Share

My Boyfriend is a Vampire
My Boyfriend is a Vampire
Penulis: Aililea (din din)

MBV 1

'Jika aku harus mati dengan cara seperti ini, aku belum rela! Aku belum rela!'

Seorang gadis mengenakkan midi dress berwarna pink, terlihat terjun bebas dari lantai atas sebuah gedung. Gadis berambut pirang dengan panjang sebahu itu memejamkan mata, tak ada harapan untuknya hidup setelah ini.

"Ma, Alex. Maafkan aku! Aku belum bisa membahagiakan kalian, aku belum bisa mengabulkan harapan kalian!" teriak gadis itu yang sudah pasrah.

"Siapa yang akan menolongku? Aku belum rela mati!" 

Gadis itu memejamkan mata rapat dengan menitikkan air mata, bahkan buliran kristal bening itu terbang terbawa angin. Ia semakin jatuh dan hampir menghantam jalanan, saat merasa tubuhnya melayang.

"Tunggu!" 

Ia membuka mata, tubuhnya tak terhempas di jalanan. Ia melihat wajah tampan yang dipancari cahaya bulan, wajahnya begitu memukau.

"Aku melayang! Ahh!!!" Teriak gadis itu ketakutan.

Gadis itu ketakutan, hingga secara impulsif merangkulkan kedua lengan ke leher pria yang menggendongnya.

"Kenapa kita terbang?" Gadis itu panik, sampai memejamkan mata karena takut.

"Ini hanya mimpi." Suara lembut pria itu seakan bisa menenangkan hati.

"Mim-mimpi?" Gadis itu mencoba membuka kelopak mata, tapi terlalu takut karena mereka melayang di udara.

"Ya, mimpi. Tetaplah pejamkan matamu, nanti saat kamu membukanya, kamu akan tahu kalau ini adalah mimpi. Kamu tidak pernah jatuh dari gedung, kamu tertidur di ranjang hangatmu, dan saat membuka mata hanya melihat langit-langit kamar yang kamu kenal."

"Ini mimpi. Ya, ini mimpi." 

Gadis itu memejamkan mata rapat-rapat. Berharap apa yang dikatakan pria itu benar, bahwa dirinya sedang bermimi. Lagi pula, mana mungkin manusia bisa terbang, apa pria itu superhero, atau manusia yang memiliki kemampuan khusus seperti yang ada di film-film, sehingga bisa melayang dan membawanya terbang.

"Benar, ini hanya mimpi. Ini hanya mimpi," gumam gadis itu.

-

-

BRUKK!!!

"Ouchh! Sakit!" 

Seorang gadis terjatuh dari ranjang, mengusap pantatt yang sakit karena menghantam lantai. 

"Di mana aku?" Gadis itu membulatkan bola mata lebar, ingat jika semalam dirinya jatuh dari atap gedung.

"Tunggu! Ini benar mimpi! Aku tidak jatuh dari gedung, aku jatuh dari atas ranjang." Ia mengecek tubuh, pakaian yang dikenakan masih sama seperti semalam. Midi dress yang dikenakan saat pesta di perusahaan.

Gadis itu tertawa bodoh, mimpi yang baru terjadi terasa begitu nyata. Bahkan jantung berdebar karena rasa takut jatuh dari atap gedung, masih terasa di dada. Sedangkan dekapan itu, wajah tampan pria itu, terasa begitu nyata ada tepat di hadapannya.

"Tapi, kenapa sentuhan pria itu begitu nyata? Meski tubuhnya begitu dingin." 

Gadis itu menyentuh pinggang di mana pria dalam mimpi, merengkuh dan mendekap. Bahkan ia ingat bau parfum yang menguar dari tubuh pria yang membawanya terbang.

"Kenapa kakakmu tidak pulang? Dia itu anak gadis, kenapa bisa ceroboh?" Suara gaduh terdengar dari luar kamar gadis itu.

"Mama!" Gadis itu langsung bangun dari lantai. Ia berjalan cepat menuju pintu kamar dan membuka.

