Share

Bab 2

Perut Kallica terasa mulas sekali. Pertemuannya dengan Bara membuat semua isi perut gadis itu bergejolak. Rambut sudah acak-acakkan, matanya menyala marah dan penih kebencian. Gadis itu duduk melamun memikirkan nasibnya, entah apa yang akan terjadi dengan pekerjaan nanti, jika dia sering bertemu dengan Bara.

"Tunggu dulu, dia 'kan tidak mendengar suara dan juga tidak melihat wajahku," kata Kallica menenangkan hatinya, padahal sudah tidak karuan lagi.

"Sudah delapan tahun berlalu dan sudah banyak berubah. Gua juga tidak segendut dulu, tidak mungkin dia mengenaliku. Untung tadi menggenakan masker, kalau tidak habis sudah."

Kallica masih bertanya sendiri dan menjawab sendiri. Napasnya memburu antara takut atau ingin memukuli Bara.

Dia sangat panik bertemu dengan Bara yang notabene adalah  mantan teman sekelasnya. Pria itu selalu menindasnya dimanapun dan kapanpun ketika lelaki brengsek itu punya kesempatan. Pria arogan, sok kuasa yang selalu berlindung di balik harta kekayaan kakek dan papanya.

Pria manja yang tidak punya kelebihan apa pun. Pria buruk rupa yang beruntung lahir di keluarga yang berada. Pria yang sangat dibencinya baik di dunia ataupun di dunia lain.

Kallica benar benar membenci Bara dengan semua yang ada di tubuh pria itu. Jangan 'kan wajahnya, mendengar suara Bara saja sudah membuat asam lambungnya naik dan asmanya kambuh.

"Kebetulan saja si babon ada di sini. Karena setahuku keluarga lelaki jelek itu bukan pemilik Hotel melainkan rumah sakit."

Bergegas Kallica mengambil ponsel dan mulai berselancar dengan G****e. Dia memeriksa silisilah garis keturunan keluarga Bara. Gadis itu menemukan banyak artikel tentang keluarga pria menjengkel 'kan itu. Dalam pencariannya, informasi yang di terima selama ini benar adanya. Keluarga Bara memiliki rumah sakit yang besar dan cukup terkenal di kota tersebut.

Suara kecil Kallica membaca informasi dari Bara.

Dengan nada rendah, Kallica membaca secara detail setiap informasi."Raka memiliki putri bernama Andrea dan menikah dengan pebisnis bernama Azka. Azka memiliki Hotel-"

Tiba-tiba lidahnya kelu kembali, telinga Kallica berdenging keras,dan mulutnya hanya sampai sanggup membaca kata Hotel. Dia mencoba mengingat sekali ketika pak Egit yang pernah menyebut nama Azka.

Tubuh gadis itu teduduk di lantai kamar mandi. Dia tidak habis pikir berapa banyak hotel yang dia kirim surat lamaran dan sialnya hanya hotel ini yang memanggil Kallica untuk bekerja di sini. Kallica membasuh wajahnya untuk kesekian kali. Baju depan sudah basah akibat percikan air kran.Dia berharap ini semua hanya mimpi dan dengan cepat bangun dari mimpi buruk itu.

Menarik napas lalu membuangnya, Kallica melakukannya berkali kali agar hatinya tenang. Lalu, berjalan keluar toilet dengan perasaan campur-aduk dan mencari keberadaan bu Adek.

"Bu," sahut Kallica mengejutkan Bu Adek di meja kerjanya.

"Apakah yang tadi itu yang akan menggantikan pak Egit? Apakah pak Egit akan pensiun? Dia 'kan masih muda, kenapa pensiunnya cepat sekali. Pak Egit 'kan baik, kerjanya juga bagus. Kenapa harus digantikan oleh seseorang yang tidak berpengalaman. Lagipula di tangan pak Egit Hotel ini sangat berjaya," ucap Kallica dengan satu tarikan napas dan sedikit gemetar.

Bu Adek yang mendengarkan pun ikutan mengap. Kallica yang berbicara, dia yang sesak napas.

