Share

My Beloved Assistant
My Beloved Assistant
Penulis: Crescent Hoshizora

Pencuri

Pieter bersenandung kecil sembari merapikan rambut. Dia duduk santai di dalam mobil mewah, menanti kedatangan pacar cantiknya.

Setelah dirasa cukup rapi, dia pun meletakkan sisir di dalam laci. Netranya mencuri pandang pada langit malam. Disemarakkan oleh ratusan bintang yang berkelap-kelip di atas sana.

"Ini akan menjadi malam yang indah untuk kita," batin Pieter.

Tak berapa lama, ponsel lelaki itu bergetar. Ada panggilan dari Xela. Dengan cepat, Pieter menyambar telepon. 

"Halo, Sayang. Kamu di mana? Aku udah ada di tempat biasa," ujar Pieter penuh semangat.

"Aku sakit perut, Sayang. Jalan-jalannya lain kali aja, ya," balas kekasihnya.

Jawaban dari Xela membuat mood Pieter hancur. Wajahnya berubah muram. Semangat yang menggebu-gebu itu kini menghilang tanpa jejak, seakan ditelan bumi.

"Sudah ke dokter?" tanyanya memastikan.

Bagaimana pun, kesehatan Xela adalah yang paling utama. Pieter mencoba merelakan pertemuan malam ini demi kesembuhannya. Apa guna memaksa Xela untuk datang jika hanya membuat sakit perempuan itu bertambah parah?

"Jangan khawatir. Aku sudah minum obat. Ada Bibi di rumah. Kamu jangan datang," pesan Xela. 

Bibinya bukan membenci Pieter. Dia memang tidak mengizinkan lelaki mana pun untuk menjalin hubungan dengan Xela. Jika kepergok, habislah sudah. Beliau pernah mengancam akan mengirim Xela ke Selandia Baru jika dia nekat berpacaran.

Pieter mengangguk pasrah, "Cepat sembuh, Sayang. Aku pasti merindukanmu."

"Aku juga," sahut Xela sembari memutus sambungan.

Setelah panggilan berakhir, seseorang melingkarkan lengannya di perut Xela. Perempuan itu menoleh sembari meletakkan ponsel di meja dekat ranjang, "Sabar sedikit, Hans."

"Aku udah berbaik hati nunggu selama dua menit, lho," rajuknya sembari memanyunkan bibir.

Xela tertawa kecil, "Ayo, sini. Kasihan adik kecilmu sudah menunggu."

Hans tersenyum puas. Membiarkan dirinya terlarut dalam permainan.

***

Pieter pergi dengan wajah kecewa. Rencana untuk menginap di hotel bersama Xela sirnalah sudah. Padahal, Pieter sengaja membohongi keluarganya dengan alasan mau menginap di rumah Alexander.

Rencana awal, Pieter ingin mengajak kekasihnya makan malam di hotel, sekalian menginap. Kemudian esok harinya, dia akan membawa Xela ke toko perhiasan. Membeli cincin untuk melamar. Pieter sudah tidak sabar untuk mengenalkan Xela pada orang tuanya. 

"Aku nggak bisa nginap di rumahnya Alex. Pacarnya dateng. Yang ada, aku iri lihat kemesraan mereka," ucapnya seorang diri sambil melirik kaca spion.

Oleh karena itu, dia memilih untuk pergi ke villa milik ayahnya. Kebetulan, tempat itu jarang dikunjungi orang. ART pun harusnya sudah membubarkan diri. Sebab, jarak rumah mereka dengan villa terhitung dekat. Bisa dicapai dengan sepeda motor, bahkan sepeda.

Setelah mendekati villa, Pieter kemudian turun dari mobil. Lelaki tersebut memasukkan password. Barulah dia bisa membuka pintu.

Pieter memarkir mobil dengan santai di pelataran. Dia kemudian merogoh laci dashboard. Mencari kunci rumah yang selalu diletakkan di sana.

"Untung ada," ucap Pieter lega. Kalau benda itu tak dibawa, terpaksa bermalam di dalam mobil.

Setelah menutup pintu pagar, lelaki itu merasa sangat lelah. Biasanya kalau dia datang, sudah ada yang membukakan. Ternyata, pagar itu berat juga.

***

Pieter langsung membuka pintu kamar terdekat. Tanpa menyalakan lampu terlebih dulu, dia merebahkan diri di kasur.

"Auw!" pekik seseorang yang kejatuhan Pieter.

Lelaki tersebut terkejut dan segera menyingkir. Tangannya gelagapan mencari lampu tidur yang biasa terpasang di meja.

Setelah agak terang, barulah dia menoleh. Samar, dia melihat seorang gadis yang wajahnya kusut. 

