Share

Bab 6

Aylin tercekat melirik laki-laki remaja yang terpaut tidak terlalu jauh darinya sedang berjalan menuju tempat duduknya. Rambutnya yang terkibas angin menambah ketampanan Devin.

"Buat kamu," ungkap Devin seraya mengulurkan sekotak kue bertuliskan Homemade. Menandakan kue itu bukan buatan pabrik.

Devin menarik seulas senyum melihat mata Aylin yang berbinar. Ia tahu gadis yang ia kagumi itu tidak akan bisa menolak makanan manis. Begitulah informasi yang ia dapat dari sahabat Aylin.

"Terima kasih kak."

Namun mata berbinar itu berubah menjadi sendu kembali. Mengisyaratkan betapa pedih beban dibalik keceriaanya. Betapa banyak hal yang disembunyikan. Jelas sekali sorot mata indah itu berubah menjadi penderitaan.

"Kamu yang kuat ya. Aku tahu kehilangan kedua orang tua itu tidak mudah. Tapi aku tahu kamu gadis yang kuat melewati itu semua. Semangat!"

Aylin terpaku, bukan pada ketampanan Devin. Tapi pada tutur katanya yang terdengar sangat tulus. Hingga membuat jantungnya berdegup tak menentu. Ah, akhir-akhir ini jantung Aylin berdebar tidak jelas hanya karena seorang laki-laki. Rupanya aliran darah itu memompa kuat hingga sampai di kedua pipi Aylin yang kini merah jambu.

"Kak Devin baik sekali. Aku tidak tahu kakak orang sehangat ini," ucap Aylin malu.

"Hangat? Memangnya aku meluk kamu?"

Sontak Aylin membulatkan mata. Ia baru sadar perkataannya sedikit ambigu di dengar. Dengan cepat Aylin menggelengkan kepala. Semakin tersipu ia kepada Devin.

Pipi merah Aylin menjadi hiburan tersendiri bagi Devin. Ia merasa puas bisa menggoda gadis yang ia kagumi sejak kelas XI. Walaupun ia sedikit terlambat mendekati Aylin. Tapi kali ini ia akan memastikan Aylin akan menjadi miliknya.

"Kak Devin apaan sih!" sangkal Aylin tidak terima.

Laki-laki disamping Aylin itu lantas terkekeh. Memperlihatkan kedua lesung pipinya yang terlihat jelas saat sedang tersenyum dan tertawa. Begitu manis dan menawan.

"Ya udah aku masuk kelas dulu ya. Jangan lupa di makan kuenya."

Devin mengusap surai hitam milik Aylin yang sedang tergerai. Jantung Aylin semakin berdetak tidak karuan. Rambut yang di belai hati yang rontok.

Tanpa disadari Aylin. Ternyata ada sepasang mata yang sejak tadi mengawasi dirinya. Sorot mata itu begitu penuh kebencian. Tidak puas hanya melihat. Gadis itu menghampiri Aylin dengan angkuh.

"Cih!"

Aylin terkejut dengan tingkah kakak kelasnya yang tiba-tiba menampik sekotak kue yang ia pegang. Hingga membuat kue itu berhamburan dari dalam kotak.

"Kok dijatuhin sih kak?!" seru Aylin beranjak dari tempat duduk. Mencoba memungut sisa kue yang tidak keluar dari kotak.

Misel menyunggingkan senyum sinis. Puas hati ia melihat gadis tidak tahu diri itu memungut kue yang ia jatuhkan.

"Bagus, seperti itulah kamu. Pemungut!"

Tubuh Aylin mematung. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa kakak kelasnya itu berbuat demikian.

"Jauhi Devin. Dia milikku bodoh," jelas Misel memandang rendah Aylin yang memang berstatus sebagai adik kelasnya.

"Maksud kakak apa?"

Misel memutar mata malas. Sok polos sekali gadis dihadapannya itu. Ingin rasanya ia menjambak rambut Aylin agar gadis itu tersadar.

"Kamu sadar gak sih. Kamu sudah merebut Devin!" ucap Misel dengan nada tinggi hingga membuat perhatian beberapa murid tertuju padanya dan Aylin.

Suasana pun menjadi ramai. Aylin dan Misel menjadi tontonan para murid yang belum masuk kelas. Memang masih ada waktu sekitar 5 menit sebelum Bell masuk berbunyi.

