Beberapa minggu Carissa tinggal di rumah Rian. Dia masih terasa asing di sana.
Bahkan perlakuan baik dari Rian terkadang membuatnya risih. Seperti ketika makan malam beberapa hari yang lalu.
Ketika Rossa hendak meraih ayam panggang yang ada di dekatnya. Secara halus ayam itu malah diberikan pada Carissa di depan matanya sendiri.
Carissa benar-benar tidak enak. Apalagi ketika melihat raut Rossa berubah menjadi masam. Pasti dia kecewa pada ayahnya.
Carissa benar-benar tak mau membuat Rossa tak nyaman. Dan menganggap Carissa merebut ayahnya darinya.
"Perhatian banget sama Carissa," sindir Rossa.
"Kamu kan udah tiap hari makan ayam. Memang kamu gak bosan?" tanya Rian.
"Ayah gak tau memangnya, kalau ayam itu kesukaan Ocha?!"
Karena merasa tak enak. Akhirnya Carissa mengembalikan ayam itu ke dalam tempatnya lagi. Tapi sudah terlambat. Rossa sudah marah pada ayahnya.
Lalu seperti tadi ketika Carissa pulang sekolah. Memang sih, Rossa sudah tidak lagi menampakan raut wajah kesalnya. Apalagi setelah tahu jika sepupunya itu habis dibelikan sepatu dan tas baru oleh ayahnya.
Dia hanya diam di sepanjang perjalanan dan memandangi sepatu yang Carissa kenakan.
"Sepatu kamu bagus," puji Rossa yang tahu jika itu adalah ayahnya yang membelikan.
Carissa tersenyum kikuk. Dia tidak tahu harus menanggapi apa.
"Tas kamu, juga baru?" Rossa melirik ke arah belakang. "Ayah juga yang belikan?"
"Iya, Cha," jawab Carissa hingga mereka akhirnya sampai di rumah. Carissa bisa terbebas dari suasana canggung tersebut. Tapi mau sampai kapan?
"Kamu masuk duluan aja ke dalam rumah, aku ada les soalnya," kata Rossa ketika mereka berdua sudah sampai di depan rumah.
Karena siang itu Rossa masih ada les maka dia menurunkan Carissa di depan rumahnya dan lanjut ke rumah guru lesnya.
"Ya udah." Carissa turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah sendirian.
Rasanya sangat aneh karena setiap hari dia hanya ada di dalam rumah itu bertiga saja dengan Rian, pamannya. Yah, meskipun masih ada pembantu di sana tetap saja rasanya sangat canggung.
Dia tak bisa melakukan apa-apa dan bingung ingin membantu apa di rumah tersebut.
Selain tak enak karena sudah diberikan fasilitas mobil dan rumah yang bagus juga alat-alat sekolahnya. Carissa tak mungkin tidak ada niatan untuk balas budi pada Rian dan Rossa.
Masih dengan seragamnya, Carissa duduk di dalam kamarnya menghadap kipas angin. Hawa panas ia rasakan langsung ketika ia masuk ke dalam kamar tersebut.
Tetapi kecuali kamar Rossa dan Rian karena pasti di sana ada AC tentunya.
Carissa menanggalkan seragamnya, dan menyisakan dalamannya saja. Membuat seseorang yang ada di balik monitor menelan ludahnya berkali-kali melihat pemandangan tersebut.
"Apa hari ini saja, ya? Tapi sepertinya terlalu cepat," gumam Rian sambil mata masih terpaku di depan layar.
**
Dari lantai atas Rian melihat Carissa sedang keluar dari kamarnya, berjalan menuju dapur. Ia melihat gadis itu sedang berada di dapur dan mengambil air putih dari dalam kulkas.
"Udah pulang, Ris?" tanya Rian pada keponakannya itu. Membuat Carissa mengedarkan pandanganya lalu menemukan pamannya itu ada di lantai atas sedang memandangnya.
"Iya Paman," jawab Carissa.
"Bisa bantuin paman sebentar gak?" tanya Rian pada Carissa.
Carissa bingung kemudian melihat tangan Rian melambai ke arahnya akhirnya ia memutuskan untuk naik ke lantai atas.
Rian melihat Carissa menaiki tangga kemudian terulas senyum penuh makna dalam bibirnya.
