Hari sudah berganti malam. Di luar hujan cukup deras. Auriga memandangi buliran air yang jatuh ke kaca jendela. Ia menghela napas panjang. Sudah pukul delapan malam, tapi Lavina tak kunjung kembali ke ruangan ini.Auriga sudah menghubungi nomor telepon Lavina, tapi ponsel gadis itu tertinggal di sofa bersama dompetnya. Itu berarti Lavina pergi tidak membawa apa-apa. Kemudian Auriga menghubungi Pak Amir di rumah, tapi sopirnya itu bilang bahwa Lavina tidak pulang.Apa ini? Kenapa tiba-tiba ia merasakan kekhawatiran yang berlebih? Dan kenapa juga hatinya harus… terasa sesak, saat mengingat ucapannya yang kasar kepada Lavina tadi.Gadis itu pasti sakit hati.Sekali lagi Auriga menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Kemudian menelepon ibu mertuanya dan bertanya apakah Lavina ada di rumahnya?“Nggak ada. Dia gak pernah datang ke rumah ini lagi. Kenapa? Dia kabur dari rumah kamu?”Suara Mawar terdengar ketus, mungkin wanita itu marah pada Auriga gara-gara ancaman Auriga sewaktu
Rasa sakit itu semakin menghantam sudut-sudut hati Auriga yang terasa begitu kuat, saat ia menyaksikan bagaimana gadis yang biasanya ceria itu kini menangis dengan badan basah kuyup.Tanpa berpikir panjang, ia segera melepas jaketnya, lalu mendekati Lavina dengan tangan kiri memegangi payung dan tangan kanan menenteng jaket.Namun, langkah kaki Auriga tiba-tiba terhenti saat ia melihat seorang pria datang lebih dulu daripada dirinya. Pria itu berdiri di hadapan Lavina yang tengah berjongkok, dengan payung besar yang melindungi mereka berdua.Auriga menyaksikan wajah Lavina terangkat, menatap lelaki itu, lalu berdiri.Juna.Ya, siluet lelaki bertubuh tinggi agak kurus itu adalah Juna. Tidak salah lagi. Auriga tidak salah lihat. Sial. Rahang Auriga seketika berubah mengeras, tangannya terkepal saat Juna menyelimuti Lavina dengan jaketnya. Keduanya lantas pergi meninggalkan tempat tersebut menggunakan arah lain, bukan jalan yang Auriga pijak saat ini. Kepergian mereka membuat Auriga mema
Rahang Auriga tampak berkedut. Matanya menatap Lavina lurus-lurus. “Pulang!” gumamnya dengan nada memerintah.“Nggak mau!” Lavina membuang muka dan bersedekap dada.“Saya bilang pulang!” gumam Auriga lagi dengan penekanan yang lebih tegas.“Aku bilang nggak mau ya nggak mau!” tolak Lavina mentah-mentah. “Mending Om balik lagi aja, deh. Baru aja beberapa jam hidup nyaman tanpa melihat Om, malah Om tiba-tiba datang nggak diundang dan—EH! OM MAU NGAPAIN?” pekik Lavina tiba-tiba saat Auriga masuk ke apartemen itu.Lavina segera menyusul. Ia menatap Auriga yang mematikan televisi, dengan tatapan bingung sekaligus kesal.Dan….Ruangan itu mendadak gelap setelah Auriga menekan saklar. Kemudian Auriga mengangkat tubuh Lavina seperti memanggul beras, membuat Lavina sempat memekik kaget. Auriga mengambil kunci apartemen itu dari kotak di dekat pintu, lantas keluar dan menutup pintunya kembali. Pria itu sama sekali tidak menghiraukan Lavina yang meronta-ronta meminta diturunkan sambil berteriak.
