Asoka sudah memutuskan untuk membintangi serial drama kolosal, untuk kali pertama. Ia sudah mengenal Sebastian, sutradara yang menangani proyek ini dan sang penulis naskah, Subagiyo. Drama yang mereka garap selalu laku dipasaran, meskipun aktor yang mereka pilih merupakan aktor pendatang baru. Subagiyo bahkan sudah memiliki beberapa judul drama yang sukses mencetak puluhan juta dolar.
Dulu ketika masih kecil, Asoka ingat betul jika drama kolosal bertema kerajaan Jawa, menjadi begitu aneh ketika ditampilkan di layar televisi. Begitu pula dengan properti dan busana yang digunakan. Hanya segelintir orang saja yang menyukainya. Tetapi kini, berkat tangan-tangan terampil, stigma aneh itu tak lagi melekat. Orang-orang mulai menyukai drama kolosal yang menggunakan subtema ilmu hitam, kejawen, dan sejenisnya. Mereka bahkan tak tanggung-tanggung membuat set kerajaan bernilai ratusan juta rupiah.
"Pemeran utama drama ini adalah Bandung Bondowoso," terang Subagiyo kepada Asoka. "Alur ceritanya berdasarkan catatan sejarah, tetapi ada penambahan adegan yang saya buat sendiri, untuk memperkuat karakter dan adegan romance-nya. Lebih tepatnya, ini seperti remake Roro Jonggrang dengan sentuhan modern."
Asoka mengangguk. Sejujurnya, ia tak terlalu peduli dengan alur mini drama yang akan ia bintangi. Hanya dengan nama Asoka saja yang menjadi pemeran utamanya, naskah ini pastilah akan sukses besar. Tetapi, ada satu hal yang harus Asoka pastikan. "Endingnya, apakah Roro Jonggrang akan tetap menjadi arca?"
"Tentu saja," balas Subagiyo tegas. "Hal itu enggak bisa diubah, tetapi, Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso akan kembali dipertemukan di dunia modern. Saya berencana membuat mereka jatuh cinta, tetapi karena suatu alasan, Roro mengkhianati Bandung. Jadi ini semacam time travel yang berakhir bahagia."
Cukup menarik. Asoka kembali mengangguk-angguk. "Siapa yang akan kalian pilih menjadi main lead female-nya?"
Subagiyo dan Sebastian saling pandang sejenak. Kemudian, giliran Sebastian yang buka suara, "Rencananya, aku mau ambil antara Silvia atau Videlia. Menurutmu gimana?"
"Aku setuju kalau Videlia yang main," balas Asoka. Sudut-sudut bibirnya terangkat miring. Dua pemain yang memiliki bayaran termahal, akan menjadi sesukses apa mini drama ini nantinya? "Jadi, kapan kita mulai syuting?"
****
Teriakan gadis sinting itu seketika membuat Asoka menghentikan kalimatnya. Gadis itu tampak familiar di mata Asoka. Ia yakin pernah melihatnya, tapi tak tahu di mana. Ah, ya. Bukankah dia adalah ketua fans klub untuk kota Garuda? Asoka tidak tahu namanya, tetapi ia kesal saat gadis itu menyela ucapan Asoka dengan teriakannya. Mood yang sudah ia kumpulkan sejak pagi, mendadak berantakan.
Ketika gadis itu akhirnya pergi, Asoka kembali duduk, dan mengisyaratkan manajernya untuk menggantikan Asoka bicara. Asoka... benar-benar benci diinterupsi.
Sejujurnya, Asoka paling malas jika disuruh menemui wartawan. Ia benci ketika kilatan lampu bliss mereka mengenai wajahnya. Asoka benci ketika ia harus tersenyum lebar dan bersikap ramah. Asoka juga sudah mulai benci berakting di depan kamera.
Hanya saja, Asoka masih perlu banyak uang untuk membeli pulau pribadi sebelum usianya menginjak kepala tiga. Tujuan hidup Asoka adalah bisa hidup dengan nyaman di pulau pribadinya, dan uang akan terus mengalir dari puluhan juta dolar yang sudah ia investasikan.
****
Kyra langsung pergi ke coffeshop tempat ia dan Tia janjian bertemu. Tia adalah manajer sekaligus asisten pribadi Kyra sejak lima tahun lalu. Alih-alih, Kyra sudah menganggap Tia seperti saudaranya sendiri. Ketimbang Ayudia, Kyra lebih akrab dengan Tia.
"Gue bawain lo naskahnya." Tia mengambil sebuah naskah yang sudah berbentuk buku dari dalam tasnya. Ada beberapa bagian yang sudah diberi penanda.
