Share

4. Siapa Tunanganku?

"Tiga hari? Dokter Alex? Siapa dia?" tanya Ipeh kebingungan.

"Dokter Alex, kan, tunangan Anda, apa Anda lupa, Nona?" tanya Perawat itu lagi sambil mengerutkan keningnya.

"Hah?" Ipeh bengong.

'Kenal juga nggak, kenapa bisa jadi tunanganku? Who the hell is he?' tanya Ipeh di dalam hatinya.

"Apa ini efek kecelakaan, ya," gumam perawat itu, menatap Ipeh yang terlihat kebingungan.

"Tunggu sebentar, Nona, saya akan memanggil Dokter Irwan ke sini," ucap Perawat itu lagi lalu bergegas keluar dari ruang perawatan Ipeh.

"Sus ... tunggu dulu ... Sus ...," teriak Ipeh, tetapi perawat itu berlari dengan cepat, mengabaikan panggilan gadis cantik itu.

"Yaah, dia pergi ... padahal, kan, aku haus! Sepenting itukah memanggil Dokter Irwan?" keluh Ipeh sambil mengerucutkan bibirnya.

Dia menatap tombol merah yang masih dipegangnya tetapi tidak menekannya karena tidak ingin terlalu merepotkan perawat yang lain. Dia tahu selain dirinya, pasti banyak pasien lain yang lebih membutuhkan bantuan perawat. Jadi gadis itu hanya terdiam menunggu perawat tadi yang akan datang bersama seseorang yang bernama Dokter Irwan.

"Mungkin dia sedang memanggil dokter spesialis yang merawatku, baiklah tunggu aja. Orang sabar disayang Allah," ucapnya, menghibur diri sendiri.

Sepuluh menit kemudian, perawat tadi datang bersama seorang dokter yang berusia kira-kira lima puluh tahunan. Perawat itu kembali menjelaskan situasinya pada Sang Dokter tanpa bisa disela oleh Ipeh.

"Jadi Nona tidak mengingat apapun?" tanya Dokter Irwan sambil menatap Ipeh dengan intens

"Oh, tidak, Dok, ingatan saya baik-baik saja, saya mengingat semuanya dengan jelas! Saya juga masih ingat kalau jengkol dan usus ayam itu makanan favorit Emak di kampung!" Ipeh tersenyum percaya diri.

"Ah, begitu!" Sang Dokter memaksakan diri untuk tersenyum dengan berita tidak penting itu, kemudian melanjutkan pertanyaannya.

"Tapi tadi Nona mengatakan tidak mengenal Dokter Alex, tunangan Nona," sanggah Perawat tadi tidak mau kalah.

"Iya ... kecuali bagian itu yang tidak saya ingat. Saya pastikan tidak kenal dan tidak tahu wajah Dokter Alex itu seperti apa, sumpah! Pastinya dia orang asing buat saya, hehe ... " Ipeh berbicara dengan jujur, wajahnya dibuat semeyakinkan mungkin.

Perawat itu tercengang sedangkan Dokter Irwan terdiam menatap Ipeh.

'Kenapa reaksi mereka seperti itu? Aku nggak bereinkarnasi atau transmigrasi ke dunia lain kayak kisah-kisah dalam novel atau manhwa, kan?' Ipeh ikut terbawa suasana dan mengingat kisah dalam novel-novel yang sering dia baca. Dia mulai meragukan dirinya sendiri.

'Apa aku lupa sesuatu ...? Ah, nggak mungkin! Rasanya terlalu absurd membayang jadi orang pelupa! Aku sehat!' Ipeh meyakinkan dirinya sendiri.

Merasa berada di situasi yang terasa canggung karena hanya ada keheningan dan detak jam di dinding, gadis itu menoleh ke arah perawat yang masih terdiam menatapnya sambil menutup mulut dengan telapak tangannya.

'Drama banget, sih, Sus.' Ipeh mengerutkan keningnya melihat reaksi berlebihan dari perawat itu.

"Sus, boleh minta tolong ambilkan air minum? Saya haus," pinta Ipeh, dia merasa sudah diambang dehidrasi walaupun itu hanya imajinasinya saja, karena jarum infus terpasang dengan baik di punggung tangannya dan cairan infus pun mengalir dengan lancar ke dalam tubuhnya.

