Share

BAB 5 - Goyah

Author: Kanita Faraya
last update Huling Na-update: 2023-12-11 01:32:48

"Udah pulang?" Bapak melontarkan pertanyaan retoris kepadaku yang baru masuk ke rumah.

"Iya. Bapak udah makan atau belum? Aku bawain makanan," kataku sambil mengangkat tas plastik yang isinya kotak styrofoam berisi nasi dan ayam bakar serta lalapan.

"Bapak udah makan kok barusan. Itu buat kamu aja," tolak Bapak.

"Aku juga baru makan, Pak. 'Kan tadi makan sama Nava di rumah makannya langsung." Aku memasang muka cemberut.

Bapak menatapku geli, "Buat nanti 'kan bisa."

Aku menyerah, tak mendebat bapak lagi. Biasanya aku yang akan kalah. Selain ada saja jawabannya—dan tepat, pula—aku juga tak ingin melawan orang tua.

Aku menaruh bungkusan plastik itu ke atas meja makan. Sekalian ku buka tudung saji yang ada di meja itu, untuk mengecek apakah lauknya sudah bapak habiskan. Tadi subuh aku memasak oseng tempe yang dicampur daun kemangi, sayur asam, dan rempeyek kacang. Sekarang tinggal rempeyek kacang di stoples yang tersisa.

Aku bersyukur Bapak mau memakan menu yang ku sajikan hari ini. Beberapa hari ini nafsu makannya agak berkurang sehingga aku jadi mengkhawatirkan kesehatannya.

"Bulan depan Bapak mesti ke Jogja, Ris. Pakdemu mau ngadain hajatan, nikahannya Poppy. Bapak mau ke sana dulu, soalnya mau bantu-bantu persiapannya, sekalian pakdemu mau minta tolong hal lain. Kamu di sini sendiri dulu nggak apa-apa ya, Ris? 'Kan kamu sebentar lagi ujian semesteran. Kamu nyusulnya sehabis ujian aja," kata Bapak yang muncul di belakangku.

"Ya, Pak.”

Keesokkan harinya, aku berangkat ke kampus dengan sebuah tekad bulat untuk segera menyampaikan keberatanku soal peranku menjadi pacar pura-pura pada Boy. Aku ingin segera mengakhirinya, walau hubungan itu sebenarnya tak pernah nyata adanya.

Aku hanya ingin menjadi aku yang biasanya. Bangun subuh setiap hari, memasak, dan pulang setelah jadwal kuliah selesai. Begitulah kehidupanku yang seharusnya. Paling tidak, sesuai dengan rutinitas yang ku jalani sehari-hari saja bersama bapak dan orang-orang terdekatku.

"Aku duduknya misah aja deh, Ris. Takut kebakaran. Soalnya duduk di deket kalian panas banget sih," gurau Nava saat dia datang. Dia nyengir kuda memperlihatkan deretan giginya yang putih, lengkap dengan gingsulnya.

"Panas apanya. Fake gitu kok," timpalku.

"Jangan keras-keras dong bilang 'fake'-nya. Gawat nanti kalau ada yang denger, Ris." Nava mengingatkanku.

Aku terdiam. Walau sebenarnya aku berpikir masa bodoh jika ada yang mendengar ucapanku barusan, tetap saja aku belum benar-benar bicara empat mata dengan Boy. Masih jadi tanggunganku untuk tetap menjaga rahasia di antara kami.

"Oh ya, Ris. Kamu udah bilang ke bapakmu 'kan kamu mau nginep di rumahku nanti malem?" tanya Nava mengalihkan topik pembicaraan.

"Iya, udah. Bapak ngebolehin kok," jawabku.

"Bagus! Berarti nanti habis selesai kuliah kamu langsung ikut aku ke rumah ya," cetus Nava antusias.

"Doi dateng tuh!" Nava menyikut lenganku dan bergegas pindah bangku ke area tengah.

"Jangan duduk di sini. Di belakang aja," cetus Boy sambil berjalan melewatiku.

Aku berdiri dan mengikutinya ke bangku yang dia pilih, di deretan paling belakang ruang kelas itu.

