07 : 15 WIB
Suasana ibu kota Indonesia selalu seperti biasa dengan keramaiannya. Orang-orang melakukan berbagai macam aktivitas seperti biasa. Kota ini merupakan kota terpadat se-Indonesia juga kota yang tidak pernah tidur. Saat berada dikota ini, kita seakan-akan lupa waktu, walaupun tengah larut malam orang-orang masih saja berkeliaran melakukan aktivitas mereka seakan tak kenal waktu untuk tidur. Saat berada di kota ini, ada satu masalah yang seakan selalu menguji kesabaran siapa saja. Kemacetannya, yang sangat terkenal bahkan sampai keluar Indonesia. Hanya untuk mencapai suatu tempat pun menjadi butuh waktu yang lama, seperti yang tengah dialami oleh seorang pria yang sedari tadi terus mengeluarkan umpatan melihat kemacetan didepannya. Suara klakson yang saling bersahutan menambah keributan dearah itu.
Rambu-rambu lalu lintas yang berada dipersimpangan jalan itu sudah menunjukkan warna hijau yang menyala, menandakan bahwa para pengguna jalan sudah bisa kembali melanjutkan perjalanan. Namun, tidak dengan pria yang sedari tadi terus mengumpat dan orang-orang di depannya yang juga tengah membunyikan klakson mereka berulang kali. Sesuatu telah terjadi dipersimpangan jalan itu. Suara tangis dan jeritan wanita terdengar oleh pendengaran pria itu.
"Shiiit..." umpat pria itu sebelum keluar dari mobil mewahnya. Ia bertanya pada salah seorang pengguna jalan yang tidak jauh berdiri dari mobilnya.
"Dek! Di depan itu kenapa?" Tanyanya saat sudah berdiri di dekat seorang anak muda.
"Ada kecelakaan, Mas." Jawab pemuda itu.
pria itu mengangguk lalu kembali berjalan memasuki mobilnya.
Rencanaku hari ini gagal total, batin pria itu.
Sekitar satu jam kemudian, pria itu akhirnya sampai ditujuan. Ia menghembuskan nafas kasar sebelum melapas seatbelt dan keluar dari mobil. Saat memasuki gedung yang sudah dua tahun berada dibawah kekuasaannya, para karyawan yang melintas didepannya menyapa pemimpin mereka dengan ramah. Terutama para kaum hawa yang rela pura-pura berjalan dihadapan pria itu hanya untuk memberi sapaan. Namun, tak satupun dari mereka yang mendapat balasan. Jangankan dapat balasan, dapat senyum sedikit saja tidak. Namun, hal itu tidak membuat mereka berhenti untuk menarik perhatian atasan mereka tersebut.
"Pagi, Sir." Sapa wanita yang merupakan salah satu karyawan pria yang diketahui bernama Elgan. Wanita itu mengerucutkan bibirnya saat tidak mendapat respon dari atasannya.
Elgan memasuki lift yang disediakan khusus untuknya dengan berwibawa. Rahang tegas dan matanya yang tajam membuat siapa saja yang menatap mata itu akan merasa terintimidasi.
Siapa yang tidak kenal dengan pria itu? Mungkin tidak ada.
Elgan Gaulia Lambert merupakan seorang CEO di perusahaan milik keluarganya yang ternama di Indonesia. Putra pertama dari keluarga kaya raya, yang bahkan kekayaan keluarganya tidak akan habis sampai tujuh keturunan. Elgan dikenal sebagai pria dingin dan kejam. Dia tidak akan sungkan untuk menghancurkan siapa saja yang berani melawannya. Musuhnya ada dimana saja dalam dunia bisnis. Begitu pula dengan fansnya yang bertebaran entah dimana saja bahkan keluar negeri. Entah sampai kapan ia akan terus menyandang predikat sebagai pria kejam yang dingin. Mungkin dia butuh seseorang yang dapat menghancurkan sikapnya yang seperti itu.
"Hai, Bro..." Sapa Niko yang merupakan sahabat sekaligus menjelma sebagai sekretaris pribadi Elgan.
"Lo udah sampai? Tumben." Elgan mengabaikan sapaan Niko dan malah menanyakan sesuatu yang sudah tidak perlu lagi
Datang lama salah, cepat salah, batin Niko.
