Erika menghela nafas lega, ia menatap punggung orang itu yang sudah berjalan menuju ke kamarnya. "Tumben mas Jimmy pulang kemari?" gumam Erika penuh tanya. "Semoga saja ini bukan pertanda buruk untukku."
Bagi Erika bisa melihat lelaki itu di apartemen ini sungguh kejadian yang sangat langka. Saat baru saja ingin melangkah keluar dari kamar, Erika kembali mencium aroma pewangi yang membuatnya merasa mual. Ia berlari masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Perutnya terasa campur aduk tak karuan, bahkan karena hal itu semua isi di dalam perutnya terkuras habis keluar.
Ia menyiram bekas muntahannya di dalam closet, kemudian Erika berjalan menuju ke wastafel untuk membasuh wajahnya. "Kenapa sih ini? Nggak biasanya aku kayak gini." gumam Erika yang merasa aneh dengan dirinya sendiri. Ia pun membuka sebuah laci yang memang biasa ia pakai untuk menyimpan masker dan benda kecil lainnya, seperti kaos kaki dan lain-lain.
Setelah mengenakan masker, ia keluar kamar membuatkan makanan untuk Jimmy. Kelebihan Erika yang lain adalah, ia sangat pandai memasak. Bahkan masakannya bisa di sandingkan dengan masakan koki restoran mewah sekalipun.
Beberapa hidangan sudah siap di meja makan. Capcay, ikan saus pedas, cumi goreng tepung, dan tak lupa kerupuk sebagai pelengkap. Erika membersihkan dapur yang sedikit berantakan. Setelah selesai ia berniat untuk kembali ke kamarnya melanjutkan ketikan bab novelnya.
"Kamu mau kemana? Temani aku makan!" ucap Jimmy tiba-tiba yang sudah terlihat fresh setelah keluar dari kamarnya dengan nada memerintah.
Erika melihat ke sumber suara. "Iya." jawabnya singkat. Lalu ia kembali berjalan menuju ke meja makan.
"Kamu sakit?" tanya Jimmy yang kini sudah duduk di kursi.
"Eng-enggak,"
"Kenapa pakai masker?"
"Tadi bersin-bersin terus, jadi aku memakai masker, mas. Mungkin ini gejala flu." jawab Erika yang tangannya cekatan mengambilkan nasi dan lauk untuk Jimmy. Sebenarnya ia tak bermaksud berbohong, tapi hubungan antara dirinya dan Jimmy yang seperti ada sekat pembatas. Membuat Erika lebih memilih untuk tidak mengatakan yang sebenarnya. Karena Erika sendiri juga tidak tahu apa yang terjadi dengan tubuhnya.
"Oh, kalau sakit pergilah berobat. Jangan sampai Mama menceramahiku karena hal kecil seperti ini." ucap Jimmy seolah tak peduli dan tidak ingin di salahkan jika sesuatu terjadi pada Erika nantinya. Ia selalu memakai alasan 'Mama' jika ingin menunjukkan perhatian kepada Erika.
"I-iya." jawab Erika singkat.
Jimmy mulai memakan makanannya, sedangkan Erika hanya duduk diam menemani Jimmy. 'Sudah lama mas Jimmy tidak pernah kemari semenjak kejadian itu. Tapi kenapa hari ini dia datang? Apa ada hal penting yang ingin ia bicarakan denganku?' batin Erika sambil menatap Jimmy tak berkedip.
"Ehem ... Jangan menatapku seperti itu, aku tak akan tergoda lagi olehmu." ucap Jimmy memberi peringatan.
Erika segera mengalihkan pandangan matanya ke arah lain. Wajahnya terlihat malu karena kepergok memandangi Jimmy. Padahal bukan niatnya untuk menggoda Jimmy, namun perkataan Jimmy membuatnya tersadar. Jika ia tak boleh terlalu banyak berharap pada lelaki di hadapannya itu. Tidak boleh memiliki perasaan yang lebih pada lelaki itu, begitulah arti dari perkataan Jimmy yang sebenarnya.
"Kenapa kamu tidak makan?" tanya Jimmy.
"Tadi sudah makan, mas." jawab Erika.
Tak ada lagi percakapan selanjutnya yang terjadi. Saat ini mereka lebih asik dengan pikirannya sendiri-sendiri. Setelah selesai makan, Jimmy beranjak dari kursi dan meninggalkan Erika yang bersiap untuk mengemasi meja makan.
"Huft, wajah dinginnya sungguh sangat menakutkan." gumam Erika sambil mencuci piring kotor di depan wastafel yang ada di dapur.
Erika kembali masuk ke dalam kamarnya setelah menyelesaikan semua pekerjaannya. Ia sudah tak sabar melanjutkan ketikannya untuk update novelnya malam ini. "Semangat Erika! Semangat!" ucap Erika sambil mengepalkan tangannya ke atas, menyemangati dirinya sendiri.
