Taka kemudian mengajak Wisang ke sebuah restoran yang terlihat tidak terlalu ramai.
Kebetulan sekali tempat itu menyediakan menu yang cukup recommended sehingga Wisang pun menyetujuinya.
“Sebenarnya aku tidak peduli kamu mau mengajakku makan apa,” ucap Wisang sambil tetap membuang pandangannya ke arah luar mobil.
Taka tahu jika saat ini suasana hati Wisang pasti sangat-sangat buruk. Baru saja Taka menepikan mobilnya di parkiran, sebuah panggilan telepon dari putranya masuk.
“Oh begitu ya, baiklah … Tidak masalah. Lagi pula besok kan kau libur panjang. Jadi kau bisa berangkat bersama Nenek dengan tenang. Bye, ayah akan menjemputmu nanti,” ucap Taka kepada sang putra
“Putraku akan bepergian dengan ibu. Entah apa yang sedang direncanakan oleh ibuku itu dia selalu saja memiliki kesibukan,” ucap Taka sambil melangkah turun dari mobilnya.
Wisang kemudian mengikuti dan mereka berjalan beriringan menuju bagian dalam restoran.
“Kau mau pesan menu apa?” tanya Taka.
“Hatiku sedang tidak nyaman, aku rasa menggorengnya akan jauh lebih nikmat. Benar begitu?” ucap Wisang sambil menunjuk menu sambal goreng hati pedas di buku menunya.
Taka terkekeh.
“Jika kau pikir itu akan membuatmu senang, lakukanlah.” Kali ini Taka sependapat dengan Wisang sehingga dia pun memilih menu sambal goreng hati yang sangat pedas untuk makan siangnya.
“Tunggu, aku juga butuh tulang yang kuat. Mungkin dengan begitu suatu saat aku bisa menghajar dia yang sudah menyia-nyiakanku dan mengabaikanku. Jadi aku memilih ini ya Mba, sepertinya sop tulang kaki akan membuat aku jauh lebih kuat nantinya,” ucap Wisang dengan logat serius mengatakannya justru membuat Taka semakin tergelak menanggapinya.
Sementara si pramusaji yang sedari tadi berusaha menahan senyumnya berkat ulah kocak Wisang yang sedari tadi terlalu mendramatisir setiap menu yang ada di dalam buku menu restoran mereka terus menahan senyumannya.
“Maafkan dia,” ucap Taka yang menyadari hal tersebut kepada si pramusaji.
“Mbak, jangan menahan diri jika ingin tertawa, kau akan cepat tua nantinya.” Kali ini Wisang mengatakannya sambil tersenyum dan menatap penuh goda kepada sang pramusaji yang menjadi semakin tak enakan karenanya.
“Baiklah, semua sudah dipesan. Mohon menunggu,” ucap pramusaji tersebut dengan sangat terburu-buru.
“Ayo taruhan, dia akan langsung ke pintu keluar!”” ucap Wisang.
“Tidak, dia akan meletakkan catatan pesanan dan menuju dapur untuk menyelesaikan tawanya,” ucap Taka.
“Siapa yang menang dia boleh meminta satu permintaan yang tidak boleh ditolak ya, setuju!” ucap Wisang sambil terus memperhatikan pramusaji tersebut.
“Setuju!” sahut Taka.
“Ayo berbelok keluar,” ucap Wisang ketika pramusaji itu tiba di dekat pintu samping.
Tapi pramusaji tersebut terus menjauh dan benar saja tebakan Taka sesuai dengan apa yang dilakukan oleh pramusaji tersebut yang langsung masuk ke dalam dapur setelah menyimpan catatan pesanan miliknya di meja
“Untuk hari ini, gurauanmu itu cukup keterlaluan,” ucap Taka sambil menunjukan rasa senangnya.
Wisang pun hanya tergelak. Dia tengah berusaha mencari rasa damai di dalam dirinya sendiri dan siapa yang menyangka jika usahanya itu justru membuat orang lain pun ikut terlibat di dalamnya.
“Aku menang, jadi permintaan tak terelakkan itu adalah milikku, benar begitu?” ucap Taka.
Wisang pun mengangguk mengiyakannya.
“Syukurlah, kau baik-baik saja,” ucap Taka sambil menggenggam erat tangannya Wisang.
