Pagi hampir menjelang, tetapi Dara belum juga bisa terpejam. Dia masih sibuk mematut diri di depan cermin, mengagumi paras yang terpantul di sana.
Sungguh, dibanding Tiara dia jauh lebih memesona dan tidak akan sulit baginya menaklukkan seorang Bima, bukankah dia yang diinginkan Bima sejak awal?
Tapi bagaimana dengan Tiara?
Sekelabat, tanya itu mengusik hati Dara.
Ah, Tiara itu kakaknya. Bukankah selama ini Tiara selalu mengalah untuknya, Tiara selalu ingin dia bahagia?
Hal ini juga pasti bukan masalah besar untuknya? Tiara pasti mau berbagi! Gumam Dara dalam hati.
Keesokan harinya, Dara mencoba mencari dukungan dari kedua orang tuanya.
Tanpa malu, dia mengungkapkan perasaan yang dirasakannya pada kakak iparnya itu.
"Kamu jangan gila! Bima itu suami kakakmu!" Suara Pak Tardi sedikit meninggi mendengar ide gila anak bungsunya.
"Tapi, Yah. Bukankah memiliki menantu yang sudah terbukti kualitasnya jauh lebih menenangkan, da
Beberapa kali Bima mengerjapkan mata untuk memastikan apa yang dilihat benar nyata. Namun, ternyata itu hanyalah halusinasi karena terlalu memikirkan Tiara. Dia mengempaskan napas lega, bagaimana jadinya nanti jika istri tercintanya mengetahui dia membawa wanita lain ke tempat favorit mereka?Saat makanan telah datang, Dara segera mengambil alih piring Bima. Setelah meniup-niup sebentar, dia mengarahkan tangan untuk menyuapi. Dara berpikir, pria mana yang mampu menolak ketika diperlakukan bagai raja?"Aku bisa menyuapnya sendiri," tolak Bima. Namun sekeras apa dia menolak, Dara semakin agresif menyodorkan sendok itu. Membuatnya lagi-lagi akhirnya mengalah karena beberapa pasang mata di sana menatap mereka heran."Sudah! Sisanya biar aku sendiri!" Bima merebut kembali piring yang tadi dirampas Dara.Makanan lezat setiap kali dinikmati bersama Tiara, berubah hambar karena kelakuan wanita di hadapannya.Dara tersenyum penuh kemenangan, dia tahu sekera
"Sejak menikah kok malas-malasan. Sudah laku belum tentu tak akan dibuang." Lagi, Bu Tadi melayangkan perkataan yang benar-benar membuat Tiara muak."Kenapa kalian harus peduli? Bukankah kalian sendiri yang mengumpankan aku untuk menikahi Bima? Bahagia atau tidak, langgeng atau berantakannya rumah tanggaku bukan lagi urusan Ibu sama Dara!" geram Tiara."Oh, sudah berani, ya, sama ibu?" Bu Tardi berubah kesal dengan perkataan anak sulungnya."Memang kalau patuh, aku akan dianggap ada?" Tiara kembali bertanya.Dara menyela perkataan mereka, membuat Tiara semakin kesal terhadapnya. Pertengkaran bermula, adu mulut tak terelakkan di antara dua wanita yang sedarah itu.Hingga pada puncaknya, Dara tak tahan lagi dengan sang kakak yang telah lupa pada takdirnya angkat bicara."Aku hanya meminjamkan Bima sementara buat Kakak. Sekaranglah sudah waktu untuk kembali mengambilnya. Bukankah sejak pertama Bima menginginkanku? Kakak harus sadar diri dan men
Dingin yang menyelimuti membuat Bima menggigil. Kepala lelaki itu terasa berat seperti habis dipukul palu godam. Sembari bertumpu dengan sebelah tangan, Bima mencoba duduk dan situasi di sekeliling membuatnya terkejut. Pantas saja dari tadi dia kedinginan, ternyata Bima ketiduran di kamar mandi. Meski entah ini kamar mandi di mana, karena terasa asing baginya.Bima memijat kepalanya yang masih memberat sambil berusaha mengumpulkan ingatan. Dia hanya ingat terpaksa meladeni Tuan Wu dan Tuan Chen minum-minum saat pertemuan dan ...."Astaga!" Bima sontak berdiri meski masih agak limbung begitu teringat Dara. Gadis itu juga ada di sana. "Apa-apaan ...." Bima terbelalak kaget begitu melihat tubuh polosnya. Cepat, lelaki tinggi besar itu menyambar handuk dan keluar dari kamar mandi.Pemandangan di depannya membuat Bima makin tak mengerti. Dia di kamar hotel, tapi bagaimana bisa?"Pagi, Mas." Sebuah sapaan lembut diikuti belaian di dada telanjangnya membuat Bima