Di luar kamar, seorang wanita paruh baya dan anak laki-laki berumur enam belas tahun sedang berdebat.

"Biarin, Ma. Kakak sudah dewasa!" Bela anak laki-laki itu.

"Dewasa apa? Dia--" Wanita itu berhenti bicara ketika mendengar suara pintu terbuka.

Wanita itu dan anak laki-laki tadi menoleh, sedikit terkejut ketika melihat gadis yang dibicarakan berdiri di ambang pintu.

"An-Anna! Ka-kapan kamu pulang?" tanya wanita itu kebingungan.

"Semalam, aku baru bangun tidur." 

Annabele adalah nama gadis itu. Ia juga terkejut kenapa ibunya bertanya, tapi yang membuatnya bingung adalah kapan dia pulang.

"Tu-tunggu! Semalaman Mama menunggu, dan tidak melihat kamu datang. Kamu lewat mana?" Wanita itu terlihat kebingungan.

Anak laki-laki itu juga bingung, menatap ibu dan Annabele bergantian.

Annabele juga bingung, tidak ingat kapan pulang dan kenapa sudah berada di kamar dan terjatuh karena mimpi.

"Entah!" Annabele menggaruk kepala tidak gatal.

-

-

Samantha—ibu Annabele, menatap putrinya yang sedang sarapan. Kedua tangan bersidekap dengan mata menyipit memperhatikan sang putri.

"Semalam kamu pulang lewat mana? Jam berapa?" tanya Samantha yang tak melihat kedatangan putrinya.

Alex—adik Annabele, sarapan seraya melirik sang kakak yang sedang diinterogasi sang mama.

Annabele yang sedang fokus sarapan karena harus bekerja, mendesau kemudian menatap pada Samantha. Annabele sendiri bingung, pukul berapa dan lewat mana dia pulang semalam.

"Umm ... aku terlambat. Kita bahas nanti ya, Ma!" Annabele langsung bangun, mencangklong tas dan mencium pipi Samantha, kemudian mengusap pucuk kepala Alex.

"Eh, Mama belum selesai bicara. Anna!" Samantha keheranan sendiri dengan sikap putrinya, merasa kalau ada yang aneh.

"Sudahlah, Ma. Mama ini khawatir dengan kak Anna seperti dia masih anak TK," ejek Alex yang kembali memasukkan potongan roti ke mulut.

"Ish, diam kamu. Anak kecil tahu apa." Samantha benar-benar memikirkan masa depan Annabele. Wanita itu sadar jika kehidupan putrinya tak berjalan seperti anak muda pada umumnya, itu karena Annabele korban broken home.

***

Annabele pergi ke perusahaan tempatnya bekerja dengan naik angkutan umum. Gadis itu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan kasar, untung saja bisa kabur dari pertanyaan Samantha, karena Annabele sendiri tidak bisa menjawab.

"Kenapa aku bingung sendiri? Jika semalam hanyalah mimpi, kenapa aku tidak ingat kapan pulang? Yang terakhir aku ingat adalah berdiri di atap gedung."

Annabele terlihat berpikir, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam.

Semalam, saat pesta penyambutan CEO baru di perusahaan Annabele bekerja.

Ruangan khusus itu terlihat begitu ramai, banyak karyawan yang datang untuk menghadiri pesta penyambutan CEO baru mereka.

"Apa kalian sudah dengar, katanya CEO baru kita masih muda dan tampan."

"Benarkah, tapi karyawan kelas bawah seperti kita, apa bisa punya kesempatan melihat CEO kita."

Annabele yang berdiri dekat para gadis yang sedang bergosip, hanya memilih diam dan menyesap anggur yang ada di gelas kaca.

"Anna." Salah satu teman satu divisi Anna datang mendekat.

"Julie, ada apa?" tanya Anna.

"Kamu mendengar apa yang para gadis itu bisikkan?" tanya Julie.

