meninggalkan. Aku tetap ingin menjadi satu dalam kebersamaan." Bima menyunggingkan senyum yang lagi-lagi membuat Tiara tersipu untuk ke sekian kaliny
Hamil adalah hal terakhir yang diinginkan Tiara dari pernikahannya dengan Bima. Meski perlahan hatinya mulai luluh pada semua ketulusan lelaki itu, kehamilan adalah hal yang paling tidak dikehendakinya dalam hidup, selain pernikahan yang telanjur dijalani Tiara saat ini. Tiara merasa seperti tengah dipaksa harus memilih antara membenci kehamilan ini atau malah mencintai janin tak berdosa itu. Dia tak ingin terikat lebih lama dengan Bima, atau mungkin, dia juga tak ingin Bima membagi perhatian yang selama ini sangat disukainya. Namun, bagaimanapun bayi di kandungannya tak meminta untuk diciptakan atas kemauan sendiri, Tiara sendiri-lah yang membiarkan semua itu terjadi hingga menghadirkannya. Naluri keibuannya yang mulai muncul tanpa sadar terus mendorong Tiara untuk tetap bertahan. "Sayang, Honey Bunny Stroberi! Sarapan!" seru Bima riang saat masuk kamar dan membawa senampan sarapan berisi dua tangkup roti lapis dan susu hangat. Nampan itu belum menyentuh ran
Tiara merasakan ada yang menekan pelan kakinya, membuat terjaga. Sesuatu bersinar di bawah perutnya, dalam kegelapan. Apakah hantu? Wanita itu bergidik saat matanya sudah terbiasa dalam gelap, terlihat sosok putih-putih dengan penutup kepala seperti sedang bicara dengan perutnya. Tiara tercekat, tenggorokannya tiba-tiba kering dan lidahnya kelu. Itu pasti hantu pemakan bayi!Bima. Dia harus memanggil Bima sekarang juga. Ke mana sih lelaki itu saat Tiara butuh? Ketika Tiara sedang berupaya mengeluarkan suara, sosok di dekat kakinya lebih dulu bersuara. Berbisik, bukan dia bernyanyi. Ya, Tuhan! Tiara makin gemetaran. Makhluk itu pasti menyasar bayinya! Tak salah lagi!Tiara berusaha menggerakkan kakinya ketika terdengar deheman dan suara lelaki bicara,"Jago, baik-baik ya di dalam sana. Jadi laki-laki kuat yang tenang. Jangan bikin bundamu kesusahan." Itu suara Bima, bukan hantu pemakan bayi.Tunggu dulu! Darimana Bima yakin coba kalau bayi mereka laki-laki
Sejak itu, Bima semakin perhatian. Selalu ada kapanpun Tiara membutuhkannya. Tidak akan membuat wanita yang sangat dikasihinya itu merasa terabaikan.Hujan cinta dari Bima membuat Tiara semakin membuka diri. Dia juga sudah mulai terbiasa dengan kandungannya. Sudah seperti calon-calon ibu yang lain yang tak sabar berjumpa buah hatinya.Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, saat itu akhirnya tiba.Tira terpekik saat merasakan ada sesuatu yang pecah di area bawahnya, disusul air yang merembes tanpa mampu ditahan.Dia menggoyang-goyangkan tubuh Bima yang masih tertidur di sampingnya."Bim… Bima, bangun!"Bima yang semalam lembur dan tidur larut, bukannya bangun malah memeluk guling semakin erat."Biiim, bangun!""Hemmm.""Biiim, salabiiim, Banguuuun! Ketubanku pecah!" suara Tiara mulai meninggi, melihat Bima yang tidur kaya kebo.Bima langsung terjaga, mendengar suara Tiara."Ah, eh … apa y
Ingat kekonyolannya waktu itu Tiara spontan tergelak dan membangunkan Arjuna. Sedetik bayi itu mengejapkan mata, menatap wajah Bundanya dengan mengantuk, membuka mulut dan menguap lucu. Tak tahan lagi, Tiara duduk lalu meraih Arjuna ke dalam pelukannya. "Kamu itu gemesin." Tiara mencium pipi Arjuna bertubi-tubi. "Bunda pengen gigit pahamu yang sebesar balok ini. Bunda pengen gigit pipi montokmu ini. Bunda pengen gigit jarimu. Bunda peng..." "Kalau Bunda juga pengen digigit Ayah silakan saja." Bima mengambil selimut dan menutup tubuh Arjuna yang telanjang dada. "Coba kalau berani!" "Ahahahaha ... Ayahmu galak, Arjuna." "Huoaeeeeeee ... huweeee .... " Mungkin merasa kesal karena tidurnya terganggu, Arjuna meraung keras. Air mata yang bercucuran dengan bibir manyun malah terlihat lucu. Tiara cekikikan menggoda Arjuna. "I love you, Son. From here," ucap Tiara sambil menunjuk dada Arjuna. "Untill the moon." Tiara mengarahkan tangannya jauh ke atas
“Junaaa! Mainnya yang pelan!”“Junaaa! Jangan main itu!”“Bunda sudah bilang jangan dilempar mainannya itu!” geram Tiara karena Baby Juna tampak begitu senang melemparkan mobil-mobilan balap biru miliknya.Sejak pagi tak terhitung lagi suara teriakan Tiara yang menggema, entah berupa teguran hingga omelan. Kepergian Bima untuk mengurus perkebunan yang selalu memaksa berangkat di pagi buta hingga tak jarang pulang larut malam, membuatnya merasa menjadi kosong karenanya.Keberadaan Bi Yam pun membuatnya merasa tak terlalu terbantu karena super aktifnya Arjuna yang tengah lincah memainkan kaki ke sana kemari. Padahal, niat Bima memperbanyak waktu Bik Yam di rumah agar Tiara tak kelelahan merawat putra semata wayang mereka seorang diri.Tak ada barang-barang yang selamat jika masih bisa dijangkau tangan kecil bocah itu. Berkali-kali Tiara terpaksa bangkit sebelum Arjuna berhasil menyentuh apa yang dituju.Napa