Share

Dokter dan Amarah

"Nyonya."

Panggilan itu membuat Adeline sontak tersadar. Ia menarik pandangan ke arah Ana, kepala pembantu di mansion mewah ini sekaligus seorang ibu. Sebenarnya Adeline belum terbiasa dengan panggilan itu, bahkan ia sudah mengatakan untuk tidak memanggilnya nyonya, tapi Ana bersikeras. 

Karena malas berdebat, akhirnya Adeline membiarkan saja. 

"Kenapa, Ana?" tanya Adeline sambil mendongak. Dia sedang berada di taman samping mansion, melakukan kegiatan favoritnya belakangan ini, yaitu melamun. Miris, tapi mau bagaimana lagi.

"Dokter keluarga Malik sudah ada di dalam, Nyonya."

"Maksudnya?" tanya Adeline tak mengerti. Alis rapi itu menyatu bingung. 

"Iya, Nyonya. Tuan Kendrick memanggil dokter untuk Nyonya."

"Tapi untuk apa?" tanya Adeline yang masih belum paham.

"Kalau itu saya tidak tahu, Nyonya," jawab Ana yang membuat helaan nafas keluar dari hidung Adeline. 

Adeline berdiri. "Baiklah. Kalau begitu aku masuk dulu," jelas Adeline yang lalu melangkahkan kaki jenjang miliknya yang dilindungi oleh sandal rumah. 

Ia sedikit merasa kesusahan untuk mengingat ruangan-ruangan di mansion mewah ini. Ada banyak sekali ruangan yang bahkan Adeline tidak tahu apa fungsinya. 

"Selamat siang, Nyonya."

Suara dokter wanita yang masih memakai pakaian dinasnya terdengar, menyambut kedatangan Adeline yang baru menginjakkan kaki di ruang tamu. 

Adeline tersenyum, berusaha membuat raut wajahnya rileks. "Silakan duduk," perintahnya sembari menjatuhkan bokong Adeline di salah satu sofa. 

"Nama saya Hazan. Kedatangan saya kesini sesuai dengan perintah Tuan Kendrick." jelas dokter wanita itu dengan senyum ramahnya sesudah ikut duduk. 

"Untuk keperluan apa?" tanya Adeline. Adeline tahu kalau dokter itu sudah tahu namanya, jadi dia tidak perlu memperkenalkan diri. 

"Saya disuruh Tuan kendrick untuk mengecek kesehatan Nyonya. Saya juga akan memberikan Nyonya obat pencegah kehamilan."

Penjelasan itu membuat Adeline sedikit terkejut. Tapi beberapa detik kemudian ia menarik bibirnya, membentuk sebuah senyuman. Seolah menunjukkan tidak terjadi apa-apa. 

Sejujurnya Adeline tidak suka ketika melihat ekspresi Hazan. Dari cara Hazan menatap dan tersenyum seolah menyiratkan ejekan.

"Baiklah," sahut Adeline, "oh iya, aku sarankan kau harus belajar bagaimana bersikap sopan terhadap pasien yang kau tangani." 

Sindiran itu berhasil membuat senyuman Hazan luntur seketika. 

"Kau mau memeriksa saya dimana? Di sini atau di kamar?" tanya Adeline dengan senyuman. Hanya Kendrick saja yang bisa membuat harga diri Adeline hancur, Adeline tidak mau ada yang lain. 

Sehabis kepergian Hazan, Adeline menghabiskan waktunya di dapur. Dia menyibukkan diri dengan melihat-lihat apa saja yang dimiliki dapur mewah tersebut. Tak lupa Adeline juga melihat bahan-bahan makanan yang ternyata tersedia dengan jumlah yang sangat banyak, sesuai dengan jumlah penghuni mansion mewah ini. 

"Nyonya," panggil Ana dengan nafas yang tidak teratur, membuat Adeline menyatukan alisnya bingung. 

"Kenapa?"

"I—itu—" Ana menjeda kalimatnya, membuat Adeline malah semakin merasa penasaran. 

"Itu kenapa, Ana?" tanya Adeline mendesak. Dia berjalan mendekati Ana. 

"Tuan Kendrick menyuruh Nyonya untuk menghubunginya sekarang." Wajah Ana berubah menjadi pucat pasi. Keringat dingin bercucuran di dahinya, padahal ruangan dapur ini dipenuhi oleh tiga pendingin ruangan yang menyala dengan suhu paling rendah. 