"Ah, iya sebentar saya tuangkan." Perawat itu tersadar, kemudian menghampiri meja di sebelah tempat tidur Ipeh yang penuh dengan berbagai macam makanan dan minuman seperti roti, donat, kue, makanan ringan, susu, madu, jus, sari kurma dan air mineral dari berbagai merek terkenal.

'Hyperapril pindah ke sini,' gumam Ipeh menatap begitu banyak makanan dan minuman berada di meja besar, sebelah tempat tidurnya. Membuat gadis itu menelan salivanya beberapa kali.

'Kurasa asal nggak menyentuhnya, aku nggak perlu membayar, benar, kan? Biasanya begitu di rumah makan padang.' Ipeh kembali melakukan monolog di dalam hatinya. Dia pusing kalau harus menghitung berapa banyak yang harus dia bayar untuk biaya rumah sakit plus makanan yang disajikan di ruangan itu.

"Terima kasih, Sus," ucap Ipeh, tersenyum.

'Botol air mineral seperti ini biasanya gratis, kan?' pikirnya.

"Sama-sama, jangan sungkan, Nona. Semua perawat di sini siap membantu Anda setiap saat." Perawat itu memperlihatkan senyum terbaiknya.

"Terima kasih." Ipeh kembali tersenyum.

"Sus, setelah Nona ini mengisi perut, dan minum obat. Bawa dia ke ruangan EEG dan MRI, kita harus memastikan seberapa parah cedera di kepalanya, sepertinya dia terkena amnesia parsial. Jangan lupa telepon Dokter Alex dan jelaskan kondisi tunangannya," jelas Dokter Irwan.

"Baik, Dok!" Perawat itu mengangguk.

"Tapi, Dok, saya sehat, kok. Ingatan saya baik-baik saja, tidak usah melakukan pemeriksaan yang mahal seperti itu. Jujur saya juga tidak sanggup membayar biaya kamar ini lagi, kalau bisa saya ingin pindah ke kelas dua, hari ini juga, hehe ...." Ipeh berusaha menolaknya, dia tahu MRI dan EEG itu seperti apa karena pernah menemani ibunya melakukan pemeriksaan seperti itu dan dia jelas tidak mau melakukan atau membayarnya.

'Kenapa harus buang-buang uang untuk hal yang nggak penting, dikira uang bisa dipetik dari pohon, apa!' Ipeh ingin sekali mengatakan hal itu pada perawat dan dokter di depannya tapi ditahannya di dalam hati karena dia masih memerlukan perawatan medis.

Dokter Irwan kembali terdiam menatap Ipeh untuk beberapa saat.

"Sus, tolong informasikan perawat yang lain untuk mempersiapkan semuanya. Saya merasa Nona ini memang perlu melakukan EEG dan MRI secepatnya!" tegas Dokter Irwan.

Ipeh membelalakkan matanya.

'Kurasa Dokter ini yang harus diperiksa otaknya!' serunya di dalam hati.

"Baik, Dok," ucap Perawat yang sedang memberikan gelas berisi air mineral pada Ipeh.

"Tapi, Dok ...." Belum selesai berbicara, ucapan Ipeh langsung dipotong oleh Dokter Irwan.

"Kita bertemu lagi di ruang MRI ya, Nona. Dengan sangat menyesal saya harus pergi dahulu karena harus melakukan visite pada pasien yang lain. Ingat untuk makan dan minum yang banyak, agar tubuh dan ingatannya cepat pulih, ya, permisi ...." Dokter Irwan langsung keluar ruangan tanpa mendengar penolakan Ipeh.

Ipeh mengerucutkan bibirnya.

'Orang-orang di sini keras kepala semua!" gumamnya di dalam hati.

"Ini makanannya tolong dihabiskan, ya, Nona, karena Anda harus memulihkan tubuh dan ingatan Anda secepat mungkin, kasihan Dokter Alex kalau tahu Anda melupakannya." Perawat itu mengulangi nasihat Dokter Irwan sambil menaruh meja kecil penuh makanan di hadapan Ipeh.

Mahasiswi jurusan manajemen bisnis itu hanya menghela napas, dia sadar apapun yang ucapkannya tidak akan didengar oleh perawat itu.

