"Gak habis pikir gue sama Bagas. Bisa-bisanya dia ninggalin kita gitu aja," omel Ela.
"Dia gak betah. Soalnya dia kan gak suka golf," ujar Juan.
"Ya gue paham kalau dia gak suka, tapi yang gue gak paham kenapa dia pergi gitu aja? Padahal kan ada Arin, istrinya dia."
"Udah, gak usah dipikirin. Gue gak papa kok," ucap Arin sembari tersenyum.
Justru Arin malah merasa lebih tenang karena Bagas sudah pergi. Bukan tanpa alasan, melainkan karena Arin masih kesal dengan Bagas. Bukan masih, lebih tepatnya selalu.
"Nanti gue coba ngomong sama dia biar gak kayak gitu lagi."
"Emang lo harus ngomong sama dia. Bilangin ke temen lo yang sok dingin itu. Sama istri sendiri cueknya kebangetan."
Arin tertawa kecil. Rasanya lucu ketika mengingat kembali ucapan Ela sebelum bertemu dengan Bagas. Jika dibandingkan dengan sekarang sungguh jauh berbeda reaksi Ela. Malah sekarang Ela yang lebih marah dibanding dirinya.
"Kok lo malah ketawa sih?"
"Gue cuma lucu aja sama lo. Perasaan waktu kita belum ketemu Bagas lo muji dia. Sekarang lo malah hujat dia."
"Orang bisa berubah-ubah kan."
***
Arin sampai di rumah sudah gelap. Ketika dia masuk Arin dibuat terkejut karena Bagas yang sedang duduk di ruang tamu sembari memainkan ponselnya dengan keadaan gelap karena lampu tidak dinyalakan. Arin segera menekan saklar lampu untuk menyalakannya.
"Kenapa lampunya gak dinyalain?" tanya Arin dengan ekspresi datar.
"Gak papa. Biar hemat listrik."
Arin tidak habis pikir dengan jawaban konyol yang diberikan Bagas. "Kalau ada maling masuk gimana? Punya otak kok gak dipake."
"Tapi maling gak masuk."
Lagi-lagi kesabaran Arin harus diuji oleh setiap kata yang keluar dari mulut Bagas. "Lama-lama gue lem juga mulutnya," gumam Arin kesal.
"Ya udah, kalau mau malingnya masuk tungguin aja. Biar kemalingan beneran."
***
"Di mana, ya?" gumam Bagas ketika mencari kaos kakinya, tapi tidak dapat menemukannya.
Awalnya Arin tidak peduli dan lebih memilih sibuk merapikan rumah sebentar sebelum akhirnya berangkat ke restauran, tapi karena Bagas yang terus mondar-mandir di hadapannya membuat Arin jadi kesal sendiri.
"Cari apa?" Akhirnya Arin memutuskan untuk bertanya karena sudah tidak tahan.
Bagas menoleh sejenak pada Arin. "Kaos kaki."
"Kaos kaki bukannya di lemari? Kan ada banyak."
"Iya, tapi kaos kaki yang saya biasa pakai gak ada di lemari."
"Emang harus banget pakai kaos kaki itu? Gak bisa pakai yang lain?"
Bagas yang masih terus mencari langsung menggeleng.
"Kaos kakinya warna apa?"
"Hitam sama ada putih dikit."
Arin pun akhirnya ikut mencari. Tak butuh waktu lama bagi Arin untuk menemukannya. "Yang ini bukan?"
"Iya." Bagas seketika tersenyum lega lalu mengambilnya dari Arin. "Makasih."
Untuk pertama kalinya Arin melihat Bagas yang tersenyum lebar hanya karena menemukan kaos kakinya. Padahal cuma kaos kaki. Apa mungkin kaos kaki itu pemberian dari seseorang? Sampai-sampai Bagas menolak untuk memakai kaos kaki lain dan rela membuang waktu untuk mencarinya. Arin segera menggeleng. Untuk apa juga dia penasaran dengan hal yang tidak penting? Buang-buang waktu saja.
***
"Pak, maaf, itu bukannya istri bapak, ya?" ucap salah seorang karyawan Bagas ketika melihat Arin yang sedang mengobrol dengan seorang pria.
Kebetulan Bagas mengajak beberapa karyawannya makan malam bersama di restauran yang cukup dekat dari kantor, setelah melakukan rapat yang cukup lama. Walaupun dingin, Bagas merupakan atasan yang cukup peduli dengan karyawannya.
Bagas menoleh mendapati Arin sedang mengobrol sembari tertawa. Bagas tidak mengenali pria tersebut. Bahkan ini kali pertama Bagas melihatnya. Tak lama kemudian pria tersebut pergi.
Baru saja Arin hendak pergi, langkahnya terhenti ketika Bagas memanggilnya.
Arin cukup terkejut karena Bagas tidak sendiri, melainkan bersama para pegawainya.
Arin pun kemudian tersenyum. "Malam semuanya." Arin menyapa.
