Share

Interogasi

Selesai membayar, Cyenna memergoki Tuannya yang diam mematung. Dia kemudian mencuri pandang ke arah tatapan Pieter. Gadis itu tak paham apa yang tengah dilihat lelaki tersebut, ingin bertanya tapi segan. Takut mengusik, lebih tepatnya.

Tak berapa lama, Pieter teringat akan Cyenna yang sedang mengantre di kasir. Apa gadis itu sudah selesai?

Saat menoleh, dia mendapati Cyenna tak ada di tempat. Ke mana gadis itu pergi?

"Tuan mencari saya?" tanyanya polos dari balik punggung lelaki berkemeja biru.

Pieter tersentak. Dia menoleh ke belakang. Ganti memandang Cyenna yang entah sejak kapan ada di sana.

"Suka banget ngagetin orang," komentarnya kesal.

Cyenna membalas, "Tadi, saya mau panggil Tuan. Tapi kayaknya lagi sibuk lihatin sesuatu. Ya udah, nggak berani ganggu."

Mengusap muka kasar. "Ooh, gitu. Soalnya tadi kayak lihat seseorang. Tapi ga tau siapa."

"Tuan nggak ngejar?" tanya Cyenna sembari mengangkat alisnya.

"Buat apa, Na? Kalau salah orang, gimana?" ucap Pieter. Dia bukan tipe lelaki yang bertindak asal-asalan.

Gadis berambut hitam itu menyahut, "Biar rasa penasarannya Tuan terobati. Gitu."

"Udahlah, nggak usah dibahas lagi. Anggap aja salah lihat. Lagian, yang punya masalah tuh aku, yang ribet malah kamu. Kan aneh jadinya," putus lelaki berkemeja biru sembari melangkahkan kaki.

Tak mau ditinggalkan sendiri, Cyenna pun membuntuti. Sesekali, dia menunduk saat melewati spot-spot kegemaran bibinya. Takut kalau wanita jahat itu kembali mengusik kehidupannya.

Untungnya, keberadaan Cyenna sama sekali tidak terdeteksi oleh bibi dan antek-anteknya. Gadis itu sangat bersyukur karena bisa kembali dengan selamat. 

Ada perasaan lega di hati karena mall yang dibangun dengan susah payah oleh kakeknya itu masih setia berdiri di tempat ini. Pasti Rendra yang mengelola semuanya. Tak mungkin bila tidak.

"Terima kasih, Tuan," ucap gadis berkemeja rosemary setelah sampai di dekat mobil. 

Dia sedang menunggu pintunya dibukakan. Karena membuka pintu mobil mewah memerlukan kunci yang tentu hanya dipegang oleh Pieter.

Bukannya menjawab, lelaki tersebut malah menyudutkan Cyenna ke mobil. Memandangnya dengan tatapan mengintimidasi. Seolah ingin menginterogasi.

"Apa ada yang salah dengan Lamour's Mall?" tanya Pieter tanpa basa basi.

Beberapa kali, lelaki berkemeja biru memergoki Cyenna yang terlihat menunduk ketakutan. Seolah sedang menghindari sesuatu. Tetapi apa? Kamera CCTV?

Mendapat pertanyaan yang tak terduga seperti itu, Cyenna bingung harus menjawab apa. Bila dia mengaku sebagai putri keluarga Lamour, akankah lelaki itu percaya? Atau justru menertawainya?

"Ti-tidak ada, Tuan," balas gadis itu. 

Takut disangka berhalusinasi menjadi anggota keluarga yang bergelimang harta. Kalau dianggap tidak waras, bukankah kesempatan untuk dipecat menjadi lebih tinggi?

Pieter semakin merapatkan tubuhnya. Dia kembali bertanya, "Jujur padaku, Cyenna! Katakan padaku, apa masalahmu dengan Lamour's Mall!"

Meneguk salivanya sebentar, "Saya takut bertemu Madame Loura Gaffine. Kami pernah dihadapkan dalam situasi yang kurang menyenangkan."

"Sudah? Itu saja?" tuntutnya lagi. 

Masa iya, jawaban yang diberikan Cyenna sesimpel itu. Terlebih, Madame Loura sepertinya bukan tipe orang pendendam. Kenapa pula ARTnya harus takut?

Beralih memandang kerah kemeja Pieter, "Iya, Tuan."

Tak mau ambil pusing, lelaki itu pun segera menarik diri. Diambilnya kunci di dalam saku. Kemudian, dia tekan supaya kunci pintunya terbuka.