Sebenarnya dulu Jimmy adalah pribadi yang hangat dan sangat perhatian kepada Erika. Tapi setelah peristiwa dua bulan lalu membuatnya berubah. Sikapnya menjadi dingin saat bersama Erika.
Flashback ...
Jimmy yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya mengakuisisi sebuah hotel bernama hotel Winston, ia memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama dengan Erika untuk beberapa hari. Anggap saja ini liburan panjang dari rutinitasnya mengelola perusahaan. Apalagi Mamanya sangat antusias dengan kabar honeymoon yang akan mereka jalani.
"Apa kamu suka?" tanya Jimmy saat mereka memilih Bali sebagai tujuan untuk berbulan madu setelah sebulan usia pernikahan mereka. Karena kesibukan Jimmy yang sangat padat, membuat acara honeymoon itu tertunda. Bukan hanya honeymoon, tapi resepsi pernikahan mereka yang telah di jadwalkan, juga di tunda sementara waktu. Sampai masalah akuisisi hotel Winston selesai.
"Suka mas, sangat suka." jawab Erika menganggukkan kepalanya, dengan wajah terlihat bahagia.
Jimmy memeluk Erika dari belakang, menempelkan kepalanya di pundak Erika. "Syukurlah jika kamu menyukainya, sayang." ucap Jimmy. Lalu ia memberikan kecupan kecil di sekitar leher jenjang Erika, membuat tubuh Erika seketika meremang dan tegang di saat bersamaan.
Jimmy melihat sekilas ekspresi sang istri yang sudah memerah akibat ulahnya. Dengan perlahan Jimmy memutar tubuh Erika supaya bisa berhadapan dengannya. Tangannya membelai pipi Erika, kemudian menyelipkan anak rambut yang menempel di pipi Erika ke belakang telinganya.
"Kamu hari ini terlihat begitu cantik, sayang." ucap Jimmy berbisik di telinga Erika. Dengan tersenyum malu Erika menoleh ke arah Jimmy yang begitu dekat dengannya.
"Sejak kapan mas pandai merayu seperti ini?" tanya Erika yang tidak percaya dengan pendengarannya itu.
Jimmy hanya tersenyum menanggapi ucapan Erika, lalu ia mendekatkan wajahnya ke arah Erika. Ia mengecup sekilas bibir berwarna merah muda itu dengan lembut. Kecupan sekilas itu justru membuat Erika semakin malu dan juga semakin membuat jantungnya berdetak kencang.
Jimmy mengeratkan pelukannya, "Mulai hari ini, kamu akan terbiasa dengan itu semua, sayang." ucap Jimmy yang semakin mengikis jarak di antara keduanya. Ia mulai menelusupkan wajahnya di antara ceruk leher Erika. Memberikan kecupan-kecupan kecil di sana.
Mendapat serangan dadakan dari suaminya membuat Erika merasakan suatu sensasi berbeda. Perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tubuhnya panas dingin disaat bersamaan, menimbulkan hasrat terpendam dalam dirinya seperti tak dapat ia kendalikan.
Kecupan kecil yang Jimmy berikan semakin liar dan menuntut, tangannya juga tak kalah aktif dengan bibirnya yang sudah memberikan tanda merah di sekitar leher jenjang Erika. Sehingga membuat Erika melenguh tanpa sadar.
Mendengar lenguhan Erika, membuat Jimmy semakin liar. Ia mencium bibir Erika dengan rakus, menuntut balasan yang memang sudah semestinya ia dapatkan. Saling mencecap, saling menghisap bahkan saling melumat satu sama lain itulah yang saat ini sedang terjadi. Keduanya larut dalam kabut gairah yang seakan tak bertepi.
Nikmat? Sudah jelas. Menginginkan lebih? Pasti. Itulah yang keduanya inginkan di saat seperti ini. Dan entah sejak kapan kini keduanya sudah tak lagi memakai pakaian sehelai benangpun. Keduanya seperti sedang mencari kenikmatan yang tiada duanya di dunia ini.
"Apakah kamu sudah siap, sayang?" tanya Jimmy yang telah berada di atas tubuh Erika. Dan sudah memposisikan dirinya untuk puncak dari pertempurannya kali ini.
Tak ada jawaban dari bibir Erika, hanya senyuman diiringi anggukan yang ia berikan. Jimmy yang sudah di liputi kabut gairah menyambut isyarat dari Erika dengan perasaan bahagia.
'Ini?' Batin Jimmy saat penyatuan itu terjadi. Wajah bahagianya tiba-tiba saja menguap. Sorot matanya tiba-tiba gelap seperti menahan rasa amarah dan kecewa.
