Carissa masih merasa sangat asing di sekolah barunya. Dia masuk ke dalam sekolah itu ketika sudah pertengahan semester.
Dan hal yang membuat Carissa tak nyaman bukan hanya itu saja, melainkan siswa lain yang nampaknya dari kalangan orang kaya. Mungkin bisa dikatakan jika 90 persen murid di sana adalah anak orang kaya dan sisanya kelas menengah ke bawah.
Carissa menghela napasnya ketika duduk di pinggir lapangan basket. Sebelum akhirnya ia terkejut begitu melihat ada bola yang menggelinding ke arahnya.
"Anak baru! Lempar ke sini!"
Carissa menyipitkan matanya, dan melihat Daniel sedang bermain basket dengan teman satu kelasnya.
Dia mencoba melemparkan bola basket itu, meskipun lemparannya sangat lemah hingga membuat Daniel harus berjalan beberapa langkah lagi untuk mengambil bola tersebut.
Setelah melemparkan bola itu, Carissa kembali ke dalam kelasnya. Dia mendengarkan apa kata Rossa untuk tidak mendekati Daniel. Karena mungkin—sepupunya itu menyukai lelaki yang duduk di kelas tiga itu.
"Kamu abis dari mana?" tanya Rossa pada Carissa.
"Dari lapangan basket," jawab Carissa. Rossa memandang lapangan basket dari tempatnya berdiri, matanya melihat bayangan Daniel sedang bermain di sana.
"Jangan bilang—"
"Bukan seperti yang kamu pikirin," sambar Carissa cepat.
"Memangnya apa yang aku pikirin?" tanya Carissa lagi.
"Pokoknya aku gak ada apa-apa sama Kak Daniel mu itu Cha," jelas Carissa dan membuat sepupunya itu tersenyum lega.
Ia merangkul Carissa kemudian mengenalkannya pada teman-teman satu kelasnya.
Mungkin karena Rossa gadis yang supel dan gampang bergaul, makanya dia tidak kesusahan untuk mendapatkan banyak teman seperti saat ini.
Berbeda dengan Carissa yang sangat pemalu dan cenderung tak banyak bicara. Dia lebih suka banyak mendengarkan alih-alih banyak bicara seperti Rossa.
"Nanti aku ada les, kamu pulang aja sama supir. Aku sama temenku," kata Rossa sebelum Carissa kembali ke dalam kelasnya.
Gadis itu hanya mengangguk, ikut saja apa kata Rossa.
Di pertengahan jalan ketika ia hendak kembali ke kelasnya. Carissa tanpa sengaja berpapasan dengan Daniel. Tapi Carissa berusaha untuk mengalihkan pandangannya agar tidak dikira Rossa kalau ia tertarik pada lelaki itu.
Tapi memang dia tidak tertarik pada Daniel.
**
Sepulang sekolah, Rian menjemput Carissa di sekolahnya. Sangat jarang ia lakukan bahkan pada anaknya Rossa.
Carissa yang menunggu mobil yang tadi pagi mengantarkannya pun jadi bingung, karena belum ada di sana ketika ia keluar dari sekolah. Tetapi malah mobil lain yang di dalamnya ada Rian mendekatinya.
Rian membuka salah satu sisi jendela mobilnya. Ia melambaikan tangannya pada Carissa yang saat itu sedang berdiri di trotoar sekolahan.
"Ris!" panggil Rian dengan semangat. Ia tersenyum lebar melihat keponakannya itu langsung berjalan menghampirinya.
"Mau jemput Ocha, Paman?" tanya Carissa sedikit menundukan punggungnya.
Rian menggelengkan kepalanya. "Gak tuh, Ocha kan ada les, Paman mau jemput kamu," jawab Rian penuh dengan percaya diri.
"Jemput Rissa?" tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Kenapa? Kamu gak mau?" tanya Rian lagi.
Carissa menggelengkan kepalanya karena tak enak. "Bukan gitu Paman, Carissa gak enak aja, udah repotin Paman," katanya pelan.
