Berkali-kali napas kasar terhembus perlahan dari mulut Sinar, untuk menghangatkan kedua telapak tangannya yang membeku. Ini bukan pertama kalinya ia bertemu dengan Raja, namun saat ini, banyak perasaan gugup yang menyelimuti hatinya. Sinar juga tidak menduga kalau harus melewati sesi wawancara dengan bakal calon gubernur itu di rumahnya, bukan di perusahaannya seperti karyawan pada umumnya.
Kemudian, di sinilah Sinar berada. Di ruang kerja Raja yang berada di kediamannya yang megah. Rumah bunda Sinar saja, besarnya tidak sampai satu garasi dari kediaman pria paruh baya itu. Tidak jarang Sinar bertanya-tanya, berapa banyak saldo yang ada di rekening bank orang-orang kaya seperti mereka itu.
“Pagi, Nar.”
Buru-buru Sinar berdiri dari tempat duduknya, saat melihat Raja memasuki ruang kerjanya. Sinar menundukkan tubuhnya dengan hormat lalu menyambut uluran tangan Raja yang telah menyapanya terlebih dahulu.
“Pagi, Om, eh Pak Raja.”
<“Yes, Mom.”Kelopak mata Pras kembali terpejam, setelah menggeser icon hijau pada ponselnya untuk menerima panggilan dari Aida. Menjawab pendek seperlunya atas semua pertanyaan klasik, yang biasa ditanyakan oleh seorang ibu kepada anaknya. Rasa kantuk yang masih mendera, membuatnya enggan untuk membuka mata.“Oia Pras, kamu gak usah balik Jakarta dulu. Mami besok pagi mau ke Singapur, jadi nanti kamu pulangnya sama Mami. Temani Mami shoping dulu di sana.”“Mau ke sini? sama siapa? keperluan papi gimana? sudah dapat sekretaris?” Pras membuka sedikit celah diantara kelopak matanya, menyesuaikan pendaran mentari yang memasuki kamar penthousenya.“Sudah! hari ini mulai kerja. Ada Bira juga kan yang nemenin papi. Jadi bisalah ditinggal,” terang Aida. “Lagian Sinar juga sudah kenal lama sama papimu, pengalamannya juga gak sedikit. Amanlah pokoknya.”Nyawa Pras yang belum terkumpul sempu
Sepanjang jalan menuju ke kediaman Raja untuk bekerja, Sinar hanya melamunkan semua takdir hidupnya yang tiba-tiba saja menjadi berliku. Kemarin lusa, setelah bercengkrama akrab dengan begitu mesra bersama Bintang, Sinar memutuskan menolak ajakan pria itu untuk kembali menikah siri dengannya. Meskipun Bintang masih saja berkeras mengatakan, kalau nantinya akan mengisbatkan pernikahan mereka di pengadilan agama. Namun, tetap saja banyak keraguan di hati Sinar dan ia tidak ingin melakukan sesuatu yang sedari awal sudah diragukannya.Apapun alasannya, tidak ada yang bisa mejamin masa depan. Sinar hanya mau menikah kembali, jika semua sah, baik di mata agama juga hukum. Untuk itu, mereka kembali berdebat dan tidak ada titik temu hingga Bintang pulang, dan tidak menghubunginya sama sekali hingga saat ini. Sinar tahu, kalau pria itu tengah marah dan kecewa karena tidak bisa lagi bersama, karena Sinar menolak untuk melakukan pernikahan siri.Itu baru masalah nikah siri, Sinar
“Argh!” “Fvck!” “SINAR!” Pras mundur satu langkah tanpa melepas cengkraman tangannya, yang masih saja mengalung erat pada pergelangan tangan Sinar. Satu tangan bebasnya mengusap darah yang merembes pada sisi bibir, yang baru saja digigit dengan sangat kencang oleh Sinar. Sementara itu, Sinar masih saja kesusahan untuk melepaskan tangan Pras, yang begitu erat mencengkram pergelangan tangannya. Tubuhnya sampai harus menggeliat untuk menarik tangan kanannya, namun tetap tidak bisa. Ia merasa, saat ini tangannya sudah memerah karena cengkraman itu terasa semakin kuat, setelah Sinar menggigit bibir kissable pria brengsek, yang masih sibuk mengusap darahnya. “Kamu!” Pras kembali menghempas tubuh Sinar ke dinding. “Pras! sakit!” pekik Sinar yang merasa pergelangan tangannya semakin terasa memanas. Pun punggungnya terasa kebas karena sudah terhempas kasar sebanyak dua kali. Pras tidak memedulikannya. Sinar benar-benar membuat
"Tante, mau ngomong apa sama bunda?" tanya Sinar penasaran.Aida tersenyum penuh maksud. "Tante ..." menggantungnya sejenak untuk menatap putra sulungnya yang juga menatap Aida dengan tajam. Bukannya tidak sopan, tapi, tatapan Pras memang seperti itu ke semua orang, tidak bisa diubah.“Pras, kamu tahu kan, kalau nguping pembicaraan orang lain itu gak baik?” lanjut Aida menaikkan kedua alinya.“Tahu,” jawab Pras pendek. Tapi tidak mengerti kemana arah pembicaraan sang mami.“Terus, ngapain kamu masih di sini?”Apalagi ini? Kenapa harus dirinya yang diusir keluar, seolah penguping yang hendak membocorkan rahasia penting ke negara tetangga. Bukankah, Pras yang lebih dahulu masuk ke dalam ruang kerja dan sang mami itu malah menyusulnya di belakang.“Ini ruang kerja, Mi. Bukan ruang untuk curhat.”Aida tidak menjawab argumen Pras. Tapi lirikan tajam wanita paruh baya itu, sudah menyiratkan se