"Kamu siapa? Maling, ya? Mau kena bogem mentahku? Ayo, sini!" tantangnya sembari menyiapkan kuda-kuda di atas kasur.

Pieter yang tadinya kaget itu kemudian tertawa. Konyol sekali tingkah perempuan ini. Apa dia ART baru? Belum pernah sekali pun dirinya bertemu gadis ini.

Ikut berdiri di atas kasur sembari meregangkan otot-ototnya. Turut menyiapkan kuda-kuda dengan dua tangan yang mengepal kuat. Siap menghadapi ART tidak tahu diri tersebut.

"Maju duluan kalau berani," tantang Pieter, berlagak sombong. 

Harusnya, dia menang dengan mudah bila melawan seorang gadis. Sebab secara logika, Pieter seorang laki-laki. Otomatis tenaganya lebih kuat daripada perempuan.

"Eh, malah nantangin. Dasar maling!" umpat gadis tersebut sembari melayangkan tangan kanan. Sasarannya adalah pipi lelaki berbaju jingga.

Dengan cepat, Pieter menangkapnya. Gadis bernama Cyenna itu mencoba melepaskan tangan kanannya, tapi gagal. Pieter tertawa kecil melihatnya.

Tak mau diremehkan, Cyenna menendang lutut Pieter bagian belakang. Tak ayal, lelaki itu pun terjungkal. Karena tangan mereka masih bertautan, maka Cyenna ikut terjatuh di atas peraduan.

Sialnya, bibir keduanya menempel selama beberapa saat. Pieter hanya diam mematung ketika merasakan benda itu mampir. Terasa hangat dan membuat jantung berpacu dengan waktu. Mungkin, inilah penyebab orang-orang ingin segera menikah. 

Cyenna sadar dan menjauhkan diri dari Pieter. Sekarang, dia duduk sambil mengusap bibir. Masih terasa hangat dan sensasinya tidak mau hilang.

Pieter tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cepat, lelaki tersebut bangkit. Membalikkan keadaan. ART tersebut tak berkutik dalam kungkungannya.

"Minggir!" ucapnya gemetar. Rasa takut mulai menjalar. Bagaimana kalau pencuri itu bersikap kurang ajar?

Pieter tak mengindahkan peringatan dari gadis tersebut. Dia malah mendekatkan wajah ke ceruk leher. Hidungnya iseng menempel di sana. Membuat empunya tubuh mencoba mendorong lelaki di atasnya.

"Kenapa memangnya? Takut?" tanya lelaki tersebut sembari memandang lekat pada Cyenna.

Gadis berkemeja putih langsung berguling ke kiri. Menerabas lengan Pieter yang mencengkeram seprai.

Refleks, lelaki itu menghindar. Membuat gadis berambut hitam dapat meloloskan diri. Mencoba berlari ke arah pintu.

Takut kalau Cyenna akan membuat kesalahpahaman dengan warga sekitar, Pieter pun mengejar. Dia berteriak kencang, "Aku bukan pencuri!"

"Mana ada maling yang ngaku!" balas gadis berkemeja putih sambil terus berlari menuju dapur. 

Pieter mendobrak pintu dapur yang tak begitu kokoh. Rusak dalam sekali tendangan. Matanya pun berkeliaran, mencari keberadaan ART menyebalkan itu.

Sesaat kemudian, gadis itu muncul dari belakang. Tangannya mendekatkan pisau di leher Pieter. Sudah mirip adegan film saja.

"Aku putra sulung keluarga Rowlerie." Pieter angkat bicara sebelum nyawanya melayang di tangan ART tersebut.

Cyenna tidak percaya. "Bahkan, maling pun pintar mengaku-ngaku. Kalau Bapak beneran putra keluarga Rowlerie, mana buktinya?"

Menghela napas sebentar. "Aku punya foto keluarga. Mau lihat?"

"Ck, itu pasti tipuan! Kalau kulepasin, nanti malah nyerang balik. Aku tidak mau! Sudah keren menangkapmu, eh, malah lepas," tolak gadis berkemeja putih tersebut.

Pieter memutar otak. Apa yang harus ia lakukan supaya gadis ini percaya padanya?

Sesaat kemudian, dia menemukan suatu cara. Pieter berkata, "Izin ambil ponsel di saku."

"Nggak, biar aku yang mengambilkan!" ujar Cyenna tegas.

Lelaki berbaju jingga itu terkejut. Dia bertanya, "Serius?"

"Sejak kapan aku bercanda?" tanyanya.

Di dalam hati, Pieter membenarkan ucapan Cyenna. Sebab sedari tadi, perempuan itu tidak pernah bermain-main. Jadi, apa dia sungguh akan mengambil dompet itu?

Pieter menelan saliva. Berkata lirih, "Ponselku ada di saku celana bagian depan. Masih ngotot mau ambil?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status