Walau sebenarnya malu, gadis itu menjawab, "Kanan atau kiri?"
"Heh, mau kamu ambil beneran? Nggak, nggak usah! Aku lebih rela berdiri begini daripada digerayangi kamu," balasnya dengan wajah memerah.
Cyenna tidak peduli. Tangannya langsung mencari keberadaan ponsel Pieter. Lelaki tersebut diam membeku di tempat.
Setelah dapat, gadis berkemeja putih bertanya, "Fotonya di mana?"
"Ga-galeri. Cari aja di folder keluarga. Ada banyak di sana," balas Pieter tergagap.
Sebelumnya, lelaki tersebut tak pernah disentuh perempuan. Bahkan oleh Xela, perempuan yang sudah menjadi pacarnya selama dua tahun belakangan. Paling, mereka hanya berpelukan.
Asisten rumah tangga tersebut menurut. Dia langsung menemukan folder yang dimaksud.
"Ikut Cyenna ke kamar. Mau nyocokin wajah Bapak di cermin," perintahnya pelan.
Pieter hanya bisa pasrah. Bagaikan tahanan yang sedang dikawal oleh polisi, lelaki tersebut berjalan pelan sembari memegang leher. Takut kalau pisaunya mampir.
Gadis berkemeja putih pun menyalakan lampu. Kamar yang tadinya tak begitu terlihat pun jadi terang benderang.
Cyenna kaget saat melihat pantulan wajah Pieter di cermin. Lelaki itu tak berbohong. Dia sungguhan putra sulung Keluarga Rowlerie.
Karena kaget, tanpa sengaja, gadis berkemeja putih menjatuhkan pisau yang dipegangnya. Refleks, Pieter meloncat ke belakang, menabrak Cyenna.
Lelaki tersebut mencoba menangkap gadis berkemeja putih dengan cara berputar. Cyenna juga melingkarkan tangan di punggung Pieter.
Sepersekian detik setelahnya, kedua muda mudi yang belum berkenalan itu jatuh bertumpukan di atas lantai. Pieter memijit kening yang sakit. Kemudian, sebelah matanya melihat wajah Cyenna.
Kecantikan yang tadi tak begitu kentara itu, sekarang mampu membius Pieter. Netra teduhnya yang memancarkan ketakutan itu membuat lelaki tersebut hampir hilang kendali.
"Kamu gapapa?" tanya Pieter.
Cyenna yang masih syok itu hanya diam di tempat. Tangan kanannya mengulurkan ponsel Pieter.
Bukannya mengambil benda mahal tersebut, Pieter malah melancarkan kejahilannya. Lelaki itu tersenyum manis. Mengusap pelan bibir Cyenna sembari berkata, "Kamu milikku malam ini."
Cyenna terperanjat. Langsung berlari untuk meloloskan diri. Pieter berhasil mencegat. Dipeluknya tubuh kecil itu, membuat pemiliknya menahan napas.
"Aku cuma bercanda. Lagian, udah punya pacar," ujar lelaki itu sembari melepaskan rengkuhannya.
Pieter yang mengantuk itu pun segera menuju ranjang. Baru saja dia melangkah, Cyenna menarik bajunya.
"Tuan, saya minta maaf," ucapnya gemetar.
Memandang cermin, melihat Cyenna yang benar-benar menyesal. Pieter berbalik, membuat gadis itu mendongak.
Tersenyum singkat, "Gapapa. Oh ya, kamu ART baru?"
"Iya, Tuan. Baru dua minggu kerja di sini," balasnya sembari mengingat-ingat.
"Cyenna biasa tidur di sini?" selidik Pieter.
Mengangguk, "Iya. Saya asal pilih kamar. Ini punyanya Tuan, ya? Cyenna minta maaf. Besok, barang-barangnya, Na pindahin."
"Ha ha, bukan. Kamarku ada di atas. Tadi capek, jadi asal buka pintu. Eh, nggak taunya ada kamu. Oh ya, kenapa kamu nggak daftar jadi satpam aja?" balas lelaki tersebut sembari duduk di atas ranjang.
Gadis berkemeja putih menggaruk kepala yang tidak gatal. "Cyenna nggak pinter berkelahi. Bisanya masak, nyuci, nyapu. Gitu-gitu, Tuan."
"Masa? Nyawaku aja hampir melayang karena kamu," cibir Pieter.
Wajah Cyenna jadi merah merona. Dia menjawab, "Maaf, Tuan. Saya kira, pencuri sungguhan. Jadi ya, Cyenna lakuin apa yang Cyenna lihat di televisi."
"Kamu suka film action?" tanya Pieter yang mulai tertarik.