"Ya, kenapa?" Anna terlihat santai, bahkan kembali menyesap anggur miliknya.

"Aku sangat penasaran, apakah benar setampan yang dikatakan," ujar Julie.

"Jangan terlalu penasaran, bagaimana jika ternyata salah dan CEO kita pria tua dengan perut buncit," seloroh Annabele.

Tentu saja candaan Annabele membuat Julie menahan tawa, hingga menonyor kepala Annabele pelan.

"Kamu ini, memang ada-ada saja," timpal Julie.

Annabele tertawa kecil, hingga kemudian meletakkan gelas kaca yang dipegang ke meja.

"Jul, kepalaku sedikit pusing. Aku akan keluar mencari udara segar dulu," kata Annabele pamit pada temannya.

"Eh, bagaimana kalau kamu keluar, lalu CEO baru kita datang memberi sambutan?" tanya Julie yang tampaknya antusias menyambut kedatangan CEO mereka.

"Ya, nanti kamu fotokan saja, lalu kasih lihat ke aku," jawab Annabele enteng.

"Hmm ... dasar!"

Annabele hanya tersenyum. Ia pun keluar dari ruangan yang penuh dengan orang itu, memilih naik ke atap gedung untuk mencari udara segar. 

Malam itu udara terasa dingin, langit hitam bertabur bintang dengan rembulan yang hampir terbentuk sempurna. Annabele berdiri tepat di pembatas atap, menatap hamparan kota tempatnya tinggal selama sepuluh tahun terakhir ini.

"Sangat indah," gumamnya. 

Annabele menengok ke bawah, merasa merinding mengingat betapa tingginya gedung tempatnya bekerja itu.

"Kalau jatuh, pasti aku akan mati seketika."

Annabele menghela napas kasar, saat hendak mundur tiba-tiba merasakan ada yang mendorongnya dari belakang, membuat Annabele terjatuh.

"Itu bukan mimpi!" teriak Annabele tiba-tiba.

Semua penumpang bus langsung menatap heran pada Annabele, berpikir kenapa gadis muda itu berteriak.

Sadar jika menjadi pusat perhatian, Annabele langsung mengatupkan bibir rapat-rapat. Ia kini yakin jika jatuh dari atap bukanlah sebuah mimpi, tapi soal dirinya yang dibawa terbang oleh seorang pria itu tak masuk logika. Lebih tepat seperti mimpi yang terasa seperti nyata.

"Apa mungkin aku hanya merasa akan jatuh, lalu aku pulang karena kepala pusing, kemudian aku bermimpi kalau jatuh, padahal itu tidak. Ah, sepertinya begitu."

Akhirnya Annabele berspekulasi sendiri, berpikir rasional yang masuk akal. Lagian di zaman modern ini, mana ada superhero atau manusia dengan kekuatan spesial, tak masuk akal.

***

Annabele berlarian dari halte menuju perusahaan tempatnya bekerja, tampak panik dengan sesekali menengok arloji yang melingkar manis di pergelangan tangan.

"Aku terlambat! Mati aku!" 

Terlihat jelas kepanikan di raut wajah Annabele. Ia sudah memasuki lobi perusahaan, semakin berlari sekuat tenaga ketika melihat pintu lift yang akan tertutup.

"Tahan pintunya!" teriak Annabele ketika pintu itu hampir tertutup sempurna.

Annabele sepertinya akan terlambat, mengingat pintu itu tertutup. Ia sudah berdiri di depan pintu lift, mendesau dan mengatur napas yang terengah karena berlarian.

"Aih, aku benar-benar terlambat."

Namun, siapa sangka pintu lift kembali terbuka. Annabele sangat senang dan langsung masuk.

"Terima kasih," ucap Annabele ketika melihat ada 3 pria di dalam lift itu.

Annabele masih mencoba mengatur napas, menekan lantai 8 tempat divisinya berada. Hingga jantungnya tiba-tiba berdebar, ia ingat akan sesuatu.

"Wajah itu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status