Share

3. Tiga Bulan Sebelumnya

"Kirimkan uang lima juta, sekarang juga!" tulis Toni.

"Aku belum gajian, Om," balas Ipeh.

"Jangan bohong! Ini sudah tanggal satu, ingat utang biaya pengobatan ibumu masih menumpuk!" tulis Toni lagi.

"Kok, masih menumpuk? Bukannya seharusnya sudah lunas? Bulan kemarin, kan, kita sudah menjual rumah ibu dan aku sudah transfer ke Bos Indra," balas Ipeh.

[Jangan banyak tanya, transfer saja uangnya, kecuali kamu mau jadi jaminan hutangnya!" tulis Toni.

"Ck! Pasti kalah judi lagi," keluh Ipeh. Mau tidak mau dia membuka m-banking-nya, kemudian mengirimkan uang lima juta ke rekening pamannya. Gadis itu masih memiliki uang sisa penjualan rumah yang dia bagi dua dengan pamannya sebelumnya.

Dia mengelus dadanya teringat mendiang kedua orang tuanya yang sudah meninggal dunia. Walaupun ayahnya meninggal karena kecelakaan saat dia baru berumur tujuh tahun. Ibunya yang bekerja sebagai seorang sekertaris di salah satu perusahaan ternama, mampu menopang kehidupan mereka dengan layak termasuk pamannya, Toni, yang diberi tugas oleh ibunya untuk mengurus Ipeh saat beliau bekerja.

Malang tidak dapat ditolak, untung tidak dapat diraih, saat Ipeh berusia enam belas tahun, ibunya didiagnosa terkena kanker otak stadium tiga yang otomatis mengharuskannya untuk melakukan terapi yang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Ipeh mengambil pekerjaan paruh waktu untuk menambah penghasilan begitu juga Toni yang mulai bekerja di perusahaan milik temannya.

Saat Ipeh baru masuk semester satu di kampusnya, tiba-tiba dokter mengatakan kanker otak ibunya semakin menyebar dan berada di stadium empat. Satu-satunya jalan untuk kesembuhannya adalah operasi, walaupun tingkat keberhasilannya hanya lima puluh persen.

Ipeh dan Toni terkejut karena perkiraan biaya operasi dan terapi sebelum operasi mencapai dua ratus juta rupiah. Tabungan mereka sudah habis untuk biaya terapi setiap minggunya dan gaji mereka hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari.

Toni yang kebingungan memikirkan biaya pengobatan kakaknya, diajak salah satu temannya untuk refreshing di sebuah diskotik untuk minum dan bermain kartu. Setelah memenangkan uang sepuluh juta, dia datang lagi ke sana setiap hari. Sejak saat itulah dia berkenalan dengan Bos Indra dan mulai kecanduan judi, minuman keras serta narkoba.

"Pagi, Pak Imron," sapa Ipeh pada security di Vila Khayangan, salah satu kompleks perumahan mewah yang pemiliknya merupakan para konglomerat atau artis terkemuka.

"Pagi, Neng Ipeh, tumben pagi banget ... ayo langsung masuk saja," ucap Pak Imron sambil melihat jam dinding yang menunjukkan pukul setengah lima pagi lalu membuka pintu gerbang perumahan.

"Terima kasih ... ada tes di kampus jadi biar tidak kesiangan, Pak," jelas Ipeh sambil tersenyum lalu mengais sepedanya masuk ke area vila.

"Sama-sama, semoga berhasil, ya, tesnya," Pak Imron memberi semangat.

"Iya, terima kasih, Pak," teriak Ipeh yang terus mengais sepedanya.

Pak Imran hanya bisa tersenyum melihat gadis muda yang penuh semangat itu.

Jumlah rumah di Vila Khayangan tidak banyak hanya sekitar lima belas rumah, tetapi ukuran tanah setiap rumah itu sangat luas, jadi butuh waktu setengah jam untuk pendistribusian koran dan susu murninya itu dari ujung ke ujung. Waktu menunjukkan jam setengah enam pagi ketika Ipeh selesai dengan pekerjaan pertamanya itu.

Ipeh terus mengais sepedanya menuju Perumahan Permata yang berjarak tiga kilo meter dari Vila Khayangan, untuk mengambil tiga panci bubur bayi yang akan dia jual di Perumahan Mutiara yang dekat dengan tempat kostnya.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ipeh mengeluarkan ponsel dari tas kecilnya dan melihat ada notifikasi uang yang masuk ke rekeningnya serta dua pesan yang belum terbaca. Ipeh membuka pesan itu satu per satu.

"Nak Ipeh, gajimu sudah masuk ya," tulis Pak Jaka, bos koran dan susunya. Beliau seorang guru di salah satu SMU negeri terbaik di Jakarta.