"Ya iya la, kan gue udah ada disini, lo kayaknya makin gak sehat, deh. Lo kenapa? Masih galau?" Tidak ada seorang pun yang berani berkata seperti itu padanya, apalagi sampai mengatainya tidak sehat kecuali temannya ini, Niko.
Elgan hanya diam tidak menggubris perkataan Niko dan berlalu dari hadapan sekretarisnya itu. Ia duduk dikursi kebesarannya dan mulai mengerjakan tugasnya yang sudah menumpuk. Terlalu banyak berkas yang harus diperiksa dan ditandatangani. Baru saja lima belas menit ia berkutat dengan berkasnya, suara deringan ponsel yang terletak diatas meja kerjanya berdering.
"Halo, Ma." Suara Elgan melembut saat bicara dengan mamanya.
"Iya Ma, Elgan baru sampai sekitar 15 menit yang lalu." Ketika Elgan sedang menerima telepon suara langkah kaki terdengar memasuki ruangannya membuat ia mengalihkan tatapannya pada suara itu.
"Mama ada-ada saja, Elgan baru sampai, Ma. Sangat tidak mungkin jika Elgan pulang." Elgan menghembuskan nafas lelah meladeni tingkah mamanya.
"Udah ya, Ma, masalah itu kita bicarakan nanti malam saja, bye, Ma." Elgan mematikan sambungan telepon dan celotehan mamanya di seberang sana.
"Merepotkan." Gerutu Elgan
"Gitu banget lo bro, dosa tau ngatain emak kayak gitu. Lo mau jadi anak durhaka, hem?" Niko yang sedari tadi memperhatikan sahabatnya dari sofa empuk yang tengah di dudukinya mengeluarkan suara.
"Lo aja yang jadi anak durhaka." Balas Elgan.
"Emangnya ada apa?" Tanya Niko penasaran.
Elgan hanya mengedikkan bahunya, acuh.
"Ngapain?" Sinis Elgan.
"Nganterin itu, lo tinggal nandatanganin aja." jawab Niko sambil menunjuk lembaran dokomen penting yang sudah diletakkannya diatas meja Elgan.
"Nanti malam lo mau gak nemenin gue?" Tanya Niko, namun matanya menatap layar tab ditangannya.
"Kemana?" Tanya Elgan balik.
"Party ulangtahunnya temen gue. Lo ikut, ya?" Ajak Niko.
"Kapan?"
"Nanti malam lah." Jawab Niko yang sekarang menatap Elgan.
"Oo..."
" Ooo...?" Niko menaikkan sebelah alisnya bingung.
"Lo mau gak? Pasti disana nanti banyak cewek sexy. Mungkin aja kita bisa dapat satu untuk dibawa pulang." Niko tersenyum jahil menyindir Elgan yang memutar bola matanya mendengar rencana Niko.
"Lo pikir bungkusan nasi yang bisa dibawa pulang." Balas Elgan Sarkastik.
"Gue belum tahu. Liat nanti malam aja." Final Elgan. Setelah itu ia kembali melanjutkan tugasnya yang tadi sempat tertunda. Sedangkan Niko yang merasa kehadirannya diabaikan keluar dari ruangan Elgan yang sebelumnya ia membalas keputusan Elgan hanya dengan ber-oh ria.
Tepat pukul 17: 00 WIB, Elgan keluar dari ruangannya dan menghampiri Niko yang sedang berkutat dengan komputer di depannya.
"Lo belum pulang, gue duluan ya?" Suara Elgan yang tiba-tiba membuat Niko sedikit tersentak kaget.
"Huh, ngagetin aja lo, ya udah sana pulang, tapi nanti malam jadikan?"
"Yoi, jemput gua." Balas Elgan yang sudah mengerti maksud dari pertanyaan Niko. Niko mengacungkan kedua jempolnya sambil menampakkan deretan gigi putihnya menyetujui perkataan Elgan.
Elgan melangkahkan kakinya menuju basement dan mulai mengendarai mobilnya hendak pulang. Beberapa menit kemudian ia sudah sampai di pelataran mansion keluarganya.
