Share

Part 1


"Sayang... Cia... ini sudah hampir maghrib, kalian mau sampai kapan bermainnya!" suara Elena, mama Cia, terdengar menggelegar dari dalam rumah. Elena berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang menatap tajam suami dan anak semata wayangnya yang masih asik bermain badminton. Xavier dan Cia mengabaikan teriakan Elena. Mereka terus melanjutkan permainan seolah tidak terganggu dengan tatapan tajam wanita itu.

"Mama hitung sampai tiga, kalau masih tidak berhenti, Papa tidur diluar malam ini!" Teriak Elena mengancam suaminya, Xavier. Mendengar ancaman istrinya, Xavier langsung menghentikan permainan dan meninggalkan Cia yang siap menservis.

"Papa, jangan curang, Cia sudah menang, kenapa Papa pergi, sih?" Omel Cia saat melihat papanya pergi meninggalkan lapangan. Mereka sedang bermain Badminton di halaman belakang rumah. Memang rumah tempat mereka tinggal memiliki halaman yang luas dan asri. Warna halaman rumah itu pun terasa hidup dengan banyaknya macam warna bunga. Rumah tersebut merupakan pilihan Elena saat mereka akan pindah ke Indonesia. Mereka pindahan dari Amsterdam tiga tahun lalu. Di indonesia mereka memiliki lebih banyak family dari pada di Amsterdam. 

"Jangan begitu, sayang. Aku tidak akan sanggup jika harus tidur diluar malam ini. Oh, god aku tidak ingin itu." Xavier mengabaikan celotehan putrinya yang masih berada di lapangan dan menghampiri istrinya yang masih berdiri di depan pintu. Dirangkulnya Elena menuju kamar mereka.

"Papa itu seharusnya mengajarkan anak kita yang baik-baik bukannya seperti ini, bermain hingga hampir malam!" Omel Elena saat berjalan menuju kamar mereka. 

"Sudah, Ma, jangan marah lagi nanti cepat tua." Xavier menatap istrinya, namun setelah itu ia sadar apa yang baru ia ucapkan.

Selamatkan hamba ya rabb, batin Xavier.

"Ooh ... Papa bilang Mama tua, jadi Papa ingin mencari wanita lain, begitu?!" Tanya Elena marah sambil melepas rangkulan Xavier dari bahunya dan menatap mata suaminya tajam.

"Bukan begitu sayang, bagiku sampai kapanpun kamu tetap cantik." Xavier ingin menarik tangan Elena, namun Elena terlebih dulu menjauhkan tangannya. 

"Sudah lah, Papa memang ingin mencari wanita lain." Putus Elena dan berlalu meninggalkan Xavier yang berdiri dengan perasaan serba salah.

"Salah lagi... salah lagi." Xavier geleng-geleng kepala sembari memijat pelipisnya yang tidak sakit melihat istrinya yang super duper pencemburu. Disusulnya langkah Elena yang menuju kamar mereka dengan senyum devilnya. Dia sangat tahu bagaimana cara meluluhkan hati istrinya yang pemarah itu.

Disisi lain Cia menyaksikan perdebatan orangtuanya dengan tatapan cuek. Hal seperti itu sudah sering ia lihat sehingga membuatnya tidak terlalu khawatir saat melihat orang tuanya berdebat seperti itu.

Pasti sebentar lagi juga baikan, batinnya.

Selalu saja, Xavier dan Elena berdebat panas, bahkan lebih panas dari yang tadi. Namun, baru saja bertengkar, setengah jam kemudian mereka sudah kembali baikan, saling menunjukkan kemesraan. Cia memutar bola matanya jengah melihat tingkah kedua orangtuanya yang menurutnya sedikit kekanakan.

"Na... na...na...na...na..na..." Cia bersenandung ria sambil berjalan menuju kamarnya di lantai atas. 

