GADIS
Aku mematut bayanganku di cermin. Aku meraba kalung berlian yang tak terlihat seperti berlian itu. 'Hhh' aku mendesah dan pikiranku terbang ke waktu itu.
“Ini adalah gaji pertamaku Dis, aku harap kamu suka dengan hadiah kecil ini.”
Aku tersenyum pahit. Pahit sekali. Dan tak terasa aku meloloskan satu air mata dan berhasil membasahi pipi tembamku. Aku menyekanya secepat kilat. 'Gue nggak mau inget-inget semuanya lagi.'
Setelah memutuskan untuk tidak ingin ber-mellow ria, dalam sekejap aku sudah berada di dalam mobil. Aku menelepon kakakku, Celine.
“Kak, gue udah otw nih. Lu tunggu di lobby ya.” Yah, beginilah nasib wanita karir yang sudah lama melajang. Aku tidak ingin terlihat sebagai tamu kesepian, jadi kuputuskan untuk mengajak Kak Celine sebagai partner acara malam ini.Malam ini aku harus menghadiri pertunangan anak pemilik perusahaan yang aku pimpin. This is a bad idea. Radit –anak pemilik perusahaan– pernah menyatakan cintanya kepadaku dan dengan bergidik ngeri aku langsung menolaknya. Jangan berpikiran bahwa Radit itu jelek. No, he's fuckin’ handsome. Tapi dia memang bukan seleraku. Otot-ototnya terlalu kekar untuk wanita mungil sepertiku. Aku tidak bisa membayangkan betapa sesaknya jika dia memeluk tubuhku.
“Dis!” panggil Kak Celine sesampainya aku di lobby hotel yang super mewah ini. Aku berjalan menghampirinya.
“Ih cie masih gamon juga nih?” Dia mengerling pada kalungku.
“Apaan sih kak, sayang kan kalo barang bagus gini nganggur di apartemen?” jawabku sekenanya ketika menyadari apa maksud dari ucapan Kak Celine.
“Btw lo masih kontak-kontakkan sama Kavaleri? Terakhir itu sih dia nelfon gue, katanya kangen sama kita sama Ibu Bapak juga. Dia bilang mau main, kalo boleh sama lo”.
Aku tertegun. Memandang Kak Celine tak percaya. Kak Celine yang sadar aku berhenti, langsung menghadap ke belakang dengan muka bertanya-tanya.
“Come on, jangan nanya aku kenapa.” Aku memperingatkan Kak Celine agar tidak mengucapkan sepatah kata pun dan berjalan melewatinya.Pesta pertunangan ini berjalan sangat meriah. Aku duduk menyaksikan Radit dan Sherri bernyanyi bersama. Mereka terlihat sangat cocok, dan aku mulai teringat padanya...
“Apapun yang terjadi, kamu harus selalu ada di sampingku Dis! Kamu harus jadi istriku! Kamu yang udah nemenin di masa susah-senengku. Dan kamu layak ngedapetin balesannya!”
“I still remember that words, Kav...” batinku.
Entahlah, di setiap kesempatan ramai seperti ini hatiku masih saja merasa sepi dan kosong. Kehilangan orang yang paling dicintai memang tidak mudah, dan aku telah membuktikannya.
Para tamu undangan bertepuk riuh saat Radit mencium kening Sherri. Aku pun ikut memeriahkan acara itu dengan menyumbangkan satu lagu favorit Radit. Ini adalah permintaan pribadinya. Ia ingin aku menyanyikan lagu A Thousand Years di hari pertunangannya ini. Aku mengiyakan saja karena menghormati dia sebagai atasanku dan sebagai teman yang pernah ada rasa terhadapku.
“Kak gue balik apartemen duluan ya. Besok ada janji sama Valerie mau ngurus keberangkatan ke Singapur.” pamitku ditelinga Kak Celine, setelah turun dari panggung. Suasana yang begitu riuh membuatku harus berteriak di telinga Kak Celine.
“Iya sono, lu ati-ati ya. Jangan lupa kabarin Ibu sama Bapak kalo lu mau ke Singapur.”
Kak Celine memutuskan untuk kembali ke apartemennya menggunakan ojek online karena aku tidak sempat mengantarkannya pulang. I’m sorry, kak…
☺☺☺
Tangan kananku sibuk merapikan riasan sedangkan satunya lagi mengecek iPhone-ku apakah Valerie sudah di lobby. Aku menyambar sling bag pemberian Kavaleri dan bergegas turun ke lobby. Aku pikir tidak ada ruginya menunggu Valerie di lobby.
Beberapa staf mencoba menyapaku dan aku membalas sapaan mereka. Saat pintu lift terbuka, berdirilah seorang wanita seksi yang berhasil membuat aku terkejut. Dia menampakkan senyum miringnya. Aku memandangnya untuk sejenak dan saat tersadar aku langsung masuk ke dalam lift.
