Share

4. Bukan Hari Ini

Beberapa minggu Carissa tinggal di rumah Rian. Dia masih terasa asing di sana.

Bahkan perlakuan baik dari Rian terkadang membuatnya risih. Seperti ketika makan malam beberapa hari yang lalu.

Ketika Rossa hendak meraih ayam panggang yang ada di dekatnya. Secara halus ayam itu malah diberikan pada Carissa di depan matanya sendiri.

Carissa benar-benar tidak enak. Apalagi ketika melihat raut Rossa berubah menjadi masam. Pasti dia kecewa pada ayahnya.

Carissa benar-benar tak mau membuat Rossa tak nyaman. Dan menganggap Carissa merebut ayahnya darinya.

"Perhatian banget sama Carissa," sindir Rossa.

"Kamu kan udah tiap hari makan ayam. Memang kamu gak bosan?" tanya Rian.

"Ayah gak tau memangnya, kalau ayam itu kesukaan Ocha?!"

Karena merasa tak enak. Akhirnya Carissa mengembalikan ayam itu ke dalam tempatnya lagi. Tapi sudah terlambat. Rossa sudah marah pada ayahnya.

Lalu seperti tadi ketika Carissa pulang sekolah. Memang sih, Rossa sudah tidak lagi menampakan raut wajah kesalnya. Apalagi setelah tahu jika sepupunya itu habis dibelikan sepatu dan tas baru oleh ayahnya.

Dia hanya diam di sepanjang perjalanan dan memandangi sepatu yang Carissa kenakan.

"Sepatu kamu bagus," puji Rossa yang tahu jika itu adalah ayahnya yang membelikan.

Carissa tersenyum kikuk. Dia tidak tahu harus menanggapi apa.

"Tas kamu, juga baru?" Rossa melirik ke arah belakang. "Ayah juga yang belikan?"

"Iya, Cha," jawab Carissa hingga mereka akhirnya sampai di rumah. Carissa bisa terbebas dari suasana canggung tersebut. Tapi mau sampai kapan?

"Kamu masuk duluan aja ke dalam rumah, aku ada les soalnya," kata Rossa ketika mereka berdua sudah sampai di depan rumah. 

Karena siang itu Rossa masih ada les maka dia menurunkan Carissa di depan rumahnya dan lanjut ke rumah guru lesnya.

"Ya udah." Carissa turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah sendirian.

Rasanya sangat aneh karena setiap hari dia hanya ada di dalam rumah itu bertiga saja dengan Rian, pamannya. Yah, meskipun masih ada pembantu di sana tetap saja rasanya sangat canggung.

Dia tak bisa melakukan apa-apa dan bingung ingin membantu apa di rumah tersebut.

Selain tak enak karena sudah diberikan fasilitas mobil dan rumah yang bagus juga alat-alat sekolahnya. Carissa tak mungkin tidak ada niatan untuk balas budi pada Rian dan Rossa.

Masih dengan seragamnya, Carissa duduk di dalam kamarnya menghadap kipas angin. Hawa panas ia rasakan langsung ketika ia masuk ke dalam kamar tersebut.

Tetapi kecuali kamar Rossa dan Rian karena pasti di sana ada AC tentunya.

Carissa menanggalkan seragamnya, dan menyisakan dalamannya saja. Membuat seseorang yang ada di balik monitor menelan ludahnya berkali-kali melihat pemandangan tersebut.

"Apa hari ini saja, ya? Tapi sepertinya terlalu cepat," gumam Rian sambil mata masih terpaku di depan layar.

**

Dari lantai atas Rian melihat Carissa sedang keluar dari kamarnya, berjalan menuju dapur. Ia melihat gadis itu sedang berada di dapur dan mengambil air putih dari dalam kulkas.

"Udah pulang, Ris?" tanya Rian pada keponakannya itu. Membuat Carissa mengedarkan pandanganya lalu menemukan pamannya itu ada di lantai atas sedang memandangnya.

"Iya Paman," jawab Carissa.

"Bisa bantuin paman sebentar gak?" tanya Rian pada Carissa.

Carissa bingung kemudian melihat tangan Rian melambai ke arahnya akhirnya ia memutuskan untuk naik ke lantai atas.

Rian melihat Carissa menaiki tangga kemudian terulas senyum penuh makna dalam bibirnya.