Gadis itu mengangguk, "Tapi yang darahnya disensor."
Tawa Pieter meledak seketika. Cyenna ada-ada saja. Menonton televisi dengan adegan kekerasan yang disensor. Lucu sekali.
"Ya udah, kamu tidur di kamar lain, sana. Mukanya udah kusut begitu," saran Pieter.
"Baik, Tuan," balasnya patuh. Kemudian, menutup pintunya dari luar.
***
"Perempuan itu bisa mijit nggak, ya?" batinnya sembari menggeliat ke kanan dan kiri.
Perlahan, lelaki tersebut beranjak dari tempat tidurnya. Mencari keberadaan Cyenna di sekitar vila.
Suara sapu yang bergesekan dengan tanah pun menyita perhatian Pieter. Dia pun mengintip dari jendela. Dilihatnya Cyenna yang tengah menyapu halaman dengan kemeja putih. Ditilik dari penampilan, dia pasti belum mandi.
Sesekali, gadis itu mengusap keringat di kening agar tidak menetes ke mata. Kalau sampai masuk, rasanya perih sekali. Lebih baik mencegah daripada mengobati, bukan?
Pieter pun membatalkan niat untuk menyuruh Cyenna memijit badannya. Kalau berkeringat begitu, pasti bau masam. Ah, lebih baik dia mandi. Siapa tahu, pegalnya bisa hilang.
Sembari bersiul, lelaki tersebut meraih handuk putih yang tergantung di dekat kamar mandi. Tanpa ada gangguan sedikit pun, Pieter menuntaskan ritual paginya sebelum sarapan.
Saat akan keluar dari kamar mandi, dia mendengar Cyenna berteriak, "Tuan, hp-nya bunyi. Ada yang telepon."
"Bawa ke sini, Na!" balas Pieter seraya membuka pintu.
Gadis itu pun berlari, menyerahkan ponsel. Tapi kemudian, dia diam dengan mata tak berkedip sedetik pun. Cyenna meneguk saliva. Dirinya sangat mengenali handuk yang dipakai Pieter untuk menutupi bagian pinggang ke bawah.
"Gimana, Sayang? Udah mendingan?" tanya lelaki itu sambil melewati Cyenna.
Dia menjawab, "Lumayan. Tapi, Xela masih nggak boleh keluar rumah."
"Gapapa. Yang penting, kamu istirahat. Jangan lupa makan, obatnya diminum. Tidurnya juga jangan kemalaman," pesan Pieter seraya menuju kamarnya di lantai dua.
"Iya, Sayang. Perhatian banget, deh," balas Xela sembari tersenyum ceria.
Pieter tertawa kecil sembari membuka pintu almari, "Wajib, dong. Kan kamu pacarku."
"Pacar doang, nih?" goda Xela.
Lelaki yang baru saja mandi itu menyahut, "Terus apa?"
"Kapan nikah sama aku?" tanyanya sembari memajukan bibir.
Menatap langit-langit kamar sambil bergumam, "Kapan, ya?"
"Ih, nyebelin banget. Xela juga pingin nikah," ujar Xela, mengungkapkan kecemburuan yang selama ini dia pendam dalam hati.
Kekasihnya itu tersenyum tipis, "Kalau dalam waktu dekat, aku masih sibuk. Tahun depan mau?"
"Kelamaan," rajuk Xela dengan bibir yang mengerucut sempurna.
"Ha ha, iya. Nanti aku bicarain dulu sama Papa, Mama. Lagian kamu belum pernah ketemu mereka, 'kan?" ucap Pieter kemudian.
Gadis berambut kecoklatan itu mencibir, "Gimana mau ketemu? Diajak aja enggak."
"Takutnya kamu belum siap. Eh, malah udah ngebet pengen nikah," balas lelaki berambut hitam seraya membuka pintu almari.
Xela menimpali, "Pacarku so sweet banget, sih."
"Baru sadar?" tanya lelaki itu sembari mengangkat sebelah alisnya.
"Apaan, sih? Xela,'kan lagi muji kamu, Yang. Udah ah, nanti Bibi keburu datang ke kamar. Bye bye," pamit Xela sembari memutus sambungan telepon.
"Bye. Istirahat yang cukup ya, Sayang," balas Pieter.
Dengan cepat, lelaki tersebut memakai baju. Dia berniat sarapan. Harusnya jam segini, perutnya sudah terisi.
"Nggak mandi dulu, Na?" tanya Pieter ketika sampai di ruang makan.
Gadis itu tersenyum pahit, "Cyenna ga bisa mandi, Tuan."
