Share

BAB 2

“Ay tidak mau Pa!”

Sangkal gadis bertubuh mungil dengan rambut kuncir kuda khas anak seusianya. Bibirnya yang berwarna merah ranum pun sudah maju beberapa centi. Menandakan Aylin memang sedang tidak bercanda.

“Dengerin Papa dulu Nak.”

Dengan terpaksa Aylin menghentikan langkah kakinya yang sudah menaiki tangga. Meski begitu ia tetap enggan memutar tubuhnya menghadap sang Ayah.

“Enzo itu rekan bisnis terbaik Papamu Ay,” ungkap Sekar, Ibu Aylin yang masih terlihat awet muda.

Apa hubungannya semua itu? Aylin bertanya-tanya dalam hati. Pemuda slengean yang sering nongkrong di depan gerbang sekolahnya berniat ingin menikahi dirinya. Benar-benar diluar dugaan Enzo adalah rekan bisnis Rendy, Ayah Aylin.

“Tapi Ay masih bocil Ma. Baru juga kelas XI,” protes gadis remaja itu tidak terima.

Respon yang normal untuk remaja SMA seperti Aylin. Sebenarnya Rendy juga cukup menyayangkan jika gadis kecilnya menikah secepat itu. Tapi melihat keseriusan Enzo perihal putrinya. Akhirnya ia memilih untuk mengalah. Toh ia yakin Enzo bisa menjaga Aylin layaknya ia yang sudah menjaga gadis itu selama 16 tahun.

“Dia laki-laki yang bertanggung jawab Ay. Sudah turuti saja kemauan Papamu.”

Mutlak. Mau menyangkal sekuat apapun Aylin tetaplah anak kecil yang tidak bisa menyanggah orang tua. Ia juga teramat takut jika dikatakan menjadi anak yang durhaka kepada orang tua. Tapi ia baru kelas XI?

“Tapi Pa, Aylin mau melanjutkan sekolah.”

Bukan Aylin namanya jika tidak bisa membuat alibi. Bukan ingin melawan tapi ia hanya mencoba untuk mencari alasan. Sungguh ia tidak ingin masa depannya suram seperti remaja yang terjebak pernikahan dini yang pernah ia baca di berita.

“Ay, dia berjanji pada Papa. Dia akan menjagamu dengan baik. Lagipula nikahnya kalau kamu udah lulus SMA kok.”

Hanya beberapa kalimat namun berhasil membuat Aylin mengatupkan bibir rapat. Iya, Aylin tidak pernah berani menyanggah perkataan sang Ayah. Ah sudahlah ia terlalu belum siap menerima tawaran menikah. Toh masih sekitar satu tahun lebih.

Sementara disebuah rumah bernuansa klasik namun berkelas, nampak seorang laki-laki berusia 28 tahun sedang merebahkan diri di sofa malas. Mata elangnya menatap daun yang berguguran diterpa angin. Enzo tidak bisa menghentikan bibirnya yang terus menyunggingkan lengkungan tipis.

“Sehat Mang?”

Reflek Enzo memutar kepala melihat suara familiar yang terdengar sedikit cempreng. Astaga bernyali sekali Enzo mengatai wanita paruh baya disampingnya cempreng. Wanita itu adalah Elena, ibu Enzo.

“Bunda mah gitu, anak seganteng seleb masak manggilnya Mamang,” protes Enzo kepada Elena.

Geli dengan ucapan pemuda di hadapannya Elena hanya bisa terkikik kaku. Bukan kali pertama putra semata wayangnya itu terlampaui percaya diri seperti itu. Tapi memang benar Enzo setampan seleb menurut Elena, entah menurut orang lain.

“Besok ikut Bunda ke petshop ya?” bujuk Elena. Pasalnya Enzo selalu menolak ajakannya.

Enzo memutar bola mata malas. Ia tahu ada maksud tersembunyi dari permintaan wanita yang ia panggil dengan sebutan Bunda itu. Bukan tanpa alasan, petshop adalah tempat Elena bertemu dengan kawan lamanya. Hal itulah yang membuat Enzo sangat malas jika diajak pergi menemani sang Ibu.

KRING!!!!!!

Tidak seperti hari-hari sebelumnya. Siang ini gadis bertubuh mungil dengan sweater oversize nampak murung di kursi taman sekolah. Sepoi angin dibawah pohon rindang ternyata tidak bisa menyejukkan hatinya sama sekali. Pikirannya terus berkelana mengingat perkataan kedua orang tuanya perihal perjodohan.

“Arrrgghhh!! Kenapa aku terus memikirkan om-om itu?? Toh dia juga tidak menemuiku lagi.”

