Share

Bab 4

Enzo melipat sikunya sebagai penopang dagu. Mata elangnya menatap jauh gedung pencakar langit dari balik kaca jendela kantor. Kepalanya terasa berat mendengar presentasi dari seorang karyawan kantornya yang terdengar seperti lagu penghantar tidur untuknya. Berulang kali ia menguap menahan kantuk.

“Sudah pak,” ucap Jayden.

Entah lantaran terlalu pelan suara Jayden atau Enzo yang terlalu mengantuk. Laki-laki bertubuh jangkung itu tidak merespon sama sekali. Matanya masih menatap kosong keluar jendela. Tentu saja tingkah Enzo membuat karyawan kantor yang mengikuti rapat itu terkekeh geli.

“Pak Enzo, bangun yuk bisa yuk,” ucap Jayden seraya melambaikan tangan di depan wajah Enzo.

Dengan sigap Enzo menegakkan tubuh jangkungnya yang justru mengundang gelak tawa satu ruangan. Apakah Enzo peduli? Tentu tidak. Sebenarnya ia masih bisa mendengarkan presentasi salah satu karyawannya. Ia juga paham betul apa yang menjadi bahasan rapat siang itu. Ditengah cuaca yang terik ia merasa begitu pelik mendengar presentasi yang berbelit.

“Revisi proposalnya.”

Jayden mengerjapkan matanya sepersekian detik mendengar perkataan laki-laki yang masih setia menopang dagu dengan siku dihadapannya. Tidak di sangka Enzo ternyata mendengarkan penuh prresentasi karyawan. Hal itu membuat karyawan yang sedang melakukan presentasi melongo tidak percaya.

“Maaf pak, memangnya dimana letak kesalahannya?” protes Karyawan itu merasa tidak yakin jika Enzo benar-benar menyimak dengan seksama.

Enzo menegakkan tubuh jangkungnya. Mata elangnya menatap serius karyawan dihadapannya. Ia lantas memamerkan senyum smirk yang seketika merubah suasana ruangan rapat itu menjadi menyeramkan.

“Anggaran dananya masih perlu diperbaiki,” jawab Enzo.

“B-baik pak akan saya perbaiki.”

Laki-laki berbadan jangkung itu memang bisa bersikap serius. Ia yang biasanya jenaka tentu membuat karyawannya menundukkan kepala ketakutan. Melihat tidak ada satu pun karyawan yang berani mengangkat kepala Enzo lantas tertawa.

“Kalian semua kenapa??” imbuh Enzo menahan geli.

Hah? Jayden adalah orang pertama yang mengangkat kepala setelah mendengar cekikikan khas dari atasannya. Meski dipenuhi perasaan bingung dengan tingkah Enzo, Jayden mencoba untuk tetap memaklumi atasannya itu.

“Kami kira Bapak marah karena proposalnya salah,” ucap Jayden mengungkapkan isi kepalanya.

“Tenangkan dirimu anak muda. Aku tidak sekejam itu,” jawab Enzo seraya merangkul Jayden yang terkejut dengan kehadurannya yang tiba-tiba.

Drrrt!

Sebuah notifikasi mendarat pada gawai yang berada di saku celana Enzo. Secepat kilat Enzo merogoh sakunya. Wajahnya mendadak berubah dramatis yang semula sumringah menjadi merah padam.

“Jay tutup rapatnya saya ada urusan!”

Tanpa menunggu jawaban dari Jayden, Enzo sudah bergegas keluar ruangan rapat. Menimbulkan tanda tanya yang tidak mungkin ada yang bisa menjawab.

Ada beberapa remaja yang berhambur menuju gerbang dengan antusias. Ada yang memilih berjalan santai seraya menunggu jemputan. Ada juga yang memilih untuk mampir ke kantin sekolah terlebih dahulu.

“Hai namamu Aylin kan?” sapa seorang remaja laki-laki berambut cepak dengan baju berbadge XII menandakan ia adalah kelas XII.

Aylin yang tengah mengunyah bakso pun hampir tersedak. Ketua osis yang selalu menjadi panutan di sekolah menghampiri dirinya tiada angin tiada hujan. Sungguh mengharukan.

“Da-darimana kakak tahu namaku?” tanya Aylin gugup.

Jantung Aylin berdebar sangat kencang. Devin adalah kakak kelas yang ia kagumi sejak kelas X. Walau begitu Aylin tidak pernah mencoba mendekati laki-laki tampan itu. Ia terlalu cupu dalam urusan asmara.

