Keduanya terdiam saling tatap. Menunggu Lusi membukakan pintu apartemen dalam posisi yang sama. Saling bersebrangan dengan meja makan sebagai pembatas.
Tak berapa lama kemudian, Lusi kembali dengan canggung. Karena sejatinya, wanita itu mendengar pertengkarang yang terjadi antara Pras dan Sinar meskipun tidak semuanya.
“Ibu Aida sudah datang, Mbak, permisi,” ucap Lusi, kemudian kembali berlalu ke kamarnya dengan sopan.
Pras menatap dingin pada Sinar sebelum akhirnya tubuh pria itu berbalik. Mendapati sang mami dan Bira yang sudah berada di ruang tengah yang memang menjadi satu dengan dapur.
Aida menghela, saat benar-benar melihat Pras berada di apartemen yang sama dengan Sinar. Wanita itu pun menghampiri keduanya, lalu lebih memilih duduk di kursi meja makan. Manik Aida kemudian tertuju pada dua buah piring kosong yang berdampingan di atas meja, pun dengan dua buah gelas dengan kondisi serupa.
“Kalian berdua sudah sarapan?”
Dengan kepala tertunduk lesu, Sinar keluar dari mobil dan masuk ke dalam kediaman Raja untuk kembali bekerja pagi ini. Setelah mendengar penuturan Bira mengenai Bintang kemarin pagi, pikiran Sinar semakin terombang-ambing tidak menentu. Sinar jadi semakin bingung, bagaimana sebenarnya perasaan Bintang terhadap dirinya, baik dulu hingga saat ini. Untuk itu, Sinar akan menjenguk Bintang di akhir minggu ini dan memperjelas semuanya. Jika pria itu memang mencintai Sinar dan sempat ingin menikahinya, mengapa Bintang masih saja pergi bersama Daya di belakang Sinar. Argh! Pikiran Sinar benar-benar kacau. Andai hormon kehamilan ini tidak ikut mempengaruhi perasaannya, mungkin dirinya tidak akan terlalu sensitif seperti ini. Belum juga Sinar meletakkan bokongnya di atas kursi kerja, suara dingin nan menyebalkan itu kembali terdengar di telinganya. Padahal, sudah dua bulanan lebih, Sinar merasa tenang dan nyaman dalam bekerja. Namun sepertinya, hal itu tidak berlaku la
Sebenarnya, berat bagi Raja untuk melepaskan Sinar ketika wanita itu memohon untuk mengundurkan diri. Tapi mengingat alasan yang dilontarkan Sinar, Raja tidak bisa berbuat apa-apa. Karena wanita itu memang, harus benar-benar menjaga kandungannya. Terlebih, kegiatan yang dilakukan Raja semakin hari akan semakin padat. Raja pasti tidak akan tega melihat Sinar selalu menemaninya, dengan membawa perut yang benar-benar membuncit seperti sekarang.Raja hanya bisa berharap, bahwa pengganti Sinar nantinya, bisa sepintar dan cekatan seperti wanita itu dalam bekerja.“Sebenarnya, kamu gak perlu pindah dari apartemen Bira, Nar. Tinggal aja dulu di sana, Bira juga nanti malam kembali ke Singapur, apartemennya gak pernah dipakai sama sekali,” sekali lagi, Raja kembali berutang budi kepada keluarga Sinar. Dari masalah Aida dulu dan sekarang mengenai Pras.Raja tidak bisa menolong Prabu yang terkena dakwaan korupsi, karena dalam hal tersebut, ayah Sinar memang bers
“Dengar, Nar,” Pras meraih dagu lancip Sinar, setelah mendengar jawaban wanita itu mengenai masa lalunya. Tatapan Pras tidak terbaca, hingga Sinar tidak bisa mengartikan, bahwa pria itu sedang marah atau tidak, kepadanya. “Jangan asal bicara, kalau kamu gak tahu apa-apa. Dan jangan pernah lagi membahas atau mengungkit masa laluku atau kamu … akan berakhir sama seperti mereka yang sudah membicarakanku di belakang karena sikap sok tahunya.” Sinar menepis kasar tangan Pras dari dagunya setelah mendengar semua ucapan pria itu kepadanya. Sinar memang tidak tahu menahu kejadian sebenarnya, hanya saja sang bunda sempat memperingatkannya untuk tidak dekat dengan Pras karena masa lalu Pras tersebut. Jadi wajar, kalau Sinar membangun benteng agar Pras tidak masuk lebih jauh ke dalam kehidupannya. Bersyukur, karena besok ia sudah tidak lagi pergi ke kediaman Raja untuk bekerja. Hingga Sinar tidak akan lagi bertemu, atau pun berhubungan lagi dengan Pras. “Pergi!