Monolog Aylin memerutuki dirinya sendiri.

“Cie, mikirin pangeran norak ya Ay?”

Demi apa, Aylin terkejut setengah mati melihat Sesil yang entah sejak kapan duduk disampingnya.

“Sejak kapan kamu disini hah??” tanya Aylin kebakaran jenggot.

Sesil mengedipkan sebelah matamya, “10 menit yang lalu.”

Ya Tuhan, bagaimana bisa aku tidak sadar sama sekali? Batin Aylin mengutuk diirnya sendiri. Apa mungkin virus pangeran norak itu sungguh membuatnya terlena? Membayangkannya saja ia sudah merinding.

“Om itu beneran gebetanmu ya Ay?” tanya Sesil penuh selidik. Tak lupa ia memasang wajah curiga.

Secepat kilat Aylin menggelengkan kepala tanda tidak setuju dengan tuduhan itu.

“Yakali pacarku setua itu Sil!” sanggah Aylin.

“Oh pacar toh?” goda Sesil semgaja menekankan kata pacar kepada sahabatnya yang terlihat menggemaskan saat sedang menahan marah.

“Dih amit-amit!”

Deru mobil mewah menghentikan percakapan dua gadis remaja yang sama-sama sedang menunggu jemputan pulang sekolah. Tanpa aba-aba Aylin dan Sesil menatap seseorang yang keluar dari mobil mewah keluaran terbaru itu.

Bingo! Sudah lama sekali Enzo tidak melihat pemandangan yang paling ia sukai beberapa hari ini lantaran ia harus pergi keluar kota. Dan beruntungnya ia langsung disambut peri kecil cantik yang selalu memenuhi kepalanya.

“Hai tuan putri,” sapa Enzo seraya menghampiri Aylin yang duduk mematung.

“Om panjang umur baru juga diomongin udah nonggol aja,” celetuk Sesil.

Enzo mengernyitkan alis tak paham.

“Kamu ngomongin saya??”

“Aylin Om.”

Apa? Sesil benar-benar minta dibogem. Dengan sengit Aylin mencubit kecil pinggang sahabatnya yang sudah asal bicara.

“Tidak! Jangan percaya!”

“Serius Om. Tadi Aylin bilang kangen.”

Hah? Apa-apaan Sesil berkata seperti itu. Aylin sungguh tidak habis pikir.

Enzo mengedipkan sebelah mata menggoda gadis mungil yang pipinya tengah memerah. Dimata Enzo Aylin terlihat seperti buah tomat yang sudah masak. Cantik dan merah merona. Ia baru tahu Aylin seimut itu.

“Sesil!” bentak Aylin dengan galaknya kepada gadis bersweater sama persis dengan yang ia kenakan.

“Serius Om aku gak bohong. Tadi Aylin nglamunin Om, sumpah.”

Aylin merinding sekaligus mual melihat ekspresi laki-laki jangkung dihadapannya. Pasalnya Enzo memasang wajah yang sulit sekali diartikan karena terlalu norak bagi Aylin. Sungguh kentara sekali laki-laki itu sedang berbinar bahagia.

“HOEK ...!”

Celetukan Aylin menyadarkan Enzo yang sedang berbunga-bunga. Sekejap ia langsung tersadar dari perasaan terbangnya mendengar pernyataan teman Aylin.

“Ya sudah pulang yuk!” ajak Enzo seraya menggandengan tangan kecil Aylin.

“Ih jangan pegang-pegang!” protes Aylin menepis tangan Enzo dengan sengit.

Bukannya marah laki-laki bertubuh jangkung itu justru melempar senyum. Ia menghargai gadis kecilnya yang menolak bergandengan tangan dengan dirinya. Meski ketus Aylin tetap menurut masuk ke dalam mobil. Tentu saja dengan wajah datar nan dingin.

“Nih oleh-oleh,” ucap Enzo menyambar kado yang sudah ia siapkan sejak beberapa hari yang lalu.

Mendengar kata oleh-oleh ekor mata Aylin melirik sekilas kotak berwarna cream lengkap dengan pita diatasnya. Dengan rasa penasaran tingkat dewa Aylin membuka kotak yang diberikan Enzo.

“Hah??”

Aylin melongo menatap isi kotak berwarna cream itu.

“Gimana? Suka?” tanya Enzo tersenyum ceria.

Aylin mengerjapkan bulu matanya yang lentik berulang kali. Ia mencoba membaca buku yang ada didalam kotak cream itu berulang kali. Namun ia yakin ia tidak sedang salah membaca.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status