Berbagai menu hidangan mewah sudah tersaji di meja makan persegi, bergaya eropa klasik. Sepuluh kursi yang melingkar dengan dominasi warna putih dengan pinggiran emas itu, kini sudah terisi dengan para komisaris utama dari Casteel High.Makan siang yang ada, bukanlah sebuah pertemuan formal. Raja pun hanya mengundang beberapa komisaris yang memang sudah sangat lama bekerja sama dengannya. Dan rata-rata, mereka semua sudah seusia dengan Raja. Sudah memilik anak serta cucu masing-masing.Raja juga sudah mengenalkan Sinar sebagai sekretaris pribadi, yang akan menangani segala hal terkait pencalonannya untuk menjadi gubernur. Ada beberapa yang langsung menggoda Sinar secara frontal, dan sisanya hanya tersenyum tanpa bisa diketahui maksudnya.Seperti biasa, image seorang sekretaris akan selalu menyimpan kesan 'miring' tersendiri di mata publik. Terlebih, jika sang sekretaris memiliki paras, serta lekuk tubuh yang mampu membuat para pria tidak mengerjab saat men
Tatapannya mengarah serius pada tablet yang ada di genggaman. Tertunduk untuk menggeser slide demi slide foto yang terpampang di dalam sana. Raja tengah mengamati beberapa rumah kosong yang rencananya akan digunakan sebagai posko pemenangannya.Pendaftaran calon pemilihan kepala daerah memang masih diadakan tahun depan. Tapi, untuk memenuhi semua persayaratan yang dibutuhkan, Raja harus bergerilya dari sekarang untuk mencari dukungan masyarakat.“Pihak Partai Demokrasi menghubungiku tadi siang.” Pras masuk ke dalam ruang kerja Raja, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Melonggarkan dasinya lalu menjatuhkan tubuh di sofa yang langsung berhadapan dengan meja kerja Sinar. Tatapan keduanya beradu sejenak, sangat singkat. Hanya dalam hitungan detik, dan Sinar memutusnya lebih dulu.“Padahal Papi sudah umumkan kalau akan maju lewat jalur independen.” Raja meletakkan tabletnya di atas meja. Meregangkan leher penatnya sejenak, kemudian menatap P
Sinar menatap waspada, tapi tidak bisa menjaga jaraknya ketika Pras semakin menggeser tubuhnya mendekat. Sinar semakin menghimpitkan tubuhnya di ujung. “Ke-kenapa ditutup? A-aku bakal lompat kalau kamu berani macam-macam.”Pras berhenti, menyisakan jarak 10 senti diantara mereka. Memutar tubuh dengan kedua tangan terbuka, yang bertumpu pada kepala jok depan dan belakang. “Kamu … mau lompat? Aku dengan senang hati membukakan pintu untukmu.”“Dasar breng—”“Sshh!” telunjuk tangan kiri Pras terjatuh di atas bibir tipis yang kini terkatup rapat, karena mendapat tatapan yang sangat mengintimidasi. “Aku sudah pernah bilang, kan, jaga ucapanmu saat bicara denganku.”Sinar menggangguk kecil, paru-parunya seolah terhimpit oleh beban berat, hingga kesulitan untuk menarik udara bebas di sekitarnya. Terlebih, dengan jarak sedekat ini, Sinar dapat kembali menghidu aroma Pras seperti pagi tadi. Me
Sinar berdiri beku. Kedua tangannya masih memegang bagian atas pintu mobil yang terbuka. Kakinya seolah berat melangkah, terpaku bak akar pohon yang telah menancap sejak berabad lamanya. "Diantar siapa kamu, Nar?" Melihat dari sedan mewah keluaran eropa, yang baru saja ditumpangi oleh Sinar. Tidak mungkin rasanya, kalau roda empat itu adalah sebuah taksi on-line. BMW yang membawa gadis itu memang bukan seri terbaru, tapi, harga yang dipatok untuk keluaran 3 series saat ini masih ada dikisaran harga 1 miliar. Ada yang di bawah itu, dan tidak jarang juga yang masih dijual di atas harga tersebut. Belum sempat Sinar menjawab pertanyaan bernada dingin itu, pria yang bertolak pinggang di depan pagar itu mengajukan pertanyaan berikutnya. "Kenapa gak bilang kalau kamu sekarang kerja lagi?" Kembali, belum lagi sempat Sinar memuntahkan kalimat jawaban, seseorang telah menyerobot dengan mengucapkan kalimat datarnya. "Ah! Ada reuni