Gita tiba di restoran sepuluh menit lebih awal dan menunggu di ruang VIP. Jujur saja Gita merasa sedikit gugup. Dirinya sudah mempersiapkan mental untuk hari ini, tapi tetap saja tidak semudah itu. Dia juga sudah berusaha sedikit berdandan. Bahkan menggunakan dress, juga menata rambutnya yang sudah sedada. Tapi, semua itu tidak bisa menutupi kegugupannya. "Kau bisa melakukan ini, Ta." Gita berusaha menyemangati dirinya. "Ini udah benar, Ta. Kau memang harus memberitahu Alan soal ini." Gita mengangguk pelan. Gita memainkan ponselnya melihat pesan yang tadi dikirimkannya pada Alan. Tidak ada balasan sama sekali, tapi sudah dibaca. Gita menghela napas dan memilih untuk melamun saja. Setelah lima belas menit menunggu, akhirnya Gita mendengar pintu ruang VIP terbuka. Lebih cepat dari perkiraan Gita. Pandangan Gita langsung tertumbuk pada sosok Alan yang terlihat sedikit lelah. Dan itu membuat Gita makin tegang saja. Soalnya Gita tidak pernah melakukan hal yang seperti ini. Namun seteg
"Bee?" panggil Alan untuk yang kesekian kalinya."Apaan sih Als? Dari tadi manggil melulu?" tanya Gita kesal.Mereka saat ini sudah di rumah. Lebih tepatnya sedang duduk santai sambil menyandar di headboard. Sebelah tangan Alan memeluk Gita dan sebelahnya lagi memegang foto hasil USG."Ini benaran kan? Aku gak lagi di prank kan? Aku gak lagi mimpi kan?" tanya Alan entah untuk yang keberapa kalinya sejak dari restoran."Auw," tiba-tiba Alan berteriak. "Kok dicubit sih, Bee?" Alan bertanya sambil mengelus perutnya yang terkena cubitan maut."Sakit kan?" tanya Gita dengan ekspresi menghina. "Itu artinya ini bukan mimpi, Als. Bukan juga prank.""Aku kan cuma memastikan, Bee. Soalnya si Eza kan suka bikin prank ginian. Sudah itu belakangan ini aku ngerasa di prank tahu gak.""Maksudnya?" tanya Gita bingung."Kelakuan kamu belakangan ini selalu bikin aku negatif thinking. Belum lagi yang di bilang Jason dan Mbah Google."Gita beranjak dari posisi nyamannya di pelukan Alan dan menatap suamin
Alex dan Julie mengernyit bingung ketika tiba-tiba anak dan menantunya datang membawa dua koper besar. Apalagi hari masih sangat pagi."Ini kok bawa koper ya?" tanya Julie menyambut dua orang itu."Kami bakal tinggal di sini untuk sementara," gerutu Gita dengan nada kesal yang tidak ditutupi.Gita melenggang masuk ke dalam rumah begitu saja. Tadinya dia ingin membantu Alan, tapi suaminya melarang. Bahkan sekarang Gita dilarang pakai celana, katanya harus pakai dress biar si kakak gak sesak. Apa hubungannya coba?"Kalian tidak sedang bertengkar lagi kan?" tanya Alex curiga."Gak kok, Dad. Aku cuma gak mau tinggalin Gita sendirian di rumah selama kerja. Kalau di sini kan banyak yang jagaiin," jawab Alan santai."Ck, tapi nyebelin banget tahu gak. Aku gak perlu diawasin dua puluh empat jam juga kali," sergah Gita kesal."You must," jawab Alan tegas. Pria berkacamata itu menyerahkan urusan koper kepada para pelayan."Itu namanya kamu kurung aku , Als. Aku jadi gak bebas tahu ga sih?" Gita
Ini benar-benar sangat memalukan bagi Gita. Benar-benar memalukan. Gita hanya ingin pergi periksa kandungan berdua dengan suaminya, tapi yang ikut malah satu RT. Kalau Ayah Anton dan Ibu Fika sih masih bisa dimaklumi. Anak Alan dan Gita adalah cucu pertama mereka, tapi Alex dan Julie? Dua orang itu sudah punya satu cucu perempuan kandung dan satu cucu laki-laki angkat. Lalu mereka masih senorak itu? Gita tidak tahu harus bersyukur atau tidak ketika mendapati ruang tunggu pasien terlihat sedikit sepi. Harusnya sih Gita bersyukur, tapi tetap saja masih ada beberapa pasien yang menunggu di sana. Rasanya Gita ingin menenggelamkan diri di samudra Hindia."Ibu Gita Bramantara," seorang perawat memanggil nama Gita, membuatnya sedikit tersentak. Gita mengembuskan napas pelan begitu melihat semua dayang-dayangnya ikut berdiri. Haruskah seperti ini? "Ehm, maaf. Apakah semuanya mau ikut masuk?" Si perawat bertanya dengan canggung. Biar bagaimana pun yang dihadapinya ini salah satu pemilik ru