"Udah gak apa-apa, kamu naik aja. Temenin Paman makan, kalau kamu gak enak."
Tanpa berpikir negatif, akhirnya Carissa naik ke dalam mobil yang sedang Rian bawa. Ia menuju ke sebuah tempat bersama dengan Carissa siang itu.
"Paman yakin, kamu pengen keliling di sekitar sini kan?" tanya Rian tiba-tiba.
"Sedikit, tapi Ocha sibuk."
"Sama Paman aja, gak apa-apa."
Carissa hanya menanggapinya dengan senyuman. Dia masih sungkan dengan paman yang sudah lama tak ia temui itu. Setelah ia sudah dibiayai sekolah oleh Rian, kini dengan baik hati lelaki itu memberikan tawaran yang menyenangkan seperti itu padanya.
"Kita sekarang mau ke mana, Paman?" tanya Carissa, ia memandang pemandangan ke luar jendela. Pepohonan rimbun menutupi sinar matahari yang sudah berangsur turun.
"Kita makan kue di kafe, kamu udah pernah ke sana belum?" tanya Rian.
Carissa menggelengkan kepalanya. "Jangankan ke kafe, bisa makan aja Rissa sudah bersyukur," jawabnya pelan.
Hidupnya memang sangat pas-pasan ketika tinggal di rumah lamanya. Sehari dia mungkin hanya akan makan satu kali, itu pun dengan lauk seadanya.
Tapi Carissa tidak bisa protes karena ia tahu keadaan keuangan ayah dan ibunya.
"Tenang aja—selama kamu tinggal di sini sama Paman, semua yang kamu mau Paman belikan," kata Rian. Mobilnya memasuki ke area parkir.
Di depannya sudah ada sebuah bangunan kafe ala anak muda.
Karena masih jam sekolah, makanya kafe saat ini masih cenderung sepi. Dan akan ramai ketika menjelang sore.
"Wah, Rissa baru pertama kali ke sini," gumamnya takjub memandangi kafe yang biasanya hanya ia bisa lihat di dalam layar kaca.
"Ayo masuk," ajak Rian.
Carissa awalnya ragu untuk menerima kebaikan Rian satu ini. Apalagi kalau sampai Rossa tahu, apakah ia akan cemburu pada Carissa?
Belum lagi setelah dari kafe, Rian mengajak Carissa untuk membeli baju baru untuknya di mall.
"Carissa gak butuh ini, Paman," tolak Carissa dengan sopan.
"Udah gak apa-apa, sebagai gantinya kamu awasin Rossa di sekolah ya. Kamu harus punya baju bagus biar gak minder sama temen-temen kamu."
Rian rupanya tahu jika baju yang dipakai oleh Carissa sudah usang dan jelek. Ia bahkan juga membelikan sepatu untuk Carissa sekolah.
Sampai membuat Carissa bertanya dalam hatinya, mengapa lelaki itu sangat baik padanya.
"Jangan bilang-bilang sama Ocha ya, Ris. Nanti dia pengen," kekehnya. Dan ini yang membuat Carissa mulai tak enak pada Rossa, sepupunya.
"Mau nonton ke bioskop gak?" tanya Rian. Membuat Carissa langsung menggelengkan kepalanya. Mana mungkin dia nonton dengan pamannya sendiri.
Memang sih, pamannya ini belum terlalu tua. Tapi tetap saja, jika orang lain yang melihatnya seperti anak abege yang sedang jalan dengan sugar daddy-nya.
"Pulang aja Paman." Carissa meringis menampakan deretan giginya yang rapi. Gadis itu sudah penuh membawa barang belanjaan dan tak ingin sampai Rossa memergokinya.
"Kamu udah punya pacar, Ris?" tanya Rian ketika mereka masuk ke dalam mobil.
"Gak punya, Rissa masih kecil belum boleh pacaran sama ayah," jawab Carissa dengan polosnya.
Rian tersenyum penuh makna. "Bener apa kata ayah kamu, jangan pacaran dulu kalau belum dewasa."
