Cyenna tak menampik kalau perkataan Pieter benar adanya. Kebanyakan lelaki tak suka bila pasangan hidupnya ternyata bekas orang lain. Maunya yang masih bersegel. Tapi yang aneh, mereka suka memberi bekas kepada pria lain.
"Ada satu," jawabnya pelan, tapi pasti.
Bagai tersambar petir di siang bolong, Pieter terkejut. Mungkinkah Cyenna jatuh cinta dengan seorang berandalan?
"Siapa?" tuntut Pieter sembari menahan ribuan jarum yang menghujam dada.
Entah kenapa, ada sesuatu yang membuat rongga dadanya sesak. Rasanya sama persis ketika menyaksikan perselingkuhan Xela di depan mata.
Cyenna enggan menjawab. Emosi Pieter semakin tersulut. Penasaran dengan sosok yang dibicarakan Cyenna.
"Kutanya sekali lagi. Siapa orangnya?" amuk lelaki tersebut.
Entah mendapat keberanian dari mana, dia menyahut singkat, "Mantanku."
Jawaban dari Cyenna sungguh mengiris hati Pieter. Lelaki itu langsung menerjang asistennya hingga jatuh telentang di
Pieter bersenandung kecil sembari merapikan rambut. Dia duduk santai di dalam mobil mewah, menanti kedatangan pacar cantiknya. Setelah dirasa cukup rapi, dia pun meletakkan sisir di dalam laci. Netranya mencuri pandang pada langit malam. Disemarakkan oleh ratusan bintang yang berkelap-kelip di atas sana. "Ini akan menjadi malam yang indah untuk kita," batin Pieter. Tak berapa lama, ponsel lelaki itu bergetar. Ada panggilan dari Xela. Dengan cepat, Pieter menyambar telepon. "Halo, Sayang. Kamu di mana? Aku udah ada di tempat biasa," ujar Pieter penuh semangat. "Aku sakit perut, Sayang. Jalan-jalannya lain kali aja, ya," balas kekasihnya. Jawaban dari Xela membuat mood Pieter hancur. Wajahnya berubah muram. Semangat yang menggebu-gebu itu kini menghilang tanpa jejak, seakan ditelan bumi. "Sudah ke dokter?" tanyanya memastikan. Bagaimana pun, kesehatan Xela adalah yang paling utama. Pieter mencoba merelakan pertemuan
Walau sebenarnya malu, gadis itu menjawab, "Kanan atau kiri?" "Heh, mau kamu ambil beneran? Nggak, nggak usah! Aku lebih rela berdiri begini daripada digerayangi kamu," balasnya dengan wajah memerah. Cyenna tidak peduli. Tangannya langsung mencari keberadaan ponsel Pieter. Lelaki tersebut diam membeku di tempat. Setelah dapat, gadis berkemeja putih bertanya, "Fotonya di mana?" "Ga-galeri. Cari aja di folder keluarga. Ada banyak di sana," balas Pieter tergagap. Sebelumnya, lelaki tersebut tak pernah disentuh perempuan. Bahkan oleh Xela, perempuan yang sudah menjadi pacarnya selama dua tahun belakangan. Paling, mereka hanya berpelukan. Asisten rumah tangga tersebut menurut. Dia langsung menemukan folder yang dimaksud. "Ikut Cyenna ke kamar. Mau nyocokin wajah Bapak di cermin," perintahnya pelan. Pieter hanya bisa pasrah. Bagaikan tah
"Lho, kenapa?" selidik lelaki tersebut sembari mengambil sepotong ayam goreng. Pieter masih tidak menyadari kesalahan yang telah dia perbuat. Padahal Cyenna jelas-jelas memberikan banyak kode padanya. "Handuknya belum dikembalikan," balas gadis itu seraya meletakkan lalapan di atas meja makan. Pieter mengernyit heran, "Kamu minjemin handuk ke orang?" Walau kesal, Cyenna tetap tersenyum. Dia berkata, "Lebih tepatnya diambil tanpa sepengetahuan saya." "Lah, siapa yang mencuri? Ck ck ck. Nggak modal banget. Handuk pun diembat," komentarnya sembari menciduk nasi. Kali ini, Cyenna tak tahan lagi. Dia menjawab dengan tegas, "Tuan adalah orang yang mengambil, sekaligus memakai handuk saya." "Ooh," sahutnya singkat sambil mengangguk-angguk. Tapi kemudian, dia merasa ada yang janggal. Ditatapnya ART tersebut dengan mata membelalak sempurna,
Selesai membayar, Cyenna memergoki Tuannya yang diam mematung. Dia kemudian mencuri pandang ke arah tatapan Pieter. Gadis itu tak paham apa yang tengah dilihat lelaki tersebut, ingin bertanya tapi segan. Takut mengusik, lebih tepatnya. Tak berapa lama, Pieter teringat akan Cyenna yang sedang mengantre di kasir. Apa gadis itu sudah selesai? Saat menoleh, dia mendapati Cyenna tak ada di tempat. Ke mana gadis itu pergi? "Tuan mencari saya?" tanyanya polos dari balik punggung lelaki berkemeja biru. Pieter tersentak. Dia menoleh ke belakang. Ganti memandang Cyenna yang entah sejak kapan ada di sana. "Suka banget ngagetin orang," komentarnya kesal. Cyenna membalas, "Tadi, saya mau panggil Tuan. Tapi kayaknya lagi sibuk lihatin sesuatu. Ya udah, nggak berani ganggu." Mengusap muka kasar. "Ooh, gitu. Soalnya tadi kayak lihat seseorang. Tapi ga tau siapa." "Tuan nggak ngejar?" tanya Cyenna sembari mengangkat alisnya. "Bu
