Share

Pesona

"Pieter mana?" tanya pria berjas silver tersebut.

Sesuai amanat dari Tuannya, gadis itu menjawab, "Sedang rapat."

"Ah, sialan!" umpatnya dengan wajah kesal.

Gadis berambut hitam sangat kaget. Selama ini, dia belum pernah mendengar kata kasar yang terlontar dari seorang lelaki. 

Menyambar sebuah gelas di dekat dispenser dan mengisinya dengan air panas sembari mengomel, "Kalau lagi banyak masalah, pasti susah dicari. Waktu minim kepentingan, nggak perlu dicari pun nongol sendiri."

Cyenna hanya diam mendengar celotehan lelaki berdasi hitam itu. Toh, dia tak berminat menanggapi. 

"Oh ya, apa keperluan Anda ke mari, Nona?" tanya lelaki tersebut setelah selesai menyeduh kopi.

Menjawab singkat, "Saya menunggu Tuan Pieter."

"Maksudku, kenapa kau menunggunya?" selidiknya lagi. Sepertinya, dia salah memberi format pertanyaan.

Gadis berambut hitam mengedip-ngedipkan matanya sebentar. Mencari jawaban yang tak membingungkan, "Saya menunggu Tuan Pieter karena saya diminta beliau untuk menunggu di sini."

Mengernyitkan alis sebentar, "Memang, kau siapanya?"

"Saya asisten rumah tangga beliau, Tuan. Kebetulan, tadi kami pulang berbelanja," balas Cyenna jujur.

Pria itu hampir menyemburkan kopi yang ada di mulutnya. Dia terbatuk sebentar.

"Apa katamu tadi? Belanja?" ulang pria berdasi hitam, tak percaya dengan pengakuan gadis itu.

Mengangguk dengan wajah polosnya. "Apa ada yang salah, Tuan?"

"Pieter tak suka berbelanja. Apalagi, menemani seorang perempuan," ujarnya jujur.

Cyenna diam. Haruskah dia berkata bahwa Pieter tak sengaja memakai handuknya? Eh tapi, Pieter melarangnya untuk bercerita dengan siapa pun. Ah, bagaimana ini?

"Saya juga kurang tahu kalau Tuan Pieter tidak suka berbelanja. Mungkin, beliau terpaksa karena diminta oleh orang tuanya," bohong Cyenna.

Dalam hati, dia berharap. Semoga saja, lelaki tersebut tidak bertanya apa pun lagi. Pusing menjawabnya.

Pria berdasi hitam mengangguk-anggukkan kepala. "Dia memang sangat patuh dengan orang tuanya."

"Ooh," balas Cyenna yang tak tahu harus berkomentar apa.

Sedetik kemudian, lelaki berdasi hitam mengulurkan tangan. "Kenalkan, aku Zven."

"Saya Cyenna, Tuan Zven," balas gadis berambut hitam seraya menyambut uluran tangan pria tampan tersebut.

Zven membatin, "Udah cantik, kulitnya halus pula. Bisa nih, gue deketin jadi calon istri. Kayanya, dia cewek baik-baik, deh."

Cyenna merasa tak enak karena lelaki tersebut terus-terusan menatapnya. Terlebih, Zven belum melepaskan tautan tangan mereka. Menyebalkan sekali.

"Udah lama jadi asistennya Pieter?" tanya Zven kemudian.

Gadis berkemeja rosemary itu pun menggeleng, "Baru dua minggu."

"Kita udah jadi teman, Cyenna. Nggak usah bicara formal. Pakai lo-gue aja. Atau, aku-kamu juga boleh," ucap lelaki berdasi hitam tersebut.

Dara manis itu meringis, lalu menjawab, "Oke, Zven."

"Besok minggu, ada acara nggak?" tanyanya tanpa basa-basi.

Cyenna menjawab mantap, "Jaga rumah."

"Eh, kamu tinggal di rumahnya Pieter?" tanya Zven sangsi.

Gadis berambut hitam langsung meluruskan, "Bukan rumahnya Tuan Pieter, tapi villanya keluarga beliau."

"Wah. Boleh tuh, kalau aku mampir. Sekalian refreshing. Capek kerja terus," modusnya.

Zven menyeruput kopi yang mulai dingin. Sayang kalau tak diminum. Dan siapa tahu, Cyenna mengagumi ketampanannya saat sedang menghirup cairan kental warna hitam tersebut.

Akan tetapi, perkiraan lelaki itu salah besar. Cyenna hanya tersenyum tipis, kemudian kembali fokus pada surat kabar yang sedari tadi ada di tangannya. 

Pieter yang diam-diam mengintip pun terkikik geli ketika Cyenna mengabaikan Zven. Dia berkata dalam hati, "Rasain! Lagian, hobi, kok, ngembat perempuan cantik."

Membuka pintu tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Na, ayo pulang."

"Rapatnya sudah selesai, Tuan?" tanya gadis itu seraya melipat surat kabarnya di atas meja.

