Happy reading :)
--------------------
Tara lebih menikmati pemandangan malam dari atas gedung Ronald Reagan UCLA Medical center, ia butuh suasana hening untuk sekedar menenangkan hati dan pikiran nya sesaat. Ia tak mungkin meminta Gabriella untuk menemaninya ditengah kondisi ibunya yang sakit. Ia juga tak akan mungkin meminta Joey untuk sekedar menghibur mengingat pria itu tengah menikmati rasa bahagia atas pertunangannya.
Surai hitam miliknya menari lembut saat hembusan angin membelainya perlahan. Catsuit putih yang dilapisi oleh Cardigan cokelat membuat ia tampak manis dan santai. Hot Chocolate menemani setiap jemari yang mulai mendingin karena suasana malam. Pergi ke tempat tertinggi di rumah sakit adalah keputusan yang tepat.
Tara masih merenung mengenai kejadian yang membuatnya seakan mengikuti latihan shock therapist. Bagaimana bisa Vin berubah sepersekian detik dari ketidak pedulian terhadapnya menjadi keberanian yang nyata untuk menyesap bibirnya dengan lancang?
Disamping itu, ia lebih kesal pada mantan kekasihnya Nick Scotti yang meminta maaf namun mengumbar asmara bersama selingkuhannya.
"Cih! Permintaan maaf apa itu?!" Tara menyunggingkan senyum sebelum akhirnya memilih menghela nafas panjang membuat bahu itu meninggi sesaat.
"Bukankah setiap orang memiliki cara sendiri untuk meminta maaf?" Tara terpaku mendengar suara khas yang dapat mendebarkan seluruh syaraf pada tubuhnya. Suara yang mendominasi membuat dirinya tak bisa berpaling sedetikpun. Ia berdehem keras mengusir rasa gugup dan getaran hangat dalam dirinya.
"Kau bahkan tak meminta maaf atas perlakuan mu padaku," sarkas Tara kemudian meneguk coffelate yang ia genggam.
"Menurutku kau membutuhkannya," Vin duduk disebelah Tara, menyilangkan kaki dan menaruh coffe disampingnya.
"Kau salah jika menganggapku wanita murahan," Tara meremas gelas coffe tersebut dan membuangnya sembarang. Vin tersenyum menyaksikan adegan yang menurutnya gemas.
"Apa kau sedang merajuk?"
"Mengapa kau sekarang banyak bicara? Apa kau merasa bersalah padaku?!" Tara menatap tajam netra cokelat pria disampingnya. Vin mencondongkan tubuhnya hingga dapat melihat kegugupan tergambar jelas dalam walnut hitam Tara yang bergetar antara gugup dan marah.
"Secara tidak langsung, kau berharap aku meminta maaf padamu?" Suara indah yang mengalun perlahan mampu menegangkan tubuh Tara sesaat, dan sialnya ia hanyut bersamaan dengan manik legam Tara yang terpejam seakan hembusan nafas pria ini begitu memambukkan.
"Aku rasa.. pria sepertimu tak akan mengatakan hal itu dengan mudah." Tara membuka mata dan tersenyum mengejek sebelum akhirnya menjaga jarak dengan pria lancang menyebalkan seperti Vin.
Ia terpaku mendengar perkataan Tara, terasa menyinggung namun menghangat dalam waktu bersamaan.
"Jika tak ada yang ingin kau bicarakan, aku akan pergi." Tara kemudian berdiri dan berjalan menjauh meninggalkan Vin yang masih terperangah tak percaya.
Kini Vin menatap punggung wanita bersurai hitam itu perlahan menghilang dibalik dinding yang menghubungkannya dengan lift. Ia tersenyum samar mengingat perkataan Matt padanya tempo lalu. Benar, semua wanita tak sama seperti ibunya, dan kini terbukti oleh wanita asing yang mampu menyita perhatiaannya dengan cara sederhana.
