Dia pergi dengan tergesa-gesa, setelah meminta ijin kepada Mama. Cih! untung dia masih inget sopan santun, dasar pria nggak jelas! Aku masih memandang ke arah dia pergi tanpa sadar, sampai mama terbatuk.
"Sudah layaknya dia marah," mama memandangku, sambil berdiri menuju dapur.
"Bagaimana jadinya malah dia yang layak marah Ma?" tanyaku kesal.
"Ingat Anna, dia baru kehilangan Opanya, dia benar-benar sendirian sekarang, pasti kondisinya tidak stabil," jawab mama sambil membuka kulkas sambil bersiap untuk masak makan siang.
Aku terpaku menatap punggung mama yang
Walaupun aku sudah menyetir jauh, aku masuk ke dalam rumah masih dalam keadaan kesal, dasar wanita brengs*k sudah untung aku bantu malah menyalahkan aku akan semua yang terjadi, pikirku dalam hati."Cih!" hardikku ketika begitu sulitnya aku untuk membuka kerah kemejaku. Hatiku terasa panas, aku terlalu gusar untuk bisa berkonsentrasi, masih dengan mengutuk aku masuk ke dalam kamarku dan segera membanting diri ke kasur. Mengapa aku begitu emosi, tidak dapat ku mengerti? Tapi jika berhubungan dengan wanita itu aku memang selalu bereaksi berlebihan.Aku menatap langit-langit kamarku, membayangkan apa saja yang terjadi sepanjang hari ini. opa sudah di kubur, dan akhirnya urusanku dengan wanita itu selesai. Aku hanya tinggal melanjutkan
Jam kerja yang membosankan akhirnya berakhir juga, sesudah Ema pulang, aku juga segera merapihkan mejaku. Jam 6 tepat aku sudah di pinggir jalan depan kantorku menunggu Raka datang. Tak lama dia menghampiriku dan memberikan helm."Nyokap lo, masak ga ya?" tanya Raka saat aku duduk di bangku penumpang."Ngga tau, memangnya kenapa?" aku merapihkan dudukku lalu merangkul Raka, karena motor Raka adalah motor yang agak tinggi bagian belakangnya."Ada deh," sahutnya misterius sambil tersenyum lalu menjalankan motornya dengan kencang sehingga aku harus mengeratkan peganganku.Jalan Jakarta hari ini tidak biasanya lancar, dalam waktu singkat kami sudah berada di daerah perumahan kami, tapi ternyata Raka melewati belokan ke perumahan kami."Mau kemana kita?" tanyaku lagi berteriak untuk mengalahkan suara motor."Ada, nanti lo bakalan tau juga." Dia juga berteriak menjawabku. Aku memperhatikan ke sekelilingku, sepertinya kami menuju pasar malam, dan b
Aku menatap langit-langit kamarku dalam keheningan malam, aku seperti biasa tidak dapat tidur. Walaupun semuanya dalam kondisi yang sama, di kamar yang sama, di tempat tidur yang sama, aku tetap tidak bisa tidur, tapi mengapa selama beberapa hari ini aku bisa tertidur pulas? Mataku menerawang ke sekeliling kamarku yang temaram, lalu menangkap sebuah tas yang sudah putus talinya di atas meja. Ya, itu yang membuat semuanya berbeda, Anna, tidak ada Anna hari ini di sampingku. Hatiku mencelos, menyadari hal itu. Bagaimana wanita tidak tahu diri itu bisa membuatku menjadi tergantung dengannya.Setelah beberapa lama aku mencoba menutup mata akhirnya aku menyerah dan duduk di atas tempat tidurku. Mataku kembali kepada tas itu, aku berdiri dan kembali meraih tas itu, lalu duduk di atas kasur sambil kembali mengeluarkan isi tas itu. Handphonenya jatuh ke pangkuanku. Aku segera melihat handphone itu dengan penuh rasa ingin tahu. Aku membuka foto-fotonya. Ada berbagai dirinya dalam berba
Aku bermaksud untuk berangkat kerja lebih dahulu, dengan mengendap-endap melewati kamar mama, aku berjalan menuju pintu, tapi saat aku mengenakan sepatu, mama sudah ada di belakangku dengan tangan di pinggangnya."Kenapa kamu mengendap-endap, dah seperti maling saja!" ucapnya gusar. Aku memutar tubuhku dan melihat mamaku yang cantik tapi pucat terlihat kecewa padaku."Aku baru mau ijin sama mama mau pergi kerja." ucapku tersenyum semanis mungkin agar dia tidak marah."Pakai sepatu?" Dia menunjuk kakiku yang sebelah sudah memakai sepatu."Iya, baru ingat belum absen sama Mama, makanya baru sebelah pakainya." Aku beralasan, mama mendengus tidak percaya."Tunggu dimana dia?" tanya mama tanpa basa basi, menebak dengan tepat mengapa aku mengendap-endap."Raka tidak tahu, maksudnya tadi aku mau ke rumahnya." jawabku jujur. Mama langsung mendekatiku lalu menjewer telingaku."Bandel, gimana kalau orang komplek liat, semua dah pada tahu kalau kamu mo