"Nanti..." Aku mencoba mengatakan niatku pada Boy untuk mengajaknya bicara berdua saja. Aku tak mau menunda-nunda mengungkapkan unek-unekku kepadanya. Lebih cepat lebih baik.

"Apa?" tanya Boy. Entah kenapa, ekspresi wajahnya yang penuh atensi ketika menunggu ucapanku berikutnya, membuatku kikuk setengah mati.

Aku sengaja menguatkan diri untuk menatap Boy sebisa mungkin. Selama mungkin. Karena kalau aku goyah sedikit saja, itu sama dengan aku sedang menghancurkan image-ku sendiri di matanya.

‘Fokus, Ris!’ batinku menggebrak diri sendiri agar tak terlalu lama mengagumi ketampanan Boy. Aku tak ingin mabuk kepayang dan memutuskan untuk mundur sebelum maju nantinya.

Tapi... Tatapan mata Boy yang tajam dan dalam. Hidungnya. Bibirnya yang...

Apa salahnya aku mengagumi sesama ciptaan Tuhan? Toh, Boy memang benar-benar ganteng dan seksi. Dan itu fakta mutlak. Tak terbantahkan.

Aku saja yang tidak tahu diri. Baru juga diberi peran jadi pacar pura-puranya sudah ke-GR-an.

"Nanti... Ada yang mau aku omongin sama kamu," kataku. Akhirnya menang dari kegoyahan mental barusan.

"Aku juga ada yang mau aku omongin sama kamu nanti," sahut Boy.

Aku cukup terkejut menghadapi reaksinya itu. Tak menyangka, ternyata Boy punya unek-unek yang ingin dia utarakan juga kepadaku.

"Ma... Mau ngomong apa?" timpalku.

"Nanti pasti kamu tau. Kalau aku kasih tau sekarang jadi nggak asik," kilah Boy.

"Maaf..." kataku. Lagi-lagi aku merasa konyol. Tadi Boy sudah bilang mau bicara nanti, 'kan?

"Nggak masalah," kata Boy.

"Pacarannya kurang hot nih," celetuk Prima yang datang bersama kedua teman akrabnya. Mereka memilih bangku di deretan yang sama denganku dan Boy, tetapi di sisi yang berseberangan jauh dengan kami.

"Kalau mau yang lebih hot ya tinggal pakai balsem aja," balas Boy santai.

Prima cs tertawa.

"Kalem, Bro. Nggak usah pakai nyolot. Soal hot, aku udah punya yang lebih hot dibanding balsem. Oke?" ujar Prima dengan nada meremehkan.

Aku mengernyitkan dahi mendengar pembicaraan aneh Prima dan Boy tersebut.

Balsem? Ada yang lebih hot dari balsem?

Maksudnya apa sih?’ batinku.

"Minyak angin maksudmu?" sambar Boy sembari tertawa.

"Suka-suka lu aja mau nyebut dia apa. Yang jelas dia lebih hot dan mantap digenggam," kata Prima.

Apa yang kudengar ini topik mesum? Tak heran jika dugaanku benar. Karena yang mengatakannya Prima, si Mesum.

"Pret!" cetus Boy sinis.

Ada apa sih dengan Boy dan Prima?

Sepertinya sebelum Boy mengaku-aku berpacaran denganku, hubungan mereka baik-baik saja.

Aku sedang memikirkan penyebab Boy dengan Prima jadi tak akur, ketika Bu Asri berjalan memasuki ruangan dengan anggun.

Aku memperhatikan penjelasan Bu Asri mengenai materi mata kuliah Manajemen Akuntansi sewaktu Boy menyandarkan lengannya di sandaran bangkuku seperti kemarin. Wajahku langsung memanas, walau aku sudah berusaha mengabaikan aroma parfum, suhu tubuh, dan embusan napas cowok itu.

"Nanti kita ngobrolnya di atap aja," kata Boy. Lagipula, dia berbicara di dekat telingaku sehingga aku bisa tetap jelas mendengar suaranya yang volumenya sengaja dia kurangi itu.

"Ja... Jangan di sana," tolakku.

Aku tak mau berduaan dengan Boy di atap lagi. Takut dituduh berbuat mesum lagi dengannya.

