Tidurlah! Aku akan mengantarmu pulang," kata Sakti menegakkan tubuh Rania.
Sesaat, Sakti terkejut saat dua tangan Rania mencengkeram t-shirt yang ia kenakan dan melumat bibirnya dengan mesra.
Hampir satu menit, Sakti membiarkan bibir Rania menguasai bibir miliknya. Kedua matanya tak mampu mengerjap. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa saat merasakan ciuman hangat dari bibir mungil milik asisten rumah tangganya itu.
"Sudahlah! Rasanya aku lelah," ucap Rania mulai tertidur pulas.
Lamunan Sakti buyar. Senyumnya mengembang saat mengingat kejadian yang tak terduga antara dirinya dan Rania.
"Heh, bagaimana bisa aku membiarkan dia menciumku," ucap Sakti melipat bibirnya. Terasa masih membekas jelas ia rasakan.
Matahari pagi mulai menampakkan cahayanya. Dengan wajah yang penuh semangat, om Hakim tak sabar ingin memberi kejutan pada putri tercinta.
"Kevin, kamu tak memberitahu Rania kan kalo om pulang hari ini?" tanya om Hakim mendongak menatap Kevin yang mendorong kursi rodanya.
"Tidak, Om. Kevin tak memberitahu Rania tentang semua ini," ucap Kevin tersenyum.
"Syukurlah!" jawab Om Hakim mengernyit heran melihat ada mobil mewah yang terparkir di depan rumahnya. Begitu juga dengan Kevin.
Jari jemari tangannya tak berhenti menatap ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih terlalu pagi jika untuk menerima tamu.
"Om, mobilnya siapa ini?" tunjuk Kevin menunjuk mobil sport yang terparkir di depan rumahnya.
"Om juga nggak tau." Om Hakim mengernyit heran. Ia juga bingung bagaimana bisa ada mobil di depan rumahnya.Padahal, dari dulu putrinya tak pernah mempunyai teman yang kaya raya, apalagi memiliki mobil mahal yang terparkir di depan rumahnya.
Apa Rania sekarang memiliki kenalan orang kaya? batin Kevin bertanya.
"Kevin, kita masuk saja! Siapa tau, Rania ada di dalam bersama temannya!" ucap Om Hakim yang seketika membuyarkan lamunannya.
"Iya, Om!" jawab Kevin melangkah mendorong kursi roda yang di tumpangi oleh om Hakim.
Ceklek
Om Hakim tersenyum senang. Hampir satu bulan lamanya, ia tak masuk dalam rumah yang merupakan tempat kenangan terindah dalam hidupnya.
"Duduklah, Vin! Kamu pasti capek semalaman menemani om. Om akan bangunkan Rania. Dia pasti masih tidur!" pinta Om Hakim mulai menjalankan kursi rodanya seorang diri.
"Iya, Om!"
Dengan senang dan penuh semangat, Om hakim mulai menggerakkan kursi rodanya menuju ke arah kamar sang putri. Ia membuka pintu kamar Rania yang tak pernah terkunci itu.
Ceklek
"Surprise ...." Senyum om Hakim memudar. Suara yang tadinya keras mendadak melemah melihat putrinya tertidur pulas dengan seorang lelaki. Matanya memicing, genggaman tangannya mengepal menahan emosi yang datang menghampiri.
"Rania!" teriak om Hakim.
Kevin menoleh. Dahinya mengernyit heran saat panggilan om Hakim terdengar begitu lantang. Senyumnya mengembang, ia tak berhenti menggelengkan kepala saat mendengar om hakim yang tak pernah berubah membangunkan sahabatnya itu.
"Sudah lama aku tak mendengar suara itu," gumam Kevin merebahkan tubuhnya di sofa. Getaran ponsel membuatnya terbangun dan bergegas keluar.
Dengan penuh amarah, om Hakim memicing menatap Sakti yang duduk di depannya.
"Siapa kamu? Bagaimana bisa kamu tidur dengan putri saya? Dasar bajingan!" ketus Om Hakim memicing.
"Maafkan saya! Tapi ...," kata Sakti terhenti.
