Mamaku sudah gila, bagaimana dia bisa mengunci pintu gerbang rumah seperti ini, sehingga tunangan anak gadisnya harus menginap, kasur kami hanya ada dua, dan dia malah mengunci pintu kamarnya.
Pria itu malah dengan santainya masuk ke kamarku, dan menyalakan ac, saat dia mulai membuka bajunya aku tahu, aku harus menghentikan kegilaan ini. Namun yang aku lakukan malahan menyentuh otot perutnya yang rata, menyentuhnya disana membuatku merasa panas, benar AC-nya panas sekali malam ini. Aku segera menutup pintu agar dingin AC tidak keluar.
Dia sudah duduk di kasur dengan hanya mengenakan kaos dalamnya, untung dia tidak membukanya juga. Kalau sampai dia membuka kaosnya sepertinya aku harus mengikat tanganku, agar tidak menyentuh otot perutnya yang keras tadi. Aku menatap sisi sempit kasur di sampingnya, apakah aku harus tidur disitu? Bagaimana jika tiba-tiba aku ingin menyentuhnya seperti tadi sore, apa yang aku pikirkan tadi menggesek-gesek
Aku menyukainya, aku benar-benar menyukainya, aku tidak bisa membohongi diriku lagi, aku memang menyukai Ethan Samuel. Pria yang dahulu ku benci, yang merobek bajuku, dan memperlakukanku dengan kasar, kini aku hanya bisa pasrah dalam pelukannya, ciumannya yang pada awalnya begitu lembut dan manis, kini makin lama semakin dalam dan menuntut.Aku meresponnya dengan sepenuh hatiku.Mataku tertutup, menikmati ciumannya Ah, dia begitu mahir mencium, dalam sekejap seluruh tubuhku seperti teraliri listrik, bulu halusku berdiri merespon tiap sentuhannya."Ah Anna," gumamnya mendesah di telingaku, lalu dia menjilat kelopak telingaku, membuatku menggil
"Anna!" hardik Mamanya dengan kencang, mengagetkan kami yang sedang bercanda. Matanya menatapku, sehingga Kami langsung terdiam."Kenapa Ethan keluar dari kamarmu!" ucapnya mendekati Anna, matanya melihatku dengan marah"Mama, mama lupa?" tanya Anna bingung, wanita paruh baya itu terdiam sebentar tapi lalu melanjutkan marahnya."Apapun yang mama lupakan, kamu ... Kalian kan belum menikah, bagaimana kalian bisa tidur sekamar berdua!" ucapnya menatap marah ke arahku. Aku menatap Anna dengan bingung. Aku harus memeriksanya sendiri, jangan-jangan semalam aku hanya bermimpi, Aku segera berjalan ke depan untuk memeriksa pintu, tapi kami benar, pintu masih terkunci.
Aku, memperhatikan pria itu bekerja, lagi-lagi otot-ototnya terlihat jelas, dia terlihat mulai lelah namun dia tidak mau mengeluh, dia terus bekerja sambil tersenyum setiap menerima operan baju dariku. Aku tertawa dalam hati, kapan lagi bisa melihat seorang CEO menjemur baju di atap."Selesai!" ucapku senang, Ethan berdiri dan merenggangkan badannya yang jangkung, aku mendekatinya dan memeluknya. Dia tertawa lalu memelukku kembali."Ah, makasih ya, jadi cepat selesai," ucapku lalu hendak mengambil ember bekas tempat baju dan kembali ke bawah namun dia segera menangkap pergelangan tanganku, sehingga aku tertarik kembali ke hadapannya."Upahku dulu," Dia menunduk sambil menunjuk bibirnya yang menggoda. Aku tersenyum malu, lalu berjinjit untuk mengecup sekilas bibirnya. Ethan langsung merangkul pinggangku."Ga rasa, lagi," perintahnya menempelkan tubuhnya yang kekar kepadaku. Aku mendengus geli lalu mengecup