"Kenapa nggak mau di sana? Tempatnya nyaman, 'kan. Di sana aja," debat Boy.

"Tempat lain aja..." kataku.

"Di mana?" tanya Boy. Nada bicaranya lembut seperti waktu kami berada di atap.

"Mm..." gumamku gugup.

Duh, aku tak punya rekomendasi tempat lain yang nyaman di gedung ini selain atapnya. Dalam hal ini, aku sebetulnya satu server dengan Boy.

"Atau kita pergi keluar naik motorku aja?" tawar Boy.

"Jangan!" seruku panik dengan mode suara berbisik.

"Kalau ke mana-mana nggak mau, gimana kalau batal aja ngomongnya?" goda Boy.

Aku hendak komplain lagi, namun batal saat suara Bu Asri mendadak terdengar menggelegar.

"Kalian mau ngobrol sampai kapan?"

BERSAMBUNG

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 117 - I Love You

    "Capek ya, Dek?" kataku pada Xander yang berada di gendongan Boy. Kami baru saja keluar dari wahana It's A Small World Tokyo Disneyland. "Kita makan dulu. Habis itu naik kereta keliling taman ini, mau nggak?" tanya Boy kepadaku dan Xander sekaligus. "Oke," timpalku. Ku ikuti saja langkah Boy yang panjang-panjang menuju ke sebuah restoran yang ada di taman hiburan tersebut. "Enak nggak waffle-nya?" Boy menanyai Xander yang tengah menggigit waffle berbentuk kepala Mickey Mouse dengan topping mangga kocok dan saus maple. "Enak," jawab Xander. "Lebih enak waffle itu atau kue pancong?" tanyaku iseng. Xander pernah makan kue pancong dan bilang kue itu enak sekali. Aku ingin tahu penilaiannya sekarang. Apakah kue pancong masih jadi kue favoritnya? "Kue pancong," kata Xander. Sontak aku dan Boy tertawa mendengar jawabannya yang bernada polos itu. "Emang ya, lidah lokal." Boy mengacak-acak rambut Xander dengan sayang.

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 116 - Percaya

    Boy membukakan pintu kamar kami menggunakan key card. Mataku sukses dibuat terbeliak lebar begitu berjalan memasuki ruangan yang super mewah itu, yang sepertinya merupakan kamar yang termewah dan termahal di Java Star Hotel.Aku melewati mini bar dan berbagai fasilitas eksklusif yang ada di kamar itu dengan batin yang tak kunjung berhenti mengagumi. "Mau minum sesuatu?" Boy membuka pintu kulkas yang berada di dapur. Aku menggelengkan kepala pelan. "Aku udah banyak minum cocktail di ballroom tadi."Boy menenggak isi minuman kaleng di tangannya, kemudian dia bergabung duduk denganku di sofa yang ada di seberang meja TV. Kami berdua menonton film dokumenter mengenai kehidupan sekelompok gajah di Afrika dalam keheningan yang terasa aneh dan sedikit mencekam. Sampai-sampai, ketika laki-laki di sampingku mengatakan sesuatu, hampir saja badanku melonjak karena kaget. "Besok kita ke makam Bapak sama Ibu ya," kata Boy. Aku terpana men

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 115 - Bahagia

    Acara pemberkatan dan penandatanganan surat nikah sudah usai. Para tamu undangan bergiliran naik ke atas panggung untuk menyalamiku dan Boy yang berdiri diapit para orang tua. Kebanyakan dari mereka merupakan orang-orang yang tak ku kenal sama sekali. Sepertinya mereka adalah rekan bisnis Papa dan kenalan Mama. Hanya Nava, beberapa tetangga, dan teman-teman dari Yogyakarta yang merupakan tamu dari circle-ku. Bahkan, Boy juga cuma mengundang Riga. Selebihnya, dia bilang dia tak mempunyai teman dekat lain.'Seandainya Bapak sama Ibu hadir di sini sekarang.' batinku sedih.Di urutan terakhir dari antrean tamu sepanjang rel kereta api itu, Febri cs menyapaku dengan heboh begitu mereka sampai di hadapanku. "Hai, Risaaa! Selamat ya, Ris! Btw, kamu cantik bangeettt pake gaun kayak gituuu!" Febri menjabat tanganku dan mencium kedua belah pipiku dengan kalap.Wawa, Devi, Nella, dan Marwah mengikuti apa yang dilakukan oleh Febri itu dengan gaya yang sama persis. Bahkan, Nella yang pendiam sepe