"Assalamu'alaikum." Salam Elgan hendak memasuki pintu utama mansion.
"Wa'alaikumsalam." Suara mama Elgan, Lira. Terdengar dari dalam. Lira menyambut Elgan dengan senyum manisnya. Putra kesayangannya yang baru pulang terlihat sangat berantakan. Kancing baju paling atas yang sudah terbuka, dasi sudah longgar dan lengan bajunya yang sudah ditarik hingga kesiku. Namun, hal itu tidak mengurangi ketampanan Elgan sedikitpun.
"Kamu di kantor ngapain aja? Latihan gulat? Kusut begitu bajumu." Cecar Lira pada putranya.
Elgan mengedikkan bahunya asal.
Lira menyerahkan segelas teh hangat.
"Ini minum dulu." Ujarnya lembut.
"Sudah berapa kali Mama bilang, kamu itu gak perlu bekerja sekeras ini. Atur waktumu dengan baik, jangan gila-gilaan sama kerjaan mulu." Ujar Lira menasihati putranya.
"Jangan jadikan pekerjaan sebagai pelampiasan amarahmu." Sambungnya.
Elgan meneguk teh yang di buatkan mamanya dengan santai. Perkataan Lira membuatnya tidak dapat berkata-kata. Lira sudah berulang kali menasihati Elgan agar dapat mengatur waktunya degan baik. Sudah satu tahun belakangan ini Elgan selalu mengabiskan waktunya dikantor hingga larut malam, seakan tak kenal waktu untuk beristirahat. Hal itu membuat Lira sebagai seorang ibu khawatir terhadap anaknya.
"Mama mau ngomongin apa? Kenapa tadi pagi sampai nyuruh Elgan pulang?" Elgan mengalihkan topik. Ia sengaja melakukan itu karna tidak ingin mamanya membahas hal itu lagi.
"Elgan, kamu udah pulang, Nak?" Suara papa Elgan, Bima, terdengar dipendengaran mereka membuat Lira mengurungkan kembali niatnya untuk menjawab pertanyaan Elgan.
"Sudah, Pa." Jawab Elgan singkat. Bima menghampiri mereka yang duduk di sofa empuk lalu duduk disamping istrinya. Sofa yang mereka duduki terpisahkan oleh meja kaca.
"Pa, mungkin sudah saatnya kita memberitahu Elgan." Ujar Lira menatap suaminya. Bima mengangguk pengiyakan.
"Bicara soal apa, Ma?" Tanya Elgan penasaran.
"Mama akan menikahkanmu dengan gadis pilihan Mama." Lira menatap putranya serius.
Elgan terdiam beberapa saat.
"Enggak, Ma. Elgan gak bisa." Tolak Elgan.
Lira menatap suaminya. Seakan mengerti maksud istrinya, Bima memberi penjelasan kepada putra mereka.
"Harus, Elgan. Kami tidak bertanya kamu setuju atau tidak. Mama dan Papa sudah membuat keputusan yang tepat untuk hidupmu. Gadis yang akan kami nikahkan denganmu akan membuatmu sadar betapa berharganya waktu, bahkan satu detikpun. Kami tidak mau lagi melihat kehidupanmu yang berantakan seperti ini." Jelas Bima menatap putranya serius.
"Maksudnya apa sih, Pa? Elgan gak bisa menerima pernikahan ini begitu aja." Elgan menatap kedua orangtuanya bergantian.
"Kamu akan bahagia dengan gadis pilihan Mama, sebenarnya rencana ini sudah lama kami rencanakan, sangat lama, bahkan sebelum kamu ada di dunia ini, wanita yang akan dijodohkan denganmu adalah anak dari sahabat kami saat kuliah. Mama harap kamu siap dengan semua ini. Besok kita akan pergi ke rumah sahabat Mama itu untuk mengenalkan kamu dengan putrinya." Tegas Lira.
Elgan bungkam seribu bahasa. Jika mamanya sudah seserius ini, maka apa yang bisa ia perbuat? Tidak ada, selain menuruti perkataan mamanya.
Kediaman Elgan membuat Lira dan Bima merasa kalau Elgan menyetujui rencana mereka. Mereka tersenyum simpul melihat Elgan yang berada dihadapan mereka.