"Kamu kayaknya gerah banget," kata Rian melihat wajah dan kulit tangan Carissa penuh dengan peluh.
"Iya Paman, panas banget soalnya di bawah." Carissa mengipasi wajahnya dengan tangannya kemudian melihat-lihat sekitarnya.
Samping kamar pamannya adalah ruang kerja, jeda satu ruangan ada ruang berisi piano dan alat musik milik Rossa, dan barulah setelah ruangan itu ada kamar Rossa yang sudah Carissa bayangkan, mewah bak kamar seorang putri.
"Ada apa Paman?" tanya Carissa ia ingat dengan tujuannya mengapa disuruh pamannya untuk naik ke atas.
"Oh iya itu—ada barang yang gak bisa Paman ambil. Tangan Paman sakit," katanya pelan.
Carissa menaikan kedua alisnya.
"Tolong ambilin ya," suruh Rian.
Carissa yang memang merasa memiliki utang budi pada Rian akhirnya mengiyakannya. Ia masuk ke dalam kamar Rian tanpa ada pikiran buruk terlintas dalam otaknya.
"Ada di bawah ranjang, Ris," ucap Rian lagi sambil menunjuk ke arah kolong ranjangnya.
Carissa berjalan lalu setengah berjongkok lalu melihat sebuah benda berkilau ada di bawah sana.
"Cincin ya, Paman?" tanya Carissa.
"Iya. Bisa kan?"
Tanpa menjawab Carissa akhirnya masuk ke dalam kolong itu. Merangkak ke bawah sana. Dan entah mengapa membuat imajinasi Rian ke mana-mana.
Tubuh molek gadis itu sangat menggiurkan. Menggoda gairah kelaki-lakiannya yang sudah lama padam.
Rian terus berandai-andai jika saja dia bisa memiliki tubuh gadis itu satu malam saja, pasti gairahnya selama ini langsung bisa terbalaskan.
Dia bahkan tidak teringat dengan anaknya yang seumuran dengan Carissa. Bagaimana jika anaknya menjadi objek fantasi menjijikan seperti itu.
Tapi pikiran kotor itu langsung terhempas begitu bayangan Carissa sudah tegak di depannya.
"Ini Paman." Carissa mengulurkan cincin emas putih itu pada Rian. Lalu tersenyum.
"Pasti dari Tante dulu ya?" tebaknya. Dia tidak tahu saja kalau Rian sudah menggunakan dirinya untuk objek pikiran tak senonohnya.
Rian hanya mengangguk. Lalu membiarkan gadis itu keluar dari kamar.
Tangannya hendak menarik tangan kecil itu, tapi ia urungkan.
Rian masih ragu untuk melakukannya sekarang. Akan terlalu cepat untuknya menjamah tubuh gadis itu. Sebab dia tahu pasti akan membuat gadis itu ketakutan.
Mungkin ia akan menunggunya sedikit lebih lama. Karena siapa tahu nantinya dia akan bisa mendapatkan Carissa tanpa paksaan tapi atas kemauannya sendiri.
Rian menatap cincin itu meletakannya ke dalam lacinya. Itu bukanlah cincin dengan penuh makna seperti yang Carissa pikir tadi.
Itu hanyalah cincin yang ia beli dan sudah lama tak ia pakai dan ia simpan di dalam laci.
Karena dia iseng, akhirnya malah melesakan ke bawah ranjang dengan maksud memancing Carissa masuk ke dalam kamarnya.
"Yah, Ocha mau nginep," kata Rossa ketika di telepon.
"Di mana?"
"Rumah teman."
"Teman siapa? Lelaki? Perempuan?"
"Perempuan lah."
"Bukan Daniel?" tebak Rian.
"Bukan," jawabnya sedikit ragu.
"Ayah bakalan izinin kamu asal kamu gak aneh-aneh sama lelaki di luaran sana. Tau kan kalau lelaki di luar sana jahat-jahat!"
"Kecuali, Ayah?"
Rian terkekeh. Padahal sikapnya beberapa menit yang lalu sudah menunjukkan jika dirinya bukanlah lelaki yang baik.
"Pokoknya gak boleh sama cowok!"
"Iya Yah, tenang aja. Besok udah balik kok."
"Siang? Pulang sekolah?"
"Hmm. Gak apa-apa kan?"
Rian tiba-tiba terlintas pikiran buruk itu lagi.