Aylin yang tidak nyaman menjadi pusat perhatian hanya bisa menundukkan kepala takut. Ia tidak tahu akan menjadi tontonan siswa sebanyak itu. Terlebih gara-gara seorang laki-laki. Seperti sinetron saja.

"Aku tidak pernah merebut kak Devin dari kakak. Kak Misel jangan salah paham," sanggah Aylin mencoba meyakinkan Misel.

Walaupun ia merasa sangat sakit mengetahui Devin ternyata sudah memiliki seorang pacar. Tapi ia mencoba untuk menahan rasa nyeri di hati kecilnya. Ia tidak boleh berharap lebih pada laki-laki yang bahkan sudah milik orang lain.

Misel kembali tersenyum sinis. Pandai sekali rubah kecil dihadapannya berakting. Jelas-jelas ia melihat Aylin dan Devin begitu dekat. Bahkan Devin memberi sekotak kue kepada Aylin.

Plak!

Tamparan menghujani pipi Aylin hingga membuat gadis bertubuh mungil itu tersungkur ke tanah. Tentu saja hal itu disaksikan oleh murid yang berkerumun.

"Misel hentikan!" seru laki-laki paruh baya berseragam dinas. Yang tak lain adalah guru Kimia.

Tangan Misel yang sudah terangkat untuk melayangkan tamparan kedua pun terpaksa ia urungkan. Sayang sekali sudah ketahuan Guru padahal ia masih ingin memberi pelajaran Aylin.

"Bubar! Bubar! Masuk ke kelas masing-masing."

"Yah, pak Toro gak asik."

Murid yang berkerumun pun mulai beranjak dari taman sekolah menuju kelas. Sementara Aylin dan Misel dibawa menuju ruang BK.

Pukul 15.30,

Enzo melirik sekali lagi arloji dipergelangan tangannya. Harusnya gadis mungil yang ia tunggu sudah menemuinya. Setelah beberapa menit kemudian. Benar saja gadis bersurai hitam keluar dari gerbang sekolah.

"Pipimu kenapa?" tanya Enzo langsung menyadari pipi Aylin lebam.

Dengan cepat Aylin menutup lebam pipinya dengan rambut miliknya yang sengaja ia gerai. Namun nampaknya hal itu justru membuat Enzo semakin curiga.

"Kamu berantem??" cecar Enzo tidak menyerah.

Tiba-tiba gadis mungil disebelah Enzo itu tersedu. Ya Tuhan, Enzo terkejut bukan kepalang. Ia sama sekali tidak berniat membuat gadis SMA itu menangis.

"Hei jangan nangis. Kamu mau dibeliin permen?"

Pertanyaan itu justru membuat Aylin semakin tersedu. Enzo benar-benar tidak peka sama sekali seperti biasa.

Bingung dengan tingkah Aylin yang masih terus menangis. Enzo memutuskan untuk melajukan mobilnya pulang. Hingga tiba pada sebuah bukit yang Aylin pun tidak tahu kenapa Enzo membawa dirinya ke tempat itu.

"Kenapa Om membawaku kesini?" tanya Aylin menghapus sisa air mata dari ekor matanya yang sembab.

Enzo menatap gadis disampingnya. "Yakin masih mau nangis ditempat seindah ini?" ucapnya kemudian.

Benar, untuk apa Aylin menangis ditempat setenang itu. Seulas senyum terbit dari bibir Aylin. Ia tidak menyangka ada tempat sebagus itu. Kemana saja ia selama ini hingga tidak mengetahui bukit Nirwana.

Drrrt! Drrrrt!

Getaran gawai membuat Enzo menghentikan langkah kakinya. Alisnya berkerut membaca nama kontak yang muncul dilayar ponsel.

"Halo?", sahut Enzo kemudian.

Aylin membalikkan badan saat mendengar Enzo yang mengangkat telfon. Laki-laki bertubuh jangkung itu nampak tergesa kembali masuk mobil. Dan brum, dalam sekejap Enzo pergi begitu saja.

"Hah?"

Aylin menganga tidak percaya ia ditinggalkan begitu saja oleh Enzo. Terlebih ia baru pertama kali datang ke tempat itu.

"Dasar Om-om gak jelas!" umpat Aylin dengan kesalnya. Sepenting itukah panggilan telfon Enzo hingga membuat ia harus ditinggal sendirian.

Apa yang membuat Enzo melupakan Aylin begitu saja?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status