Setelah menyelesaikan pergulatan panasnya, Jimmy menatap tajam ke arah Erika yang masih terkulai lemas di bawah tubuhnya. Ia kemudian beranjak dari kasur menuju ke kamar mandi dan meninggalkan Erika tanpa sepatah katapun. Dan tentu saja hal itu membuat Erika bingung. Ada apa sebenarnya dengan suaminya? Kenapa sepertinya Jimmy sedang marah padanya?
Bersambung ...
Setelah menyelesaikan pergulatan panasnya, Jimmy menatap tajam ke arah Erika yang masih terkulai lemas di bawah tubuhnya. Ia kemudian beranjak dari kasur menuju ke kamar mandi dan meninggalkan Erika tanpa sepatah katapun. Dan tentu saja hal itu membuat Erika bingung. Ada apa sebenarnya dengan suaminya? Kenapa sepertinya Jimmy sedang marah padanya?Tak ingin berpikir yang tidak-tidak, Erika yang merasa lelah hanya bisa tersenyum bahagia setelah memberikan kepuasan kepada sang suami. Bagi Erika kebahagiaan yang selama ini ia idamkan telah tercapai. Seniornya di kampus yang sangat ia kagumi, saat ini telah berganti status menjadi suaminya. Bahkan saat ini mereka sedang menikmati indahnya bulan madu di pulau Dewata Bali.Pagi ini Erika yang baru bangun dari tidurnya, tak menemukan keberadaan Jimmy di sampingnya. Dan Erika merasa ini sedikit aneh, padahal baru kemarin mereka sangat menikmati pergulatan panas di ranjang kamar hotel mewah ini. Tapi
Erika menghela napas sebelum melangkahkan kakinya memasuki hotel Winston. Seakan memasuki lobi hotel Winston adalah beban berat yang harus ia tanggung sendirian. Doanya hanya satu, semoga tidak ada yang mengenalinya setelah ia sampai di dalam lobi hotel. Dengan perasan berat hati, Erika mulai melangkah menginjak anak tangga di depannya menuju ke dalam lobi hotel.Sesampainya di depan resepsionis, Erika menanyakan dimana letak kantor manager hotel. Setelah mendapat jawaban, Erika melangkah menuju ke arah lift."Bukankah wanita itu yang pernah keluar dari kamar 919? Nggak nyangka ya, tampilannya seperti masih polos, tapi doyan juga tidur sama bos-bos kaya.""Ssttt ... Asal ada duitnya semua pekerjaan pasti di anggap halal."Samar-samar Erika mendengar resepsionis itu menggunjingkan dirinya. Rasanya begitu sesak di dalam dadanya. Erika menengadahkan kepalanya ke atas untuk mencegah supaya air matanya tak keluar di saat seperti ini.Erika h
"Hey, apa yang sedang kamu lakukan!" teriak seseorang yang baru saja memasuki ruangan itu. Kemudian ia menarik tubuh Hendrik dari belakang dan memberikan bogem mentah kepadanya.Hendrik terhuyung dan terjatuh ke lantai, darah segar mengalir di sudut bibirnya. "Kamu siapa?! Berani-beraninya mengganggu kesenanganku!!" Teriak Hendrik setelah mengusap darah segar di sudut bibirnya.Lelaki itu tak memberikan jawaban, ia melepaskan jasnya dan menutupi tubuh Erika yang sudah terlihat berantakan. "Pergilah! Biar dia menjadi urusanku." Ucap lelaki itu menyuruh Erika pergi."Terimakasih." ucap Erika pelan. Kemudian ia mengambil tas dan dokumen yang ada di atas meja lalu berlari keluar sambil menangis.Sungguh hari ini adalah hari paling buruk dalam hidupnya. Erika berlari sambil tertunduk, ia tak peduli dengan pandangan para karyawan hotel terhadapnya. Yang ia inginkan adalah segera keluar dari hotel sialan ini.Dan untuk Hendri
Sinar matahari pagi mulai memasuki celah kamar Erika, tapi wanita itu terlihat masih malas untuk sekedar keluar dari kamarnya walau pun ia sudah terbangun dari tidurnya. Pipinya masih terasa sedikit nyeri. Kejadian percobaan perkosaan yang ia alami kemarin, membuat Erika memilih mengurung diri di kamarnya.Untung saja ada pemuda yang entah dari mana datangnya itu, menyelamatkan dirinya dari perbuatan bejat Hendrik. Kalau tidak? Entah apa yang akan terjadi pada Erika.Akibat perut yang berbunyi untuk meminta asupan makanan, Erika terpaksa beranjak dari kasurnya. Setelah mencuci muka terlebih dahulu, ia pun memakai masker keluar dari kamarnya.Walaupun Erika sudah mengganti pewangi ruangan dengan aroma yang lebih lembut, tapi tetap saja terkadang Erika merasa mual tanpa sebab. "Auw, pipiku ternyata masih sedikit nyeri. Sebaiknya aku kompres lagi dengan es batu, supaya mengurangi bengkak dan rasa sakitnya." Gumam Erika saat merasakan nyeri di pipi