Ting tong!“Sebentar ya, Mommy Lavina buka pintu dulu.”“Iya, Mom.”Lavina menaruh piring makanan Aurora ke atas meja makan, lalu ia bergegas menyeret langkahnya menuju pintu.Aurora sudah pulang ke rumah tadi siang. Dan saat ini hanya ada mereka berdua di rumah. Auriga sedang pergi entah ke mana, pria itu hampir tak pernah menjelaskan urusannya kepada Lavina semenjak mereka menikah.Lavina membuka pintu. Saat pintu terbuka, ia melihat seorang kurir sedang berdiri di hadapannya sambil menenteng lima paper bag besar.“Selamat siang. Betul dengan Mbak Lavina?”Lavina mengangguk. “Iya, saya sendiri. ada apa ya, Om?”“Oh, ini.” Pria itu menyerahkan semua paper bag di tangannya pada Lavina, “Ada kiriman untuk Mbak Lavina.”“Dari siapa?”“Dari….” Sang kurir membaca sesuatu di layar ponselnya sesaat. “Dari Pak Auriga, Mbak.”“Hah?” Lavina mengerjap. “Buat saya? Om nggak salah kirim, kan?”“Nggak, Mbak. Betul kok buat Mbak Lavina.”“Oh… terima kasih kalau begitu.”Lavina membawa semua barang
“Kamu tahu, Yoana? Gara-gara jamur yang kamu masukan ke dalam makanannya, Aurora harus dirawat dan kondisinya sempat kritis.”Deg!Raut muka Yoana mendadak berubah pucat, jantungnya seketika berdebar-debar. Kenapa Auriga tahu tentang hal itu? Seharusnya Lavina yang dia curigai. Tapi, kenapa malah….“A-apa?” Yoana tergagap. Lalu menggeleng cepat. “Nggak. Bukan aku yang masukin bumbu kaldu jamur itu ke dalam sayur. Yang masak hari itu bukan aku saja, tapi Lavina juga,” jelasnya untuk membela diri.Auriga terdiam. Ia tak berhenti menatap Yoana, yang membuat Yoana semakin gelisah dan tangannya berkeringat.“Kenapa kamu melakukannya, Yoana?” Suara Auriga memang rendah, tapi itu justru terdengar menakutkan di telinga Yoana.“Nggak! Aku bilang bukan aku!” seru Yoana, masih berusaha mengelak.Auriga tersenyum kecil. “Kamu tahu? Barusan aku cuma nebak aja padahal.”“A-apa?”“Tapi nggak aku sangka ternyata tebakan aku benar.”Yoana terhenyak. Sial. Ia sudah termakan jebakan Auriga. Wajahnya sem
“Terima kasih ya, Mas,” ucap Lavina dengan ramah setelah menerima sebuah paket dari seorang kurir.Ia menutup pintu, berjalan ke dalam rumah dengan senyuman lebar dan mata berbinar-binar. “Akhirnya datang juga,” gumamnya sembari menatap kotak persegi panjang di tangannya.“Paket punya siapa itu?”“Eh?” Lavina terkesiap hingga langkahnya seketika terhenti. Ia mengerjap melihat Auriga yang sedang menuruni tangga. “Buat aku, Om. Siapa lagi memangnya.”Lavina menyembunyikan paket tersebut di belakang punggung, yang membuat Auriga memicing curiga.“Bukan! Ini bukan apa-apa. Cuma baju biasa,” ujar Lavina tiba-tiba bahkan tanpa ditanya. Ia merasa agak cemas Auriga akan tahu kalau isi paket tersebut adalah pakaian untuk acara resmi, yang akan ia gunakan ke pesta orang tuanya Juna.“Oh. Saya kira kamu beli lagi celana dala—”“Om!” potong Lavina dengan cepat, matanya membelalak. “Jangan bahas itu! Nggak sopan bahas yang kayak gitu di depan cewek,” gerutunya dengan bibir merengut.Auriga mengemb
Mata Lavina mengerjap dan melihat tangan Juna dengan ragu. Setelah berpikir, akhirnya Lavina menerima uluran tangan Juna. Juna mengganggam tangannya itu, lalu membawanya ke dance floor, bergabung dengan pasangan lainnya.Mereka mulai bergerak di tengah lantai dansa yang indah itu. Juna dengan sabar mengajari Lavina langkah-langkah dasar tarian. Dia membimbingnya dengan pelan, menggenggam tangan Lavina, berusaha membuat gadis itu merasa aman dan percaya diri.Semakin lama mereka berdansa, semakin Lavina merasa nyaman dan mulai menikmati momen tersebut. Dia merasa seperti melayang di atas lantai dansa, tersenyum lebar, dan lupa akan semua keraguan yang pernah dia rasakan.“Gimana? Sudah nyaman sekarang?” tanya Juna, yang dibalas dengan anggukkan kepala oleh Lavina.“Aku udah bisa,” bisik Lavina dengan ceria.“Nah, kan. Apa aku bilang, dansa itu nggak sulit, kok,” ucap Juna seraya memandangi wajah Lavina dengan lekat. “Sekarang, coba berputar.”“Hm!” Lavina mengangguk.Juna mengangkat sa
Auriga tak kunjung bersuara. Pria itu mematung, hanya sorot matanya saja yang berbicara. Itupun sulit sekali dipahami.Lavina menggigit bibir bawahnya. Nyalinya seketika menciut dan tiba-tiba matanya berkaca-kaca karena kesal dan merasa bersalah, bercampur aduk di dalam hatinya.“Kalau Om marah, marah aja nggak apa-apa. Jangan bikin aku serba salah gini.” Lavina merajuk dengan wajah merengut. “Om yang diam aja kayak gini jadi terlihat semakin menakutkan. Seenggaknya bilang apaan, kek, biar aku tahu apa yang Om pikirin sekarang.”Tiba-tiba, Auriga merundukan kepalanya mendekati telinga Lavina dan berbisik dengan nada suara yang masih sedingin es. “Kamu sadar kalau kamu salah?”“I-iya.” Lavina tergagap. “Aku salah, Om. Maaf.”“Tapi kata maaf nggak bikin kemarahan saya hilang,” bisik Auriga lagi, yang membuat Lavina terdiam mendengarnya.Lavina menghela napas berat. “Terus? Aku harus gimana? Aku berbohong juga ‘kan karena aku takut sama ancaman Om yang—”“Tidur dengan saya malam ini.”“E