"Kirimkan uang lima juta, sekarang juga!" tulis Toni.
"Aku belum gajian, Om," balas Ipeh."Jangan bohong! Ini sudah tanggal satu, ingat utang biaya pengobatan ibumu masih menumpuk!" tulis Toni lagi."Kok, masih menumpuk? Bukannya seharusnya sudah lunas? Bulan kemarin, kan, kita sudah menjual rumah ibu dan aku sudah transfer ke Bos Indra," balas Ipeh.[Jangan banyak tanya, transfer saja uangnya, kecuali kamu mau jadi jaminan hutangnya!" tulis Toni."Ck! Pasti kalah judi lagi," keluh Ipeh. Mau tidak mau dia membuka m-banking-nya, kemudian mengirimkan uang lima juta ke rekening pamannya. Gadis itu masih memiliki uang sisa penjualan rumah yang dia bagi dua dengan pamannya sebelumnya.Dia mengelus dadanya teringat mendiang kedua orang tuanya yang sudah meninggal dunia. Walaupun ayahnya meninggal karena kecelakaan saat dia baru berumur tujuh tahun. Ibunya yang bekerja sebagai seorang sekertaris di salah satu perusahaan ternama, mampu menopang kehidupan mereka dengan layak termasuk pamannya, Toni, yang diberi tugas oleh ibunya untuk mengurus Ipeh saat beliau bekerja.Malang tidak dapat ditolak, untung tidak dapat diraih, saat Ipeh berusia enam belas tahun, ibunya didiagnosa terkena kanker otak stadium tiga yang otomatis mengharuskannya untuk melakukan terapi yang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Ipeh mengambil pekerjaan paruh waktu untuk menambah penghasilan begitu juga Toni yang mulai bekerja di perusahaan milik temannya.Saat Ipeh baru masuk semester satu di kampusnya, tiba-tiba dokter mengatakan kanker otak ibunya semakin menyebar dan berada di stadium empat. Satu-satunya jalan untuk kesembuhannya adalah operasi, walaupun tingkat keberhasilannya hanya lima puluh persen.Ipeh dan Toni terkejut karena perkiraan biaya operasi dan terapi sebelum operasi mencapai dua ratus juta rupiah. Tabungan mereka sudah habis untuk biaya terapi setiap minggunya dan gaji mereka hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari.Toni yang kebingungan memikirkan biaya pengobatan kakaknya, diajak salah satu temannya untuk refreshing di sebuah diskotik untuk minum dan bermain kartu. Setelah memenangkan uang sepuluh juta, dia datang lagi ke sana setiap hari. Sejak saat itulah dia berkenalan dengan Bos Indra dan mulai kecanduan judi, minuman keras serta narkoba."Pagi, Pak Imron," sapa Ipeh pada security di Vila Khayangan, salah satu kompleks perumahan mewah yang pemiliknya merupakan para konglomerat atau artis terkemuka."Pagi, Neng Ipeh, tumben pagi banget ... ayo langsung masuk saja," ucap Pak Imron sambil melihat jam dinding yang menunjukkan pukul setengah lima pagi lalu membuka pintu gerbang perumahan."Terima kasih ... ada tes di kampus jadi biar tidak kesiangan, Pak," jelas Ipeh sambil tersenyum lalu mengais sepedanya masuk ke area vila."Sama-sama, semoga berhasil, ya, tesnya," Pak Imron memberi semangat."Iya, terima kasih, Pak," teriak Ipeh yang terus mengais sepedanya.Pak Imran hanya bisa tersenyum melihat gadis muda yang penuh semangat itu.Jumlah rumah di Vila Khayangan tidak banyak hanya sekitar lima belas rumah, tetapi ukuran tanah setiap rumah itu sangat luas, jadi butuh waktu setengah jam untuk pendistribusian koran dan susu murninya itu dari ujung ke ujung. Waktu menunjukkan jam setengah enam pagi ketika Ipeh selesai dengan pekerjaan pertamanya itu.Ipeh terus mengais sepedanya menuju Perumahan Permata yang berjarak tiga kilo meter dari Vila Khayangan, untuk mengambil tiga panci bubur bayi yang akan dia jual di Perumahan Mutiara yang dekat dengan tempat kostnya.Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ipeh mengeluarkan ponsel dari tas kecilnya dan melihat ada notifikasi uang yang masuk ke rekeningnya serta dua pesan yang belum terbaca. Ipeh membuka pesan itu satu per satu."Nak Ipeh, gajimu sudah masuk ya," tulis Pak Jaka, bos koran dan susunya. Beliau seorang guru di salah satu SMU negeri terbaik di Jakarta."Iya, Pak, makasih ya," balas Ipeh sambil menambahkan emoticon senyum dan memeluk karena Pak Jaka sudah seperti ayah angkatnya. Selain sebagai bosnya, beliau juga guru les privat gratisnya saat akan menghadapi ujian masuk perguruan tinggi serta mengarahkannya untuk masuk ke jurusan manajemen bisnis, agar suatu saat memiliki basic yang kuat saat Ipeh memulai bisnisnya sendiri.Setelah membalas pesan Pak Jaka, Ipeh membuka pesan yang lain."Ipeh, Ibu sudah transfer gajimu bulan ini. Ingat jangan kirim uang untuk Om-mu lagi!" tulis Bu Irma, bos buburnya."Iya, terima kasih, Bu, hehe ...," balas Ipeh singkat.Bu Irma tahu tabiat pamannya, Toni, karena beliau adalah tetangga di rumahnya yang dulu dan teman baik ibunya.***Ipeh berlari dari tempat kost menuju kampusnya yang berjarak dua kilometer karena ban sepedanya bocor saat pulang dari berjualan bubur. Hari ini adalah hari pertama ujian akhir semester dan dia tidak ingin terlambat.Di perjalanan, gadis itu sesekali melihat ke arah jam tangannya."Jam delapan lewat tiga puluh lima menit! Semangat Ipeh, kamu pasti bisa!" Ipeh mempercepat larinya. Ujiannya dimulai pukul sembilan pagi dan jarak kampusnya hanya tinggal lima ratus meter lagi.Saat menoleh ke arah jalan raya, dia melihat sebuah mobil yang melaju kencang lalu melihat seorang kakek yang sedang menyeberang dan berjalan perlahan dengan tongkatnya. Melihat situasi yang berbahaya itu jiwa kemanusiaannya muncul."Kakek, AWAS!" teriak Ipeh sambil berlari sekuat tenaga untuk menarik dan mendorong kakek itu ke trotoar agar tidak tertabrak mobil."Hah ... hah ... syukurlah!" Ipeh tersenyum melihat kakek tua itu selamat. Napasnya masih terengah-engah saat tiba-tiba sebuah mobil menghantam tubuhnya.Gadis itu lupa masih berada di tengah jalan dan dia merasa tubuhnya melayang di udara untuk beberapa saat sebelum akhirnya terjatuh di jalanan beraspal yang keras itu.Dia merasakan sakit yang luar biasa di kepala dan seluruh bagian tubuhnya. Pandangannya mulai kabur tetapi dia masih bisa melihat bayangan orang-orang yang mulai berkerumun dan dua orang laki-laki yang mendekatinya."Sepertinya agak parah, Bos," ucap Laki-laki pertama.Tanpa aba-aba laki-laki kedua langsung mengangkat Ipeh dan berjalan menuju mobil."Nyalakan mobilnya!" seru Laki-laki kedua."Siap, Bos!" Laki-laki pertama bergegas menuju mobil."Gadis bodoh!" serunya menatap Ipeh sekilas sambil berjalan dengan cepat.Ipeh tidak bisa membalas makiannya karena tiba-tiba semuanya menjadi gelap dan sepi.