"Lho, kenapa?" selidik lelaki tersebut sembari mengambil sepotong ayam goreng. Pieter masih tidak menyadari kesalahan yang telah dia perbuat. Padahal Cyenna jelas-jelas memberikan banyak kode padanya. "Handuknya belum dikembalikan," balas gadis itu seraya meletakkan lalapan di atas meja makan. Pieter mengernyit heran, "Kamu minjemin handuk ke orang?" Walau kesal, Cyenna tetap tersenyum. Dia berkata, "Lebih tepatnya diambil tanpa sepengetahuan saya." "Lah, siapa yang mencuri? Ck ck ck. Nggak modal banget. Handuk pun diembat," komentarnya sembari menciduk nasi. Kali ini, Cyenna tak tahan lagi. Dia menjawab dengan tegas, "Tuan adalah orang yang mengambil, sekaligus memakai handuk saya." "Ooh," sahutnya singkat sambil mengangguk-angguk. Tapi kemudian, dia merasa ada yang janggal. Ditatapnya ART tersebut dengan mata membelalak sempurna,
Selesai membayar, Cyenna memergoki Tuannya yang diam mematung. Dia kemudian mencuri pandang ke arah tatapan Pieter. Gadis itu tak paham apa yang tengah dilihat lelaki tersebut, ingin bertanya tapi segan. Takut mengusik, lebih tepatnya. Tak berapa lama, Pieter teringat akan Cyenna yang sedang mengantre di kasir. Apa gadis itu sudah selesai? Saat menoleh, dia mendapati Cyenna tak ada di tempat. Ke mana gadis itu pergi? "Tuan mencari saya?" tanyanya polos dari balik punggung lelaki berkemeja biru. Pieter tersentak. Dia menoleh ke belakang. Ganti memandang Cyenna yang entah sejak kapan ada di sana. "Suka banget ngagetin orang," komentarnya kesal. Cyenna membalas, "Tadi, saya mau panggil Tuan. Tapi kayaknya lagi sibuk lihatin sesuatu. Ya udah, nggak berani ganggu." Mengusap muka kasar. "Ooh, gitu. Soalnya tadi kayak lihat seseorang. Tapi ga tau siapa." "Tuan nggak ngejar?" tanya Cyenna sembari mengangkat alisnya. "Bu
"Pieter mana?" tanya pria berjas silver tersebut. Sesuai amanat dari Tuannya, gadis itu menjawab, "Sedang rapat." "Ah, sialan!" umpatnya dengan wajah kesal. Gadis berambut hitam sangat kaget. Selama ini, dia belum pernah mendengar kata kasar yang terlontar dari seorang lelaki. Menyambar sebuah gelas di dekat dispenser dan mengisinya dengan air panas sembari mengomel, "Kalau lagi banyak masalah, pasti susah dicari. Waktu minim kepentingan, nggak perlu dicari pun nongol sendiri." Cyenna hanya diam mendengar celotehan lelaki berdasi hitam itu. Toh, dia tak berminat menanggapi. "Oh ya, apa keperluan Anda ke mari, Nona?" tanya lelaki tersebut setelah selesai menyeduh kopi. Menjawab singkat, "Saya menunggu Tuan Pieter." "Maksudku, kenapa kau menunggunya?" selidiknya lagi. Sepertinya, dia salah memberi format pertanyaan. Gadis berambut hitam mengedip-ngedipkan matanya sebentar. Mencari jawaban yang tak memb
Lelaki berkemeja biru kemudian beranjak ke meja kerja. Menandatangani dokumen-dokumen yang dibawa Zven. Sepertinya, dia harus menyiapkan tangan dan mata untuk menyelesaikan semua itu. Detik demi detik berlalu. Tanpa terasa, pekerjaan Pieter sudah selesai semua. Lelaki itu pun merenggangkan otot-ototnya yang pegal. Perlahan, diliriknya Cyenna yang masih tertidur pulas. Padahal, sudah dua jam semenjak Pieter berkutat dengan dokumen-dokumennya. Saat akan menghampiri, ponselnya berbunyi. Lelaki itu pun segera menyambar benda pipih warna hitam tersebut. "Astaga naga!" ujar Pieter, mengungkapkan keterkejutannya. Lelaki itu menepuk jidat. Dia bahkan melupakan rencana penting yang sudah disiapkan jauh-jauh hari. Gara-gara Xela sakit perut, sih. "Na, bangun!" Sontak, gadis cantik itu terbangun karena seruan Pieter. Dia bangkit dengan kesadaran yang belum utuh. Gelagapan. "Ke-kenapa, Tuan?" tanyanya dalam kondisi sete