"Tapi kalau Ocha pacaran gimana, Paman?"
"Kalau itu sih terserah Ocha aja, asal jangan pacaran sama cowok brengsek."
Carissa tersenyum kaku. Apakah Rian sudah tahu kalau anaknya itu menyukai seorang lelaki di sekolahnya?
"Kenapa? Kamu lihat Ocha pacaran di sekolah?"
"Gak Paman, gak liat. Ocha rajin kok di sekolah." Carissa terpaksa berbohong pada Pamannya, jika di sekolah Rossa sedang mengejar lelaki yang bernama Daniel.
“Ada yang pengin aku tunjukin sama kamu,” kata Rendy malam itu. Setelah bebas, Carissa tinggal di sebuah kos yang dekat dengan Rendy. Dan karena itu lah membuat hubungan mereka dekat seperti sekarang.Selama tujuh tahun, Carissa tidak pernah mengizinkan Aaron untuk mengunjunginya. Dia menolak tiap kali Aaron ingin bertemu dengannya di penjara, karena Carissa tak ingin membuat Aaron tidak dapat melupakannya.Sudah tujuh tahun, harusnya Aaron sudah bisa melupakannya. Dan memiliki seseorang yang dia sayangi.“Kita mau ke mana, Kak?” tanya Carissa.“Kalau aku ngasih tau sekarang, namanya bukan kejutan,” jawab Rendy.Karena tak bisa menolak permintaan Rendy, akhirnya Carissa menurutinya. Mereka naik motor untuk menuju ke tempat yang dimaksud oleh Rendy.Di perjalanan, tiba-tiba saja Carissa teringat dengan Aaron. Ada perasaan rindu yang mengusiknya saat ini, tapi di sisi lain dia takut untuk bertanya pada Rendy bagaimana keadaan Aaron sekarang.Apakah dia sudah menikah? Apakah dia sudah m
Tak ada penyesalan dari diri Carissa ketika dia mengetahui bahwa Rian telah mati di tangannya. Luka tusuk yang dia berikan rupanya menembus tepat ke jantungnya.Namun, ada penyesalan bagi Carissa sampai sekarang. Jika dirinya tidak bisa melihat dan menemani Aaron sampai sadar.Satu haru setelah kejadian itu, Carissa dibawa ke kantor polisi untuk diminta keterangan. Hingga akhirnya, statusnya berubah menjadi seorang pelaku pembunuhan.Carissa tidak mengelak. Dia mengaku bahwa dirinya memang sudah membunuh Rian.Di kantor polisi itu juga lah, dia bertemu dengan ibunya yang sudah tidak dia lihat selama beberapa bulan ini. Dan juga Rossa yang menangis karena dirinya telah menjadi anak yatim piatu.“Kenapa kamu harus melakukan ini pada pamanmu sendiri, Carissa?!” geram ibunya. Dian benar-benar sama sekali tidak mengasihani anaknya yang sebentar lagi akan dipenjara selama tujuh tahun.Carissa diam.“Padahal kamu tak perlu sampai membunuhnya.”Tiba-tiba Carissa menyeringai.“Apa ibu takut ak
Dengan sekuat tenaga Carissa mencoba untuk agar tetap terjaga, meski rasa kantuknya saat ini benar-benar sangat menyiksanya.Samar-samar dia melihat bayangan Rian, lelaki yang sudah lama tidak dia lihat masuk ke kamar. Dia tersenyum dan mendekati Carissa.Baru saja saat Rian hendak menyentuh pipi Carissa. Bayangan lain masuk, meski Carissa setengah sadar tapi dia tahu bahwa bayangan lain itu adalah Aaron.Namun, sepertinya ada yang salah dengan Aaron. Wajahnya dipenuhi dengan darah yang menetes. Dengan mata yang ganas dia mencoba memukul Rian dengan kayu yang ada di tangannya.Rian yang sadar jika ada orang lain masuk ke kamar itu pun menoleh. Dia terkejut mendapati Aaron mampu melewati anak buahnya.“Kamu pikir aku akan membiarkanmu hidup!” ujar Aaron. Pukulan pertamanya meleset, lelaki itu terhuyung dan terjatuh.Rian menendang perut Aaron yang sudah tidak berdaya. Terus memukulinya sangat kalap tanpa takut jika hal itu dapat membunuh Aaron.Carissa membuka matanya lebar-lebar. Dia