Bayangkan saja, dia harus berpikir dimana Adeline berada dan menghampiri ruangan demi ruangan hingga tersisa satu pilihan, yakni dapur. 

Sama seperti Ana, jantung Adeline juga berbunyi kencang. Ekspresi Ana malah membuatnya semakin ketakutan. Padahal Ana sudah lama bekerja dengan Kendrick, tetapi Ana masih terlihat takut. Bagaimana dirinya yang baru saja bertemu dengan Kendrick. 

"Aku harus menggunakan apa? ponsel-ku diambil oleh dia," jelas Adeline. Untung saja dia cepat tersadar dan segera mengeluarkan suaranya. . 

"Astaga saya lupa," pekik Ana sambil menjotos keningnya. Ia mengangkat telepon rumah tanpa kabel yang dari tadi ada di genggamannya. "D—dari tadi teleponnya terhubung."

"APA?!" Adeline memekik sambil menutup bibirnya dengan tangan. Bola matanya hampir saja keluar. Berarti dari tadi Kendrick sudah menunggunya. Habislah kau, Adeline.

"Tapi Tuan Kendrick tidak mendengar percakapan kita Nyonya. Saya menutup micnya tadi." bisik Ana, "kalau begitu saya permisi ke dapur."

Adeline menarik nafasnya panjang sebelum ia menempelkan telepon itu ke telinga. "H—halo?" Ringisan kecil dikeluarkan Adeline ketika suara helaan nafas berat terdengar di seberang. 

"Aku tidak suka menunggu lama!" tegas Kendrick dari seberang,membuat Adeline meremas benda yang menempel di telinganya, menyalurkan ketakutan yang mulai menggerogoti tubuhnya. Suara tegas itu membuatnya ketakutan. 

"M—maaf," kata Adeline sambil menggigit kukunya. 

"Jangan lupa untuk minum obat yang Hazan berikan," jelas Kendrick, "aku tidak mau ada darah dagingku tumbuh di rahimmu!"

"Siapa yang mau juga?" sahut Adeline dalam hati. Tanpa disuruh pun Adeline juga akan mempunyai pemikiran yang sama. 

"Iya," jawab Adeline sambil menelan salivanya dalam. "Kau tenang saja," lanjutnya. 

"Bagus! Jangan pernah bertingkah macam-macam. Aku selalu mengawasimu dari jauh!"

Mata Adeline membola terkejut. Dia mengedarkan pandangannya ke langit-langit ruangan dapur. "A—apa kau memasang CCTV? Halo—" 

Kendrick memutuskan sambungannya begitu saja. 

Di seberang ... 

Umpatan-umpatan terus saja Kendrick keluarkan dari bibirnya. Tangannya mencengkram keras setir mobil mahal itu dengan tatapan yang sudah berubah menjadi berkali-kali lipat tajam. 

Dia menghela nafasnya lega ketika melihat Xavier, putranya, yang baru keluar dai sekolah. Sekolah Xavier bahkan sudah sepi, tidak ada lagi murid-murid yang terlihat. 

Tadi, setelah Kendrick memutuskan panggilan Adeline, dia mendapatkan panggilan baru dari guru Xavier yang menyatakan tidak ada orang menjemput Xavier, padahal 2 jam lalu kelas telah usai. 

Dengan penuh emosi, Kendrick langsung meninggalkan meeting  begitu saja. Dia langsung bergegas mengendarai mobil sportnya, membelah jalanan Amerika yang sedang padat-padatnya. 

"Apa kau sudah lama menunggu?" tanya pria dengan kemeja putih itu ke Xavier, putranya, sesudah Xavier masuk ke dalam mobil. 

Kendrick mencebik kesal, seharusnya dia tidak bertanya seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak tahu topik yang menarik. Ya, Kendrick dan Xavier jarang berbicara. 

Xavier diam saja setelah ia memasangkan sabuk pengaman. Pandangannya mengarah depan,enggan menatap Kendrick yang ada di sampingnya. Wajah tertekuk terlihat di bocah berumur 6 tahun itu. 

"Langsung pulang atau makan?" tanya Kendrick setelah ia menjalankan mobilnya. Ia menatap Xavier dari ujung matanya. 