“How are you buddy?” sapanya mencoba ramah. Aku menghembuskan nafas.
“Fine.” Nada jawaban itu kubuat setenang dan senormal mungkin. Jangan sampai aku terlihat gagap di hadapan wanita ini. Dia tersenyum geli.
“Apa ada ceritanya cewek baik-baik aja setelah ditinggalin cowoknya karena paksaan dari orang tuanya? You are a liar, Miss. Gadis...”
Aku menoleh padanya dan tersenyum semanis-manisnya. “Apa anda buta? Apakah anda tidak bisa melihat jika saya baik-baik saja? Apakah anda berpikir saya hidup bergantung dengan laki-laki yang sekarang ada di pelukan anda? No, Miss. Asha. Permisi!”
Aku keluar lift dan meninggalkan Asha –wanita PHO– yang sekarang berhasil menyandang status sebagai "pacarnya Kavaleri". Menggeser namaku dengan cara-cara liciknya. Sungguh memalukan! Aku melihat Swift milik Valerie masuk di halaman apartemen, dan aku segera berlari masuk ke dalamnya.
Aku memasang muka cuek sekaligus jutek. Valerie yang menyadarinya langsung menanyakan keadaanku.
“Lu kenapa sih Dis? Perasaan di telefon tadi lu semangat banget.” Mobil kami mulai meninggalkan kawasan apartemenku.
“Ketemu sama nenek lampir gue. Sebel deh, ngapain juga tuh orang pindah ke apartemen gue. Jadi nggak betah gue di apartemen.” semburku murka.
Valerie terkekeh geli. “Sabar aja deh. Dia tuh sengaja pindah ke situ biar bisa mata-matain lu. Dia mah nggak ada puas-puasnya nyakitin elu Dis. Orang kaya begitu mah nggak ada matinya. Apalagi dia kalah cantik dari elu, was-was aja kalo Kava bisa balikan ama elu.”
“Ya tapi kan gue udah ngasih Kavaleri buat dia Val, mau apa lagi dia dari gue? Kavaleri adalah satu-satunya orang berharga di hidup gue yang gue relain buat dia. Buat dia nikahin!”
Valerie memandangku, merasa iba. Aku pun mendesah, mencoba menahan lelehan air mataku. "Gue gaboleh cengeng, gue gaboleh nangis di depan sahabat gue."
“Gue tau Dis, kapten pilot lu itu emang bener-bener cinta mati lu, tapi kita semua nggak bisa apa-apa kan kalo bokapnya Kavaleri yang nyuruh elu sama Kava harus putus di tengah jalan? Gue malah nggak mau, suatu saat lu nikah tanpa restu orang tuanya Kava dan pernikahan kalian dihancurin orang-orang jahat macem Asha.” Valerie mulai serius. Aku mulai memikirkan kata-katanya yang sudah empat tahun ini menjadi sahabatku.
“Sebenernya bukan masalah bokapnya Kava atau Asha yang ngeganggu gue Val, tapi soal Kava yang masih pengen balik sama gue. Gue nggak bisa ngebohongin perasaan gue sendiri kan Val? Gue nggak bisa bilang kalo gue udah nggak cinta dia lagi. Tapi mau gimana Val? Bokapnya disantet ama si Asha makanya bisa berubah gitu ke gue.”
“Yaudahlah Dis, sabar aja. Gue tau gimana rasanya nggak direstuin orang tua. Lu kencengin doanya, kalopun elu jodoh ya semoga masa-masa kritis macem gini cepetan selesainya. Tapi kalo memang nggak bisa bersatu, gue yakin Tuhan punya seseorang yang lebih baik dari dia.”
Aku mengangguk dan benar-benar susah payah menahan air mataku agar tidak meluncur. Dua jam kuhabiskan untuk merias wajahku, dan aku tidak ingin merusaknya begitu saja dengan air mata. Aku berusaha untuk memandang langit-langit mobil, menahan bendungan air mata agar tidak jebol dan membasahi pipi. Dan, berhasil!
Aku dan Valerie turun dan segera menuju ke meja ticketing. Setelah cukup lama dan cukup alot memilih flight, akhirnya kami menjatuhkan pilihan ke penerbangan Garuda Indonesia pukul 12.45.