Aaron terkejut saat mendapati mobilnya tidak ada Carissa. Awalnya dia mengira jika Carissa mungkin saja ke toilet, tapi rasa curiganya muncul saat menemukan ponsel milik Carissa terjatuh di samping mobilnya.Aaron memungutnya, jelas Carissa bukan perempuan ceroboh seperti ini.Mobil melintas di sampingnya, sosok Carissa memukul jendela mobil di bangku penumpang dengan wajah ketakutan. Aaron dapat melihatnya sekilas dan yakin jika Carissa saat ini sedang diculik.Bergegas masuk ke dalam mobilnya, Aaron langsung mengejar mobil yang membawa Carissa. Ia tak ingin melewatkan waktu sedetik saja agar tidak kehilangan jejak mobil tersebut.Seorang lelaki menarik rambut Carissa hingga perempuan itu tertarik ke belakang. Dengan kasar dia lalu mengikat kedua tangan Carissa menggunakan tali rafia.“Diam. Kamu sudah cukup merepotkan selama ini, jadi berhenti bergerak atau aku akan membunuhmu.”Carissa dapat melihat pisau yang ditodongkan ke perutnya. Wajahnya memucat dan menggigil ketakutan.Aaron
“Kalian mau ke mana?” tanya Aarin saat melihat Aaron sudah mengenakan pakaian rapi tidak seperti tadi.“Mau jalan-jalan, kenapa? Kalian nggak boleh ikut,” jawab Aaron. Dia masih menunggu Carissa yang mengganti pakaiannya. Sementara Daniel, dia sedang mengobrol dengan ayah Aarin di taman belakang rumah.“Malam minggu? Kamu jalan-jalan sama Carissa? Nggak salah?”“Kenapa salah. Udah urus aja pacarmu,” kata Aaron. Dia melihat Carissa muncul dengan rok jeans berwarna biru terang. Atasnya dia memakai hoodie berwarna mocca yang pernah dibelikan oleh Aaron beberapa waktu yang lalu. Tak lupa Carissa mengenakan sepatu kets hasil hadiah dari Aaron.Aaron yang melihat jika Carissa memakai hadiah pemberiannya pun merasa bangga dan senang.Mata Carissa melihat ke sekitarnya, memastikan jika tak ada Daniel di sana.“Ayo berangkat,” ajak Aaron.Carissa mengangguk, dia pamitan pada Aarin kemudian pergi keluar. Tak lama kemudian Daniel muncul dan mengatakan pada Aarin jika malam ini ayahnya ingin pest
Satu minggu kemudian …Tamu yang ditunggu-tunggu oleh Aarin akhirnya datang juga. Sejak pagi dia sudah sangat antusias dan bersemangat untuk mengenalkan pada ayah dan ibunya jika dia adalah pacarnya selama ini.Meski selalu diejek oleh Aaron karena mereka menjalani hubungan jarak jauh, tapi hal itu tak lantas membuat Aarin terpengaruh. Kerap Aaron mengatakan jika bisa saja kekasihnya selingkuh di luar negeri, tapi Aarin tetap percaya pada pacarnya itu.“Nggak usah masak yang enak-enak, Bi. Lagian juga belum tentu bakalan nikah sama si Aarin,” kata Aaron. Sejak tadi dia duduk di kursi meja makan dan mengawasi pembantu-pembantunya menyiapkan makanan untuk tamu Aarin. Padahal dia di sana hanya ingin mengawasi Carissa.“Inget ya, dia itu tamu penting. Very Important Person, jadi nggak boleh asal-asalan masaknya.” Setelah menjitak kepala Aaron, dia duduk di sebelah adiknya dan mengambil apel yang sedang dikupas Aaron.Aaron mendelik, padahal apel itu untuk Carissa.“Makannya belajar masak.