Kecemasan Taka jika Wisang akan terpuruk mengetahui kenyataan perselingkuhan Dimas dengan Sandra sepertinya salah. Karena di depannya kini Wisang masih sanggup untuk tersenyum sangat manis kepadanya.
Tak berselang lama, mereka pun larut menikmati makan siang mereka dan siapa yang menduga jika makan siang ini menjadi awal dari liburan panjang mereka.
“Masih suasana Imlek-kan, aku juga masih punya cuti yang belum diambil. Lagi pula satu-satunya muridmu juga tengah berlibur, itu artinya kau free bukan?” tanya Taka membuat Wisang melebarkan bola matanya.
“Tentu, bisa dibilang aku selalu free sebenarnya,” ucap Wisang sambil terus menyendokkan es krim ke mulutnya.
“Ayolah Wisang, kau makan seperti itu seperti anak kecil saja,” celetuk Taka sambil menyeka sudut bibir Wisang yang belepotan oleh lelehan es krim.
“Dan kau, sangat perhatian, terima kasih,” ucap Wisang yang sekarang ini mulai tidak malu-malu mengatakan apapun untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Taka.
Selesai makan, Wisang masih asik dengan es krim Sundae yang dipesannya ini dan hal tersebut memberikan celah bagi Taka untuk menyiapkan sesuatu bagi mereka.
Jemari lincahnya mulai memesan sebuah unit bungalow di luar kota yang biasa digunakan oleh orang-orang untuk liburan melepaskan penat dan juga melepaskan kejenuhan setelah lelah bekerja.
“Andai kau tidak pulang malam ini, apa Dimas akan memarahimu?” tanya Taka kembali membuat Wisang nyaris saja menumpahkan satu sendok es krimnya di meja.
“Entahlah, aku belum pernah menginap di luar,” ucap Wisang sambil kembali menyendokkan es krim ke mulutnya.
Tak ingin membuat masalah, Taka kemudian berinisiatif untuk bertanya kepada Dimas melalui sebuah pesan singkat. Taka menanyakan kepada Dimas jika dia berencana untuk mampir ke rumahnya Dimas malam nanti.
Dan jawaban yang didapatkan oleh Taka sangat mencengangkan karena Dimas baru saja mengatakan jika dia tidak akan pulang.
“Baiklah, ayo kita pergi. Aku rasa kau tidak perlu pulang malam ini, kita akan menikmati siang ini sampai sore dan juga sampai malam. Kalau perlu hingga beberapa hari. Apa kau setuju?” ucap Taka sambil menggenggam kedua tangan Wisang sementara wanita itu sendiri masih melongo menatapnya.
“Kita mau ke mana? Aku tidak membawa baju jika harus menginap. Ah,, tidak … aku takut. Bagaimana dengan ibumu dan muridku? Tidak … tidak! Jangan macam-macam, sebaiknya kita segera pulang!” ucap Wisang yang terlihat menjadi sangat ragu tapi tangan berurat kekar milik Taka semakin erat menggenggamnya.
Pria ini kemudian memanggil pramusaji dan meminta bill untuk dibayarnya.
Selesai pembayaran, tanpa menunda waktu dia benar-benar berangkat membawa Wisang ke luar kota.
“Apalagi? Kenapa menatapku seperti itu, dasar omes!” ucap Wisang saat menyadari jika Taka terus memperhatikan tubuhnya.
Meski sebenarnya ada rasa bahagia di dalam hatinya dengan tatapan nakal lelaki itu yang sedari tadi terus menggila, tapi Wisang cukup tahu diri untuk tidak memulainya lebih dulu.
“Bisa bantu aku melepaskan dasi ini? Rasanya sesak sekali,” ucap Taka sambil menarik lengan kanan Wisang dan meletakkannya di ceruk lehernya.
Sambil sedikit mendelik, Wisang kemudian menggeserkan duduknya menghadap ke arah Taka. Tangannya kemudian bergerak cepat membukakan dasi pria itu.
“Buka juga beberapa buah kancingnya, aku merasa sesak,” ucap Taka lagi.
Wisang pun mencubit kecil pinggang pria tersebut sebelum membuka satu persatu kancing bagian atas kemejanya. Tatapan Wisang kemudian terhenti pada area dada bidang Taka yang terlihat begitu memikatnya.
“Kenapa melihatku seperti itu? Kau mau?” tanya Taka sambil terus fokus mengemudi.