Senyum Kyra begitu lebar. Matanya berbinar-binar. Tangan Kyra terulur untuk mengambil buku naskah itu dengan hati-hati, seolah benda itu adalah barang berharga yang mudah rapuh dan pecah. Kyra benar-benar mengidolakan Asoka hingga ia bermimpi menjadi istrinya.
"Gue bahkan rela bawain peran pelayan asalkan bisa satu frame sama Asoka. Gue juga rela ditembak sama panah asmara milik Asoka," Kyra memeluk naskah itu dan menggoyang-goyang tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Mata Kyra bahkan sudah berkaca-kaca saking terharunya. Akhirnya, tujuan hidup Kyra terwujud.
"Yak! Emang peran lo jadi dayang, namanya Sarini. Lo bakal sering satu frame sama tokoh utama perempuan," balas Tia, agak geli melihat tingkah Kyra yang kekanakan. "Tadinya gue nggak mau ambil ini karena perannya jelek. Tapi karena di drama ini ada Asoka, lo pasti bakal bunuh gue kalau naskahnya nggak gue ambil."
"Gue cinta sama lo, Tia. Beneran," kata Kyra ceria. Matanya berbinar-binar seperti lampu neon sepuluh watt. "Kalau pun gue dapat peran prajurit yang nyamar jadi laki-laki, gue juga rela asalkan bisa syuting bareng sama Asoka. Gue juga nggak keberatan jadi tukang sayur yang jualan di pasar selama bisa sama Asoka."
Tia cuma bisa geleng-geleng kepala. "Hidup lo ngenes banget Ra, sumpah. Segitu bucinnya lo sama Asoka. Gue juga ngefans sama Asoka tapi nggak segila lo."
Kyra hanya mengulas senyum bodoh. "Ya gimana dong? Cinta itu butuh pengorbanan. Dan gue rela berkorban apapun demi Asoka." Kyra hanya menyeringai saat melihat Tia mengerucutkan bibir. "Karena gue lagi happy banget hari ini, lo boleh pesen apa aja. Nanti gue yang bayarin semuanya."
"Beneran?" kata Tia, memastikan. Anggukan Kyra kemudian membuat Tia tersenyum lebar dan memanggil pelayan untuk memesan makanan paling mahal di sini.
Kyra kemudian mulai membuka naskah itu pada halaman yang sudah diberi tanda. "Emangnya, gue dapat berapa scene? Terus pembacaan naskahnya kapan? Gue bisa ikut nggak?"
"Karakter lo sebenarnya cukup memperihatinkan, sih," balas Tia setelah selesai memesan. "Lo bakal jadi dayang pribadinya Roro Jonggrang. Lo adalah saksi hidup gimana pemeran utama cowok dan ceweknya diam-diam saling bertemu dan jatuh cinta."
"Padahal gue lebih suka jadi dayangnya Asoka," bibir Kyra setengah mengerucut. "Bantuin Asoka mandi sama ganti baju, adalah peran yang gue idam-idamkan seumur hidup. Sayang banget, gue nggak bisa milih peran."
"Kalau mau milih peran mah, bikin drama sendiri atuh." Tia tiba-tiba menyeringai dan menepuk punggung tangan Kyra jail. "Minta Ayah lo buat bangun perusahaan produksi film. Terus angkat gue jadi produser. Dan, gue bakal dengan senang hati nyari sutradara yang bakal nemuin lo sama Asoka sebagai pemeran utama. Gimana?"
"Iya, enak bener kalau ngomong," Kyra memutar bola matanya kesal. "Gue lebih baik mati daripada ngemis kayak gitu sama Ayah. Tadi malam aja, Ayah ngusir gue dari rumah. Terus akhirnya gue numpang di tempat Bianca."
"Beneran? Masa Ayah lo bisa kayak gitu sih? Padahal Pak Bimasena itu punya wajah yang teduh banget dan tampak mengyomi, pokoknya Ayah-able banget deh," mata Tia membulat tak percaya. "Ah, pasti gara-gara lo kekeh pengin jadi aktris, ya? Dan ditentang?"
Kyra mengangguk. "Iya. Padahal gue masih selangkah lagi jadi bintang terkenal. Rasanya kayak mimpi, ngebayangin gue bisa satu lokasi syuting sama Asoka, terus liatin dia dari dekat, diam-diam ngambil gambar pake ponsel gue dan di upload di medsos," mata Kyra berbinar-binar penuh harapan dan mimpi. "Dan sekarang gue jadi semakin serakah. Gue nggak bakalan berhenti jadi aktris sebelum gue bisa jadi lawan main Asoka!" Kyra mengepalkan kedua tangannya kuat. Bola matanya berbinar penuh bara. "Fighting!"