"Pulang saja," jawab Xavier datar, membuat Kendrick mengangguk paham.

"Daddy akan mempekerjakan orang untuk mengantar jemputmu."

"Kenapa tidak Daddy saja?" tanya Xavier membuat Kendrick menoleh sebentar. 

"Daddy sibuk bekerja. Kau harus paham dengan kondisi Daddy," jelas Kendrick. 

Xavier mengangguk paham. "Kalau begitu lebih baik Xavier tinggal lebih lama saja di sekolah. Xaver malas di rumah."

"Kenapa? Apa yang membuatmu malas berada di rumah? Biar Daddy akan menjelaskannya ke Mommy."

"Tidak perlu."

"Xavier, bisakah kau menjelaskan secara jelas?" tanya Kendrick. Suaranya sudah meninggi. "Daddy bingung dengan dirimu. Daddy tanya baik-baik tapi kau malah menjawabnya singkat dan membingungkan!"

"Xavier juga bingung sama Daddy." Mendengar itu, Kendrick segera menekan rem yang ada di bawah kakinya tiba-tiba. Mobil itu berhenti setelah terdenegar decitan yang keras antara ban dan aspal. 

Manik biru milik Kendrick dan Xavier saling menatap satu sama lain dengan tatapan yang sulit dijelaskan. 

Wajah mereka mirip, Xavier mewariskan semua apa yang Kendrick miliki. Bahkan sifat Kendrick juga ada di Xavier. 

"Lebih baik Daddy tidak jemput Xavier. Lebih baik Daddy fokus saja dengan pekerjaan Daddy yang banyak itu. Daddy jahat! Daddy bahkan tidak pernah melihat kami ke rumah! Lebih baik tidak perlu perhatikan Xavier dan Nadine lagi!" seru Xavier dengan suara yang meninggi, memenuhi mobil mahal itu. Rahangnya mengeras, sama seperti apa yang dilakukan Kendrick jika dia marah. 

"Daddy selalu memperhatikan kalian! Daddy selalu pantau keadaan kalian! Memang Daddy jarang ada waktu sama kalian, tapi ada Mommy yang selalu kasih waktu. Apa itu tidak cukup?" tanya Kendrick.  "Daddy bekerja supaya kalian bisa hidup tenang. Daddy tidak main-main."

"Mommy? Bahkan Mommy saja sama seperti Daddy!"

"Maksudmu?" tanya Kendrick dengan alis yang menyatu. 

"Xavier mau pulang! Sekarang!" perintah Xavier dengan nada tegas dan tatapan elang. Mengabaikan pertanyaan Kendrick. Walaupun Xavier menjawab, mereka juga tidak akan peduli sama sekali. 

"Baiklah," sahut Kendrick sambil menghela nafasnya yang lalu menjalankan mobil itu. Keadaan di mobil itu menjadi hening kembali, bahkan suara pendingin saja sampai kedengaran. 

'Bukk'

Suara pintu mobil itu terdengar setelah Xavier keluar. Terlihat jelas dari manik biru Kendrick kalau Xavier berlari cepat masuk ke dalam mansion mewah. Bahkan  Xavier tidak mengucapkan apapun ketika ingin keluar. 

"Halo?"

Suara wanita dari seberang itu membuat mata Kendrick terpejam. "Dari mana saja? Apa urusan dengan temanmu belum selesai sampai-sampai kau lupa menjemput Xavier?" tanya Kendrick dengan mencengkeram kuat ponsel miliknya. 

"M—"

"Kalau kau tidak bisa menjaga mereka, katakan kepadaku! Aku akan mempekerjakan orang khusus untuk Xavier," potong Kendrick. 

"Maaf. A—aku lupa. Sungguh."

Suara itu membuat Kendrick menghela nafasnya kesal. Bisa-bisanya dia lupa dengan anaknya sendiri. 

Ingin rasanya dia mengeluarkan amarahnya, tetapi sayang sangat sulit sekali. Padahal mereka sudah pisah dari 3 bulan lalu tapi itu tidak membuat ia lebih leluasa untuk mengeluarkan marahnya ke Katrin, mantan istrinya. 

"Mulai besok akan ada orang yang selalu stand by di sekolah Xavier. Kau sekarang bisa lebih fokus dengan teman-temanmu itu," jelas Kendrick yang lalu memutuskan telepon. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status