.
Rossa rupanya tidak pergi ke tempat les. Dia hanya pergi ke rumah Daniel tanpa sepengetahuan ayahnya."Kak Daniel!" panggil Rosa ketika melihat Daniel keluar dari rumahnya.Rosa menghampiri lelaki yang menatapnya dengan wajah penuh tanya tersebut."Kenapa?""Kakak mau ke mana?" tanya Rosa. Berharap dia akan diajak pergi oleh Daniel."Main basket," jawab Daniel dingin."Aku ikut!"Daniel melirik jam di tangannya. "Bukankah kamu seharusnya pergi les?" tanyanya yang seakan sudah tahu jadwal harian Rosa."Aku bolos hari ini. Oh ya, aku mau minta kakak buat jadi guru les aku, kira-kira mau gak?" Rosa bertanya. Menjadikan Daniel guru les adalah salah satu hal yang bisa membuatnya dekat secara wajar dan alami."Tapi bayaranku gak murah.""Bisa diatur," sahut Rosa cepat-cepat. Lalu membiarkan Daniel pergi dengan sepeda moto
"KALIAN MAU PACARAN ATAU BELAJAR SIH?!" sentak Rossa membuat Daniel dan Carissa menoleh. Terkejut.Carissa berdiri diikuti oleh Daniel yang menatap kedua wajahnya secara bergantian."Tadi aku sampai bela-belain buat ke rumah Kak Daniel, buat minta jadi guru les privatku. Tapi kakak nolak, dan sekarang tiba-tiba malah di sini, ngajar sepupuku sendiri." Rosa menangis, sudah menahan kesal dia juga menahan rasa cemburunya.Sudah lama dia berada di ambang pintu tanpa disadari oleh kedua orang itu. Tapi lama-kelamaan malahan pemandangan tersebut membuat Rossa patah hati."Karena ini yang nyuruh ayah kamu," jawab Daniel santai. Ia tak menunjukan kepanikan atau apapun, karena dia merasa jika dirinya benar."Oh gitu? Kakak lebih suka sama cewek yang baru kakak kenal, dibanding sama aku yang sudah lama suka sama kakak!"Kalimat itu meluncur begitu saja, antara malu dan
"Aahhh!!" pekik Carissa ketika melihat ada bangkai tikus di dalam lacinya. Dia tak sengaja memegangnya ketika berusaha mengambil buku yang ada di dalam laci.Carissa berusaha membuang bangkai tikus itu sendirian. Dengan menggunakan kertas yang ia robek dari bukunya.Rossa yang melihat dari kejauhan hanya terkekeh geli karena semua itu adalah perbuatannya."Setelah merebut perhatian ayah, sekarang berusaha merebut perhatian dari Daniel," desis Rossa.Sebelumnya …Ketika dia melihat sepupunya yang sedang makan di kantin, dia pun langsung melancarkan serangan.Dia menyuruh Saipudin yang bucin padanya untuk meletakan bangkai tikus di dalam laci Carissa."Dari mana aku dapat bangkainya, Cha?!" tanya Udin dengan frustrasi,"Sama Pak Bon, pasti dia ada," jawab Rossa. "Pokoknya taro aja di laci Carissa."Dan akhirnya dia menuruti perintah d
Rossa semakin membenci Carissa, terlebih ketika mengetahui jika gadis itu nampak semakin dekat dengan Daniel, dan karena itu lah Rossa semakin memusuhinya tak hanya di sekolah tapi juga di rumah.Ibu Carissa sama sekali tidak tahu, karena waktunya selama seharian ia habiskan di tempat kerjanya. Dia hanya tahu jika anaknya itu lebih bahagia dibanding dengan kehidupan sebelumnya."Sekolah kamu lancar kan, Ris?" tanya ibunya ketika malam itu melihat anaknya masih terjaga dan terpekur di meja belajar.Dia berusaha memahami pelajarannya karena tak ingin membuat Daniel susah."Lancar, Bu," jawab Carissa sambil menatap wajah ibunya yang nampak letih tersebut. "Ibu tidur aja, Carissa masih mau belajar.""Hubungan kamu sama Rossa, baik-baik aja kan?" Entah mengapa ibunya tiba-tiba bertanya seperti itu pada Carissa.Tak seperti biasanya juga dia masuk ke dalam kamar anaknya hanya untuk bertan
Daniel mengatakan hal itu bukan tanpa sebab, karena setiap hari dia melihat bagaimana pamannya memperlakukan Carissa sangat aneh dan berlebihan.Dan ia ingin membawa gadis itu pergi dari rumah itu nanti, setelah dia sudah menjadi seseorang yang membuat Carissa bisa hidup dengan nyaman.Seperti waktu itu ketika Daniel datang untuk memberikan les untuk Carissa. Dengan mata kepalanya sendiri dia melihat Rian memperlakukan Carissa bukan seperti layaknya keponakannya sendiri."Permisi," sapa Daniel ketika dia sudah berada di ruang tamu.Carissa yang berada di dapur dan tepat di belakangnya ada Rian, langsung menoleh. Wajah keduanya tegang, Rian gugup sedangkan Carissa takut."Oh, kamu sudah datang rupanya," sahut Rian dengan gugup. Ia tersenyum canggung dan menatap keduanya bergantian."Sana Carissa, jangan buat Daniel menunggu lama," kata Rian. Dia mendorong punggung Carissa pelan.