Carissa akhirnya makan siang dengan Rendy saat dia tahu bahwa Aaron akan makan dengan Indri. Dia pikir mungkin sesekali bisa lepas dari Aaron itu bagus.Tapi, ketika di restoran di dekat kampus, Aaron menghampiri meja Carissa yang datang lebih dulu di sana.Carissa mendelik kesal, tapi Aaron mengabaikannya.“Masih banyak meja kosong,” kata Carissa. Dia merasa tidak enak pada Rendy saat ini, di mana Rendy menatap penasaran lelaki itu.“Aku kerja di rumah dia, Kak,” kata Carissa. Rendy mengangguk saja dan meneruskan memilih menu makanan yang ada di buku menu. Sementara Indri, sejak Aaron mengajaknya untuk makan satu meja dengan Carissa, dia terus merengut kesal.Makan siang tak nyaman pun selesai, ketika Rendy bilang bahwa sudah saatnya dia masuk kerja. Tinggal Carissa, Aaron dan Indri di sana bertiga.“Yuk, balik,” ajak Indri mendesak Aaron.“Kamu duluan aja ya, aku mau ngomong dulu sama Carissa,” kata Aaron.Karena tahu tak ada gunanya berdebat, akhirnya Indri meninggalkan Aaron setel
Carissa sudah memiliki ponsel sekarang, jadi dia tidak harus terpaku pada Aaron. Ketika dia berada di dalam mobil, dia tidak perlu berbicara dengan Aaron.Kini, dia sedang sibuk mencari-cari Daniel di sosial medianya. Bagaimana kabar Daniel? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia sudah kembali ke Indonesia?“Kamu sibuk banget sih,” kata Aaron, dia melirik melalui ekor matanya, melihat Carissa yang asik dengan ponselnya sejak tadi.“Ya, aku sibuk banget,” balas Carissa.“Dan aku kamu cuekin.”“Kamu bisa telepon Indri kalau bosen,” balas Carissa lagi.“Aku bisa ketemu sama Indri di kampus. Kalau sekarang kan bisa ngobrol sama kamu.”Carissa menghela napasnya. “Itu bukan pekerjaanku, tugasku cuma nemenin kamu kuliah,” katanya. “Kalau nanti mau pergi pesta atau apapun itu, tolong kirim pesan sama aku. Aku udah punya ponsel, jadi nggak ada alasan buat nggak ngabarin.”Aaron merasa Carissa sudah berubah. Entah sejak kapan, tapi Carissa menjadi bukan seperti perempuan penurut.“Oke oke, kayak
Dua belas tahun yang lalu …Aaron yang masih kecil sudah ditinggal sendirian di rumah, ibu atau ayahnya tidak merasa khawatir ketika mereka sudah percaya pada pengasuh anak yang sudah merawat Aaron sejak kecil.Namanya adalah suster Anna, pengasuh Aaron yang saat itu berusia tiga puluh tahunan. Dia lumayan cantik dan pandai berbicara. Aaron banyak belajar dari Anna, tapi tidak dengan santu hal itu.Satu hari ketika Aaron harus ditinggal ayah dan ibunya pergi keluar kota karena kakaknya akan menjalani lomba di sekolahnya. Aaron kecil tidak diperbolehkan ikut. Kata Aarin, Aaron sangat menganggu, jadi akan lebih baik jika dia ada di rumah. Hingga akhirnya, Aaron hanya ditinggal dengan Anna.Malam hujan lebat, seluruh pembantu sudah tidur dua jam yang lalu. Aaron yang ketakutan malam itu, meringkuk di dalam selimut. Dia takut dengan petir dan kilat yang terus berkilat di langit.Mendengar suara Anna masuk ke dalam kamarnya, membuat Aaron merasa lega. Dia membuka selimutnya dan melihat An