Share

Bab 5

Seperti janji langit yang tidak selalu biru. Hidup pun tidak selalu tentang kebahagiaan. Ada kalanya rasa senang itu berubah menjadi pilu. Mata yang sembab, rambut tidak lagi terawat, rongga pernapasan yang terasa mencekat. Gadis bertubuh mungil itu memeluk tubuhnya sendiri. Genangan di matanya sudah mengering lantaran entah berapa kali ia terus menangis.

"Ma, Pa ..." rengek Aylin mencoba menerima kenyataan kepergian kedua orang tuanya.

Keterpurukan terlukis jelas dalam raut wajah gadis berusia 16 tahun itu. Kepergian kedua orang tuanya yang tiba-tiba membuat Aylin kehilangan cahaya. Kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya sungguh pukulan yang teramat keras untuk Aylin. Jika ia di izinkan untuk memilih tentu ia akan memilih dirinya yang pergi. Tapi ketetapan Tuhan adalah mutlak. Tidak bisa dilawan tidak bisa disangkal.

"Kamu yang kuat ya Ay. Mulai sekarang kamu tinggal di rumah Bunda aja," ucap wanita paruh baya mencoba menenangkan Aylin.

Aylin melirik sekilas wanita paruh baya disampingnya. Ia begitu kalut jika harus membuat keputusan. Tapi ia juga tidak tahu harus tinggal dengan siapa. Sementara semua saudaranya berada di luar Negeri. Mau tidak mau ia menganggukkan kepala menyetujui tawaran itu.

"Bun, kita harus bicara."

Elena mengikuti langkah Enzo menuju ruang tengah. Semenjak kedatangan Aylin ke rumah Enzo menjadi lebih banyak diam. Entah apa yang di pikirkan.

"Bun kok Aylin diajak kesini. Gimana kalau ..."

"Bunda tahu apa yang kamu takutkan En," potong Elena menginterupsi perkataan Enzo yang belum selesai.

"Jadi Bunda memutuskan untuk menikahkan kalian berdua malam ini."

Perkataan Elena sukses membuat Enzo membulatkan mata. Bagaimana tidak ia sama sekali tidak kepikiran jika ia akan menikahi Aylin secepat itu. Ia memang berencana menikahi Aylin tapi paling tidak gadis itu lulus SMA dahulu.

"Tapi Bun dia masih kelas XI," protes Enzo berharap keputusan itu belum mutlak.

"Memangnya kenapa? Yang penting statusnya tidak ketahuan," jawab Elena dengan santainya.

Dan tanpa mengulur waktu lagi Elena benar-benar menikahkan putranya dengan Aylin. Pernikahan itu berlangsung dengan sederhana. Hanya ada kedua orang tua Enzo sebagai saksi pernikahan dan beberapa asisten rumah tangga.

Setelah pernikahan sederhana itu Aylin menuju kamarnya. Ia merasa sedang bermimpi semuanya berlalu begitu saja. Kedua orang tuanya yang meninggalkan ia selamanya, pernikahan yang singkat, dan status barunya sebagai seorang istri. Aylin benar-benar lelah memikirkan semua yang menimpa dirinya dengan begitu tiba-tiba.

"Ma, Pa ... Aylin menikah dengan laki-laki yang Papa inginkan. Seandainya Papa masih ada pasti Papa senang kan?" monolog Aylin menahan sesak di dadanya yang kembali muncul ke permukaan.

Cklek!

Tubuh Aylin berjingkit mendengar gagang pintu kamarnya terbuka. Tidak! Ia masih anak SMA ia tidak boleh sekamar dengan Enzo walaupun statusnya laki-laki itu sudah sah menjadi suaminya.

Dugaan Aylin ternyata meleset. Bukan laki-laki berbadan jangkung yang memasuki kamarnya. Melainkan wanita paruh baya yang sedang tersenyum lembut kepadanya. Elena yang hangat dan keibuan membuat Aylin sedikit terhibur.

"Akhirnya kamu resmi menjadi menantu Bunda," ucap Elena memeluk gadis mungil itu erat.

Air mata Aylin kembali pecah mendengar perkataan itu. Di usianya yang masih sangat belia ia tidak menyangka akan menikah secepat itu. Ia bahkan belum lulus sekolah. Bagaimana tanggapan teman-temannya jika tahu ia sudah menikah. Aylin tidak bisa membayangkan semua itu.

"Tenang aja kamu tidak akan sekamar dengan Enzo. Kamar ini khusus buat kamu."