Mau tak mau Carissa pergi dengan Rossa dan Daniel. Daripada pergi dengan pamannya mungkin lebih baik pergi dengan mereka berdua meskipun banyak hal yang menyebalkan selama di perjalanan.Seperti ketika Rossa inginnya duduk di sebelah Daniel. Lalu ia akan berpura-pura ketiduran dengan kepala bersandar di bahunya.Daniel duduk di sebelah Rossa, dan Carissa duduk di depannya.Sesekali Daniel menampakan wajah tak nyamannya ketika Rossa terus menempel padanya seperti tikus yang terkena jebakan lem tikus.Carissa akan memalingkan wajahnya, karena jujur saja dia tidak begitu menyukai dengan sikap Rossa saat ini."Setelah ini kita naik apa?" tanya Daniel pada Carissa."Mungkin naik ojek," jawab Carissa."Aku gak mau kalau naik ojek, kalau kamu mau naik ojek kamu aja sendirian. Aku dan Kak Daniel akan naik taksi," sahut Rossa. Matanya tiba-tiba terbuka sempurna seperti belum
Bagaimanapun juga Carissa tidak bisa mengatakan yang sebenarnya pada ayahnya mengenai sikap Rian yang menakutkan.Ia memendamnya sendirian dan hanya Daniel yang mengetahuinya.Tetapi—setelah Daniel tidak ada nanti. Ketika dia pergi ke Sydney untuk kuliah, siapa lagi yang akan menjaganya seperti sekarang?"Aku gak mau pulang, Kak," ucap Carissa pelan. Ia memandang matahari yang sebentar lagi akan tenggelam.Air laut membias oranye menunjukan jika senja sebentar lagi akan tiba."Kamu mau di sini dulu?" tanya Daniel."Kalau bisa, aku mau tinggal di sini sama ayah, tapi—""Kalau kita lapor polisi gimana?" Usulan Daniel membuat Carissa menoleh ke arahnya.Ia menggelengkan kepalanya cepat."Jangan, Kak.""Kenapa?""Gak ada bukti, lagian yang ada aku dan ibuku akan diusir. Dan ayahku pasti akan menganggur
Di sepanjang perjalanan Carissa hanya diam saja. Dia sama sekali tak bicara pada Daniel meskipun lelaki itu sudah berusaha untuk mengajaknya berbicara.Bahkan ketika tangan Daniel ingin mengenggam tangan Carissa dia menolaknya dengan halus."Kakak udah ada Ocha," ucap Carissa pelan.Daniel menghela napasnya. Wajar saja kalau Carissa marah padanya. Tapi mau bagaimana lagi, hanya itu yang bisa dilakukan oleh Daniel.Sebentar lagi dia akan lulus sekolah dan meninggalkan sekolah itu. Dia sudah tak bisa menjaga Carissa seperti biasanya karena ia pasti akan sibuk dengan persiapan kuliahnya.Hanya pada Rossa dia bisa meminta tolong, meskipun itu tidak masuk akal."Maafin aku, Riss," ucap Daniel yang menatap ke arah wajah Carissa dari samping, namun Carissa menatap jendela kereta.Sebentar lagi mereka berdua akan sampai. Dan entah apa yang akan dilakukan oleh