"Terserah kalian saja." Kesal Elgan.
"Nanti malam Elgan pergi dengan Niko ke acara ultah temannya." Elgan bingung harus berkata apa. Keputusan yang baru saja didengarnya tidak dapat dicernanya dengan baik. Bagaimana bisa ia menikah sekarang, sementara dia sedang menunggu kehadiran seseorang?.
"Ya sudah, tapi pulangnya jangan sampai larut malam." Tepukan Bima dipundak Elgan menyadarkan kembali kasadarannya yang sempat terenggut beberapa detik lalu.
"Iya, Pa." Elgan pergi meninggalkan kedua orangtuanya yang sedang terlihat bahagia.
"Hidupku akan jadi berantakan." Lirihnya sambil membuka pintu kamar.
Aroma maskulin langsung tercium saat ia memasuki kamar itu. Paduan warna coklat dan putih dapat menyatakan kalau pemilik kamar itu adalah seorang pria. Kamar itu terlihat rapi untuk ukuran pria.
Elgan mengambil gitar yang terletak disudut kamar dan membawanya ke balkon. Suara petikan gitar terdengar indah mengiringi lagu yang sedang dinyanyikannya. Bermain gitar dan bernyanyi selalu ia lakukan jika sedang banyak pikiran yang membuatnya penat. Elgan sudah menyanyikan sekitar tiga judul lagu dan itu sudah mampu mengurangi rasa penat dikepalanya.
Malam harinya, Elgan dan Niko pergi menuju birthday party teman Niko. Saat diperjalanan, Elgan lebih banyak melamun. Pikirannya berkecamuk memikirkan segala hal yang terjadi dihidupnya secara tiba-tiba. Mungkin benar kata Niko saat menjemput Elgan tadi. Party ini mungkin akan bisa menghilangkan rasa penat yang mereka rasakan. Kerjaan yang menumpuk seakan tak ada hentinya membuat dua orang sejoli itu tidak dapat refreshing untuk menjernihkan pikiran mereka diakhir pekan.
Jika kebanyakan pria akan menghabiskan waktu pekan mereka dengan refreshing bersama keluarga atau kekasih, hal itu berbeda dengan dua orang ini. Mereka akan lebih memilih nge-gym bersama ataupun menghabiskan waktu dirumah.
Sesampainya dilokasi, mereka sudah melihat banyak mobil yang terparkir di basement hotel. Party ini diadakan di salah satu hotel bintang lima yang ada di Jakarta.
Elgan dan Niko berjalan beriringan menuju keramaian. Beberapa orang terkagum-kagum melihat mereka. Suara bisikan pujian terdengar oleh dua orang sejoli itu. Niko tersenyum manis membalas senyuman yang dilemparkan seseorang kepadanya. Sedangkan Elgan, ia hanya santai menampakkan wajah datar dan berwibawa.
Tiba dikeramaian party, Niko mencari pemilik party yang akan dikenalkan dengan Elgan. Party dengan tema putih pink itu terletak didekat kolam belakang hotel. Tepian kolam sudah dihias sedemikian rupa. Balon berwarna putih dan pink tergantung dan tergeletak diatas lantai. Cahaya lilin-lilin yang menyala menambah kesan tersendiri di acara itu.
"Nadin?" Panggil Niko saat sudah melihat Nadin, si pemilik party.
"Hai, Niko." Sapa Nadin.
"Happy birthday, Nad. Ini kado buat lo." Niko menyerahkan kado yang sudah disiapkannya sejak kemarin. Elgan memperhatikan dua orang didepannya tanpa ingin mengeluarkan suara.
"Lo cantik banget malam ini." Nadin tersipu mendengar pujian Niko. Penampilan Nadin memang sangat cantik malam ini. Ia bagaikan bidadari. Gaun berwarna putih yang berpadu dengan pink yang menjuntai hingga kelantai melekat indah ditubuh rampingnya. Ia tampak manis dan imut malam ini.
"Eh'em..." Deheman Elgan menyadarkan Niko.
"Oiya Nad, kenalin ini teman gue." Nadin mengulurkan tangannya hendak berkenalan dengan teman pria Niko.
"Nadin." Ujarnya.