Patricia Florence. Seorang gadis manja berumur 23 tahun yang merupakan putri tunggal di keluarganya. Memiliki seorang kembaran laki-laki bernama Alden Florence. Namun kini, kakaknya itu sudah tenang di alam sana, di alam yang berbeda dengan Cia. Alden pergi meninggalkan mereka semua dan kehidupan di dunia ini 13 tahun yang lalu. Peristiwa itu merupakan bencana yang meninggalkan kesedihan amat mendalam bagi keluarga mereka, terutama kedua orangtua Cia. Putra pertama Xavier dan Elena meninggal dengan sangat mengenaskan saat jatuh dari balkon mansion nenek mereka yang tinggal di Amsterdam dan kejadian itu terjadi saat ada acara perkumpulan keluarga. Alden yang yang saat itu berusia sepuluh tahun, sedang bermain bersama sepupunya yang lain. Namun, entah apa yang terjadi, mereka semua dikejutkan saat mendengar teriakan salah satu sepupu Alden yang berasal dari kamar. Peristiwa itu membuat keluarga mereka trauma sehingga kedua orangtua Cia sangat over protectife kepadanya.

Cia tinggal di Indonesia masih satu tahun. Sebelumnya ia tinggal di Amsterdam bersama nenek dan kakeknya. Disana ia melanjutkan kuliah sehingga orang tuanya pindah terlebih dahulu. Lalu ia menyusul saat masa kuliahnya telah barakhir dan disinilah Cia sekarang, di tanah air Indonesia menjalani hari-hari barunya.

Malam hari, Cia membantu mamanya menyiapkan makan malam. Walaupun anak tunggal, Cia sudah diajarkan untuk menjadi anak yang rajin dan patuh kepada orangtua. Apalagi mamanya selalu mengajarkannya memasak berbagai jenis makanan. Cia sangat ingat perkataan mamanya saat mereka memasak bersama pertama kali.

Perempuan itu harus pandai memasak, agar nanti bisa menyiapkan makanan untuk suami. Perkataan mamanya membuat Cia selalu bersemangat jika memasak. Ia berharap jika suatu saat nanti ia sudah bersuami, ia bisa memasakkan makanan untuk suaminya setiap hari dan melihat suaminya menyantap makanan yang di buatnya dengan lahap. Membayangkan itu membuat hati Cia menghangat.

Saat ini, Cia dan mamanya sedang menyiapkan makan malam.

"Ma, Cia aja ya yang masak sambalnya." Ucap Cia pada mamanya.

"Memangnya sudah bisa?" Tanya Elena sambil memotong brokoli di tangannya.

"Bisa dong Ma, ini kan gampang, masak sayur asem aja Cia tau apa lagi sambal goreng." Jelas Cia pada mamanya. Elena dan Cia akan memasak tumis brokoli, ayam sambal goreng dan sup iga sebagai menu makan malam mereka. Makanan rumahan memang selalu menjadi pilihan keluarga mereka. Cia memasak sambal ayam goreng dengan telaten. Saat makanan yang di masaknya sudah selesai, Cia langsung menghidangkan masakannya di meja makan. Setelah itu kembali lagi ke dapur menghampiri mamanya.

"Boleh Cia bantu, Ma?" Tanya Cia yang berdiri di samping mamanya.

"Boleh. Kamu potong bahan-bahan untuk sup saja, ya." Suruh Elena.

"Oke chef."Ujar Cia sambil mengacungkan kedua jempolnya. Cia mulai melaksanakan perintah mamanya. Dimulai dari memotong bawang, tomat, kemiri, sarei dan lainnya lalu mencampurkan semua bahan di tempat yang sama yaitu blender. Setelah itu Cia menambahkan sedikit air dan mulai memblender bahan-bahan tersebut.

Beberapa menit kemudian, Cia sudah memindahkan sup yang dimasaknya ke dalam mangkuk yang berukuran sedang.

"Yey... selesaiiii!!" Ujar Cia heboh lalu menghirup aroma sup masakannya yang menggugah selera.