Zven langsung bangkit, "Bentar! Enak aja, main pulang."

"Kenapa memangnya?" tanya Pieter sembari menaikkan sebelah alisnya.

Mengambil setumpuk berkas dari tasnya, "Tanda tangan dulu. Selain itu, ada yang harus kita obrolkan mengenai Navistama Group."

Cyenna langsung melirik ke arah Zven. Apa yang akan mereka bicarakan tentang keluarga kaya yang misterius itu? Masalah kontrakkah?

"Nggak bisa lain kali, Ven?" tawar Pieter sedikit malas.

Setelah gagal menghabiskan malam panas dengan Xela, dia jadi agak bad mood. Ke kantor pun karena dipaksa oleh ayahnya. Kalau enggak, mungkin sekarang, dia dan Cyenna sudah sampai di villa.

Zven terlihat putus asa. "Dokumen buat tanda tangan, silakan kalau mau dibawa pulang. Tapi urusan Navistama, harus di sini! Nggak bisa ditawar lagi!"

Melihat situasi yang kurang kondusif ini, Cyenna berinisiatif untuk bangkit dari tempat duduknya. Dia bermaksud untuk keluar. Barangkali, mau berbicara empat mata.

Pieter langsung bertanya, "Mau ke mana, Na?"

"Cari angin segar, Tuan. Enggak jauh, kok. Paling di luar ruangan," balasnya nyengir kuda.

Lelaki itu menghela napas. Berpesan, "Jangan jauh-jauh, tapi. Aku nggak mau repot-repot cari kamu kalau nyasar."

Gadis berambut hitam tersebut mengangguk, "Iya, Tuan."

Cyenna melanjutkan perjalanan yang tertunda. Menyisakan Pieter dan Zven di dalam sana.

"Tuan, tuh, nggak peka atau gimana, sih? Tahu kalau diajak mengobrolkan hal penting, malah mau cegah Na buat enggak keluar dari ruangan," gerutu Cyenna sembari mendudukkan dirinya di kursi tunggu.

Setelah cukup lama berada di sana, gadis itu jadi mengantuk. Tanpa sempat berpikir panjang, Cyenna pun menyandarkan punggungnya di dinding. Memejamkan mata, terhanyut ke alam mimpi.

Beberapa saat kemudian, Zven keluar dari ruangan Pieter dengan wajah kesal. Tadinya hendak marah-marah dan sempat berniat membanting pintu. Akan tetapi, rencana tersebut langsung berubah saat melihat Cyenna yang tertidur pulas di kursi ruang tunggu.

Zven mereguk salivanya sebentar. ART itu terlihat lebih manis saat sedang tidur. Wajahnya sungguh menggoda iman.

Melihat rekannya diam mematung di ambang pintu, Pieter pun melongok dari jendela. Memergoki Zven yang memandang tanpa kedip ke arah kursi tunggu. Netra coklat Pieter pun memandang hal yang sama. Jujur, dia sedikit tergoda. Tapi sadar diri kalau sudah mempunyai pacar.

Tak mau Zven terus menerus memelototi ARTnya, Pieter pun pergi menghampiri. Bahkan, sengaja menyenggol lelaki itu supaya kehilangan keseimbangan.

"Jalanan itu lebar. Nggak usah nabrak-nabrak orang!" ujarnya sedikit marah dengan tingkah Pieter.

Menarik bawah matanya sembari menjulurkan lidah, "Ini kantorku, suka-suka aku."

Zven menghantamkan tangannya ke tembok. Dia kemudian pergi dengan hati yang kesal. Mengapa Pieter bertingkah menyebalkan seperti itu?

Sepeninggal lelaki berdasi hitam tersebut, Pieter ganti menatap Cyenna. Dia mengacak-acak rambutnya yang rapi.

"Perempuan ini berat banget nggak, ya?" gunamnya dalam hati.

Pieter berniat untuk menggendong gadis itu ke sofa. Lebih empuk dan nyaman daripada tidur dalam posisi duduk. Masalahnya, apa dia kuat menjunjung Cyenna?

"Dicoba aja dulu. Siapa tahu, dia seringan bulu," ucap Pieter sambil mendekati gadis berkemeja rosemary.

Perlahan, lelaki tersebut menelusupkan tangan di punggung Cyenna. Dalam sekali sentakan, dia berhasil menggendong gadis itu. Ternyata, Cyenna tak seberat yang dia pikirkan. Atau, memang dia yang terlalu kuat? Entahlah.

Cyenna sampai dengan selamat di sofa. Pieter membaringkannya perlahan supaya tidak bangun. Dan supaya gadis itu tak jatuh menggelinding, dia sengaja menggeser meja. Merapatkannya pada sofa.

"Menyapu halaman itu melelahkan, bukan? Apalagi, kau masih punya kewajiban mencuci pakaian," ujar Pieter. Pandangannya tertuju pada Cyenna yang masih memejamkan mata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status