"Diam kamu! Saya tak butuh penjelasan dari kamu. Yang saya butuhkan adalah pertanggungjawaban!" ketus Om Hakim.
Setengah jam kemudian, Rania terbangun dari tidurnya. Ia menggeliat dan mengernyit saat dirinya berada di tempat tidur miliknya.
Rania terbangun. Bibirnya merapat seraya melingkarkan kedua tangan di kedua lututnya.
"Perasaan semalam aku ...," kata Rania terkejut saat melihat ayahnya yang terlihat dari kamarnya yang sedikit terbuka.
Ayah? batin Rania bertanya. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa. Jari jemari tangannya tak berhenti mengusap kedua mata yang masih terasa sangat berat.
"Benar itu ayah?" gegas Rania turun dari tempat tidur. Sesaat, langkah kakinya terhenti saat ia teringat jika sang ayah masih berada di rumah sakit.
"Tapi, bagaimana mungkin? Ayah kan masih ...," kata Rania melangkah kembali. Bibirnya merapat dan mendongak di samping pintu kamarnya yang mulai terbuka lebar.
"Ayah," gegas Rania melangkah.
Rania terhenti. Dua matanya mengerling melihat sosok lelaki yang duduk tepat di depan ayahnya.
"Saya akan menikahinya!" Perkataan lelaki itu membuat Rania terperangah mendengarnya."Sekali lagi saya minta maaf!"
Rania melangkah dan terkejut saat lelaki itu adalah pak Sakti, atasannya sendiri.
"Pak Sakti? Kenapa bapak ada di sini? Dan bagaimana bisa pak Sakti berbicara pernikahan dengan ayah saya. Seolah-olah bapak seperti melamar saya," ucap Rania dengan santainya duduk di samping ayahnya."Ayah, bagaimana bisa ayah di rumah? Bukankah ayah seharusnya berada di rumah sakit?"
Rania terkejut ketika ayahnya melepas tangannya begitu saja. Terlihat dingin dan sangat menyimpan amarah yang terpendam.
"Seharusnya ayah yang tanya. Kenapa kalian bisa melakukan hal yang seharusnya tak kalian lakukan sebelum menikah?" Pertanyaan yang membuat Rania terperangah mendengarnya. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa. Kedua matanya beralih menatap pak Sakti yang terlihat santai dalam menyikapinya.
"Kapan kamu akan menikahi putri saya?" Pertanyaan ayah benar-benar membuat Rania bingung.
"Ayah, kenapa ayah ...," ucap Rania terhenti.
"Terserah Anda saja! Jika Anda menginginkannya sekarang, saya akan mengurusnya," tegas Sakti yang membuat Om Hakim terdiam akan kepastian yang keluar dari mulut Sakti.
Rania menoleh. Ia semakin tak percaya akan ucapan Sakti pada ayahnya.
***
Rania merebahkan tubuhnya. Kedua bola matanya tak berhenti menatap atap rumah yang berwarna putih sempurna. Bibirnya merapat. Tangannya mengepal seraya memukul pelan kening kepalanya. Mengingat sesuatu hal yang sama sekali tak ia ingat.
"Ayah benar- benar malu dengan tingkah laku kamu itu. Bagaimana bisa kamu tidur dengan atasan kamu itu di rumah kita? Untung saja tak ada warga yang tau. Jika semua orang tahu, mau taruh di mana muka ayah ini. Dan beruntungnya atasan kamu itu mau bertanggungjawab!" Perkataan ayah seketika membangkitkan tubuh Rania.
"Apa iya aku tidur dengan pak Sakti?" tanya Rania mengernyit.
"Apa kamu tak ingat sedikitpun tentang apa yang kita lakukan semalam? Jika kamu tak mengingatnya, biarlah saya yang menyimpannya seorang diri. Dan mulai besok, persiapkan diri kamu untuk menikah dengan saya!"
Rania seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Perkataan Sakti benar-benar membuatnya penasaran dengan apa yang telah terjadi.
"Tidur dengannya? Menyimpannya seorang diri?" tanya Rania berpikir mencerna perkataan ayah dan atasannya itu.