Tentu saja kalimat tersebut sukses membuat wajah Wisang merona merah.
Satu jam perjalanan pun menyuguhkan keduanya dengan desiran hebat yang semakin mendebarkan.
Jarak yang semakin jauh mengurung keduanya dalam suasana yang semakin hangat.
Mobil kemudian berbelok ke arah perkebunan di mana deretan teh menghampar luas dan langit yang terang pun tak lagi terasa teriknya.
Sejuk dan juga sunyi, perlahan jalanan yang mereka lalui menjadi semakin jauh dari kebisingan.
Taka kemudian menghentikan mobilnya ke arah bahu jalan di mana terdapat sebuah pohon yang cukup tinggi untuk berteduh.
Sementara hamparan perkebunan teh yang berbukit-bukit menjadi pemandangan yang sangat asri dan juga menyegarkan di sejauh mata memandang.
“Kau membuatku basah,” ucap Taka sambil menarik tubuh Wisang ke dalam dekapannya.
Angin malam menyelinap dari celah-celah jendela kontrakan kecil itu, membawa aroma hujan yang belum sempat turun. Wisang berdiri di dekat jendela, menatap lampu jalanan yang berpendar redup, seolah menggambarkan pikirannya yang kusut dan tak bersuara. Taka duduk bersila di atas kasur, menatap punggung Wisang yang seperti menjauh—meski jaraknya hanya beberapa langkah dari tempatnya. "Aku lelah, Tak," ucap Wisang lirih, tapi cukup jelas untuk menggetarkan dada Taka. "Aku pikir... aku bisa jadi kuat di mana pun kita berada. Tapi nyatanya, aku tetap jadi bahan bisik-bisik. Di perusahaan dulu, di yayasan, bahkan sekarang di sekolah. Seakan... kehadiranku dalam hidupmu adalah beban." Taka berdiri, langkahnya pelan. Ia memeluk punggung Wisang dari belakang, menggenggam erat pinggangnya. "Jangan bilang gitu. Kamu bukan beban. Kamu... satu-satunya alasan aku bertahan di semua kesulitan ini." Tapi Wisang melepaskan pelukannya. Perlahan, tapi pasti. "Tapi aku nggak merasa cukup, Tak. Bahk
Langit sore itu redup, seolah semesta ikut bersekutu dengan kekacauan yang menggulung hati Wisang. Angin menerpa dedaunan pepohonan di halaman sekolah dengan kasar, menciptakan irama yang ganjil—tak tenang, tak damai. Ia berdiri di dekat pagar sekolah, menatap mobil-mobil yang melintas di kejauhan dengan pandangan kosong."Kamu nggak masuk ke ruang guru?" suara Taka dari belakangnya terdengar lirih.Wisang menoleh pelan. Senyum yang terukir di wajahnya begitu tipis, seperti bayangan dari sebuah kebahagiaan yang mulai rapuh."Nggak, aku cuma butuh udara," jawabnya pendek.Taka mendekat, berdiri sejajar. Beberapa detik mereka diam. Ada ruang hening yang biasanya terasa nyaman, tapi kali ini, sunyi itu terasa seperti celah besar yang menganga."Tentang Nara... aku—""Sudah," potong Wisang pelan. "Aku tahu kamu nggak salah. Aku tahu kamu nggak pernah bermain api. Tapi, Tak, semua ini mulai terasa berat buatku."Taka menatap wajah yang begitu ia cintai itu dengan sorot penuh luka. "Aku ngg
Suasana di sekolah terasa agak berbeda. Nara terlihat santai berjalan masuk ke ruang guru, sambil membawa tas besar berisi dokumen dan beberapa peralatan sekolah untuk anaknya, Deno.Di ruang guru, Wisang dan Taka sedang sibuk mempersiapkan materi kelas. Saat Nara masuk, mata beberapa guru langsung tertuju padanya, bisik-bisik kecil mulai terdengar.Nara tersenyum manis ke arah Wisang, tapi ada kilatan saingan di matanya.“Bu Wisang, kabar baik ya? Aku dengar kamu sekarang Wakil Kepala Sekolah. Keren! Anak-anak pasti beruntung punya ibu guru sekaligus wakil kepala yang perhatian seperti kamu.”Wisang mengangguk sopan. “Terima kasih, Bu Nara. Semoga bisa menjalankan tugas dengan baik.”Nara menatap Taka yang sedang menyiapkan laptopnya. “Tak, anakmu udah siap-siap ke sekolah? Aku nanti antar Deno, ya. Biar mereka bisa berteman.”Taka mengangguk pelan. “Iya, nanti kita atur jadwalnya.”Siang Hari – Kelas 1ANara berdiri di samping meja guru saat Deno masuk ke kelas. Beberapa anak menata