"Bernapas Kallica," kata Buk Adek geli.

"Saya hanya belum siap saja dapat bos yang baru, Bu. Kalau ada bos baru semuanya dimulai dari nol lagi kayak pom bensin. Belum lagi memahami karakternya, apa yang dia suka, melihat mood dan tensinya. Karena umur saya sudah lanjut, sulit bagi saya mengingat semua yang hal baru," tutur Kallica berceloteh tanpa memikirkan titik koma.

Bu Adek tidak bisa menyembunyikan rasa gelinya. Dia tahu bukan Kallica saja yang khawatir dengan penggantian pak Egit. Hampir semua karyawan juga sangat tidak ingin pak Egit tidak menjadi pimpinan mereka lagi di sini. Jika ada bos baru, maka akan sulit mengulang dari semua dari semula. Mereka sama khawatirnya dengan Kallica, karena mereka berpikir setiap orang pasti berbeda karakter dan berbeda peraturan.

"Kamu tenang saja! Pak Azka dan putranya yang bernama Ba-"

"Tidak perlu menyebutkan nama putranya, Bu. Jangan membuang energi ibu, lagipula kita juga tidak kenal dan dia juga tidak penting,"tandas Kallica menyela cepat demgan bola mata berputar.

"Baiklah, putranya itu memang akan menghandle salah satu hotel pak Azka. Dan beruntungnya bukan hotel ini, dia ke sini hanya perlu bimbingan dari pak Egit. Pak Azka memintanya belajar dari para senior,"ungkap bu Adek memberi penjelasan.

Nyawa Kallica terasa masuk kembali ke tubuhnya. Suasana hatinya yang jelek berubah penuh bahagia dan suka cita. Ingin rasanya dia bersorak gembira seperti orang kerasukan, atau ingin rasanya dia mentraktir semua OB dan OG yang bekerja di Hotel ini.

Mendegar Bara bukan di tempatkan di Hotel tempatnya bekerja. Kallica serasa sudah memakai keberuntunngannya seumur hidup.

"Syukurlah Tuhan! Terima kasih atas jawaban do'aku yang kau balas dengan cepat. Terima kasih Tuhan atas belas kasihMu kepadaku," kata Kallica dengan wajah penuh bahagia, membuat bu Adek tertawa kecil.

"Tapi menurut saya kalau pak Bara di sini juga tidak apa-apa. Bolehlah kita me-refresh mata," sela bu Adek mengedipkan mata ke arah Kallica.

Gadis itu sudah pasti tidak senang mendengar permintaan bu Adek.

"Jangan pedulikan tampang, Bu. Biasanya kalau pria ganteng itu hatinya busuk banyak belatung. Hatinya hitam sampai ke akar-akarnya."

Tidak lupa Kallica mengeluarkan jeritan hatinya untuk menjatuhkan Bara. Tidak ada sedikitpun kebaikan Bara terselip di hati Kallica yang paling dalam.

"Pak Azka orangnya baik 'loh.Pasti anak-anaknya di didik dengan baik juga. Lagipula pak Bara juga sangat tampan,"

Asam lambung Kallica mulai memberontak lagi. Entah kenapa respon tubuhnya akan buruk jika tersebut nama Bara di dekatnya, dia merasa mual dan juga muak.

Entahlah, gadis itu lupa bu Adek entah gadis yang urutan ke berapa yang tertipu oleh wajah pas-pasan Bara.

"Dilihat dari lobang WC se-ujung kuku pun pria 'babon' itu tidak ada gantengnya," gumam Kallica di dalam hati.

Mulutnya komat kamit seperti membaca mantra. Urat wajahnya terasa tegang, ubun-ubunnya berdenyut keras. Kenapa hidupnya harus bertemu dengan Bara manusia setengah siluman anjing itu.

"Tidak juga loh, Bu!"

Kallica tidak mau kalah, gadis itu berusaha tenang walau hatinya sudah menjerit kesal dan penuh dendam.