Theodore tertawa terbahak-bahak, "Cincin itu udah bener buat gue. Soalnya, Xela yang lo maksud itu pacar dari asisten pribadi gue." "Hah? Pacarnya Hans?" tanggap Cyenna terkejut. Lelaki berambut kecoklatan itu mengangguk mantap, "Nah, lo tahu, 'kan Hans cowok model gimana? Cyenna, bilang ke Tuan lo buat putus sama Xela. Barangkali, tuh cewek cuma mau duitnya aja." "Nggak! Itu gak mungkin! Paling cuma akal-akalanmu biar bisa dapetin cincin itu, 'kan?" tolak putra sulung keluarga Rowlerie dengan tegas. Menghirup napas panjang, "Gue udah beberapa kali ngeliat mereka di depan kantor. Dan udah dua hari ini, Hans izin sakit." "Xela juga sakit perut," batin Pieter, mulai curiga. Theo berdecak sebentar, "Lo samperin aja ke rumahnya Xela. Barangkali, asisten pribadi gue ada di sana. Bye." "Heh! Cincinnya jangan dibawa!" teriak lelaki berkemeja biru. Teman kuliah Cyenna itu akhirnya memutar bola mata ke atas. Menyerahkan cincin y
Gadis berkemeja rosemary menoleh dengan tangan yang terkepal kuat. Dia mengomel, "Kenapa, sih? Harus banget, Cyenna yang pakaikan?" "Iya, harus! Udah gerah," balas Pieter. Walau berlagak tidak masalah, sebenarnya jantung lelaki itu berdegup tak karuan. Sensasi saat Cyenna membuka kancing bajunya sanggup membuat pikiran Pieter berkeliaran ke mana-mana. Sayang kalau tidak dilanjutkan, ha ha. Cyenna mereguk saliva. Dia berjalan sambil menunduk. Dalam satu kali tarikan, kaus itu terlepas dari tempatnya. Pieter tertawa kencang saat melihat ekspresi yang dibuat Cyenna. Gadis berkemeja rosemary terlihat membuang muka saat melihat perut six pack milik Tuannya. Dan hal itu sukses membuat Pieter gemas. "Apa sih?" ucap Cyenna sembari membuang kaus berkeringat itu ke sembarang arah. Lelaki berambut hitam tak menjawab. Masih asyik tertawa. Bahkan, perutnya sampai sakit. Cyenna menarik napas panjang. Dia kemudian mengambil sebuah kaus dalam
"Tapi kalau aku minta bantuan dari bodyguard, Papa sama Mama bakal tahu kalau anaknya pacaran. Bisa gawat," desis Pieter setelah mencari selama beberapa saat.Lelaki itu pun berpikir keras. Bagaimana caranya agar dapat mengawasi Xela? Tapi, dia tidak turun tangan. Masa iya, mau memasang CCTV?"Ah, gataulah," ujarnya putus asa seraya mengembalikan ponselnya ke atas meja.Melihat keberadaan lonceng, Pieter teringat akan Cyenna. Bukankah gadis itu sudah tahu kalau dirinya punya pacar? Dia juga bisa menyetir mobil. Bisa nih, diberi tugas tambahan.Dengan semangat, Pieter meraih bel di meja. Tapi kemudian, lelaki tersebut mengurungkan niat."Cyenna baru aja dari sini. Nanti ketahuan kalau tadi aku pura-pura tidur," gumamnya pelan."Aish, masa harus nunggu satu jam buat panggil Cyenna. Ah, ya udahlah. Mau tidur siang aja. Lumayan, udah lama nggak nyantai begini," sambung Pieter lagi.***"Na, nanti malam, kamu menginap se
Pieter menutup matanya sebentar. Silau karena lampu menyala secara tiba-tiba. Dia tak punya persiapan."Bilang dulu kalau mau nyalain lampu," omel Pieter dengan mata yang masih terpejam.Cyenna meringis, "Maaf, Tuan. Lain kali, Na bilang dulu."Pieter mendengus. Dia lantas memerintah, "Ke sini, cepat!"Mau tak mau, gadis itu mendekat. Sesaat kemudian, Pieter mengernyitkan dahi. Dia jadi bertanya-tanya mengapa rambut Cyenna sebasah itu. Keramas atau bagaimana?"Kok basah gitu, Na?" tanyanya kemudian."Bukan, Tuan. Barusan nyebur ke kolam," jawabnya jujur.Pieter menepuk jidat. Tidak habis pikir dengan tingkah Cyenna. "Kalau mau renang, kenapa malam-malam?"Cyenna meringis, "Lagi galau, Tuan. Makanya langsung nyemplung. Tapi enggak lama-lama. Biar besok tetap bisa kerja."Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala. Ada ya, perempuan se-absurd Cyenna."Minta nomor ponselmu," ujar Pieter sembari menyodorkan ponsel.