"Apa iya aku melakukannya sama dia?" Rania memegang tubuhnya. Tubuhnya seketika meremang saat membayangkan atasannya menjamah tubuh mungilnya itu.
Di kantor, Mike terperangah dan terkejut dengan perintah Sakti kepadanya. Sebuah perintah yang tidak termasuk dalam pekerjaannya.
"Siapa yang akan menikah? Kenapa kamu sibuk mengurusnya?" tanya Mike penasaran.
Sakti meletakkan ponselnya. Ia mendongak menatap sahabatnya yang menanti jawaban darinya.
"Aku!" jawab Sakti yang seketika mengejutkan Mike.
"What?"
Clara terkejut. Lentik indah bulu matanya tak berhenti mengerjap saat suara Kevin terdengar olehnya. Ia menoleh. Dan TUARRTamparan keras melesat tepat di pipi kanannya."Dasar wanita sialan!" ketus ibu Mega yang terlihat marah dengan Clara.Kevin dan Mike tercengang di buatnya."Kakak!" ucap Clara seraya memegang pipi kanannya. Sungguh, terasa sangat sakit dan membekas tamparaan keras tersebut."Kakak?" tanya Mike mengerutkan keningnya. Ia seakan tak percaya jika ibu Mega adalah kakak kandungnya Clara."Bagaimana bisa kamu melakukan semua ini? Kamu tau? Rumah ini adalah kenangan kita bersama ayah dan ibu. Dan bisa-bisanya kamu menjual tanpa ijin terlebih dulu padaku. Apa kamu sudah tak menganggap kakak lagi!" ketus ibu mega meluapkan rasa amarah yang tertahan. Clara terdiam. Bibirnya bergetar mengimbangi rasa sakit hati yang masih membekas di hati."Maafkan aku, Kak. Aku terpaksa menjualnya. Aku tak mau aku berhutang budi dengan lelaki yang sudah menjadi milik orang lain. Sudah cu
"Sebentar lagi, sebentar lagi kehidupanmu akan berubah, Rania Agatha! Dan aku pastikan mereka tak akan mau dengan wanita sepertimu!" ucap Clara begitu senang bukan main.Rania terdiam. Sungguh, ia sangat bingung akan perkataan yang terlontar dari mulut Clara. Tegakan salivanya mengalir dengan paksa. Terasa sangat kering dan sakit. "Bersiaplah!" gegas Clara mulai pergi meninggalkan rania seorang diri di kamar.Rania menghela nafas berat. Dua bola manik matanya tak berhenti menatap ke arah Clara yang mulai pergi meninggalkannya. Akan tetapi, Rania mengerling saat Clara berjabat tangan dengan lelaki paruh baya yang terlihat begitu menyeramkan."Aku tak bisa bayangkan, bagaimana ekspresi sakti setelah orang yang ia cintai telah di peristri oleh orang lain. Hah, sudah pasti dia akan menjadi gila!" Perkataan Clara seketika mengingatkan rania.'Kurang ajar! Bisa-bisanya dia ingin menjualku." Rania menggigit bibir bawahnya menahan rasa amarah yang tertahan saat melihat Clara tersenyum senang
"Kamu nggak usah ke sana! Biar aku yang mengurusnya!" ucap Mike."Jangan melarangku! Katakan! Di mana dan siapa yang membawa istriku pergi?" tegas Sakti meluapkan rasa amarahnya."Clara! Tadi clara menghubungiku dan dia tau di mana Rania berada," tutur Mike menjelaskan."Lalu, kamu percaya dengan kata-katanya?" tanya Sakti yang tak mendengar bantahan dari sahabatnya itu. "Yang aku butuhkan saat ini adalah informasi yang akurat dari plat nomor mobil yang aku kirimkan padamu itu. Cari sekarang!"Sakti segera mematikan ponselnya. Ia mendesah sebal saat Mike tak melakukan apa yang ia minta."Bagaimana bisa dia mengabaikan perintahku yang sangat penting ini?" keluh Sakti menegak salivanya dengan paksa. Untuk kali pertama, Mike tak secepat kilat seperti biasanya. Biasanya, di saat sakti selalu memberikan perintah, tak butuh waktu lama mike menyelesaikannya. Sangat berbeda dengan perintah kali ini. Padahal, perintah kali ini sangat berharga bagi Sakti. Bahkan melebihi nyawanya.Di kantor, M