"Terima kasih, Sus," ucapnya.

"Baiklah, saya permisi sebentar. Kalau sudah selesai makannya tolong tekan tombol merah lagi ya. Ada obat yang harus diminum setelah makan," jelas Perawat itu.

"Iya." Ipeh mengangguk dan perawat itu melangkahkan kakinya menuju pintu keluar.

"Eh, tunggu, Sus!" seru Ipeh.

"Iya, Nona, apa ada yang lain?"

"Mmm ... bisa tolong ambilkan tas saya? Saya tidak tahu tasnya di simpan di mana."

"Oh, baik ... tunggu sebentar." Perawat itu mulai membuka setiap laci, lalu menyerahkan barang pribadi pasiennya itu.

"Terima kasih, Sus."

"Sama-sama, apa ada hal lain yang perlu dibantu lagi?"

"Tidak, Sus, terima kasih."

"Baiklah, saya permisi dulu." Perawat itu tersenyum sebelum meninggalkan ruang perawatan Ipeh.

"Iya." Ipeh membalas senyumannya.

Setelah perawat itu pergi, dia mulai menghubungi teman-teman, dosen-dosen, dan bos-bosnya untuk menjelaskan keadaannya saat ini serta meminta ijin atas ketidakhadirannya sampai kondisi kesehatan pulih kembali.

Mereka semua terkejut dan khawatir, tetapi setelah diyakinkan bahwa dia menerima perawatan terbaik, mereka merasa lega dan memaklumi keadaan Ipeh serta memberinya dispensasi.

Setelah memberi kabar pada orang-orang terdekatnya kecuali pamannya, Ipeh kembali fokus pada makanannya.

"Kurasa satu-satunya jalan adalah makan yang banyak, jadi sehat, dan keluar dari rumah sakit aneh ini secepatnya!" seru Ipeh, dia memaksakan diri memasukkan makanan ke dalam mulutnya yang terasa pahit.

Setelah makan, minum obat dan melakukan rangkaian pemeriksaan yang melelahkan karena menunggu antrian, akhirnya Ipeh kembali ke ruang perawatannya. Seorang perawat langsung menyajikan makan malam untuknya.

Ipeh berterima kasih dan memakannya tanpa banyak bicara. Dia semakin fokus pada tujuannya untuk menjadi sehat dan keluar dari rumah sakit itu secepatnya karena saat meminta pindah ruangan lagi ke kelas dua pun, dia langsung ditolak mentah-mentah dengan alasan ruangannya penuh. Saat berusaha menelan makanan yang masih terasa pahit, sayup-sayup terdengar percakapan dua perawat yang lewat di luar ruangannya. Mereka membicarakannya dan tunangan gaibnya, Dokter Alex.

"Bagaimana bisa tunangan Dokter Alex meminta dirawat di kelas dua, bisa-bisa kita langsung dipecat!" bisik salah satu perawat.

"Benar kata Dokter Irwan, otak gadis itu bermasalah, aku merasa kasihan pada Dokter Alex," ucap perawat yang lain.

Ipeh berdecak mendengarnya.

'Siapa sih sebenarnya Dokter Alex itu? Kenapa dia mempersulit hidupku ... aaarg!' Ipeh menahan amarah di dalam hatinya.

Setelah selesai makan, Ipeh membersihkan tubuhnya dan menyikat giginya, dibantu oleh salah satu perawat yang bertugas malam itu kemudian menonton televisi sebentar sebelum beristirahat.

***

Pada tengah malam, di hari keempat Ipeh di rumah sakit, terdengar pintu ruangannya dibuka oleh seseorang. Ipeh yang sensitif pada suara mulai membuka matanya dan melihat jam dinding yang menunjukkan pukul satu malam.

'Siapa yang datang di tengah malam begini?' Ipeh merasa heran karena biasanya perawat datang jam sebelas malam dan tiga pagi untuk mengganti infusan.

Gadis itu memicingkan matanya dalam gelap, ada bayangan seseorang di dekat pintu.

Tiba-tiba lampu di ruangan itu dinyalakan dan Ipeh terkejut melihat seseorang dengan darah di pakaiannya.

"Si-siapa kamu?" tanya Ipeh terbata-bata karena ketakutan.

Bersambung✍️

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status