"Kebanyakan pria seperti itu hanya menumpang nama besar kedua orangtua mereka. Biasanya akan memiliki sifat arogan, sombong, tidak tahu diri, sok ganteng, sok pintar dan sok hebat. Yang jelas tata surya kejelekan berada di sekitaran otaknya yang tidak ada isinya itu,"cetus Kallica dengan penuh penekanan. Dia tidak mau kalah untuk menjelekan Bara.

Bahkan tanpa sadar Kallica menghentakkan tangan ke atas meja bu Adek sakingterbawa emosi ketika membayangkan Bara.

"Kok kamu bisa tahu?"tanya bu Adek penasaran.

"Saya banyak baca novel anak konglomerat memiliki sifat buruk. Walau berwajah malaikat tapi juga berhati iblis,"terang Kallica dengan satu tarikan napas.

Bahkan napas gadis itu sudah sesak hanya karena menerangkan dengan samar sifat Bara. Dia ingin sekali berteriak menyebutkan kejelekan Bara yang sudah di ujung mulutnya.

"Sudah sana, kembali bekerja. Doa kamu sudah dikabulkan. Pak Egit akan menua bersama kita di sini, dan pak Azka juga tidak berencana mengistirahatkan beliau. Terlebih kinerjanya sudah mantap."

"Alhamdulillah," gumam Kallica dengan penuh bahagia.

Gadis itu keluar dari ruangan bu Adek dengan wajah penuh kemenangan.

***

Bara memang tidak berniat ditempatkan oleh papanya di Ocean Atlantic Hotel. Karena hotel itu sudah sangat bagus di tangan orang kepercayaan papanya.

Jauh sebelum itu, Bara sudah diberikan pilihan baik oleh kedua orangtua bahkan juga dari kakek dan neneknya. Apakah dia akan menghandle rumah sakit milik Raka atau melanjutkan usaha milik Azka. Bara memilih melanjutkan usaha milik papanya sendiri. Itulah mengapa saat kuliah dia memilih jurusan bisnis dibanding kedokteran. Dia sama sekali tidak berniat menjadi dokter atau pun menjadi pemimpin.

"Kamu sudah menentukan hatimu dengan beberapa pilihan yang telah diperlihatkan oleh papamu, nak?"tanya Andrea saat mereka sedang makan malam bersama.

Bara mengunyah makanannya cepat Agar bisa menjawab pertanyaan mamanya dengan jelas.

Bara mengangguk." Sudah mam."

"Jadi kamu memilih yang mana?"tanya Azka kepada putranya.

"Bukankah papa sudah menentukan tempatnya. Aku hanya mengikuti keinginan papa saja, rasanya yang mana juga sama saja."

"Papa akan menghormati keputusanmu jika kamu mempunyai pilihan yang lain. Semua bisa di cari solusinya," gumam Azka tersenyum geli.

Andrea menyipitkan mata menatap curiga kepada suami dan putranya. Entah kenapa menurut perasaannya kedua pria yang begitu dia cintai sedang bermain mata.

Azka yang tersenyum penuh arti ketika berbicara dengan Bara, sedangkan Bara juga akan tersenyum kecil menjawab pertanyaan papanya.

"Ada yang kalian sembunyikan?Kenapa sepertinya ada tarik ulur diantara kamu dan Bara? Awas saja kalian bermain di belakangku!" seru Andrea penuh curiga.

Dia menyipitkan mata mencari tahu apa yang disembunyikan oleh suami dan putranya.

"Bukan 'kah kamu menginginkan putra kita bekerja di kantor yang tidak jauh dari rumah, agar kamu bisa mengontrol prilaku Bara,"tegas Azka mengingatkan Andrea tentang keinginannya.

Bara memutar bola mata, Mamanya selalu bersikap seperti itu, menganggap Bara masih kecil. Andrea selalu berusaha memata-matai apapun yang dilakukan pria itu.