"Malam bu."
"Kamu ngapain di sini? Kok gak bilang kalau lagi di dekat kantor?" Bagas bertanya.
"Em, itu tadi abis ketemu temen. Aku balik duluan, ya."
"Bu Arin ikut makan sama kita aja." Salah seorang karyawan Bagas menyahut.
"Makasih sebelumnya, tapi saya harus pulang."
"Udah, kamu ikut aja. Nanti kita pulang bareng. Saya gak mau kamu pulang sendiri," ucap Bagas.
***
"Soal yang tadi ..."
Belum sempat Bagas selesai bicara, Arin sudah buru-buru menyela. "Iya, saya tahu. Seperti biasa, anda bersikap romantis dan perhatian di depan pegawai-pegawai anda biar dikira kita pasangan paling romantis, kan? Tenang aja, gak usah khawatir. Saya gak akan kebawa perasaan kok. Kan udah biasa. Lagian juga saya gak bakal suka sama anda."
"Bukan itu. Cowok yang tadi siapa?"
"Kan udah dibilangin temen. Gak percaya? Atau mau ditelfonin?"
Bagas menggeleng. "Lain kali kalau ketemu cowok jangan di area kantor saya."
Arin melongo tidak percaya. Maksudnya apa ucapan Bagas tadi? Apa Bagas berpikir kalau dia sedang mendekati cowok lain dan tidak mau citranya di depan para pegawainya menjadi jelek karena dirinya pergi dengan cowok lain? Kalau dugaan Arin benar, maka itu sungguh tidak masuk akal.
"Bentar, anda masih gak percaya sama saya? Kan saya sudah bilang cowok tadi itu teman saya. Kita juga ketemu karena ada alasan. Kalau anda tidak percaya saya bisa minta dia untuk ketemu langsung dan jelaskan ke anda kalau perlu ajak semua karyawan-karyawan anda biar jelas semuanya." Setelah berucap demikian, Arin langsung pergi ke kamarnya lalu menutup pintu cukup keras.
****************************
"Pak Bagas."Bagas yang hendak menuju lift menghentikan langkahnya sejenak. Lalu menoleh."Pak, ini ada kiriman makanan." Karyawan resepsionis Bagas menghampirinya sembari membawa paper bag berukuran sedang."Dari siapa? Istri saya?" tanya Bagas."Kalau tidak salah dari Bu Gita, pak."Ekspresi Bagas seketika berubah datar. "Buat kamu saja.""Baik pak." Bagas pun menekan tombol lift, lalu masuk ke dalam. Bagas benar-benar tidak habis pikir dengan Gita. Untuk apa dia bersikap seperti ini? Padahal hubungan mereka sudah berakhir. Bagas berjalan menghampiri Diana. "Diana.""Iya pak?""Nanti kamu tolong bilang ke resepsionis untuk jangan pernah terima barang apapun dari Gita.""Baik pak. Nanti akan saya sampaikan.""Oke, makasih." Bagas kemudian masuk ke dalam ruangannya. Bagas mendudukkan bokongnya di kursi. Dia memejamkan matanya sejenak sembari memijat pelipisnya. "Masuk," ucapnya ketika mendengar pintu ruangannya diketuk."Capek, ya?"Bagas langsung membuka matanya saat mendengar sua
Arin membuka pintu ruang kerja Bagas dengan sangat pelan dan hati-hati. Arin tidak langsung masuk, melainkan dia mengintip sejenak karena takut mengganggu Bagas."Kenapa Rin?"Arin cukup terkejut karena ternyata Bagas tahu kalau sedaritadi dia sedang mengintip. Arin pun perlahan membuka pintu sedikit lebih lebar. "Boleh masuk?""Boleh. Kenapa enggak?"Arin pun mendekati Bagas yang sedang berkutat dengan beberapa dokumennya. "Kamu lagi sibuk banget, ya?""Lumayan.""Aku ganggu, ya?"Bagas menggeleng. "Kenapa?""Kamu mau kopi? Atau snack buat nemenin kamu kerja?" tawar Arin."Em, kayaknya enggak deh."Arin manggut-manggut. "Maafin aku, ya.""Kenapa tiba-tiba minta maaf?" Kening Bagas mengerut."Aku udah nyuruh kamu buat ketemu sama Gita. Padahal aku tahu banget kalau kamu gak mau ketemu sama dia.""Aku tahu niat kamu baik kok. Kamu kan bilang kalau aku terus-terusan menghindar, aku bakal selamanya terjebak dimasa lalu.""Iya, tapi harusnya aku gak desak kamu buat ketemu dia sekarang. Ka