Syukurlah, Aylin bernapas dengan lega. Elena menjelaskan panjang lebar tentang alasannya segera menikahkan Aylin dengan putranya. Ia hanya tidak ingin Aylin di pandang sebelah mata oleh tetangga sekitar. Ia juga ingin Aylin menjadi keluarganya. Sebagai seorang ibu Elena sangat tidak tega melihat Aylin yang sebatang kara.

"Terima kasih Bun. Aylin tidak tahu harus membalas kebaikan Bunda dengan apa," ucap Aylin dengan tulus.

"Kamu tidak perlu membalasnya. Toh Enzo memang berniat ingin menikahimu," sahut Elena mencubit pipi Aylin gemas.

Berulang kali Enzo mencoba menutup matanya namun selalu gagal. Pikirannya penuh dengan pernikahan dengan Aylin yang berlangsung mendadak. Ia menjadi merasa bersalah sudah menikahi gadis di bawah umur. Tapi bukankah itu bagus? Remaja laki-laki yang ia lihat berduaan dengan Aylin di kantin menjadi tidak bisa berkutik lagi. Perasaan melegakan macam apa ini? Batin Enzo.

Tok! Tok! Tok!

"Bangun Mang udah jam 7."

Suara khas itu membuat Enzo menarik napas dalam. Ia hafal betul pemilik suara itu adalah Elena sang Bunda. Memang benar alarm terbaik adalah Ibu. Walaupun belum sempat memejamkan mata sama sekali Enzo segera bangkit dari tempat tidurnya. Lalu membuka pintu kamar dengan memamerkan senyum cerah.

"Aaaaaaaaa!!!!"

Pekikan gadis berseragam putih abu-abu menggema di ruang keluarga. Aylin menutup rapat wajahnya menggunakan telapak tangan. Enzo mengernyitkan kening heran dengan tingkah gadis yang ia nikahi semalam.

"Lebay amat, masih pakai kolor kok."

Dengan santainya Enzo menuju meja makan dengan bertelanjang dada dan berkolor keropi.

Elena dan Markus terkekeh melihat reaksi Aylin yang tentu saja terkejut dengan penampilan Enzo. Namun bagi keluarga Enzo hal itu sudah terlalu biasa. Lantaran Enzo pernah bertindak lebih sembrono daripada itu.

"Tapi kan geli Om masak gak pakai baju sih!" protes Aylin masih menutup matanya dengan rapat.

"Om?" celetuk Markus, Ayah Enzo membuat Elena semakin terbahak. Pasalnya orang tua Enzo sangat geli mendengar Aylin menyebut putranya dengan sebutan Om.

"Kamu manggil Enzo Om?" cecar Elena kepada Aylin.

Mendengar pertanyaan Elena perlahan Aylin membuka telapak tangannya lalu menunduk. Terlalu horor jika ia menatap laki-laki dihadapannya. Aylin mengangguk mengiyakan pertanyaan Elena. Sontak kedua orang tua Enzo kembali terbahak.

"Bun, anaknya gak dibela nih?" ucap Enzo penuh harap.

Untuk apa Enzo berharap hal itu. Tidak akan ada yang membela dirinya. Kedua orang tuanya bahkan kompak menggelengkan kepala.

"Sudah sana buruan mandi. Nanti Aylin telat loh!" titah Elena.

"Ehhh, Aylin berangkat naik taksi aja Bun."

"Buat apa naik taksi. Kan bisa berangkat bareng Enzo," imbuh Markus menambahkan.

Tidak! Tidak ada yang boleh tahu tentang pernikahan. Jika Enzo mengantar Aylin ke sekolah itu artinya Aylin sedang menggali kuburannya sendiri. Dengan cepat Aylin menggelengkan kepala menolak.

"Nanti kalau ada yang melihat kan bahaya Bun," ungkap Aylin mencari ide. Toh ia memang tidak ingin pernikahan itu terbongkar.

"Kenapa? Kan aku pamanmu," sahut Enzo seraya mengunyah nasi goreng.

Susah payah Aylin menelan salivanya sendiri. Nampaknya Enzo masih mempermasalahkan kejadian Minggu lalu di kantin sekolah.

"Pfftt, paman?" tanya Markus mencoba mencari kejelasan dari pernyataan Enzo.

"Kalian ini ada-ada aja," timbrung Elena tidak habis pikir dengan tingkah putranya.

"Bu-bukan gitu maksudnya," ucap Aylin terbata. Ia merasa bersalah menyebut Enzo paman kala itu.

"Santai aja, aku tidak peduli kamu menyebutku kakek pun tidak masalah. Satu hal yang pasti, aku SUAMIMU."

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status