"Rumah kita cukup besar, nak. Kalau kamu memilih tinggal di apartemen. Mama merasa kesepian, lagipula adikmu juga sudah tinggal bersama suaminya. Mama berharap kamu tidak tinggal berjauhan dengan kami. Kau tidak  kamu berikan saja  kami seorang cucu untuk  bisa bermain dan menemani mama mu ini."

Hampir saja Bara tersedak mendengar pemintaan wanita cinta pertamanya itu. Dia segera menelan makanan dan minum segelas air putih dengan satu tegukkan. Pria itu berdehem membersihkan tenggorokannya yang sedikit nyeri.

"Duhai mamaku, cinta pertamaku. Bisakah engkau bersabar terlebih dahulu, bukankah dirimu dan pangeranmu baru saja membebani putramu dengan pendidikan yang sungguh tidak menarik untuk diriku. Duhai ratuku, izinkanlah putramu yang malang ini menikmati hidupnya sendiri. Kalau mama membutuhkan cucu, aku bersedia mencarikan wanita yang mau mengandung anakku," ucap Bara datar tanpa bersalah.

"Kamu ingin menikah?"tanya Andrea penuh antusias dengan senyuman sumringah

Seketika Bara menyadari dan menyesali kesalahannya. Dia tahu keinginan terbesar mamanya adalah  membawakan menantu dan memberikan mereka sebanyak-banyaknya cucu. Hampir setiap hari Andrea akan membahas hal itu di hadapan Bara.

"Aku masih bisa membuahi wanita tanpa ada status pernikahan," ucap pria itu enteng.

Hampir saja satu buah apel mendarat lembut di kepala Bara. Andrea bersiap-siap melemparkan juga ke mulut Bara, dia tidak peduli jika putranya itu akan merintih kesakitan.

"Awas saja kalau kamu berani merusak anak gadis orang!"seru Andrea menggebu-gebu.

Azka menghampiri istrinya dan menyabarkan Andrea. Bara selalu mencari cara untuk mengerjai mamanya, putranya itu sering sekali menggoda Andrea.

"Kak Dev aja-"

Seketika Bara meralat sendiri ucapannya. "bukan kakak tapi paman Dev dong di suruh nikah. Masa harus ada keponakan lain yang melangkahi dia,"ungkap Bara agar dia terbebas dari pertanyaan seputar pernikahan.

"Dave begitu karena dia patah hati ditinggal nikah wanita yang dicintainya. Setidaknya Dave pernah membawa dan memperkenalkan seorang wanita kepada keluarga kita. Tapi kamu!" Jerit Andrea sengit dengan menunjuk Bara.

"Kamu sama sekali tidak pernah berhubungan serius. Bisa-bisanya mama mendengar kamu memiliki kekasih kalau tidak dari teman teman kami, yang pasti dari gosip yang beredar. Awas saja Bara! Mama tidak menerima mu membawa sembarangan wanita bertemu dengan mama."

"Sabar sayang,"ucap Azka membujuk

"Aduh papa berhentilah memperlihatkan keromantisan kalian di hadapanku. Papa melukai egoku," kata Bara berdiri dari duduknya.

"Mau kemana kamu, Bara?"tanya Andrea sedikit marah.

"Ke kamar mamaku sayang," ucap Bara lembut.

"Aku sedang mempersiapkan beberapa pekerjaan. Pekerjaan itu nantinya akan aku bawa ke kantor."

"Kamu sudah memilih dimana?"tanya Azka memastikan lagi.

Bara mengangguk mantap. "Di Ocean Atlantik Hotel agar mama tenang," kata Bara berlalu.

Dia tidak akan berlama-lama duduk di dekat kedua orangtuanya. Sebentar lagi, bukan saja memeluk, papa dan mamanya akan melakukan sesuatu yang lebih berani lagi. Mereka berdua  sengaja bermesraan di depan Bara supaya pria itu cepat membawakan menantu kepada mereka.

Dengan senyuman sinis yang terukir kecil di sudut bibirnya, pria itu berjalan menuju kamarnya.

"Pak Egit tolong persiapkan surat kontrak baru untuk semua karyawan," tegas Bara menghubungi pak Egit melalui ponsel.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status