"Jangan teriak-teriak, kamu itu ya kebiasaan." Komentar Elena pada putrinya yang sangat hobby berteriak.

"Hehe mau gimana lagi Ma, namanya juga sudah kebiasaan, Cia refleks," sanggah Cia.

"Iya, tapi itu tidak bagus, jadi perempuan itu yang calm, yang ayu." Nasihat Elena.

Cia memang sangat suka bersuara dengan volume yang tinggi alias berteriak. Itu sudah jadi kebahagiaan tersendiri baginya. Bahkan dulu saat ia masih bersekolah hingga keperguruan tinggi, ia selalu mendapat berbagai macam julukan. Salah satunya 'si Toa Dunia'. Di antara julukan lainnya itulah julukan yang paling Cia ingat sampai sekarang. Cia tidak pernah malu mendapat julukan seperti itu, baginya itu sebuah kebanggaan sehingga orang-orang lebih banyak mengenalnya.

Menurut Cia, menjadi wanita pendiam seperti yang diingikan mamanya itu tidak menyenangkan, selalu diam, tidak banyak bicara, tidak banyak teman, hari-hari orang seperti itu pasti sangat membosankan menurutnya. Cia lebih suka menjadi dirinya sendiri, yang selalu ceria, heboh, suka berteriak, dan keras kepala, walaupun mamanya selalu mengatakan agar ia berusaha merubah kebiasaannya itu. 

"Ma, jadi diri kita sendiri itu lebih baik." Ucap Cia lembut pada mamanya.

"Iya deh iya, kamu memang selalu menang dari Mama." Elena mengalah kepada putri semata wayangnya. Memang jika sudah berdebat dengan Cia tidak akan ada habisnya, selalu saja ada balasan kalau kita tidak mengalah lebih dulu.

"Mama manggil Papa diruang kerja dulu, ya." Elena pergi ke ruang kerja suaminya, hendak mengajak suaminya makan. Cia membalas perkataan mamanya hanya dengan anggukan. Ia duduk setia menunggu kedua orangtuanya diruang makan, hingga dia mendengar suara mama dan papanya yang sedang berbicara. Cia tersenyum lembut melihat kedua orangtuanya yang sudah berbaikan, padahal tadi sore mereka saling diam. Xavier menghampiri putrinya dan mengecup puncak kepala Cia.

"Malam, Pa." Sapa Cia.

"Malam, sayang." Balas Xavie lalu duduk dikursinya. Elena yang sudah duduk lebih dulu, mengambilkan makanan untuk suaminya dan diterima Xavier dengan senang hati. Mereka melalui makan malam dengan obrolan ringan yang membuat suasana makan malam mereka terasa hangat.

Selesai makan Elena kembali kedapur untuk mencuci piring dengan Xavier yang setia menunggunya diatas meja bar kecil sambil duduk. Sedangkan Cia, setelah selesai membereskan meja makan, ia langsung pergi ke ruang keluarga untuk menonton tv dengan channel kesukaannya.

"Sayang, kemarin Bima menelponku." Ucap Xavier membuka obrolan. 

"Tumben sekali dia menelpon, ada urusan apa, Pa? Bagaiman kabarnya dan Lira?" Balas Elena sambil melanjutkan pekerjaannya.

"Kabar mereka baik baik-baik saja dan dia mengungkit soal perjanjian kita dulu." Xavier menatap punggung istrinya.

"Perjanjian?" Elena tanpak berpikir.

"Oh iya, Mama ingat. Waah tidak disangka ya, Pa. Tidak lama lagi perjanjian kita itu akan menjadi kenyataan." Elena berbalik badan menatap suaminya dengan semangat.

"Iya, Ma, Bima ingin anaknya dan anak kita segera dipertemukan." Xavier menghampiri istrinya.

"Iya, Mama setuju, Pa." Balas Elena sambil menatap suaminya.