***
Dua minggu berlalu, Tara memutuskan untuk menjauhi Vin. Disamping itu ia justru semakin sulit melupakan kejadian manis yang menyebalkan saat pria bermanik coklat itu mengambil bibirnya dengan lembut. Ia berusaha terus menyibukkan diri dengan berbagai macam tindakan operasi dan terkadang menjadi dokter jaga di emergency room selama 24 jam.
"Kau tak perlu seperti ini Tara," Gabriella duduk dikursi yang berhadapan langsung dengan Tara, wanita itu mencoba memejamkan mata berusaha menghilangkan bayangan pria yang telah menyita seluruh waktu yang ia miliki selama ini. Tara merubah posisi menyamping menatap Gabriella dengan lesu penuh keputusasaan.
"Maafkan aku tak menemani ibumu pulang tadi," Gabriella terkekeh pelan dan melipat kedua tangan didada.
"Kau jangan mengalihkan pembicaraan, aku tahu kau menyukai Vin." Kini Gabriella duduk disamping bed Tara dan membelai surai hitam itu perlahan.
"Tapi dia sangat menyebalkan karena lancang padaku!"
"Itu tidak lancang, jika kau pun menikmatinya," Gabriella mengambil ponsel yang tergeletak diatas meja dan memberikannya pada Tara.
"Apa ini?" Tara bangkit dan duduk dengan bersandar pada head bed.
"Bacalah, kau akan tau siapa Vin,"
Mata Tara melebar sempurna saat ia mengetahui bahwa Vin merupakan CEO Perusahaan energi LUKOIL Rusia yang menyumbang lebih dari dua persen produksi minyak global dan satu persen dari cadangan terbukti (proven) hidrokarbon. Saat Vincent Hogan Kiel menjabat, perusahaan ini beroperasi lebih dari 30 negara di empat benua dan mempekerjakan lebih dari 100.000 orang. Pada 2018, perusahaan ini menghasilkan delapan triliun rubel (sekitar Rp 1760 triliun) dan menghasilkan 82 juta ton minyak mentah (14,8 persen dari total produksi Rusia).
Tak hanya itu, Vincent Hogan Kiel juga menjabat sebagai tangan kanan ketua FNSS, produsen kendaraan darat lapis baja di industri pertahanan Turki, Omset tahunan FNSS adalah USD367 juta pada 2018, dan tahun lalu, pada 2019 naik 2 persen menjadi USD374 juta.
Perusahaan ini merancang dan memproduksi kendaraan serta merupakan salah satu pelopor di bidangnya. FNSS telah menyerahkan lebih dari 4.000 kendaraan lapis baja kepada para pembelinya sejak pergantian wakil presiden direktur Vincent Hogan Kiel dan mulai memproduksi kendaraan lapis baja dengan berat 15 ton, tank berbobot sedang, kendaraan lapis baja beroda taktik 4x4 dan 8x8. Hingga kini posisi Vincent tak dapat dialihkan mengingat banyaknya kontribusi dan saluran dana untuk negara Turki.
Ini adalah sejumlah deretan artis papan atas dan model yang terkait skandal dengan pria dingin Vincent Hogan Kiel. Namun semua tudingan tersebut dibantah oleh Vincent langsung, ia mengaku bahwa dirinya tak terikat oleh wanita manapun dan hanya akan fokus pada tujuan utama yaitu memberikan yang terbaik untuk negara Russia dan Turkey.
"Awesome! Kau beruntung dapat merasakan bibirnya yang menggoda Tara!" Gabriella mengelus dada berharap ia ada dalam posisi sahabatnya. Tara menyerahkan ponsel Gabriella dan kembali berbaring menatap langit langit.
"Aku tak peduli ia pria seperti apa, yang jelas aku tak bisa menerima perlakuannya padaku," Tara menaruh lengannya diatas kening mencoba menekan segala rasa frustasi dan pikiran bodoh tentang Vin. Namun suara keras ketukan pintu ruang jaga membuat Tara dan Gabriella melirik bersamaan.