"Oke, fighting!" Tia ikut-ikutan mengepalkan tangan dan mereka ber tos ria. "Ayo, kita rayakan peranmu jadi dayang, Sobat!"
Mereka berdua saling pandang, dengan tatapan membara. Baik Kyra maupun Tia, sebenarnya tidak ada yang yang bisa dibedakan. Mereka berdua, sama-sama tidak waras.
Kyra hanya tidak menyadari, ketika fantasinya bertemu dengan kenyataan, semua menjadi hancur tak berperi. Yang tersisa hanya rasa kecewa dan pembenaran yang bertubi-tubi.
***
"Sebenarnya, apa yang lo sukai dari Asoka?" tanya Bianca begitu Kyra bercerita tentang keberuntungannya hari ini. "Sampai-sampai lo iyain aja peran jadi pelayan?"
"Karena Asoka kayak malaikat tanpa sayap," Kyra membalas dengan bola mata penuh binar. "Yang paling gue suka dari Asoka itu adalah tatapan matanya yang aduhai, terus bibirnya yang penuh dan seksi. Belum lagi, hidungnya mancung kayak perosotan anak TK. Rahangnya tegas dan body-nya tegap. Asoka juga punya gigi kelinci yang bikin senyumnya keliatan kekanak-kanakan dan polos. Terus--"
"Oke stop," Bianca menyela kesal. Salahnya sendiri karena menyuruh Kyra bercerita. Bahkan sampai nanti besok paginya, Kyra tidak akan selesai jika itu membicarakan soal Asoka. Bianca kemudian geleng-geleng kepala dan berdecak kesal. "Om Bima bisa kejang-kejang liat putrinya jadi begini."
"Lagian, Ayah udah buang gue kok. Gue bukan keluarga Patibrata lagi." Kyra mengibaskan rambutnya tak peduli. "Jadi, apapun yang gue lakuin, enggak ada hubungannya lagi sama Ayah."
Bianca kali ini mengubah posisinya agar bisa menghadap Kyra leluasa. "Tapi, jadi dayang, Ra! Yang bener aja. Lo bahkan nggak pernah cuci piring sendiri di rumah."
"Enak aja!" Kyra menyela. "Gue bahkan bisa cuci baju sendiri!"
"Kayak gue percaya aja," Bianca memutar bola mata. "Gue yakin kalau lo pasti nggak bisa bedain mana tombol buat nyuci dan mana yang buat pengering. Pakai gaya-gayaan segala lagi."
Bianca kemudian turun dari ranjang dan mengambil laptopnya dari dalam tas. Menghiraukan Kyra sepenuhnya. "Dahlah, sekarang gue mau lembur dulu. Males ngomong sama lo." Sedetik kemudian, Bianca kembali menatap Kyra. "Eh, tapi inget ya. Selama lo tinggal di sini, lo harus nyuci sendiri gelas sama piring bekas lo makan. Lo juga harus nyuci dan nyetrika baju sendiri kalau nggak mampu bayar laundry."
"Iya-iya. Bawel banget sih Tuan Putri," balas Kyra kesal. "Semiskin-miskinnya gue sekarang, gue masih bisa bayar ojol sama laundry. Jadi tenang aja."
"Ngomong-ngomong, lo mulai syuting kapan?"
"Minggu depan!" balas Kyra ceria. "Tapi gue mau ngehafalin naskah dramanya sekarang. Gue juga mau riset gimana caranya menjadi dayang yang baik dan benar."
Bianca melotot tak percaya. "Dasar sinting."