"Kita harus membuat acara pertemuan untuk mengenalkan mereka. Ayo Pa, kita bicarakan ini dengan Cia." Elena menarik lengan suaminya dengan semangat. Sebelumnya, ia sudah mengeringkan tangannya terlebih dulu saat sudah selesai mencuci piring. Xavier tersenyum lembut melihat istrinya yang sangat bersemangat jika membahas soal pernikahan.

"Kenapa Ma, kok kelihatannya seneng banget?" Cia mengalihkan tatapannya dari layar TV untuk melihat mamanya yang terlihat sedang gembira.

"Tentu Mama sangat senang karna Mama dan Papa ingin membicarakan soal masa depan kamu." Balas Elena lalu duduk di samping putrinya.

"Masa depan? Mama seperti peramal saja, ingin membicarakan masa depan." Cia mengerutkan alisnya melihat mamanya.

"Iya, sayang. Sekarang Mama tanya, Cia belum punya pacar 'kan?" Tanya Elena serius.

"Belum, tapi Mama gak perlu khawatir, anak Mama yang cantik ini pasti akan memiliki pacar yang tampan, baik, perhatian, kaya seperti Aisssh..." pukulan Elena dilengan Cia menyadarkan kembali hayalan Cia yang sudah melambung tinggi.

"Iiihh Mama, kebiasaan deh."

Cemberut Cia melihat mamanya.

"Sayang jangan main tangan. Lihat, tangan anak kita jadi merah begitu." Xavier memperingati istrinya yang sudah membuat Cia cemberut. Elena memang sangat suka melayangkan pukulan kepada mereka berdua. Itu sudah seperti makanan bagi mereka setiap harinya, walaupun Elena tidak benar-benar memukul mereka, tetapi tetap saja pukulannya terasa perih.

"Sudah lah, Mama selalu salah dimata kalian. Sekarang, kamu dengarkan perkataan mama. Mama dan Papa punya sahabat sewaktu kuliah. Waktu itu, kami membuat perjanjian, jika nanti kami mempunyai anak yang berbeda kelamin maka kami akan menjodohkan anak kami. Dan sekarang, Mama sudah punya Cia, jadi Mama akan menjodohkan Cia dengan anak sahabat Mama itu." Elena menjelaskan kepada Cia niat utamanya yang ingin disampaikan pada putrinya. Sekarang reaksi Cia benar-benar tak terbaca. Alis yang mengeruk, bibir yang terbuka, dan matanya yang melotot melihat mama dan papanya bergantian.

"Kamu mengerti?" Tanya Xavier pada putrinya.

"No." jawab Cia enteng dan cepat dengan tampang polosnya.

Plaak... 

Elena dan Xavier sama-sama menepuk kening mereka melihat tingkah Cia.

"Jadi kenapa ekspresimu begitu?" Tanya Elena.

"Gakpapa. Lagian, apa hubungannya perjanjian Mama dengan Cia?" Tanya Cia sambil menaikkan alisnya.

"Kamu kan anak Mama, sudah pasti ada hubungannya."

"Memangnya Cia anak Mama? Sejak kapan?" Tanyanya bermaksud ingin menggoda mama galaknya itu.

Elena menghela nafas. Bukan saatnya ia membalas pertanyaan Cia yang sudah tidak perlu dipertanyakan lagi.

"Pa, jelaskan. Mama pusing jika bicara dengan anakmu ini." Elena menyuruh Xavier agar menjelaskan semuanya pada Cia. Ia sudah tidak sanggup meladeni putrinya yang lemot.

"Anak kita, Ma. Kan waktu itu kita buatnya bareng." Timpal Xavier lalu menjelaskan tujuan dari pembicaraan mereka.

"Cia, begini, Papa akan menjodohkan kamu dengan anak sahabat papa." Jelas Xavier secara perlahan sambil menunggu reaksi Cia.

"Jadi?" Tanya Cia bingung.

"Ya... kamu dijodohkan." Balas Xavier.

"Ooh.." Cia beroh ria sambil mengangguk berulang kali. 