"Kamu kayaknya gerah banget," kata Rian melihat wajah dan kulit tangan Carissa penuh dengan peluh.

"Iya Paman, panas banget soalnya di bawah." Carissa mengipasi wajahnya dengan tangannya kemudian melihat-lihat sekitarnya.

Samping kamar pamannya adalah ruang kerja, jeda satu ruangan ada ruang berisi piano dan alat musik milik Rossa, dan barulah setelah ruangan itu ada kamar Rossa yang sudah Carissa bayangkan, mewah bak kamar seorang putri.

"Ada apa Paman?" tanya Carissa ia ingat dengan tujuannya mengapa disuruh pamannya untuk naik ke atas.

"Oh iya itu—ada barang yang gak bisa Paman ambil. Tangan Paman sakit," katanya pelan.

Carissa menaikan kedua alisnya.

"Tolong ambilin ya," suruh Rian.

Carissa yang memang merasa memiliki utang budi pada Rian akhirnya mengiyakannya. Ia masuk ke dalam kamar Rian tanpa ada pikiran buruk terlintas dalam otaknya.

"Ada di bawah ranjang, Ris," ucap Rian lagi sambil menunjuk ke arah kolong ranjangnya.

Carissa berjalan lalu setengah berjongkok lalu melihat sebuah benda berkilau ada di bawah sana.

"Cincin ya, Paman?" tanya Carissa.

"Iya. Bisa kan?"

Tanpa menjawab Carissa akhirnya masuk ke dalam kolong itu. Merangkak ke bawah sana. Dan entah mengapa membuat imajinasi Rian ke mana-mana.

Tubuh molek gadis itu sangat menggiurkan. Menggoda gairah kelaki-lakiannya yang sudah lama padam.

Rian terus berandai-andai jika saja dia bisa memiliki tubuh gadis itu satu malam saja, pasti gairahnya selama ini langsung bisa terbalaskan.

Dia bahkan tidak teringat dengan anaknya yang seumuran dengan Carissa. Bagaimana jika anaknya menjadi objek fantasi menjijikan seperti itu.

Tapi pikiran kotor itu langsung terhempas begitu bayangan Carissa sudah tegak di depannya.

"Ini Paman." Carissa mengulurkan cincin emas putih itu pada Rian. Lalu tersenyum.

"Pasti dari Tante dulu ya?" tebaknya. Dia tidak tahu saja kalau Rian sudah menggunakan dirinya untuk objek pikiran tak senonohnya.

Rian hanya mengangguk. Lalu membiarkan gadis itu keluar dari kamar.

Tangannya hendak menarik tangan kecil itu, tapi ia urungkan.

Rian masih ragu untuk melakukannya sekarang. Akan terlalu cepat untuknya menjamah tubuh gadis itu. Sebab dia tahu pasti akan membuat gadis itu ketakutan.

Mungkin ia akan menunggunya sedikit lebih lama. Karena siapa tahu nantinya dia akan bisa mendapatkan Carissa tanpa paksaan tapi atas kemauannya sendiri.

Rian menatap cincin itu meletakannya ke dalam lacinya. Itu bukanlah cincin dengan penuh makna seperti yang Carissa pikir tadi.

Itu hanyalah cincin yang ia beli dan sudah lama tak ia pakai dan ia simpan di dalam laci.

Karena dia iseng, akhirnya malah melesakan ke bawah ranjang dengan maksud memancing Carissa masuk ke dalam kamarnya.

"Yah, Ocha mau nginep," kata Rossa ketika di telepon.

"Di mana?"

"Rumah teman."

"Teman siapa? Lelaki? Perempuan?"

"Perempuan lah."

"Bukan Daniel?" tebak Rian.

"Bukan," jawabnya sedikit ragu.

"Ayah bakalan izinin kamu asal kamu gak aneh-aneh sama lelaki di luaran sana. Tau kan kalau lelaki di luar sana jahat-jahat!"

"Kecuali, Ayah?"

Rian terkekeh. Padahal sikapnya beberapa menit yang lalu sudah menunjukkan jika dirinya bukanlah lelaki yang baik.

"Pokoknya gak boleh sama cowok!"

"Iya Yah, tenang aja. Besok udah balik kok."

"Siang? Pulang sekolah?"

"Hmm. Gak apa-apa kan?"

Rian tiba-tiba terlintas pikiran buruk itu lagi.

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status