"Elgan." Balas Elgan menyambut tangan Nadin. Suara Elgan terdengar dingin dipendengaran Nadin.
"Temen lo yang kemarin itu mana, Nad?" Tanya Niko sembari memperhatikan sekelilingnya.
"Kenapa? Lo rindu sama dia?" Nadin tersenyum mengejek melihat Niko.
"Bisa aja lo." Niko tersipu malu.
"Dia disana. Ayo sekalian gue kenalin Elgan sama Cia." Ajak Nadin.
Elgan dan Niko mengikuti langkah Nadin yang berjalan ke sebuah kursi yang tidak jauh dari kolam.
"Cia, gue punya teman baru buat lo." Cia berdiri saat melihat Nadin menghampirinya. Dilihatnya Niko dan seorang pria yang tak dikenalnya juga ikut menghampirinya. Cia tersenyum simpul membalas senyuman Niko.
Malam ini, Cia menghadiri party sahabatnya. Ia mengenakan dress selutut berwarna putih gold. Cia terlihat sangat cantik dengan rambut hitam panjangnya diikat rendah yang sengaja diikalkan dibagian bawah.
Kecantikan Cia membuat Elgan yang sedari tadi cuek mengalihkan tatapannya meneliti gadis itu.
"Hai, Cia..." Sapa Niko. Mereka berjabatan tangan.
"Kenalin, temen gue." Niko sedikit menarik lengan Elgan yang berdiri dua langkah dibelakangnya hingga tepat berhadapan dengan Cia.
"Kenalan dong." Bisik Nadin di telinga Cia.
"Cia..." Ujarnya sembari mengulurkan tangan.
"Elgan."
Elgan
Sejak kapan lo kenal sama Niko?
Send
Nadin
Sekitar enam bulan yang lalu mungkin
Send
Hai, Kak, terimakasih banyak karena kalian sudah membaca novel ini. Tanpa dukungan kalian novel ini mungkin tidak akan bisa aku selesai dengan baik. Terimakasih atas supportnya selama ini. Di sini, aku ingin menyampaikan mengenai kelanjutan dari cerita My Cold Husband Is A CEO. Yang mana judul selanjutnya My Cold Husband IS A CEO 2. Kakak semua bisa lihat di 'tentang penulis' di bagian depan buku ini untuk melihatnya. Tentu saja aku pasti melanjutkan cerita ini karena masih banyak konflik-konflik yang akan mengiringi perjalanan rumah tangga Elgan dan Cia, kehamilan Cia dan juga perjalanan cinta Niko dan Nadin. Semoga kalian suka dengan kelanjutan cerita ini. Sekali lagi aku ucapkan terimakasih.
Dua bulan kemudian. Langit masih gelap, awan masih tampak hitam. Rembulan sudah mulai turun. Azan subuh sudah berkumandang beberapa menit yang lalu. Jangan harap ada suara kokokan ayam yang menjadi alarm tidur. Ini bukan pedesaan. Orang-orang perkotaan biasanya menggunakan benda kecil dengan suara yang nyaring untuk membangunkan tidur mereka. Hal itu sama seperti Cia, wanita itu biasanya bangun karena alarm. Tapi, hari ini berbeda, Cia terbangun dari tidurnya saat rasa mual tiba-tiba merenggut tidur nyenyaknya.Di dalam kamar mandi, Cia berdiri di depan wastafel dan memuntahkan cairan bening yang terasa pahit di lidahnya. Perutnya terasa melilit, padahal ia tidak sedang menstruasi.Cia menyeka air yang lengket di mulutnya. Tidak ada makanan yang keluar kecuali cairan bening yang terasa pahit.Ruangan yang tidak terlalu besar itu terasa berputar saat Cia mencoba menegakkan t
Selesai sarapan pagi, Cia langsung mencuci piring kotor yang sudah Elgan pindahkan dari meja makan ke wastafel yang tidak jauh dari meja kompor. Ada banyak perubahan dari diri Elgan dan Cia sangat mensyukuri itu. Suaminya itu tidak lagi langsung pergi setelah selesai makan, seperti yang sudah-sudah. Kali ini, Elgan akan membantunya melakukan pekerjaan rumah yang bisa ia kerjakan. Awalnya, Cia terperangah saat melihat Elgan memindahkan piring-piring kotor itu ke wastafel. Hingga akhirnya ia mengulum senyum saat melihat Elgan kembali ke meja makan dan membersihkan meja tersebut dengan serbet.Elgan yang tadi melihat wajah keheranan Cia, langsung menjawab tanpa diminta."Aku mau bantuin istriku beresin ini, bolehkan?" Elgan menatap Cia dengan penuh cinta.Cia yang sedang berdiri di depan wastafel semakin mengembangkan senyumnya.Istriku.Kata yang manis.Walaupun perlakuan Elgan sangat sederhana, hal itu sudah mampu menyentuh