"Pieter mana?" tanya pria berjas silver tersebut. Sesuai amanat dari Tuannya, gadis itu menjawab, "Sedang rapat." "Ah, sialan!" umpatnya dengan wajah kesal. Gadis berambut hitam sangat kaget. Selama ini, dia belum pernah mendengar kata kasar yang terlontar dari seorang lelaki. Menyambar sebuah gelas di dekat dispenser dan mengisinya dengan air panas sembari mengomel, "Kalau lagi banyak masalah, pasti susah dicari. Waktu minim kepentingan, nggak perlu dicari pun nongol sendiri." Cyenna hanya diam mendengar celotehan lelaki berdasi hitam itu. Toh, dia tak berminat menanggapi. "Oh ya, apa keperluan Anda ke mari, Nona?" tanya lelaki tersebut setelah selesai menyeduh kopi. Menjawab singkat, "Saya menunggu Tuan Pieter." "Maksudku, kenapa kau menunggunya?" selidiknya lagi. Sepertinya, dia salah memberi format pertanyaan. Gadis berambut hitam mengedip-ngedipkan matanya sebentar. Mencari jawaban yang tak memb
Lelaki berkemeja biru kemudian beranjak ke meja kerja. Menandatangani dokumen-dokumen yang dibawa Zven. Sepertinya, dia harus menyiapkan tangan dan mata untuk menyelesaikan semua itu. Detik demi detik berlalu. Tanpa terasa, pekerjaan Pieter sudah selesai semua. Lelaki itu pun merenggangkan otot-ototnya yang pegal. Perlahan, diliriknya Cyenna yang masih tertidur pulas. Padahal, sudah dua jam semenjak Pieter berkutat dengan dokumen-dokumennya. Saat akan menghampiri, ponselnya berbunyi. Lelaki itu pun segera menyambar benda pipih warna hitam tersebut. "Astaga naga!" ujar Pieter, mengungkapkan keterkejutannya. Lelaki itu menepuk jidat. Dia bahkan melupakan rencana penting yang sudah disiapkan jauh-jauh hari. Gara-gara Xela sakit perut, sih. "Na, bangun!" Sontak, gadis cantik itu terbangun karena seruan Pieter. Dia bangkit dengan kesadaran yang belum utuh. Gelagapan. "Ke-kenapa, Tuan?" tanyanya dalam kondisi sete
Theodore tertawa terbahak-bahak, "Cincin itu udah bener buat gue. Soalnya, Xela yang lo maksud itu pacar dari asisten pribadi gue." "Hah? Pacarnya Hans?" tanggap Cyenna terkejut. Lelaki berambut kecoklatan itu mengangguk mantap, "Nah, lo tahu, 'kan Hans cowok model gimana? Cyenna, bilang ke Tuan lo buat putus sama Xela. Barangkali, tuh cewek cuma mau duitnya aja." "Nggak! Itu gak mungkin! Paling cuma akal-akalanmu biar bisa dapetin cincin itu, 'kan?" tolak putra sulung keluarga Rowlerie dengan tegas. Menghirup napas panjang, "Gue udah beberapa kali ngeliat mereka di depan kantor. Dan udah dua hari ini, Hans izin sakit." "Xela juga sakit perut," batin Pieter, mulai curiga. Theo berdecak sebentar, "Lo samperin aja ke rumahnya Xela. Barangkali, asisten pribadi gue ada di sana. Bye." "Heh! Cincinnya jangan dibawa!" teriak lelaki berkemeja biru. Teman kuliah Cyenna itu akhirnya memutar bola mata ke atas. Menyerahkan cincin y
Gadis berkemeja rosemary menoleh dengan tangan yang terkepal kuat. Dia mengomel, "Kenapa, sih? Harus banget, Cyenna yang pakaikan?" "Iya, harus! Udah gerah," balas Pieter. Walau berlagak tidak masalah, sebenarnya jantung lelaki itu berdegup tak karuan. Sensasi saat Cyenna membuka kancing bajunya sanggup membuat pikiran Pieter berkeliaran ke mana-mana. Sayang kalau tidak dilanjutkan, ha ha. Cyenna mereguk saliva. Dia berjalan sambil menunduk. Dalam satu kali tarikan, kaus itu terlepas dari tempatnya. Pieter tertawa kencang saat melihat ekspresi yang dibuat Cyenna. Gadis berkemeja rosemary terlihat membuang muka saat melihat perut six pack milik Tuannya. Dan hal itu sukses membuat Pieter gemas. "Apa sih?" ucap Cyenna sembari membuang kaus berkeringat itu ke sembarang arah. Lelaki berambut hitam tak menjawab. Masih asyik tertawa. Bahkan, perutnya sampai sakit. Cyenna menarik napas panjang. Dia kemudian mengambil sebuah kaus dalam