Share

My Absurd CEO
My Absurd CEO
Author: Icas Sia

BAB 1

Kemeja rapi, jas necis, sepatu hitam mengkilap menjadi pekerjaan yang paling didamba sebagian besar manusia. Laki-laki berperawakan jangkung turun dari mobil. Ribuan karyawan yang sudah menanti sontak berdesakan untuk melihat sang CEO perusahaan WinEx Group.

Enzo Delwyn, semua mata tertuju padanya tanpa luput. Ada mata yang berbinar kagum hingga mata yang nampak penuh haru biru. Tatapan yang cukup beragam untuk menyambut kedatangan laki-laki berperawakan tinggi menjulang itu. Bukan jas dan kemeja rapi yang menyejukkan mata melainkan kaos oblong santai berwarna merah menyala. Dengan tidak matching Enzo mengenakan celana panjang warna kuning. Pun digulung sebatas lutut. Menampakkan kaki panjangnya yang dihiasi bulu kecil yang seolah malu untuk tumbuh. Hingga tiba-tiba datanglah laki-laki berjas hitam rapi nan necis menghampiri Enzo. Sekretaris perusahaan WinEx Group, Jayden.

"Bapak yakin hanya mengenakan sendal jepit saja?" tanya Jayden kepada bosnya. Pasalnya ia sendiri merasa gemas dengan tingkah Enzo yang terlampaui cuek soal penampilan.

Enzo nyengir kuda seraya berjalan acuh melintasi ribuan karyawan. Tidak peduli dengan pandangan seluruh mata yang enggan beralih darinya. Baru kali ini ia merasa menjadi seorang artis. Perasaan menyenangkan macam apa ini? Batin Enzo geli.

Dengan setengah berlari Jayden menyusul Enzo yang berjalan lebih dulu darinya. "Paling tidak tolong naikkan dulu resleting celana Bapak," ucap Jayden sukses membuat Enzo membeku.

Laki-laki Jangkung itu lantas menatap tubuhnya bagian bawah. Terpampanglah celana boxer berwarna pink terang dengan motif bulan dan bintang.

"Hehe, kelihatan ya?" ucap Enzo terkekeh. Lalu menaikkan resletingnya dengan santai.

Plak!

Karyawan diseluruh ruangan itu menepuk jidat serentak. Bisa-bisanya mereka memiliki CEO sembrono seperti Enzo.

"Tolong di jaga ya pak. Itu aset masa depan," ucap Jayden dengan wajah sendu ingin menangis. Ia sebagai laki-laki tulen merasa harga dirinya tercabik melihat perilaku bosnya.

Enzo tidak terlalu mendengarkan ucapan Jayden yang selalu bawel. Ketimbang sekretaris perusahaan, Jayden lebih cocok menjadi ibu untuk Enzo. Musabab laki-laki itu selalu melarang dan mencegah Enzo untuk melakukan ini dan itu. Persis seperti seorang ibu yang melarang anaknya bertindak ceroboh. Sungguh ironi.

Laki-laki berperawakan jangkung itu menghentikan langkahnya tepat di depan ruang khusus bertuliskan CEO WinEx Group.

"Astaga!" pekik Enzo mengerjapkan bulu matanya yang selentik bulu mata sapi. Panjang dan hitam alami.

"Ada apa pak?" tanya Jayden yang berada dibelakang Enzo.

Tanpa menjawab pertanyaan sekretarisnya. Enzo berlari kembali menuju mobil mewah miliknya yang bertengger di parkiran. Wajahnya yang terbiasa santai pun berubah menjadi kaku dan serius. Meliihat pantulan wajahnya sendiri dari cermin mobil Enzo terkikik geli.

“Ternyata aku bisa setampan ini. Bisa-bisanya seorang Aylin menolakku.”

HAACIWW!!!

“Busett ... pelan napa Neng. Cewek kok gak ada anggun-anggunnya,” celetuk gadis remaja berseragam putih abu-abu kepada gadis bersurai coklat disampingnya.

“Pasti ada yang ngomongin aku nih.”

“Emang iya Ay?” tanya Sesil gadis yang sejak tadi setia menemani Aylin dari Taman Kanak-Kanak hingga sekarang.

Gadis berwajah bulat yang sering di sapa dengan nama panggilan Aylin itu mengangguk singkat. Ia bahkan tidak yakin dengan jawaban ngasal itu. Tapi Sesil mudah percaya begitu saja.

“Ay udah ditungguin di gerbang.”