"Thank you, ya, kalian udah mau makan bareng. Akhirnya rasa kangen gue terobati. Gue senang banget," ucap Gita ketika mereka selesai makan."Sama-sama, Git. Saya juga senang kok bisa makan makan bareng kamu dan ngobrol-ngobrol.""Thanks ya, Rin, udah mau bantuin saya buat ngajak mereka. Soalnya mereka kan susah banget buat dihubungi."Arin manggut-manggut. "Iya, wajar sih mereka kan orang kantoran jadi emang suka sibuk banget. Jarang ada waktu.""Dulu waktu kuliah, masih sering banget ngumpul terus jalan-jalan. Karena gak sesibuk sekarang."Ela memutar bola matanya malas. Sudah tidak betah mendengar setiap omongan yang keluar dari mulut Gita. "Em, sorry, tapi kayaknya gue harus balik sekarang deh. Mau nemenin nyokap pergi," ucap Ela."Gue juga harus balik." Juan bangkit berdiri. "Duluan ya, sorry, gak bisa lama-lama.""Iya gak papa, sekali lagi makasih ya udah mau datang."Juan hanya mengangguk."Rin, Gas, duluan, ya." Ela berpamitan hanya pada Bagas dan Arin, tidak dengan Gita."Hati
"Gas? Ayo. Kok malah diam?" Arin yang sudah berjalan lebih dulu membalikkan badan begitu menyadari kalau Bagas tidak ikut jalan.Bagas masih diam di tempatnya. Dari ekspresinya terlihat jelas kalau Bagas tidak berniat masuk ke dalam restauran tersebut. Kalau saja bukan karena Arin yang meminta, tidak mungkin Bagas berada di sini. Karena Bagas tidak mau bertemu dengan Gita."Kita pulang aja, ya.""Kita udah sampai sini kok malah minta pulang, sih? Buruan. Gak enak, udah ditungguin sama Gita."Karena Bagas tak kunjung bergerak, Arin langsung menarik lengannya. "Rin ....""Udah, gak papa, kan ada aku. Kamu diam aja kalau gak mau ngomong. Kalau kamu terus-terusan menghindar sama aja kamu buat dia mikir kalau kamu belum move on dari dia. Kamu gak mau dia mikir kayak gitu, kan?"Bagas hanya menggeleng."Ya udah, ayo." Bagas pun akhirnya melanjutkan langkahnya, meskipun terlihat ragu.***"Hai, udah nunggu lama, ya?" tanya Arin.Gita menoleh, kemudian tersenyum. "Hai. Gak kok, saya juga bar
"Sayang, kamu hari ini ke mana aja?"Arin yang sedang menata meja untuk makan malam menoleh pada Bagas. "Gak ke mana-mana kok. Cuma di resto aja. Kenapa?""Beneran gak ke mana-mana?" tanya Bagas lagi."Iya Gas. Kamu kok kayak gak percaya gitu sih?" "Kamu bukannya ketemu sama Gita?"Arin tertegun sesaat. Darimana Bagas tahu kalau dia bertemu dengan Gita? Apa Gita memberitahu Bagas? Padahal, Arin berniat tidak mau memberitahu Bagas, tapi kalau Bagas sudah tahu dia tidak mungkin menyangkal."Iya, aku tadi ketemu sama Gita, tapi ketemu di resto. Dia datang ke resto terus ngobrol. Gita bilang sama kamu?"Bagas menggeleng. Lalu menunjukkan kartu nama Gita. "Aku tadi ngeliat kartu namanya di meja ruang tv.Arin lupa kalau dia tadi sempat mengeluarkan kartu nama Gita dari tasnya."Iya, dia tadi kasih ke aku. Katanya dia mau ngajak kita makan-makan. Soalnya udah lama gak ngumpul bareng kamu sama Juan.""Kamu masih gak bilang ke dia kalau kamu udah tahu siapa dia?"Arin mengangguk."Kenapa?"
"Masuk." Pintu ruangan Arin terbuka. "Permisi mbak, ada tamu. Katanya pengin ketemu sama mbak Arin.""Siapa?""Gak tahu, mbak, tapi orangnya cantik.""Oke, makasih, ya, Tin.""Sama-sama, mbak. Saya permisi."Arin berpikir sejenak. Siapa yang ingin bertemu dengannya disiang hari seperti ini? Tidak mungkin Ela, karena semua karyawannya sudah mengenal Ela. Safira juga tidak mungkin. Tidak mau berpikir lama, Arin pun keluar dari ruangannya untuk menemui orang tersebut.Arin melangkah menuju meja tempat orang tersebut menunggunya. Karena orang itu duduk membelakanginya, Arin tidak bisa langsung mengenalinya."Permisi.""Hai Arin!"Arin yang semula tersenyum langsung terdiam. Gita? Bagaimana bisa Gita tahu restaurannya?***"Keren ya kamu punya restauran sendiri.""Kebetulan ini restauran orang tua saya. Saya cuma bantu ngurus aja."Gita manggut-manggut. "Kamu kok bisa tahu restauran saya?" Arin bertanya."Dulu saya pernah ke restauran ini sama orang tua saya dan makanannya enak-enak. Keb