****
Kyra tersenyum jail. Dia memiringkan kepala untuk memandang Asoka yang sedang mengalihkan tatapan sambil menutup sisi wajahnya dengan bantal. Wajah Asoka tampak memerah, berulang kali berusaha untuk menghindari Kyra.Sebelumnya, biar Kyra yang bercerita tentang apa yang terjadi dua jam lalu.Kyra sedang dalam perjalanan ke kantor KP Ent saat tas-nya dijambret. Semua barang-barang pribadi Kyra ada di dalam tas, mulai dari kunci mobil, KTP hingga ponsel. Tentu saja Kyra sudah melapor ke kantor polisi. Tapi karena rapat ini sangat penting, jadi Kyra menunda untuk melaporkannya dan menunggu saat pulang.Rupanya, rapat tidak berjalan terlalu baik dan Kyra baru bisa meninggalkan kantor pukul sembilan malam. Kyra sempat meminta bantuan Ayah untuk memblokir kartu kredit-nya, sehingga
Kyra terbangun di pagi harinya dan menemukan dirinya sudah berada di atas ranjang. Saat kesadaran Kyra mulai kembali, dia baru menyadari jika semalam Asoka datang berkunjung dan masuk ke dalam apartemennya. Mereka nonton TV bersama di ruang keluarga, lalu setelah itu, Kyra sudah kehilangan kesadaran.Astaga, Kyra malu sekali!Bisa-bisanya, dia tertidur di sebelah Asoka dengan begitu santainya. Asoka pasti akan marah-marah begitu mereka bertemu nanti. Bahkan sampai sekarang pun, Kyra tak tahu alasan sebenarnya Asoka masuk ke dalam apartemen. Padahal sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu...Melihat jam yang sudah menunjukkan pukul delapan di atas nakas, Kyra buru-buru bangkit dari kasurnya untuk menuju dapur. Kyra lapar sekali. Kalau tidak salah, dia masih memiliki roti tawar
Nuansa dingin kali ini sama persis ketika mereka berdua kembali ke apartemen Asoka setelah berlibur dua bulan di luar negeri. Asoka sama sekali tidak menyentuh masakan buatan Kyra dan memilih untuk memesan makanan sendiri, atau pergi ke restoran bawah untuk makan.Asoka benar-benar mengabaikan Kyra sepenuhnya.Dia menganggap jika liburan mereka selama dua bulan, atau kedekatan mereka di rumah sakit tiga minggu lalu sama sekali tidak memiliki arti apapun baginya. Dia membuat Kyra terbang tinggi, kemudian menjatuhkannya menjadi serpihan debu yang tak berguna.Bukanka
Asoka tak menyangka jika Kyra akan begitu peduli dan telaten mengurus Asoka di rumah sakit. Gadis itu membelikan semua makanan yang diinginkan Asoka, membersihkan bekas piringnya, memotong buah, menyuapi Asoka hingga membantunya berganti baju dan pergi ke kamar mandi. Semua itu Kyra lakukan tanpa mengeluh sedikit pun. Senyum Kyra bahkan selalu terlukis manis, dan dia membuat hari-hari Asoka berubah menyenangkan dengan menceritakan beberapa kisah, membacakan berita terbaru, hingga menggosipkan Bianca yang tak kunjung jadian dengan atasannya padahal sudah beberapa kali tidur bareng
Asoka mendadak penasaran.Bagaimana jika cara menghilangkan kutukan itu adalah untuk dengan menghamili Kyra? Jika memang benar, Asoka tak akan sanggup melakukannya. Jika ada anak di antara mereka, maka Asoka harus menghabiskan lebih banyak waktu dengan Kyra dan melewati batas kontak dua tahun. Belum lagi jika bercerai nanti, hak asuh kemungkinan besar jatuh ke tangan Kyra. Mana mungkin, Asoka bisa membuang anaknya sendiri? Atau membiarkannya mempunyai orangtua broken home dan memiliki mental yang buruk?Hanya dengan membayangkannya saja Asoka tidak bisa.Mungkin Asoka bisa menyerahkan masalah kutukan ini pada keturunan Bagaskara selanjutnya.Namun, Asoka sudah sampai sejauh ini. Dia tidak boleh menyerah sebelum berusaha kan?Asoka bingung sekali. Tiba-tiba dia berpikir jik
“Sore-sore ngeteh sambil makan pisang sama ketela goreng emang juara banget sih.” Kyra mencomot pisang ke-tiganya dengan lahap. Bibir Kyra sudah penuh minyak, tetapi dia tak peduli dan masih mengunyah camilan sorenya dengan lahap. “Apalagi udaranya sejuk banget. Kayaknya aku bakal betah tinggal di sini lama-lama.”“Tinggal di sini aja, Kak. Sama aku. Kamarnya Kak Soka ngaggur tuh, sampe dibuat tempat tinggal laba-laba sama kecoak.” Adrian membalas dengan nada riang. Begitu pula dengan senyumnya yang terlukis lebar. “Aku pasti bakalan seneng banget ada yang nemenin. Apalagi Kak Kyra cantik banget. Jadi enggak bosen kalau dilihatin lama-lama. Nanti aku ajak main-main ke sawah, sungai, air terjun sama puncak gunung deh.”Kyra terkekeh. Dia menatap Adrian dengan matanya yang menyipit. “Kedengerannya seru banget. Kalau mau ke puncak