Elgan baru saja pergi dari pemakaman Alden bersama Niko dan Nadin. Pemakaman yang dilakukan dengan khidmat itu menyisakan kenangan di ingatan mereka. Mereka masih saja tidak menyangka kalau Alden benar-benar telah pergi, padahal rasanya mereka baru saja bertemu. Pertemuan mereka memang tidak disangka-sangka, sama seperti perpisahan kali ini. Semua makhluk hidup pasti akan bertemu azalnya, semua orang tau itu, tapi tetap saja setiap kepergian selalu menyisakan kesedihan. Mengapa harus demikian? Bukankah kita sudah tau akhir dari kehidupan? Bukankah kita tau kematian akan menghampiri siapapun? Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, begitulah konteksnya. Kita tidak dapat membantah dan menghindari hal tersebut.Mereka memasuki ruangan serba putih itu, bau obat-obatan langsung menyambut mereka. Di sana, sudah ada Lira dan Bima, sementara Xavier dan Elena masih di pemakaman, mereka sedang menemani Mr. Bill yang sedang berduka. Elgan segera menghampiri Cia, wanita itu sedang tidur, m
Elgan dan Amora berjalan cepat di lorong rumah sakit yang sunyi menuju ruang operasi tempat Cia dan Alden berada. Disana, Elgan melihat kedua mertuanya terduduk lemas. Mereka saling merengkuh, menangis terisak. Terlebih Elena, wanita itu tidak dapat menahan isakannya yang semakin menjadi. Tubuhnya bergetar hebat sejak mendapat kabar tentang kecelakaan putrinya. Elena meradang, kejadian waktu itu kembali terulang. Ia menggeleng kuat ketika pikiran-pikiran buruk mengenai keselamatan putrinya melintas di pikirannya. Disana, Elgan juga melihat keberadaan Mr. Bill. Pria itu tampak terpukul dengan kejadian ini. Tapi apakah itu asli atau hanya sekedar akting?."Ma, Pa." Panggilnya setelah sampai di dekat mertuanya.Xavier menatap Elgan sebentar lalu melirik Amora yang berdiri di samping pria itu. Sementara Elena tetap menangis di pelukan suaminya."Pa, maafin aku. Aku gak bisa jaga Cia dengan baik." Elgan menatap Xavier dengan perasaan bersalah.Ia telah
Cia baru saja keluar dari gedung tempatnya bekerja. Sekarang ia tengah mengendarai mobilnya sambil bersenandung ria. Cia mengetuk-ngetuk stir dengan telunjuknya mengikuti irama musik yang ia dengar. Sebuah lagu keluaran terbaru dari Taylor Swift dengan judul It's Time to Go sering ia dengar akhir-akhir ini. Cia menatap jalanan di depannya. Orang-orang tampak sedang menunggu lampu berubah hijau, termasuk dirinya.Cia termenung beberapa saat, pikirannya melayang memikirkan Elgan, pasti pria itu sedang bertemu dengan Amora saat ini. Ia tidak mengungkit hal tersebut tadi pagi karena menunggu pengakuan dari Elgan, tapi tampaknya pria itu tidak berniat memberitahunya bahwa ia akan bertemu Amora sore ini. Cia juga malas untuk bertanya. Biarkan saja pria itu melakukan apapun yang ia suka. Lampu di depannya sudah berubah, Cia langsung tancap gas menyusuri jalanan disana. Beberapa menit kemudian, ia keluar dari mobil setelah melepas sealtbelt dan mengambil tasnya di jok sebelah.