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 114 - Langkah

    "Emangnya mau dipanggil apa lagi selain 'kak'?" Seorang laki-laki muncul di belakang Kak Valerie. Badannya lebih tinggi dari Boy, tetapi lebih berisi dibandingkan badan adiknya. Soal wajah, mereka berdua mirip sekali, bahkan sampai ke tingkah-lakunya. "Dari mana aja kamu?" sentak Kak Valerie dengan ekspresi muka bak emak-emak menginterogasi anaknya yang baru pulang subuh. "Dari ruang makan. Tadi ada telpon dari pak hakim," jawab laki-laki itu dengan nada acuh tak acuh. "Oh," timpal Kak Valerie singkat. Dia kembali ke setelan anggunnya, kemudian mengalihkan pandangan kepada Xander. Badannya sedikit dia bungkukkan agar bisa sejajar dengan anak itu. "Kalau kamu namanya siapa? Aunty boleh tau nggak?" tanya Kak Valerie ramah. Namun Xander bukannya menjawabnya, malah bergegas bersembunyi di balik kaki Boy. "Dia takut tuh sama kamu. Kamu sih, nakutin." Kakaknya Boy meledek istrinya dengan bicara sok serius, padahal tanpa sepengetahuan wanita itu dia meringis lebar seraya mengulurka

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 113 - Impian

    Aku keluar dari ruang ganti dengan wajah tertunduk. Rasa malu menyerangku, padahal aku tengah memakai gaun pengantin yang ku impi-impikan sejak aku baru mengenal cinta monyet. Gaun berbahan tile berwarna putih dengan hiasan payet-payet dan renda, dengan model kerah Sabrina yang menampakkan kedua bahuku. Belum lagi ekor gaun yang panjang menjuntai di lantai, serta tak lupa kerudung dari bahan veil yang melengkapi gaun itu. Cantik, bukan? Tapi aku merasa tak nyaman memakainya karena terlalu terbuka. Kalau aku yang dulu memakainya, pasti bakalan suka. Berbeda sekali dengan aku yang sekarang. Kejadian yang sudah menjungkirbalikkan kehidupanku itu telah mengubah seleraku juga dalam hal berpakaian. "Cantik banget kamu, Ris!" cetus Mama. Otomatis kepalaku terangkat menatapnya. Dan secara tak sengaja pula, aku dan Boy jadi bersirobok mata.Boy memperhatikanku hampir tanpa berkedip. Tatapannya begitu sulit ku artikan. Yang jelas, efeknya membuatku serasa dikuliti. "Ya 'kan, Boy?" Mama menole

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 112 - Will You?

    "I... ini... maksudnya apa ya, Tan?" kataku penuh rasa terkejut luar biasa ketika Tante Merry berhenti di depan sebuah boneka manekin yang memakai gaun pengantin kepadaku. Tante Merry tersenyum menatapku. "Tanya aja sendiri sama calon mama mertua kamu. Itu orangnya."Aku menengok ke arah yang ditunjuk oleh Tante Merry lewat kerlingan matanya. "Ma..." panggilku dengan nada bingung. "Maafin Mama ya, Ris. Mama pikir, lebih baik kalian cepet-cepet nikah aja dibandingkan tunangan dulu. Kelamaan nanti. Mama udah nggak sabar pengin jadiin kamu menantu Mama, Sayang. Nggak apa-apa, 'kan? Toh, Xander juga udah akrab sama Papa dan Mama. Apa lagi yang mau kalian tunggu?" jawab Mama dengan raut wajah polos versi anggunnya. Dia menggandeng tangan Xander selagi mendekatiku, kemudian menyunggingkan senyuman terlembutnya. "Tapi kalau Risa nggak mau sama aku habis ini, berarti itu salah Mama ya." Boy tahu-tahu muncul dari balik tirai ruang ganti. Penampilannya sangat-sangat berbeda jauh dibandingka

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status