"Dokter! Ada pasien gawat!" Peringat perawat yang tak bisa berlama lama menunggu dirinya keluar dari ruangan. Tara dan Gabriella segera berlari menuju pasien yang dimaksud.
"Astaga!" Tara menutup mulut saat melihat pria yang ia kenali, terbaring lemah diatas bed dengan baju berlumur darah di bagian dada hingga kaki. Manik legam itu memerah dan berkaca-kaca seakan tak bisa membendung kesedihan yang ia rasakan. Gabriella memandang tak percaya dan melihat Tara tampak shock dan khawatir bersamaan.
"Tara...." Gabriella tak mampu melanjutkan kalimat yang ia yakini hanya akan membuat sahabat nya pilu.
***
-To Be Continued-
Untuk visual book follow I*******m @_lunalupin :)
Karya Luna Lupin yang lain ---> My Wife is Bodyguard {On Going}
Waaah ini adalah part endingnya yaa temen temen, terimakasih banyak udah setia membaca novelku sampai akhir ya huhu terharuu akutuuu :')Yuk ah lanjuuuuutttt ;*Have you fun enjoy it!------------Pink Sands Beach, Bahama.Nyatanya Vin benar benar berdebar karena pembahasan di ruang meeting bersama beberapa rekan dan kerabatnya kini menjadi kenyataan. Sepagi ini ia bahkan terjun sendiri untuk melihat dekorasi pernikahan yang sesuai dengan keinginan Tara.Vin tahu, Tara akan kesal karena hal ini begitu mendadak. Pria itu hanya merasa tak sabar dan tak ingin jauh dari wanitanya. Mengingat kecelakaan yang kemarin terjadi justru semakin kuat baginya untuk cepat melangsungkan pernikahan mereka. Agar seluruh dunia tahu bahwa Tara adalah istrinya. Maka dari itu tak akan ada yang berani menyentuh nya sedikitpun.Garis pantai unik dengan pasir merah muda muda yang ia pijaki membuat Vin kagum terpesona. Warna yang tidak biasa dan pemandangan ya
Happy reading ;)-------------Tara benar benar menikmati hari harinya disana. Ia bahkan sempat terkejut dan gemetar saat Vin menjelaskan bahwa kecelakaan yang ia alami bukan sekedar kecelakaan tak di sengaja melainkan rencana pembunuhan yang di lakukan oleh temannya sendiri Luke Richard.Dan yang lebih mengejutkan bahwa Vin sudah membunuh pria itu. Namun Tara tak mungkin marah padanya saat ia membuktikan bahwa Vin mampu melindungi dan membalas rasa sakit yang ia alami.Lagipula Vin selalu terus menemaninya dan melatih dirinya mobilisasi serta ia bahkan tak pernah memberikan tubuhnya kepada perawat untuk sekedar di bersihkan. Awalnya ia malu dan tak menyangka pria yang begitu di segani dan di hormati melakukan hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.Saat ini, ia selalu mengajak berkeliling hingga berhenti di sebuah balkon yang menghadap menatap taman kecil yang memang di sediakan seperti di mansion Kiel. "Taman ini, untuk ayahku jika datang berk
Happy reading ;)-------------Reeves terdiam mendengar penjelasan Vin barusan di telepon. Ia harusnya tahu bahwa pria itu memang akan selalu keji pada siapapun yang menyakiti keluarga bahkan orang orang terkasih.Jadi, hal semacam ini sudah tak asing bagi mereka. Dengan membunuh perlahan si pelaku adalah balas dendam terbesar dan setimpal dari apa yang sudah Tara alami. Namun ia juga tak menutup mata bahwa tindakan tersebut melanggar hukum negara.Reeves mencengkram railing besi di atas balkon menengadah pada langit yang mulai terang dengan kehadiran matahari. Di waktu bersamaan Tara mengerjap menolak cahaya yang menembus melewati celah jendela.Ia berbalik dan langsung meringis merasakan sakit yang teramat. Vin terbangun mendengar suara samar dan bergegas menghampiri Tara begitu menangkap raut wajah nyeri pada kekasihnya."Ada apa? Kau ingin apa? Katakan padaku," cecar pria itu proteksi."Ah, maaf aku membangunkan mu," lirih T