Seminggu sudah kejadian itu berlalu. Karena kesalahpahaman, membuat hubungan Jimmy dan Erika menjadi semakin dingin dan renggang. Beberapa kali Jimmy sengaja membawa Monika ke kantor dengan maksud supaya Erika tahu jika dirinya juga bisa melakukan hal yang sama seperti yang Erika lakukan (pergi dengan lelaki lain) pikir Jimmy.Bahkan Jimmy juga membawa Monika ke beberapa pertemuan bisnis yang di hadiri olehnya. Ketika berpapasan dengan Erika, sikap Jimmy seakan tidak mengenal atau bahkan tidak menganggap akan keberadaan Erika.Jimmy tidak memberi kesempatan kepada Erika menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Hati Jimmy seakan telah membeku, telinganya seakan menjadi tuli. Bahkan selama seminggu itu juga Jimmy tidak pernah pulang ke apartemen.Sebagai seorang istri, tentu saja Erika merasa sangat sedih di perlakukan seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi? Mungkin itulah resiko mempunyai suami yang sangat kaya raya dan terkenal. Sehingga bisa memperlakuka
Jimmy yang masih berkutat dengan komputer di depannya di kejutkan dengan kedatangan Allan. Walau sebelumnya Allan sudah memberikan kabar jika akan datang ke kantor Adhinata Group, tapi Jimmy tak menyangka bahwa sahabatnya itu akan datang lebih cepat dari perkiraannya."Wuih, bos besar nampaknya masih sibuk nih?" goda Allan yang memang baru memasuki ruangan Jimmy."Allan? Cepat juga kamu datangnya. Aku kira sejam lagi baru akan sampai disini." jawab Jimmy yang melihat Allan berjalan menuju ke arahnya."Mana berani aku membiarkan bos lama-lama menunggu. Iya nggak, Van?" ucap Allan seolah meminta persetujuan Evan akan ucapannya."Bener itu mas Allan, pak Jimmy pasti ngamuk kalau kelamaan nunggu." jawab Evan sambil tersenyum ke arah Allan."Kamu itu asisten siapa, Van? Apa kamu mau potong gaji bulan ini?" pertanyaan Jimmy terdengar seperti ancaman di telinga Evan, sehingga ia bergidik ngeri mendengarnya.Wajah Evan
Hati Erika terasa hancur, melihat kenyataan bahwa pernikahannya dengan Jimmy yang baru seumur jagung, kini sudah berada di ujung tanduk. Apalagi saat pengacara menunjukkan dokumen gugatan cerai yang akan Jimmy layangkan kepadanya, membuat dada Erika semakin sesak. Selain pasrah dengan keadaan, apalagi yang bisa ia lakukan?Saat ini Erika butuh tempat untuk memenangkan diri sejenak dari segala macam sesak di dalam dadanya. Ia pun memilih pergi ke sebuah cafe yang tak jauh dari kantor Adhinata group, apalagi saat ini Erika mendapat kesempatan pulang lebih awal. Cafe milik salah satu sahabatnya semasa ia kuliah dulu adalah tempat tujuannya."Er? Benarkah itu kamu?" Sebuah pertanyaan meluncur dari bibir Indri sahabatnya, saat melihat Erika berjalan memasuki cafe.Erika mengulas senyum tipis dan berjalan mendekat ke meja kasir. "Tentu saja ini aku. Tidak tahukah kamu jika aku sangat merindukanmu, In. Lama kita nggak ngumpul bareng setelah lulus kuliah." ucap Er
Sepanjang perjalanan keluar dari kantornya, Jimmy terlihat begitu bahagia. Senyumnya tak pernah lepas dari bibir seksinya. Rasa-rasanya Jimmy sudah tidak sabar lagi untuk segera sampai di tempat tujuannya.Jimmy terbayang akan kenangan pada malam serah terima hotel Winston di bawah naungan Adinata Group. Beberapa sorot kamera wartawan mengekspos dirinya yang datang bersama Erika waktu itu. Namun bukan sebagai pasangan suami istri, melainkan sebagai atasan dan sekertarisnya. Dan juga kamera wartawan menyoroti beberapa tamu undangan yang hadir.Mengingat Jimmy adalah pewaris Adhinata group dan juga pemilik sebuah stasiun televisi swasta di negara ini, jadi sudah pasti banyak tamu penting yang hadir. Dan hal itu menjadi makanan empuk para wartawan yang haus akan berita gosip.Sebelum menghadiri acara tersebut, sebuah perdebatan kecil terjadi di rumah mewah yang tak lain adalah milik keluarga Adinata."Sudahlah, Ma. Aku juga tidak keberatan jika E