Aylin yang baru saja hendak menyantap tahu bulat yang sempat ia anggurkan hanya bisa mendengus kesal mendengar ucapan salah seorang siswa kelas XI. Tidak seperti biasanya ia dijemput secepat itu. Ia paham betul betapa sibuknya sang Ayah. Dengan terpaksa Aylin beranjak dari kursi kantin favoritnya. Berjalan malas menuju gerbang sekolah.

“Selamat siang tuan putri.”

Bukan suara barinton. Sejak kapan suara barinton berubah menjadi bass? Aylin yang kebingungan lantas mendongakkan kepala.

“HAHAHAHA!!”

Seketika Aylin ingin menghilang dari planet yang disebut bumi. Malu, ia sangat malu sekali. Entah datang darimana laki-laki berkaos merah mencolok mata yang akhir-akhir ini sering menemui dirinya.

“Cie ... Aylin dijemput pangeran,” ujar siswa kelas XI yang seangkatan dengan Aylin.

“Pangeran norak ups!” imbuh yang lain meledek Aylin tanpa segan.

Geram dengan ledekan dan cemooh yang berulang. Aylin berjalan cepat menghampiri seorang laki-laki jangkung yang tengah tersenyum lebar di depan pintu mobil. Keren? Norak!

“Pergi!!” usir Aylin dengan suara lantang khas remaja seusianya.

Bak bongkahan batu besar. Laki-laki yang berdiri tepat disamping Aylin tidak bergeser sama sekali. Bagaimana mungkin bisa bergerak. Tubuh Aylin saja tidak ada seperempatnya dari laki-laki itu.

“Tuan putri jangan kasar dong sama pangeran. Hahaha.”

Lagi-lagi ledekan itu menghujani Aylin. Sungguh ia frustasi dengan situasi yang menimpa dirinya saat ini. Ia bahkan tidak kenal sama sekali dengan laki-laki yang dipanggil dengan sebutan pangeran oleh teman-temannya. Pangeran norak, catat.

“Kenapa sih Om selalu kesini??” tanya Aylin tidak sabaran. Untuk apa juga ia bersabar dengan laki-laki tidak dikenal itu.

Enzo berbinar mendengar suara yang menurutnya sangat merdu. Ya, suara gadis mungil yang membuat jantungnya berdebar kencang. Ia juga tidak paham bagaimana mungkin ia jatuh hati pada gadis SMA yang lebih pantas menjadi keponakannya. Tapi bukankah cinta itu buta? Kalian mau apa.

“Woi!” seru Aylin seraya melambaikan tangan tepat di depan wajah laki-laki dihadapnnya. Untungnya laki-laki itu sudi sedikit menundukkan kepalanya. Sehingga Aylin tidak perlu terlalu berusaha untuk menyamai tingginya yang hanya standar.

“Aku disuruh Papamu,” sahut Enzo dengan senyum merekah.

Apa katanya? Papa? Dusta apalagi ini. Batin Aylin tidak habis pikir.

Melihat dari penampilan laki-laki itu yang super amburadul. Rasanya tidak mungkin laki-laki itu memiliki hubungan dengan perusahaan Ayahnya. Aylin menggelengkan kepala untuk yang kedua kalinya.

“Udah Ay buruan masuk mobil. Ntar keburu pergi pangerannya,” ledek Sesil yang entah mengapa ikut nimbrung. Seraya mendorong Aylin masuk mobil.

Aylin mengerjapkan bulu matanya dengan cepat. Hanya dalam hitungan detik saja ia sudah duduk di kursi mobil milik laki-laki aneh yang mengaku disuruh oleh papanya. Teman-temannya sungguh tidak berakhlak sudah membuat ia terjebak satu mobil dengan laki-laki itu.

“Jadi mau main dulu apa langsung pulang?” tanya Enzo dengan ceria seperti anak kecil yang mendapat gula-gula.

“Sebenernya Om siapa sih? Penculik??” cecar Aylin sewot. Kalaupun laki-laki itu seorang penculik anak dibawah umur Aylin tidak ciut. Toh ayahnya pasti akan menemukan dirinya kemana pun ia akan dibawa.

Sangat menggemaskan. Entah mengapa gadis mungil itu semakin terlihat menggemaskan saat sedang marah. Mungkin tuduhan Aylin ada benarnya. Enzo memang penculik. Penculik hati.

“Namaku Enzo.”

Melihat tidak ada respon dari gadis disampingnya Enzo mencoba melirik sekilas Aylin. “Aku Enzo.”

“Yang tempat kebun binatang itu?”

Ya Tuhan pertanyaan macam apa itu? seketika Enzo ingin menggulung bocah disampingnya itu dengan tangannya sendiri.

“Enzo bukan Zoo!”

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status