"Bunda, mau maafin Ayah?" Bima bertanya penuh harap.Tiara bergeming, tapi sikapnya sudah tak sekeras tadi. Ada rasa ingin memaafkan, tapi rasa sakitnya membuatnya sulit melupakan.Lelaki itu merapatkan jaket. Suhu dingin di luar rumah membuatnya cemas. Apa yang akan terjadi pada anak istrinya jika berkeliaran dalam cuaca seekstrim ini?Saat ini sudah malam ketiga Bima menyusuri jalan-jalan kota hingga ke pelosok gang, tetapi tak juga menemukan tanda-tanda Tiara ataupun Juna.Bayangan Tiara dan Juna hidup menggelandang atau bertemu orang jahat membuat Bima bergidik ngeri lalu menggeleng kuat-kuat. Dia harus menemukan anak istrinya malam ini juga.Bima hendak memutar langkah ketika melihat seorang lelaki yang sibuk pamer dan menggoda wanita-wanita di pinggir jalan, tetapi tiba-tiba dia berhenti lalu berbalik.Lelaki itu, lelaki dengan jaket kulit dan tindik di kuping itu sangat tak asing bagi mata Bima.Menahan gusar, Bima menarik paks
Malam merangkak kian larut. Suara jangkrik sebagai satu-satunya pemecah hening. Bik Yam mempersilahkan mereka istirahat, sedang Baby Juna tetap tidur bersamanya.Rasa lelah membuat Bima tak menolak saat Bik Yam, menawarkannya menginap."Aku tidur bareng Bik Yam dan Juna, aja," ucap Tiara."Tapi, Non … kasihan Den Bim….""Gak apa-apa, Bik. Mungkin Tiara masih butuh waktu sendiri," ucap Bima memotong kalimat Bik Yam yang belum tuntas.Tiara sedikit lega. Setidaknya Bima tak memaksakan kehendak yang membuatnya justru semakin terluka.Tak menunggu lama, Tiara segera beranjak. Meninggalkan Bima dan Bik Yam yang masih saling tatap."Ya sudah, Den Bima istirahat dulu. Semoga besok Non Tiara sudah sedikit lebih tenang jadi bisa berpikir jernih," ucap Bik Yam yang hanya di balas anggukan oleh Bima.Bima memijat kepalanya yang mendadak pening.Dia merasa hampir frustrasi menghadapi ketidakpercayaan Tiara padanya.
Keesokannya, Dara langsung menemui atasannya itu untuk menagih tanggung jawab."Mana cincinnya, Mas?" tagih Dara."Cincin apa, Dara?" Bima sengaja memasang raut datar."Katanya aku disuruh menagih tanggung jawab di sini, sekarang."Kali ini Bima terkekeh, bahunya hingga terguncang mendengar adik iparnya seperti anak kecil menagih permen."Dara, Dara. Mau kamu apa? Kamu mau aku tanggung jawab seperti apa? Menikahi kamu? Bagaimana mungkin aku menikahi gadis yang ditiduri orang lain?""Maksud, Mas? Jangan mencoba lari dari tanggung jawab!""Dengar ini," Bima memutar rekaman suara yang sudah ia sambungkan ke speaker aktif. Terdengar jelas pengakuan Doni, mantan pacar Dara tentang hubungan mereka.Dara mematung mendengar suara Doni dari pengeras suara. Bima menyadari perubahan wajah Dara yang menegang. Entah malu atau mungkin ekspresi lainnya?"Dara, kamu tidak seharusnya merendahkan dirimu seperti ini. Tentang malam itu, aku
"Aku tak boleh bermain ke luar agar kulitku tak berubah kusam. Sedang Tiara, bebas berlarian di luar bersama teman-temannya. Saat aku tak tahan gerah karena rambut yang senantiasa tergerai, ayah ibu melarangku untuk memotongnya. Mereka bilang wanita cantik itu yang rambutnya panjang." Tangan yang tadi terkepal, perlahan tergerak menarik rambutnya yang tergerai. Dililitkannya rambut itu kemudian menarik keras, membuat helai demi helainya berjatuhan ke lantai. Dara benci Tiara yang bahkan tetap terlihat cantik meski dengan rambut pendek!Tiara menatap tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya, saat ayah dan ibu selalu memuji kecantikan Dara, kulitnya yang senantiasa putih bersih dan rambut yang tergerai panjang. Kenyataannya ...."Saat Tiara boleh membeli apa yang dia sukai, aku diatur sedemikian rupa. Ayah ibu bilang wanita cantik itu yang anggun penampilannya. Ibu juga bilang berpenampilanlah yang menarik, jangan sampai ketinggalan zaman. Nyatanya, seperti rok bu
Bulan madu yang kedua, demi membiarkan Tiara beristirahat dan menghibur diri Bima sengaja menitipkan Arjuna pada kedua orang tuanya. Bima bertekad akan menyembuhkan luka yang telah diberikannya pada Tiara. Tiara tampak lebih segar sejak sampai. Meski beberapa kali sempat mengkhawatirkan Baby Juna, tapi Bima selalu berhasil meyakinkannya untuk cukup bersenang-senang selama liburan mereka. Berbeda dengan honeymoon sebelumnya, kali ini Tiara lebih antusias untuk menikmati kebersamaan dengan raksasa yang berhasil melelehkan gunung es di hatinya. Berbagai rencana telah disusun jauh-jauh hari dengan perasaan bahagia. Di hari pertama, Bima akan mengajak Tiara untuk melihat pianemo sesuai keinginan Tiara. Dengan berbekal ransel, pria itu mengikuti langkah istrinya yang bersemangat saat menaiki anak tangga. Keringat membasahi wajah wanita yang terlihat mungil jika bersanding dengan sang suami. “Biiim, cape!” keluh Tiara saat mereka sudah melewati lebi