Rania terjatuh tak sadarkan diri."Bawa dia masuk!" perintah seseorang yang membuat Rania pingsan karenanya.Sedangkan, Sakti bingung mencari keberadaan Rania yang tak ada di restoran.'Apa dia sudah pulang ke rumah?' batin Sakti bertanya. Dengan cepat, ia mengambil ponselnya dan segera menghubungi sopir yang sudah ia tugaskan untuk mengantar sang istri pergi."Halo, Pak! Di mana sekarang?" tanya Sakti memastikan.Sesaat, kedua bola matanya mengerling mengimbangi tegakan salivanya yang mengalir begitu saja. Bibirnya merapat seraya berpikir kemana sang istri pergi."Hubungi yang lain. Dan segera hubungi saya jika sudah menemukan ibu Rania!" Perintah Sakti menutup teleponnya.Alisnya bertaut. Kedua tangannya menopang di pinggang sembari mengamati tempat duduk yang memperlihatkan sesuatu yang tidak asing baginya.Dengan cepat, ia mulai melangkah. Dua bola matanya tak berhenti menatap ke arah pesanan yang sama persis dengan permintaannya pada Rania. "Minumannya masih utuh. Apa mungkin di
"Siapa wanita itu? Bisa-bisanya memanggil suamiku dengan sebutan 'Say'? Dan dia juga, kenapa dia berbicara terang-terangan menjawab pertanyaan wanita itu di depanku?"Bibir ranum rania memanyun. Rasa bahagia dan semangat yang membara perlahan mulai memudar saat rasa cemburu mulai menguasai dirinya."Setelah aku memberikan semua kepadanya, bisa-bisanya dia mempermainkan perasaanku? Hah," keluh Rania melempar dua baju yang ada di tangannya.Di kantor, Sakti berjalan menghampiri Bu Mega, manager keuangan yang usianya lebih tua darinya. Sakti sudah menganggap Bu Mega seperti ibunya sendiri. Tak heran jika mereka begitu akrab. Layaknya ibu dan anak."Semuanya sudah beres, ibu tinggal membenahi selisih keuangannya saja!" tunjuk Sakti ke arah laporan yang di pegang oleh bu Mega."Jadi, hari ini ibu harus lembur, dong?" tanya Ibu Mega memastikan."Heem. Bukankah ibu tak pernah salah dalam berhitung? Tapi, kenapa laporan ini banyak kesalahan?" cecar Sakti yang menatap wanita paruh baya yang du
Tak seharusnya kamu menyuruhku ke sini melihat keromantisan kalian!" Lirih mike dengan tatapan sinis.Sakti menyeringai. Ia tak habis pikir, Mike sudah datang membawa makanan yang ia pesan."Letakkan saja di meja dan kamu ...," kata Sakti terhenti."Masih belum kelar?" tanya Mike berjalan ke arah meja kerja Sakti yang masih sama seperti waktu ia pulang kerja. Laporan menumpuk dan tak ada kegiatan laptop untuk melakukan pekerjaan.'Hah! Pasti dia menyuruhku ke sini untuk lembur. Dan sudah pasti, dia akan beralasan mengantar pulang rania,' gumam batin Mike melirik sahabatnya yang masih sibuk dengan benda layar pipih yang menempel di telinga."Baik, Pak. Sebelum jam dua belas, saya akan mengirimkan file-nya!" Perkataan Sakti yang membuat Mike mendesah sebal dan sudah sangat bisa di tebak, dia akan lembur seorang diri.'Dasar sahabat laknat! Dia tak tau apa, seharian aku tak istirahat karenanya!' gerutu batin Mike membanting tubuhnya tepat di kursi putar milik sahabatnya itu."Pulanglah!