"APA?!" Teriakan Cia menggelegar diruangan itu membuat kedua orang tuanya tergelonjak kaget sembari menutup kedua telinga mereka. Setelah beberapa detik, Cia baru menyadari dan mencerna perkataan papanya dan reaksinya setelah itu benar-benar mengerikan.

"Cia dijodohkan? Hahaha... Papa becanda? Aduh Pa, bagi Cia becadaan Papa itu sama sekali nggak lucu. Garing banget, Papa mau nge-prank Cia, ya?" Cia geleng-geleng sambil tertawa geli melihat papa dan mamanya.

"Cia, Papa serius." Xavier berujar dengan nada yang serius untuk meyakinkannya.

"Pa, Ma, ini sudah zaman modern, bukan zaman Siti Nurbaya lagi. Sudah bukan zamannya hal yang seperti itu " Protes Cia.

"Lagipula, Cia nggak tau bakalan dijodohin sama siapa dan Cia sama sekali gak mau tau. Pokoknya Cia gak mau." Sambungnya dengan gelengan dan kekesalan.

"Dengarkan Mama dulu. Memang benar, saat ini kamu belum kenal dengan pria yang akan dijodohkan dengan mu. Karena itu, saat ini Mama cerita sama kamu, supaya Mama bisa ngenalin kamu sama anak sahabat Mama itu. Supaya nanti kamu tidak syok dan malu-maluin Mama dengan reaksi kamu yang seperti tadi." Elena meraih kedua tangan Cia dan menggenggamnya, meyakinkan Cia bahwa ia serius dengan perjodohan ini.

Elena hanya ingin yang terbaik untuk putri tunggalnya. Ia tidak ingin Cia bersama sembarangan pria yang tidak diketahui asal usulnya. Apalagi sekarang sudah banyak pria hidung belang yang mengaku-ngaku masih single, nyatanya sudah beristri. Elena tidak ingin putrinya sampai bertemu pria seperti itu. Apalagi sampai menjalin hubungan.

"Tapi Ma, ini hidup Cia. Cia berhak menentukan pilihan Cia sendiri, Cia hanya mau menikah dengan pria yang Cia cintai dan mencintai Cia." Cia berusaha membujuk dan meluluhkan hati mamanya. Namun, Elena masih tetap dengan pilihannya, menjodohkan Cia dengan anak sahabatnya.

"Cinta itu tidak menentukan hubungan seseorang akan berjalan baik, sayang. Memang benar kamu tidak cinta sama dia, tapi bukan berarti kamu tidak bisa cinta sama dia. Mama yakin sesudah kalian menikah dan tinggal bersama, kalian pasti akan saling mencintai. Cinta itu tumbuh karena terbiasa. Dengar dan pegang kata-kata Mama." Jelas Elena meyakinkan Cia yang keras kepala.

"Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Nak." Tambah Xavier.

"Kamu tidur gih, ini sudah larut malam. Tenangin pikiran kamu dan semuanya akan baik-baik saja." Xavier berujar lembut pada putri tunggalnya.

"Ya sudah, Cia kekamar dulu, Pa, Ma." Pamit Cia sambil mencium pipi orangtuanya bergantian.

"Mimpi yang indah, sayang." Ujar Elena sembari mengelus rambut panjang Cia.

Cia memasuki kamarnya yang berada dilantai atas. Ia berjalan menuju ranjangnya dengan lesu. Wajahnya yang selalu tampak ceria bertolak belakang dengan malam ini. Cia menaiki ranjang dan menelentangkan tubuh lelahnya, menatap kosong langit-langit kamarnya. Tidak ada pergerakan dan kata-kata yang keluar dari bibirnya. Hanya matanyalah yang berkedip, menunjukkan sorotan mata yang kosong.

Ya rabb tunjukkanlah hamba dengan pilihan yang benar, ujar Cia dalam hati. Setelah itu ia benar-benar hilang dari alam sadarnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status