GADISHari berganti hari, bulan terus berganti, tahun pun juga ikut berganti. Kehidupanku yang dahulu hanya sendiri, mulai menemukan cinta sejati walaupun perjalanannya harus menanjak dan berkelok. Ketika suatu hubungan diserang sana sini, aku tetap berdiri kokoh memperjuangkan sesuatu yang aku tau bahwa hal itu patut untuk diperjuangkan.Memiliki suami setampan Kavaleri Sadega bukanlah hal yang mudah dan selalu menyenangkan. Kadang, aku harus mendengar gosip-gosip yang beredar di kalangancabin crewseputar hubungan gelap Kava dengan pramugari atauwoman pilot.Awalnya memang aku marah, aku marah karena tega-teganya Kavaleri mengkhianatiku dan juga anak-anak kami. Tapi seiring berjalannya waktu, aku tau bahwa hal itu hanyalah isapan jempol yang berusaha membuat rumah tanggaku berantakan.Kavaleri Avicenna Sadega, orang yang paling bertanggung jawab atas kehamilanku. Bapak dari Saga dan Aqilla. Lelaki tampan
Dua Tahun KemudianKesibukan wajib sebagai seorang ibu dan istri di pagi hari adalah menyiapkan sarapan dan bekal sekolah bagi anak dan suaminya. Tugas ini semakin berat jika aku harus meng-handle semuanya sendirian, alias Kavaleri sedang terbang. Untungnya minggu ini dia bisa membantu meringankan pekerjaan rumahku, dan setiap pagi dia juga merasakan bagaimana ribet dan riwehnya aku ketika harus mengurus Saga yang sudah mulai masuk sekolah dan Qilla yang sering rewel di pagi hari.“Yang, tas sekolah Saga udah dibawa turun?” tanyaku dengan nada setengah berteriak karena jarak dapur dengan ruang keluarga agak sedikit jauh. Tak ada jawaban.“Yangg…” panggilku dengan menaikkan nada suaraku. Belum juga ada jawaban. Aku berjalan mengambil tupperware dan menata makanan bekal sekolah Saga. Sayup-sayup aku mendengar suara Kavaleri dan suara cekikikan Saga dari arah kolam renang.“Saga, ayo pak
Dengan sepenuh hati aku menggendong Aqilla yang baru saja digendong oleh Uti-nya. Aku, Kava, Saga, dan Qilla sedang berada di bandara menjemput Ibu dan Bapak yang baru saja datang dari Bali.“Saga kangen nggak sama Akung sama Uti?” tanya Bapak sambil membawa Saga ke dalam gendongannya.“Kangen dong Akung, Akung sama Uti kan udah lama nggak ke rumahnya Saga…” jawab Saga sambil memeluk Bapak.Saga memang tipe anak yang gampang dekat dengan siapa saja, terlebih pada Akung-akungnya karena sedari Saga kecil Bapak dan Papa sangat sering membantuku dalam mengurus Saga.“Sini gantian Uti yang gendong jagoan ganteng Uti.” Saga diambil alih oleh Ibu karena segera ingin merasakan pipi gembulnya. Heran aku, semakin umur Saga bertambah, bukannya semakin kurus malah semakin menggemaskan! Mungkin karena aku juga terlalu sering menyuruhnya makan dan menyediakan berbagai camilan di rumah sehingga dia sendiri tidak bisa berhenti m
Mendekati Persalinan“Bu, Saga tadi jalan-jalan kemana sih?” Aku memasukkan sesuap sup matahari yang Ibu bawakan setibanya dari Bali.“Katanya sih mau kemall,pengen belihot wheels.”Aku hanya manggut-manggut. Saga semakin besar, dan semakin rewel minta mainan ini itu. Aku yang tengah hamil tua terkadang dibikin kewalahan jika Saga tak mau mengerti perkataanku.Tiba-tiba aku merasakan perutku kencang. Aku merasa ada sesuatu mendesak keluar dari lubangku di bawah sana. Ibu yang menyadari ekspresi kesakitanku segera menelepon ambulance dan membawaku ke rumah sakit.“Buuuu, tolong telfon Kavaleri ya...”KAVALERIAku menghembuskan nafas lega ketika berhasil mendaratkanBoeing 777-300ERdengan mulus. Mengantarkan parapassengerdengan selamat, dan bisa segera menghubungi istri dan anakku.&ld