***Ketika membuka matanya kembali, dia sudah berada di rumah sakit dengan kepala diperban dan kaki kanan yang menggantung serta di-gips. Tidak ada seorang pun di ruangan yang terlihat seperti kamar hotel itu."Ck! Malang sekali nasibku ...tapi setidaknya aku dibawa ke rumah sakit yang bagus, jadi pasti cepat sembuh," ucapnya, tetap mencoba bersyukur diatas penderitaannya. Beberapa saat kemudian dia menyadari sesuatu."Tapi bagaimana aku membayarnya nanti? His! Nanti aku minta pindah kamar deh, bisa habis semua tabunganku kalau dirawat di ruangan sebagus ini," ucapnya lagi, dia mencoba menghitung sisa tabungannya di bank."Sepertinya aku harus ikut ujian susulan, dan menelepon dosen-dosenku. Aku juga harus memberi kabar pada bos-bosku, mereka pasti khawatir." Ipeh terus melakukan monolog sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, mencari barang-barang pribadinya.Lima menit kemudian, dia memijit tombol merah yang ada di samping tempat tidur karena tubuhnya sulit untuk digerakkan, mengingat salah satu kakinya yang menggantung. Beberapa saat kemudian seorang perawat muncul di ruangannya."Ada yang bisa dibantu, Nona? Syukurlah Anda sudah sadar, Dokter Alex terlihat sangat khawatir karena Anda tidak sadarkan diri selama tiga hari," jelas Perawat itu sambil mengambil remote tempat tidur lalu menaikkan bagian kepala. Sehingga kini posisi Ipeh duduk bersandar."Tiga hari? Dokter Alex? Siapa itu?" tanya Ipeh kebingungan.Bersambung ✍️"Kapan kalian akan menikah?" Kakeknya Alex langung menodongkan pertanyaan yang membuat Ipeh shock. Gadis itu hanya bisa menelan ludah, matanya mencari-cari jawaban hingga bertemu dengan mata elang sang tunangan palsu. "Setelah Devi lulus kuliah, Kek," ujar Alex mantap, mendekati Ipeh dan duduk disampingnya, 'Ah, si raja tega bisa juga punya hati,' batin Ipeh saat Alex menyelamatkannya dengan jawaban tangkas yang tidak terpikirkan olehnya. Akan tetapi saat tiba-tiba tangan Alex menggenggam tangan Ipeh dengan lembut dan memberikan senyuman manis penggetar jiwa, gadis itu merasa tangannya tersengat listrik tidak kasat mata yang mengalir deras dalam darah Ipeh. 'Aduuh, ginjalku bergetar! Aku nggak tahan melihatnya! Aku butuh minum!' Setelah jantungnya menggila sejak digendong Alex dan diinterogasi oleh kakeknya Alex, kini ginjalnya benar-benar bergetar melihat senyuman malaikat milik Alex seakan pesona Alex menghisap semua kekuatan dan membuat tubuhnya kehilangan cairan. Dengan s
Alea semakin membenci Ipeh setelah mengetahui dirinya kalah dari seorang pengantar susu dan koran. Sementara itu, Ipeh yang telah selesai menceritakan pertemuan pertama dengan tunangan palsunya merasa lega karena para sesepuh keluarga Parker tidak ada yang komplain tentang apa yang dikatakannya. 'Semua yang aku katakan tidak sepenuhnya bohong, aku memang setiap hari mengantar susu dan koran ke rumahnya, terlepas dia melihatku atau tidak. Dia juga memang pernah jadi pembicara di kampusku dan fakta kalau dialah yang menolongku saat kecelakaan walaupun dialah penyebabnya. Dia juga yang menebusku di pelelangan walaupun dia penyebab aku dijual ke sana," ucap Ipeh di dalam hatinya. Dia menatap Alex sebelum menggerutu kembali di dalam hatinya. 'Entahlah dia itu sebenarnya Dewa Kesialan atau Dewa Keberuntunganku?' Ipeh mengakui di dalam hatinya walaupun Alex membuatnya masuk rumah sakit, tetapi karenanya, dia bisa mengenal orang-orang baik seperti Bibi Kesatu dan keluarganya Alex. Walaupun