"Kamu yakin gak mau makan apa-apa, Bee?" tanya Alan sambil merapikan anakan rambut Gita. "Sekarang sih belum mau apa-apa. Gak tahu deh kalau sebentar." Gita mengedikkan bahu dengan malas. Sepasang suami istri ini baru saja kembali dari pemeriksaan kandungan untuk kesekian kalinya, karena potensi untuk mengalami keguguran dan kelainan pada bayi lebih tinggi pada Gita. Dokter menyarankan untuk kontrol tiap bulan. Sekarang pun kehamilan Gita sudah mau menuju enam bulan. Menurut dokter perkemabangan si kakak sangat bagus. Hanya saja ibunya masih perlu tambah berat badan sedikit lagi. Gita sih tidak keberatan tambah berat, tapi sebanyak apa pun yang di makan beratnya tidak bertambah. Selama hamil ini, Gita baru bertambah berat sebanyak empat kilo. Padahal biasanya ibu hamil lain sudah melebihi lima kilo. Untungnya saja berat badan 'Kakak' dinyatakan normal. "Als. Kayaknya pengen makan ayam goreng saja deh." Gita yang melihat logo makanan cepat saji itu, tiba-tiba ingin makan ayam
"Permisi, ada yang pesan rujak atas nama Alan?" seorang pengemudi ojek online terlihat celingukan di kantor polisi. "Oh, di sini Pak." Gita melambaikan tangannya dengan riang. Abang ojol berjaket hijau itu menghampiri Gita dan memberikan kantongan kecil dengan takut-takut, karena dipelototi pak polisi. Sementara Gita mengambilnya dengan hati riang. "Als,jangan lupa kasih bintang dan tip." Gita segera menoleh pada suaminya itu dan hanya dijawab dengan deheman pelan. "Maaf ya Pak. Bumil mau makan dulu," Gita tersenyum manis pada pak polisi di depannya. "Gak usah tebar-tebar senyum, Bee. Makan saja." Alan protes dan menggeram kesal. Tak perlu diperintah juga, Gita langgsung membuka bungkusan rujak yang tadi dipesankan Alan. Tentu saja isi rujaknya sebagian besar adalah mangga muda. "Jadi, bisa kita lanjut lagi?" tanya pak polisi yang duduk di depan Alan. "'Sudah saya bilang dari tadi, Pak. Bocah-bocah itu menghina istri saya, bahkan berniat membawa istri saya yang sedang hamil e
"Als?" Gita memanggil Alan yang masih tertidur pulas. Alan yang selalu jadi suami siaga pun langsung terbangun. "Kenapa, Bee?" tanya Alan dengan mata setengah tertutup. "Anu, tadi perutku sempat sakit, tapi sekarang sudah gak lagi sih," jawab Gita bingung. "Bagian mana yang sakit?" Rasa kantuk yang tersisa langsung hilang begitu saja, begitu mendengar keluhan Gita. "Di sini," Gita memegang perut bagian bawahnya. "Sakit mau melahirkan?" tanya Alan mulai terlihat panik. "Aku juga gak tau, Als. Sepertinya sih bukan. Soalnya ini sudah gak sakit lagi dan sakitnya masih bisa aku tahan." Alan mengelus perut buncit Gita yang sudah terlihat seperti balon yang siap pecah. Sebenarnya Gita masih khawatir, tapi rasa sakitnya sudah hilang dan juga tidak enak kalau harus membangunkan Mom. "Kalau gitu kamu tidur saja dulu ya, Bee. Ini baru jam lima pagi." Alan memberi saran ketika sudah yakin istrinya tidak apa-apa. Gita juga setuju dengan saran itu dan membaringkan diri dalam pelukan Ala
"Mom, waktu melahirkan sakitnya gimana sih?" tanya Gita sambil berbaring manja pada Julie. "Kenapa? Takut ya?" tanya Julie dengan lembut. "Hm, sedikit." Gita mengangguk pelan. "Aku juga mau sekalian persiapan saja sih, Mom. Supaya pas kontraksi asli aku gak salah lagi kayak kemarin." "Oh iya, kemarin kamu sempat kontraksi palsu kan?" Gita tidak memberi jawaban verbal dan hanya mengangguk pelan. Dikehamilan Gita yang sudah di minggu ke tiga puluh empat, dia menjadi makin malas. Yang ingin dikerjakannya hanyalah makan, tidur dan bermanja-manja. Tapi walau banyak makan dan tidur, nyatanya berat Gita tidak naik terlalu signifikan. Sampai saat ini hanya naik delapan kilo. Orang lain yang mendengar itu iri setengah mati dengan Gita. Bahkan Eza sekalipun, marah-marah dan memaki ketika mendengar berat badan Gita cuma naik delapan kilo. Sementara Eza sendiri dengan tiga anak di dalam perut, naik nyaris dua puluh kilo. "Kalau dari kata dokter sih, sakitnya itu kira-kira lima men