Cyenna segera masuk dengan jantung berdebar kencang. Berdekatan dengan Pieter membuatnya jadi merasa aneh. Mirip yang ia rasakan saat menghabiskan waktu bersama Rendra. Atau mungkin, efek saat berdekatan dengan lelaki memang seperti ini?

Pieter memacu mobilnya di jalanan Kota Scenara yang cukup dipadati kendaraan. Jam istirahat adalah penyebab inti dari ramainya ruas jalur utama. Karyawan dan karyawati berbondong-bondong membeli makanan dan minuman di restoran siap saji.

"Aku ada urusan kantor sebentar. Mau menunggu di mobil atau ikut masuk kantor?" tawar Pieter ketika lampu lalu lintas menyala merah.

Cyenna tersentak. Mulanya, dia mengira kalau Pieter akan langsung pulang ke villa. Tak tahunya, malah diminta menemani ke kantor.

"Bagaimana dengan pekerjaan saya di villa, Tuan?" tanyanya resah. Takut kalau tidak mendapat gaji.

Pieter menghela napas panjang, "Yang menggaji kamu itu orang tuaku. Gapapa dong, kalau aku pinjam kamu sebentar. Nggak masalah, serius."

Bertanya takut, "Kalau saya ikut masuk ke kantor, nanti disangka aneh-aneh nggak, Tuan?"

Lelaki berkemeja biru menggeleng. "Citraku baik di mata rekan satu kantor. Nggak pernah bawa perempuan genit. Aku juga nggak suka."

"Na menunggu di dalam kantor saja, Tuan. Di sini gerah," ujar gadis tersebut.

Pieter tersenyum, "Oke. Nanti, kamu ikutin aku aja. Di sana, tinggal duduk. Kalau mau minum, tuang aja dari dispenser. Tahu cara pakainya, 'kan?"

Mengangguk perlahan, "Tahu, Tuan."

Jadi, begitulah. Setelah sampai di depan kantor Rowlerie Group, Cyenna mengikuti kepergian Tuannya. Kehadiran gadis itu tentunya menyita perhatian karyawan yang sedang berlalu lalang. Tak biasanya bos mereka membawa seorang perempuan.

"Eh, siapa tuh?" bisik seorang wanita pada rekannya yang sedang berjalan.

Mengedikkan bahu tanda tak tahu, "Pacarnya barangkali."

"Cantik, sih. Tapi, nggak modis. Mana mungkin Pak Pieter mau sama cewek model begitu," debatnya lagi.

Menatap kesal ke arah wanita berjas garis-garis. "Tanyain aja ke orangnya langsung. Barangkali cuma pegawai baru atau bagaimana."

"Nggak mungkin kalau karyawati yang mah kerja di sini. Nggak ada lowongan," bantah wanita bersanggul tersebut.

Mengepalkan tangan erat-erat. Berusaha menahan emosi yang membuncah di dalam dada. 

"Kalau perempuan itu keluarganya Pak Pieter, pasti diizinkan kerja di sini walau nggak ada lowongan. Ngerti nggak, sih? Ah, sudahlah. Memikirkan hidup sendiri saja, ribet. Malah mengurusi orang lain. Bye!"

Kemudian, wanita berambut pendek tersebut meninggalkan rekannya yang berdiri sambil menjejakkan high heelsnya ke lantai. Dia masih penasaran dengan gadis yang datang bersama Pieter. Siapa pun dia, pasti bukan perempuan sembarangan.

Pieter yang mendengar celotehan mereka tak mau ambil pusing. Toh sepertinya, Cyenna tak sadar kalau menjadi bahan pembicaraan.

***

"Duduk aja di tempat yang kamu suka. Kalau ada yang ke sini mencariku, bilang saja kalau aku lagi rapat," pesan Pieter sebelum pergi.

Gadis berambut hitam itu pun mengangguk, "Baik, Tuan."

Pieter tersenyum simpul. Kemudian, menutup pintunya. Membiarkan Cyenna sendirian di sana.

Tidak tahu harus berbuat apa, gadis itu meraih surat kabar yang ada di meja. Sudah lama dia tak berjumpa dengan kertas berwarna dominan hitam putih tersebut. Sesekali, bayangan tentang Rendra menghampiri. Lelaki itu sering memeluknya saat asyik membaca surat kabar. Romantis sekali.

Tanpa terasa, sebutir air mata menetes, "Apa kamu bahagia?"

Ceklek!

Cyenna buru-buru menghapus air matanya. Dia kemudian menoleh ke arah pintu. Mendapati seorang lelaki asing yang terlihat terkejut akan kehadiran seorang perempuan di dalam ruangan pribadi Pieter.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status