'Mati, aku! Bagaimana kalau Kakeknya Alex tahu kalau aku ini tunangan palsu cucunya!' Ipeh menangis di dalam hati. "Kenapa ketakutan begitu? Kakek tidak akan melakukan hal-hal yang aneh padamu!" Kakeknya Alex tergelak karena merasa lucu dengan tingkah Ipeh. Saat semua orang berlomba-lomba berusaha mendekatinya dengan segala cara. Tunangan cucunya ini terlihat segan sejak pertama kali bertemu. "Hehe ...." Ipeh kembali tersenyum canggung. "Duduk di sini." Luis Parker, kakeknya Alex, menepuk-nepuk sofa kosong di sampingnya. "Baik, Kakek." Ipeh duduk perlahan di samping pria berusia enam puluh dua tahun yang masih terlihat gagah itu. Melihat perhatian semua orang tertuju pada Ipeh membuat Alea, sepupu Alex terlihat semakin mengeraskan wajahnya dan menggertakkan giginya. Biasanya semua perhatian dan pujian tertuju padanya, teapi sejak kabar munculnya tunangan kakak sepupunya terdengar orang tua dan kakeknya. Dia merasa tersisihkan. Alex pun beberapa kali membatalkan acara makan malam m
'Jadi, itu gadis tidak tahu diri yang sudah merebut perhatian Kak Alex dariku? Heh, ternyata gadis kampungan. Sebenarnya apa yang dilihat Kak Alex dari gadis miskin itu?Padahal aku jauh lebih cantik darinya!' Alea Dirja, sepupu Alex yang berusia enam belas tahun langsung memperlihatkan aura kebencian pada Ipeh. Seperti kedua orang tuanya, Alea, gadis yang jenius, dengan otak cemerlangnya, gadis itu bisa lompat kelas saat di sekolahnya dulu, dan berhasil menjadi mahasiswi kedokteran di usianya yang keempat belas tahun. Ipeh yang merasakan tatapan intens seseorang padanya, langsung menoleh ke arah Alea. Ipeh tersenyum padanya, tetapi hanya mendapatkan balasan tatapan tajam yang menghujam hatinya. 'Siapa dia? Kenapa dia terlihat membenciku? Apa salahku?' pikir Ipeh. Gadis itu terus memperhatikan Alea karena penasaran, tetapi suara Marco membuyarkan lamunannya. "Ini kursi rodanya, Tuan Muda." Marco mendorong kursi roda Ipeh ke hadapan Alex. Alex mengangguk lalu menurunkan Ipeh secara
"Jemput? Memangnya aku mau pergi ke mana, Tuan Marco? Bukannya jadwal ganti perbanku masih lama." Ipeh mengerutkan keningnya. "Anda akan makan malam di rumah utama keluarga Parker dan bertemu Tuan Besar," jelas Marco to the point. "Hah?" Ipeh kebingungan. "Iya, Nona Devi diminta untuk berpura-pura menjadi tunangan Tuan Muda di hadapan Kakek dan keluarga beliau." Marco masih berada di depan pintu. "Hah?" Ipeh tertegun. "Nona Devi." Marco mengibaskan tangannya di depan wajah Ipeh. "Eh." Ipeh tersadar dan mengedip-ngedipkan matanya. "Anda baik-baik saja?" Marco menatap gadis cantik itu. "Oh ... emm ... saya baik. Masuk dulu, Tuan Marco, istirahat dulu. Anda pasti capek sudah mengantar Bibi Kesatu ke bandara. Silakan Anda makan siang dulu, sudah saya siapkan di ruang makan dan saya mau berganti pakaian dulu." Ipeh memundurkan kursi rodanya untuk memberi jalan pada Marco. "Ok." Marco mengangguk, dia memang merasa lapar. Saat Marco menikmati makan siangnya. Ipeh memilah-milah pakai
'Benarkah ada hubungan spesial antara Tuan Muda Alex dan Nona Devil?' tanya Marco di dalam hatinya. Sekretaris Alex itu mengingat kejadian di malam perculikan Ipeh.Kriiing ... kriiing ....Saat itu ponsel milik Alex berbunyi. Pria tampan yang sibuk bermain game di dalam mobil itu langsung menggeser icon hijau pada layar smartphonenya."Malam Kakek," sapa Alex dengan nada suara lembut penuh hormat."Lex, Kakek akan pulang besok. Kita makan malam di rumah utama. Jangan lupa bawa tunanganmu!" tegas Beliau tiba-tiba."Tunangan?" Alex terkejut. Matanya terbuka lebar dan keringat dingin pun mulai membasahi tangannya."Iya, jangan kamu kira kakekmu ini tidak tahu apa-apa. Bawa dia besok!" tegas Kakeknya Alex, Luis Parker."Itu, sepertinya ...." Alex ragu-ragu."Tidak ada alasan apapun! Bawa dia ke hadapanku besok!" Luis Parker tidak mau berkompromi, selama ini Alex sudah terlalu sering menolak perjodohan yang beliau atur untuk cucunya tersebut. Klik!"Ck, merepotkan!" Alex menghela napas pa