"Iya, Pak, makasih ya," balas Ipeh sambil menambahkan emoticon senyum dan memeluk karena Pak Jaka sudah seperti ayah angkatnya. Selain sebagai bosnya, beliau juga guru les privat gratisnya saat akan menghadapi ujian masuk perguruan tinggi serta mengarahkannya untuk masuk ke jurusan manajemen bisnis, agar suatu saat memiliki basic yang kuat saat Ipeh memulai bisnisnya sendiri.

Setelah membalas pesan Pak Jaka, Ipeh membuka pesan yang lain.

"Ipeh, Ibu sudah transfer gajimu bulan ini. Ingat jangan kirim uang untuk Om-mu lagi!" tulis Bu Irma, bos buburnya.

"Iya, terima kasih, Bu, hehe ...," balas Ipeh singkat.

Bu Irma tahu tabiat pamannya, Toni, karena beliau adalah tetangga di rumahnya yang dulu dan teman baik ibunya.

***

Ipeh berlari dari tempat kost menuju kampusnya yang berjarak dua kilometer karena ban sepedanya bocor saat pulang dari berjualan bubur. Hari ini adalah hari pertama ujian akhir semester dan dia tidak ingin terlambat.

Di perjalanan, gadis itu sesekali melihat ke arah jam tangannya.

"Jam delapan lewat tiga puluh lima menit! Semangat Ipeh, kamu pasti bisa!" Ipeh mempercepat larinya. Ujiannya dimulai pukul sembilan pagi dan jarak kampusnya hanya tinggal lima ratus meter lagi.

Saat menoleh ke arah jalan raya, dia melihat sebuah mobil yang melaju kencang lalu melihat seorang kakek yang sedang menyeberang dan berjalan perlahan dengan tongkatnya. Melihat situasi yang berbahaya itu jiwa kemanusiaannya muncul.

"Kakek, AWAS!" teriak Ipeh sambil berlari sekuat tenaga untuk menarik dan mendorong kakek itu ke trotoar agar tidak tertabrak mobil.

"Hah ... hah ... syukurlah!" Ipeh tersenyum melihat kakek tua itu selamat. Napasnya masih terengah-engah saat tiba-tiba sebuah mobil menghantam tubuhnya.

Gadis itu lupa masih berada di tengah jalan dan dia merasa tubuhnya melayang di udara untuk beberapa saat sebelum akhirnya terjatuh di jalanan beraspal yang keras itu.

Dia merasakan sakit yang luar biasa di kepala dan seluruh bagian tubuhnya. Pandangannya mulai kabur tetapi dia masih bisa melihat bayangan orang-orang yang mulai berkerumun dan dua orang laki-laki yang mendekatinya.

"Sepertinya agak parah, Bos," ucap Laki-laki pertama.

Tanpa aba-aba laki-laki kedua langsung mengangkat Ipeh dan berjalan menuju mobil.

"Nyalakan mobilnya!" seru Laki-laki kedua.

"Siap, Bos!" Laki-laki pertama bergegas menuju mobil.

"Gadis bodoh!" serunya menatap Ipeh sekilas sambil berjalan dengan cepat.

Ipeh tidak bisa membalas makiannya karena tiba-tiba semuanya menjadi gelap dan sepi.

***

Ketika membuka matanya kembali, dia sudah berada di rumah sakit dengan kepala diperban dan kaki kanan yang menggantung serta di-gips. Tidak ada seorang pun di ruangan yang terlihat seperti kamar hotel itu.

"Ck! Malang sekali nasibku ...tapi setidaknya aku dibawa ke rumah sakit yang bagus, jadi pasti cepat sembuh," ucapnya, tetap mencoba bersyukur diatas penderitaannya. Beberapa saat kemudian dia menyadari sesuatu.

"Tapi bagaimana aku membayarnya nanti? His! Nanti aku minta pindah kamar deh, bisa habis semua tabunganku kalau dirawat di ruangan sebagus ini," ucapnya lagi, dia mencoba menghitung sisa tabungannya di bank.

"Sepertinya aku harus ikut ujian susulan, dan menelepon dosen-dosenku. Aku juga harus memberi kabar pada bos-bosku, mereka pasti khawatir." Ipeh terus melakukan monolog sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, mencari barang-barang pribadinya.

Lima menit kemudian, dia memijit tombol merah yang ada di samping tempat tidur karena tubuhnya sulit untuk digerakkan, mengingat salah satu kakinya yang menggantung. Beberapa saat kemudian seorang perawat muncul di ruangannya.

"Ada yang bisa dibantu, Nona? Syukurlah Anda sudah sadar, Dokter Alex terlihat sangat khawatir karena Anda tidak sadarkan diri selama tiga hari," jelas Perawat itu sambil mengambil remote tempat tidur lalu menaikkan bagian kepala. Sehingga kini posisi Ipeh duduk bersandar.

"Tiga hari? Dokter Alex? Siapa itu?" tanya Ipeh kebingungan.

Bersambung ✍️

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status