Senin Pagi – Rapat Mingguan GuruHari itu semua guru dikumpulkan untuk rapat mingguan. Topiknya: “Etika dan Profesionalisme dalam Lingkungan Kerja.”Waka Kesiswaan membuka sesi dengan berita mengejutkan.“Ada kabar bahwa beberapa guru kita menjalin hubungan pribadi yang lebih dari sekadar rekan kerja. Kami ingin mengingatkan pentingnya menjaga profesionalisme dan batasan.”Seluruh ruangan menjadi bisik-bisik penuh spekulasi.Taka dan Wisang, duduk berjauhan seperti biasa, tetap menunjukkan wajah tenang.Tapi di bawah meja, Bu Wisang mengetik pesan di HP-nya:"Kamu cerita ke siapa soal kita?”"Nggak cerita ke siapa-siapa. Tapi mereka pasti mulai curiga.”“Makanya, mendingan kita tetap rahasiain dulu aja, kan?"“Atau justru kita harus jujur aja. Biar nggak ada fitnah.”Setelah rapat bubar, mereka bertemu di ruang guru yang sedang sepi.“Tak, aku tahu kamu orang yang terbuka. Tapi hubungan kita ini... bukan hal yang harus diumumkan juga, kan?” kata Wisang pelan, sambil memeriksa map nila
Hari itu, geng 5C sedang mengintai dari balik jendela perpustakaan. Target mereka: Pak Dypram Mahessa.“Lihat deh, beliau lagi rapat, tapi...” bisik Laras sambil memegang kertas catatan operasi.“…beliau sering nengok ke HP, terus senyum-senyum sendiri,” tambah Putri.Adit menyipitkan mata. “Aku yakin, ada wanita misterius di balik senyuman itu.”Fino mengangguk bijak. “Bisa jadi... mantan cinta lama? Atau LDR? Atau janda beranak satu?”“Kenapa harus janda?” tanya Laras heran.“Drama lebih kuat,” jawab Fino mantap.Setelah Rapat – Koridor Sunyi, Lalu Tiba-Tiba...Pak Dypram keluar dari ruang rapat. HP-nya berdering. Ia menjawab sambil berjalan.“Iya... maaf, tadi masih rapat. Iya, hari Sabtu bisa. Nggak, aku nggak lupa. Aku udah simpan tanggalnya, kok.”Geng 5C menyandarkan diri ke dinding.“Catat. Hari Sabtu. Janjian,” ujar Laras.“Kayaknya bukan sama tukang servis AC, ya?” celetuk Putri.Adit memicingkan mata. “Mungkinkah... beliau punya kekasih?”“Dosa besar kalau kita nggak cari t
Saat Pulang SekolahLaras dan geng 5C sudah menyiapkan rencana tahap ketiga: Operasi Ngopi Berdua di Kantin.“Pak Taka suka kopi hitam. Bu Wisang suka teh tarik. Kalau kita bisa dudukin mereka di meja yang sama di kantin guru, terus tinggalin dua gelas itu di sana… BAM! Chemistry akan meledak!” ucap Laras penuh keyakinan seperti ahli strategi perang.Adit menyambar, “Tapi gimana caranya biar mereka duduk bareng tanpa curiga?”Putri mengangkat tangan, “Gampang. Suruh Pak Taka ke kantin buat ambil kue titipan anak-anak. Terus bilang ke Bu Wisang kalau ada guru yang mau konsultasi soal puisi di kantin.”---15 Menit Kemudian – Kantin GuruTaka masuk dengan langkah santai, dahi berkerut melihat ada teh tarik dan kopi hitam di meja kosong. Ia baru mau duduk saat—Wisang muncul dari pintu lain, juga tampak heran. “Pak Taka?”Mereka saling tatap. Lalu perlahan duduk.“Ini... ulah anak-anak lagi, ya?” ujar Wisang sambil tersenyum geli.Taka menyeruput kopi, pura-pura santai. “Mungkin. Tapi sa