“Kav!!!” panggilnya dengan nada setengah berteriak.Aku segera berlari mendengar teriakan Gadis dari dalam kamar mandi. Ia terduduk diclosetdengan air mata membanjiri pipinya yang selalu membuatku ketagihan menciumnya. Di tangannya, memegang dua buahtest packyang entah hasilnya positif atau negatif.Dengan langkah perlahan aku melangkahkan kakiku mendekatinya. Ia langsung menunjukkantest packke hadapanku, dan aku melihat ada dua garis tertera di sana.“Aku hamil Kav!!!”Rasa bahagia menyesaki rongga dadaku, aku juga tak bisa membendung air mata lagi. Kupeluk istriku erat-erat dan menggendongnya. Ia tertawa bahagia sambil kubawa keluar kamar mandi.“Aku hebat ya? Baru kemarin udah jadi aja...” dengan bangga aku menyombongkan diri perihal kehebatanku membuat anak.Ia memukul dadaku pelan. “Yang hebat tuh kita, bukan kamu aja tau! Lagian kam
Setelah kurang lebih empat puluh lima menit perjalan menggunakansubway,akhirnya kami sampai juga di pemberhentian Disneyland. Saga ada di kereta dorong yang dibawa Mama dan Papa. Aku dan Kavaleri sibuk membawa barang bawaan Saga seperti baju, susu, dan sereal.“Dis, inget nggak Celine pernah foto di depan gerbang Disneyland itu?” Ibu menunjuk tulisan Disneyland Japan yang menyambut kedatangan kami. Aku tersenyum kecut.“Ibu nggak sedih kok, Ibu juga nggak nangis. Ibu hanya keinget aja dulu anak Ibu pernah foto di sana.”Mendengar ucapan Ibu yang berusaha untuk tegar, membuat air mataku lolos dari peraduannya.“Ibu...” Aku merengkuh tubuh kecil Ibu. Mau tidak mau, semua memori tentang Kak Celine menari-nari di bola mataku. Senyumannya, teriakannya, tingkah lucunya yang selalu membuatku tertawa. Sudah tidak ada lagi memang fisiknya, tapi bayangan dan kenangan tentang sosok K
Narita Airport, JepangHawa dingin menyambut kedatangan kami. Saga tertidur pulas di stroller-nya, diselimuti neneknya dengan selimut tebal.“Kav dorong dulu ya, aku mau ngurus bagasi sama akomodasi.” Aku meminta tolong pada Kavaleri agar dia menjaga Saga untuk sebentar saja.“Saga mau di dorong Bapak kok Dis, aku suruh temenin kamu.”“Oh, yaudah kalo gitu ayo agak cepetan. Kasihan Saga kedinginan ntar.”Setelah urusan imigrasi dan segala macamnya selesai, kami segera bergegas menuju hotel. Kami semua sudah berada di dalam bus yang akan mengantarkan kami ke hotel.“Bapak Ibu suka?” Aku duduk di dekat mereka. Mereka terlihat kedinginan memang.“Suka sekali Dis, Bapak sangat suka.” Suaranya gemetar menahan dingin.“Ibu juga Dis, terakhir kali ke sini kita masih berempat. Belum ada keluarga lain.”Aku kembali teringat dengan li
Aku duduk di depan cermin besar yang ada di kamarku. Memoleskanblush-onke pipiku. Saga masih terlelap, maklum ini baru jam setengah lima. Kavaleri sedang mandi. Hari ini adalah hari keberangkatan keluarga kami ke Jepang. Tapi hatiku tidak sebahagia sebelumnya. Ya, sebelum kejadian Femi mencium Kavaleri terjadi.“Yang, masih marah ya?”Kavaleri berada di belakangku, mengancingkan kemejanya dengan gaya yang selalucoolbagiku. Aku hanya terdiam. Dia mulai mendekatiku.“Jangan marah lagi ya, aku sama Femi nggak ada perasaan atau bahkan hubungan apapun kecuali antara FA sama pilotnya. Jangan ngambek ya sayang.”Kavaleri mengecup bahuku lama. Hatiku yang awalnya keras perlahan mulai terbawa alur mesra yang Kavaleri berikan. Tiba-tiba kedua tangannya melingkar di perutku. Menuntunku untuk berdiri, aku pun menurutinya. Ia mencium bagian leherku. Aku hanya bisa mendesah diperlakukan seperti itu.
Aku memasukkan kakiku ke stiletto kesayangan yang dibelikan Kavaleri ketika ia ada jadwal terbang ke Dubai. Ya, aku hendak menjemput Kavaleri.“Papa yakin nggak ikut?” Aku menanyai beliau sekali lagi sambil menggendong Saga. Papa tersenyum sambil menggeleng pelan.“Papa di rumah aja Dis. Udah sana buruan berangkat, ntar telat lho.”Setelah berpamitan, aku menggendong Saga keluar dan mendudukkannya ke bangku mobil. Memasangseat-beltkhusus miliknya.“Anteng ya sayang, jangan banyak gerak.”Aku melajukan Civic-ku perlahan meninggalkan pekarangan rumah. Jam menunjukkan pukul sebelas siang. Itu artinya jalanan Jakarta pasti sudah macet. Sedangkan pesawat Kavaleri mungkin akanlandingsekitar jam setengah satu. Di tengah perjalanan Saga bergumam, oh tidak lebih tepatnya bernyanyi namun hanya gumaman.“Nyanyi apa sih dek?”Dia tidak menggubrisku,