"Kita harus bicara." Aku bingung dimulai dari mana, tapi sebaiknya jangan disini untuk membicarakannya. Akhirnya dia menyelesaikan makannya, dan dia ke belakang sambil membawa piringku juga. Lantai belakangnya naik sekitar 15 cm sehingga aku harus menekuk kepalaku, desain rumah ini aneh sekali, mengapa lantai dapur bisa naik begini."Ngapain kamu disini," Anna bertanya dengan ketus. Aku juga tidak mengerti mengapa aku mengikutinya, bahkan kepalaku mulai terasa pegal."Aku mau tahu kenapa di dapur ini ga ada ventilasi udara, bisa kebakaran kalau begini!" Aku mencari lobang udara, pasti pengap sekali kalau mereka memasak."Kalau kalian masak, asap pasti ga bisa keluar, dan kalian bisa sesak napas!" ujarku lagi memandangnya, dia tiba-tiba mau menyentuh wajahku, aku terkejut lalu menepis tangannya dengan kasar, aku mundur dengan terkejut."Apaan sih!" jantungku berdebar kencang, aku tidak suka wajahku disentuh. Tidak ada, bahkan Leona pun tidak pernah menyentuh w
"Ya udah bicara, dari tadi bilang mau bicara tapi nggak bicara-bicara." Aku kesal karena dia dari tadi mengulur-ulur waktu. Tadi aku merasa bersalah sekali dengan Raka, seharusnya aku tadi langsung naik, dan tidak membiarkan pria ini menarikku. Dia menggertakkan giginya dengan kesal."Ga bisa di mobil begini, kamu harus tanda tangan sesuatu," jawabnya dengan ketus dengan pandangan masih lurus ke depan."Tanda-tangan apa lagi?" Buat apa dia tanda-tanganku, aku melipat tanganku dengan kesal."Warisan!" Dia membentakku. Aku menatapnya kesal, kenapa dia jadi membentakku, dia yang datang tiba-tiba ke rumah, memaksaku masuk ke mobilnya, dan sekarang saat aku bertanya dia malah marah-marah, dasar menyebalkan.Tapi, tadi dia bilang apa?"Apa kamu bilang?" tanyaku menatapnya. Dia memandangku kembali dengan heran."Warisan, tanda-tangan warisan!" jawabnya ketus. Aku menatapnya bingung, kenapa aku harus tanda-tangan? apakah ini maksudnya aku mendapat
"Prove it!" seru Leona menantangku dengan mata melotot. Aku sudah tak bisa lagi menahan amarahku yang sudah di ubun-ubun, Aku menghentakkan kemejaku yang dia tarik sehingga terlepas."Aku bisa buktikan," teriakku marah. Leona memicingkan matanya seakan meragukanku, dia menantangku dengan melipat tangannya, menunggu pembuktianku. Aku mengalihkan pandanganku ke segala arah, berpikir cepat apa yang aku bisa lakukan, lalu aku melihat Anna.Aku segera menariknya, meletakkan telapak tanganku di tengkuknya dan menundukan wajahku, memaksakan ciumanku, dia mendorongku segera, memberontak ingin melepaskan dirinya dari dekapanku, tapi aku menariknya lebih dekat, memposisikan dia agar aku bisa merasakan bibirnya lebih lekat lagi, dan aku merasakan sesuatu yang berbeda, di luar bayanganku, bibirnya begitu memabukan. Aku seperti terkena racun karena kini bibirnya menghipnotisku, aku mau lebih, bukan karena pemaksaan, tapi aku ingin benar-benar merasakan dia seutuhnya. Mata Anna lama-l
Astaga, apa yang aku lakukan disini? Mengapa aku jadi merasa aneh seperti ini? Ayolah Anna, jangan sampai kamu merasakan yang macam-macam, dia itu Ethan,... Ethan, pria kasar yang tidak tahu diri! Tapi, kenapa debaran jantungku tidak berhenti-henti dari tadi? Bibirku seperti masih merasakan kecupannya, mengapa aku tadi bisa-bisanya menerima ciumannya? dan yang lebih aneh lagi mengapa aku malah masih mau merasakan bibirnya di bibirku? Aku benar-benar menikmatinya, aku masih mau lagi.Dan di lift tadi, seakan-akan ciuman tadi masih kurang, aku masih harus berdekatan dengannya, dihadapannya menatap matanya yang dalam itu, meletakkan kepalaku di dadanya yang bidang itu, aku menghela napas panjang.Kini hanya berdua bersamanya membuatku merasa kikuk. Setelah masih ke dalam kantornya kami malah saling tatap, riuh perkantoran langsung menghilang ketika pintu tertutup. Wajahnya tidak dapat kubaca, apa yang ada di dalam pikirannya ya?"Kantor...mu ramai juga,