“Sejak ospek.”

Ya Tuhan, Aylin semakin berdebar mendengar jawaban Devin yang menurutnya sangat mencengangkan. Ia memang sering memperhatikan Devin tapi ia tidak menyangka kakak kelasnya itu bahkan mengetahui dirinya bernama Aylin. Badan Aylin panas dingin perasaannya campur aduk.

“Kakak sendirian aja?” tanya Aylin mencoba menutupi rasa canggungnya.

Memang tidak ada pengunjung lain di kantin itu selain Devin dan Aylin. Lagi pula siapa yang akan datang ke kantin saat bell pulang sudah berbunyi. Tentu saja siswa lain akan memilih untuk segera pulang.

“Ada ekskul musik,” jawab Devin tersenyum manis.

Bak terpanah Aylin semakin kagum dengan kakak kelasnya itu.

“Wah kakak ikut ekskul musik?” tanya Aylin antusias. Selain tampan ketua osisnya itu ternyata juga berbakat.

Laki-laki itu mengangguk mengiyakan. Devin mencoba menata perasaannya yang kacau berada di dekat Aylin. Ia tidak menyangka bisa duduk berdampingan dengan gadis yang selama ini ia kagumi dari kejauhan. Sudah lama Devin ingin mendekati Aylin namun kegiatannya yang padat membuat Devin mengurungkan niat. Semakin ia perhatikan Aylin semakin membius dirinya. Sangat cantik dan menggemaskan.

“Kamu kok belum pulang?” tanya Devin menenangkan perasaannya yang sedang gugup.

“Nunggu Papa kak,” sahut Aylin menundukkan kepala tidak berani beradu tatap dengan Devin.

Suasana menjadi semakin canggung. Devin terlalu grogi berada di dekat Aylin. Sementara Aylin tidak berani bertanya pada Devin.

“Neng Lin ada sisa kue mau?” tawar penjaga kantin yang sudah sangat akrab dengan Aylin.

“Mau dong,” jawab Aylin dengan wajah riang.

Rupanya tingkah Aylin tidak luput dari pandangan Devin yang terfokus pada Aylin. Mulai dari gadis itu menjawab dengan antusias hingga ekspresinya saat melahap kue. Bodoh, Devin memerutuki dirinya sendiri. Kenapa ia baru mendekati Aylin sekarang seharusnya ia memberanikan diri sejak kelas XI.

“Kak Devin mau?”

Aylin yang melihat Devin tidak berkedip sama sekali melihat ia memakan kue membuat ia tidak enak hati dan tidak tega. Namun sangat disayangkan kue itu hanya ada satu potong.

“Eh enggak kok buat kamu aja,” ucap Devin menggelengkan kepalanya menolak.

“Beneran nih?” tanya Aylin memastikan. Ia tidak tega melihat Devin.

Devin kembali tersenyum memperlihatkan kedua lesung pipinya yang membuat Aylin hampir keselek kue. Aylin bahkan tidak yakin lebih manis kue yang ia makan atau senyuman Devin dihadapannya.

“Ibuku sering membuat kue. Kalau kamu mau aku bisa membawakanmu kue setiap hari,” ungkap Devin.

“Aku sih gak akan nolak kak,” jawab Aylin dengan tidak tahu malu.

Lampu hijau, Devin merasa mendapat angin segar siang itu. Senyuman terus terukir di bibir Devin.

“Jadi kamu disini?”

Suara bass laki-laki dewasa mengejutkan dua remaja yang saling salah tingkah di kantin itu. Aylin lantas balik badan menatap laki-laki bertubuh jangkung yang sedang melipat kedua tangan di depan dada.

“Paman kamu Ay?” tanya Devin polos.

Enzo yang sudah geram sejak tiba di kantin pun berjalan menghampiri Aylin yang diam mematung. Bernyali sekali remaja laki-laki itu mendekati calon istrinya. Dan berani juga memanggil dirinya dengan sebutan Paman?

“Saya ...”

“Iya dia paman yang menjemputku.”

Aylin menarik lengan Enzo menjauh keluar kantin. Tidak mungkin ia membiarkan Enzo mengatakan perjodohan konyol itu. Tidak, Devin tidak boleh mengetahui apapun tentang Enzo.

“Om bisa gak sih sehari aja gak usah datang kesini?!” seru Aylin naik pitam.

“Biar bisa berduan sama Kakak?”

What??? Aylin membulatkan mata. Sejak kapan Enzo berada di kantin?

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status