Happy reading :)-----------"Am..pu..ni a..ku," lirih Luke lemah di atas sana. Ia menatap tubuhnya yang sudah tidak memiliki kaki. Ia bahkan menangis melihat singa itu dengan lahap memakan kedua kaki tersebut."To..long lepas..kan aku," gumamnya kemudian. Ia bahkan tak kuasa menahan sakit yang teramat ketika singa itu kembali melompat menggigit perutnya.Luke sudah tak dapat lagi berteriak karena nyeri itu begitu menghujam dirinya. Usus dan seluruh isi perutnya telah menjadi santapan liar di bawah sana.Sementara Vin tersenyum puas dan kembali meraih cerutu. Matt hanya bergidik dan sempat membuang muka ketika pria itu bahkan hanya tersisa bagian dada dan kepala. Vin tahu bahwa pria itu masih hidup."Lempar ia saat nadi dan nafasnya terhenti." Vin kemudian beranjak meninggalkan lokasi. Ia membersihkan diri setelah itu kembali ke rumah sakit. Operasi Tara sudah selesai, Pedro dan Dominika setia menunggu juga beberapa rekan Tara yang berada di
Happy reading ;)---------------"Vin?" Reeves segera menghampiri Vin kala pria itu terduduk di lantai sembari memijat kepalanya. Pria itu menoleh mendapati kecemasan di raut wajah tua Reeves."Maafkan aku," lirih Vin tak tahu lagi harus berkata apa saat semua itu seakan merenggut jiwanya. Semua terlalu cepat. Bahkan bodyguard yang menjaga Tara pun kini telah mati di tangan Fyodor."It's okay, tapi kau yakin ini hanya kecelakaan?" tanya Reeves sedikit menyindir."Tidak, orangku sedang melacaknya.""Haruskah ia mendapat hukuman mati di penjara?" Reeves melipat kedua tangannya di dada dengan bersandar pada dinding rumah sakit."Tidak, ia tak akan mati dengan mudah." Tepat saat itu juga Pedro dan Dominika menghampiri Vin."Vin? Bagaimana keadaan Tara?" Dominika membantu Vin berdiri dan menatap iba pada kakaknya."Ia masih di dalam sana." Pandangan Vin tertuju pada ruang operasi. Sementara Reeves berpamit untuk melihat berja
Happy reading :)----------------Jantung Vin seolah berhenti. Ia segera meraih Tara dalam dekapannya. Vin berlari menabrak beberapa orang yang berlalu lalang disana. Sementara Gabriella yang hendak masuk ke dalam taxi terhenti saat Vin berteriak sembari menggendong Tara masuk ke dalam ruang UGD."Astaga, Tara!" Wanita itu ikut berlari di belakang Vin. Matanya berlarian mencari Tara di beberapa ruang pasien. Hingga ia menemukan Vin yang keluar sembari meremas keras rambut nya sendiri."Vin? Ada apa?" Gabriella menatap baju pria itu yang telah berubah warna merah oleh darah Tara. Vin kemudian terduduk seolah tulang dan syarafnya patah.Sedangkan Laura segera melakukan pemeriksaan survei primer yang dilakukan penanganan pada keadaan yang mengancam nyawa, seperti sumbatan jalan napas, henti napas, atau henti jantung.Gabriella segera masuk ke dalam begitu tak mendapatkan jawaban dari Vin. Mata Gabriella membulat mendapati Tara yang sedang di be