Dua jam sudah berlalu sejak acara pemanggilan Ipeh ke ruang kerja Alex. Kini dia baru selesai berkeliling villa bersama Bibi Kesatu."Nona Devi sudah mengerti, kan?" tanya Bibi Kesatu yang sudah selesai menjelaskan tugas Ipeh sebagai pelayan pribadi Alex selama hampir satu setengah jam."Iya, Bi. Sudah saya catat semuanya. Panggil Ipeh saja, itu nama panggilan sehari-hari teman-teman dan ibu saya dulu," jelas Ipeh setelah mengangguk dengan mantap."Ya sudah, kalau begitu Bibi pamit dulu, ya. Ipeh. Tuan Marco sudah menunggu di luar. Tolong jaga Tuan Muda Alex dan rumah ini baik-baik, ya." Bibi Kesatu menggenggam kedua tangan Ipeh sambil tersenyum."Baik, Bi." Ipeh kembali mengangguk dan membalas senyuman Bibi Kesatu.Dia merasa senang karena untuk pertama kalinya bisa melihat senyuman bibi kesatu yang sangat mahal itu."Jaga dirimu juga baik-baik. Ikuti semua perintah dari Tuan Muda, agar kakimu cepat sembuh," nasihat Bibi Kesatu lagi."Pasti, Bi! Hati-hati di jalan dan selamat bersenan
Ipeh menunduk sambil memilin-milin ujung pakaiannya saat mendengar ceramah Alex. Sudah sepuluh menit berlalu tetapi Dokter tampan itu sepertinya masih senang berpidato."Kamu mengerti!" seru Alex."Iya, Om," jawab Ipeh datar, lalu menguap untuk kesepuluh kalinya."OM? Wajahku sebelah mana yang memiliki kerutan, huh? Matamu buta, ya!" Alex semakin kesal dibuatnya."Maaf, Dokter Alex!" koreksi Ipeh dengan suara pelan, nyaris berbisik.'Kukira dia itu patung berjalan, eh ternyata aku salah. Dia itu corong toa berjalan, kekuatan suaranya mungkin 1000 dB,' gumam Ipeh di dalam hati sambil mengangguk-angguk."Coba kamu ulangi ucapanku, kalau mengerti," titah Alex, yang kini sudah duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya lalu menyeruput kopi.'Kopinya enak juga,' pikir Pria sungguh terlalu tampan itu."Hah?" Ipeh mengangkat wajahnya, gadis itu menatap Alex dengan tatapan kosong. Matanya mengerjap beberapa kali, bingung."Apanya yang 'Hah', ulangi ucapanku dari awal sampai akhir!" seru Alex sa
"Aku mau sarapan," jawab Ipeh tanpa dosa sambil menatap Alex dengan percaya diri. Dia berpikir apa salahnya makan bersama."Siapa yang memberimu ijin?" tegas Alex sambil menatap tajam gadis yang terlihat shock dengan reaksi yang diberikannya.Gulp!Ipeh menelan salivanya melihat tatapan dingin dari Sang pemilik rumah, lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia menggeser kursi tadi ke tempat semula."Jadi?" Alex masih menatapnya begitu tajam seperti tatapan serigala terhadap mangsanya."Maaf," ucap Ipeh dengan wajah kesalnya.Setelah kursinya kembali ke tempatnya, Alex kembali meneruskan makannya sambil sesekali mendengarkan penjelasan Marco.Ipeh yang merasa dipermalukan dan diacuhkan memutar kursi rodanya ke arah dapur dengan wajah sedih yang ditekuknya."Kenapa tidak makan bersama Tuan Muda?" tanya Bibi Kesatu."Dia mengusirku," ucap Ipeh sambil menghela napas lalu terdiam.Dia tidak berani mengambil inisiatif untuk meminta sarapan pada Bibi Kesatu. Gadis itu tidak ingin dipermaluk