"Maaf Pak, meeting in one hour," Ethan mendengus kesal, matanya yang gelap karena gairah menatapku lalu tersenyum."Soon, kita tidak akan terganggu dengan siapapun," ucapnya mengambil handuk dari tanganku dan keluar dari kamar.Astaga apa tadi barusan, aku terduduk di tepian kasurku merasa sangat kepanasan, ciuman dari Ethan selalu berhasil membuatku melayang. Apalagi kata-katanya barusan, membuatku semakin bergairah.Aku menyentuh wajahku, terasa hangat lalu aku segera berdiri melihat bayangan wajahku di cermin yang ada di lemariku. Astaga wajahku acak-acakan, memerah dan astaga aku baru lihat di leherku yang tadi di tunjuk mama, tanda
Aku duduk beberapa saat di bangku batu dekat kantin, Raka menghampiriku dengan seragam yang senada denganku."Hai Anna," Dia melambai lagi ketika mata kami bertemu. Aku segera berdiri menyambutnya, dia merangkulku seperti biasa."Ah sudah lama tidak bertemu, gue kangen," ucapnya konyol, tapi aku setuju karena begitu banyak peristiwa yang terjadi kemarin, malam waktu kami terakhir bertemu, terasa sudah sangat lama."Mau makan apa kita? Mau di kantin ini atau sop iga?" tanyanya lagi dengan menggoda."Sop Iga dong," jawabku senang. Dia menggiringku ke motornya lalu memberikan helmnya kepadaku. Aku menerimanya deng
Setelah melihat alamat yang dikirimkan oleh Daniel, Raka segera memberikan helmku dan aku segera naik ke motornya. Dia memacu motornya dengan sangat cepat, meliak-meliuk membelah kota Jakarta. Aku memeluknya dengan erat karena agak takut jatuh, namun muncul perasaan lain juga sehingga pada saatnya kami sudah sampai aku dengan enggan harus melepaskan pelukanku."Wah, baru kali ini ni gue dipeluk sekencang itu?" ucap Raka menepis rambutku yang berantakan karena ketarik helm, jantungku berdebar kencang, aku menatapnya malu-malu."Lagian lo ngebut kek orang gila siy, gue pan takut!" Aku mendengus berusaha mengendalikan perasaanku, bagaimana ini, aku berdebar merasakan sentuhan orang lain sedangkan aku mau memilih gaun pengantin untuk menikah dengan yang lain, astaga, aku wanita nggak bener, keluhku dalam
"Maaf Pak, meeting in one hour," Aku mendengus kesal, aku masih ingin merasakan kelembutan bibirnya, aku tersenyum menahan gairahku."Soon, kita tidak akan terganggu dengan siapapun," ucapku dan langsung menuju kamar mandi.Aku memaki diriku sendiri saat air mengalir membasahi diriku."Sh*t, airnya dingin!" Aku menatap pancuran, lalu menghela napas dan segera menyelesaikan mandiku dengan tersiksa. Aku mengambil tas berisi bajuku yang disiapkan Daniel, tapi aku tidak mungkin memakai celana dan bajuku disini, semua pasti akan basah. Dengan kesal aku kembali ke kamar Anna hanya mengenakan handuk, untung mamanya Anna sedang di kamarnya.
"Ternyata kamu juga akan meninggalkanku," ucapku, rasa takut itu membuatku melakukan hal gila, aku segera memeluk kakinya, satu-satunya yang dapat aku raih dari tubuhnya, aku tidak mengerti mengapa aku melakukan hal serendah itu, dia separuh menyeret tubuhku yang menempel pada kakinya, seketika aku begitu ketakutan dia akan meninggalkanku."Jangan… jangan pergi." Aku terisak sambil memeluk kakinya erat-erat, jangan tinggalkan aku, maafkan aku."Kita…, aku akan tetap menikah denganmu, … pilihlah baju yang kau mau, sekarang lepaskan aku," ucapnya dingin, dia menyentakkan kakinya, sehingga pelukanku terlepas dan aku terdorong menjauhinya. Aku tak tahu kapan aku mulai menangis, tapi air mataku tidak mau berhenti mengalir saat dia membanting pintu. Bodohnya aku, dia jelas marah, aku pantas diperlakukan seperti i