Sangat membosankan! Begitulah hari-hari yang dilalui Sinar setelah mengundurkan diri menjadi sekretaris pribadi Raja. Luntang lantung di rumah, keluar masuk kamar menuju ruang tengah dan paling jauh ke dapur, membuat dirinya stress sendiri. Merindukan hari-hari dengan tumpukan pekerjaan dan mengikuti Raja pergi ke sana kemari. Paling jauh, Sinar hanya pergi memeriksakan diri ke dokter kandungan dan sesekali mengikuti senam hamil. Setiap pagi, Sinar rutin mengabari Pras tentang jadwal hariannya, yang lagi-lagi hanya berada di rumah dan tidak pergi ke mana pun. Yang mengesalkan adalah, pria itu hanya membaca chatnya tanpa membalas atau paling tidak mengucapkan terima kasih. Setelah hari terakhirnya berkerja dengan Raja, Sinar memang tidak pernah lagi bertemu dengan Pras. Sentuhan terakhir pria itu di atas perutnya kala itu, hanya membuat sebuah kecanggungan dan sebuah jarak antara dirinya dan Pras. Entah mengapa? Sinar pun tidak mengerti, serta tidak ma
Kembali, Pras membuka ponsel dan melihat aplikasi chatnya. Sudah sesiang ini, tapi Sinar belum juga melaporkan tentang kegiatan yang akan dilakukan wanita itu hari ini. Biasanya, Sinar akan selalu mengirimkan chat pada Pras, paling lambat pukul enam pagi. Namun hari ini, jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi waktu Singapura, Sinar belum juga memberi kabar apapun kepadanya. Pras meletakkan kembali ponselnya di atas meja makan dengan hati kesal. Kalau ada wanita yang selalu saja memnimbulkan kekesalan di hati Pras, itu adalah Sinar. Wanita itu hanya jinak seperti kucing penurut kepadanya, jika Pras melontarkan ancaman, atau mengintimidasinya. Tapi, akan kembali membelot jika diberi kelonggaran, dan akhirnya tidak mengacuhkannya seperti saat ini. Ah! Wanita itu selalu saja menguji kesabaran Pras yang kadarnya tidak terlalu tinggi. Kembali meneruskan sarapannya. Ekor mata Pras melihat Bira yang baru turun dari lantai dua. Pria itu terlihat tengah berbica
Hari ini, Pras benar-benar menjemput Sinar tepat jam sembilan pagi. Pria itu hanya berada di mobil dan meminta Arkan untuk menjemput Sinar di rumah. Tidak beranjak sedikit pun dari tempat duduknya. Sibuk memeriksa beberapa laporan terkait branding serta maping sang papi yang tengah mengadakan pencitraan di beberapa daerah.Mengenai persyaratan yang diajukan Sinar kemarin, Pras tetap tidak bisa menerimanya. Meskipun, Sinar sudah menjatuhkan semua kesalahan atas kehilangan anaknya kepada Pras.Arkan segera menutup pintu penumpang setelah Sinar masuk ke dalam mobil. Wanita itu langsung memutar tubuhnya, memunggungi Pras. Hanya menatap pemandangan yang berlari di luar jendela begitu sang supir melajukan mobilnya.“Apa rencanamu setelah ini, Nar?” Pras memecah kesunyian, tapi pandangannya tetap tertuju pada tablet yang ada di tangan. Menggeser pelan slide demi slide untuk mengamati tiap laporan dengan teliti.“Gak punya rencana apa-apa.&rdquo
Sinar mengerjab, merasakan getaran pada saku kemeja Pras. Tersadar dan segera mengurai pelukannya, seraya mengusap cepat lelehan bening yang membasah di wajahnya dengan salah tingkah. Merasa bodoh atas hal yang baru saja dilakukannya.Pras hanya menatap datar, merogoh saku jasnya dan melihat nama yang muncul di atas layar, kemudian mengangkatnya.“Yes, Gin?”Sinar menarik napas sangat dalam. Sudah bisa menerka, siapa yang menghubungi Pras saat ini. Memilih menjauh dengan perlahan, di saat Pras masih berbicara di telepon, lalu memutuskan untuk memesan taksi on-line.Sementara Sinar duduk menunggu taksi yang telah dipesannya. Ponselnya bergetar, menampilkan nama Pras di sana. Sinar hanya menatap ponsel di genggamannya hingga getarannya berakhir. Tidak berniat mengangkat dan hendak mengakhiri semua hal dengan Pras.Dengan berakhirnya masalah hukum yang melibatkan dirinya, Pras serta Bintang di dalamnya. Sinar rasa, sudah tidak ada lagi, ha
Sinar menunduk, memegang kedua lututnya dengan terengah. Kaos oblong yang dikenakannya sudah basah dengan peluh. Menatap pagar rumahnya dengan lelah, setelah melakukan lari pagi dengan berkeliling tanpa tujuan hanya untuk menghabiskan kekesalan yang tidak kunjung mereda.Kejadian di restoran kala itu memang sudah seminggu berlalu. Namun, rasa kesal di hati Sinar masih tidak kunjung hilang juga. Napasnya langsung tertarik begitu besar, tiap kali mengingat Pras yang duduk bercengkrama akrab dengan Daya. Harusnya, Sinar cakar saja sekalian wajah Pras ketika mereka berdebat di belakang restoran kala itu, biar pria itu tahu rasa.Ah! Geram sekali rasanya jika Sinar kembali mengingat itu semua.Sinar menegakkan tubuh. Melepas earbuds yang terpasang di telinga kemudian melangkah memasuki pagar. Melihat Delon yang baru saja keluar dari garasi, sembari memegang pisang goreng dan mulut pria itu juga tengah sibuk mengunyah.Sinar menghentikan langkahnya. Memutar tub