Pagi ini Arin memasak pancake untuk sarapan. Setelah selesai, Arin memakannya sendiri. Dia tidak mau basa-basi untuk menawarkan Bagas karena itu hanya membuang-buang waktu. Arin juga malas untuk berbicara dengan Bagas. Ditambah dia masih kesal dengan pria itu karena kejadian semalam. Sedangkan Bagas kali ini menyantap sereal sebagai sarapannya.
Bagas berdeham. "Malam ini grand opening toko kosmetik. Acaranya jam tujuh. Saya harap kamu bisa datang karena ini acara penting."
Perusahaan Bagas adalah perusahaan yang bergerak di bidang kosmetik dan saat ini sudah memiliki lebih dari sepuluh cabang. Sama seperti Arin yang melanjutkan bisnis restauran orangtuanya, Bagas juga mengalami hal yang sama. Bedanya Bagas memang mengambil jurusan bisnis.
Arin sendiri hanya diam tidak mau menanggapi Bagas.
"Papa sama mama juga udah saya kasih tahu. Mereka bakal datang."
Arin tahu Bagas sengaja memberitahunya agar dia tidak bisa menolak untuk pergi. Karena jika kedua orangtuanya datang, sedangkan dia sendiri tidak datang yang ada Arin akan dimarahi kedua orangtuanya. Bagas memang sudah tahu kelemahan Arin. Sangat menyebalkan.
***
"Jadi lo cemburu?"
"Mana ada. Gue gak peduli dia mau dekat sama cowok manapun, tapi jangan sampai ketahuan sama kenalan gue. Karena itu bakal berdampak ke gue juga."
Bagas menceritakan pada Juan mengenai kejadian kemarin di mana dia bertemu dengan Arin bersama cowok lain.
"Oh, jadi lo gak mau kalau lo sama Arin dicurigain hubungannya gak harmonis kayak yang biasa lo tunjukkin ke banyak orang?"
Bagas hanya mengangguk.
"Tapi kan beberapa karyawan lo juga udah tahu. Justru gue tahu dari mereka. Makanya gue maksa lo cerita."
Awalnya memang Bagas tidak ingin menceritakan kejadian tersebut pada Juan, karena itu adalah masalah pribadinya. Tapi karena Juan terus memaksa dan memberitahunya kalau dia sudah mendengar dari karyawannya, jadilah Bagas pun akhirnya memberitahunya.
Bagas cukup kesal karena beberapa karyawannya yang sepertinya senang sekali membicarakan dirinya. Namun Bagas hanya mencoba untuk menahan diri.
"Gue tahu dan gue berusaha gak peduli."
"Gue salut sih sama lo udah tahu sering digosipin sama bawahan, tapi lo gak marah ataupun kasih sanksi."
"Karena yang gue peduli itu hasil kerja mereka, bukan gosip mereka."
Juan manggut-manggut sembari tersenyum. "Panutan banget teman gue. Ya udah, karena rasa penasaran gue udah terjawab sekarang ayo kita lunch."
"Gak, gue lagi gak laper."
***
Bagas mengedarkan pandangannya mencari sosok Arin yang belum juga datang.
"Bagas."
Bagas menoleh lalu tersenyum. "Pa, ma, Ron."
"Selamat ya, akhirnya bertambah lagi toko kosmetik kamu. Mama bisa dong dapat kosmetik gratis," ucap Rika.
"Mama! Kok malah minta kosmetik gratis sih. Ada-ada aja. Selamat ya, anak papa semoga lancar dan makin sukses," ucap Hery.
"Selamat bang, gue tahu lo hebat."
Bagas melebarkan senyumnya. "Amin. Makasih banyak pa, ma, Ron, udah mau datang. Untuk mama tenang aja, nanti boleh ambil kosmetik yang mama mau."
"Beneran? Baik banget sih kamu. Emang gak salah mama pilih mantu."
Bagas hanya tertawa.
"Oh iya, Arin di mana? Kok gak keliatan?" Hery bertanya ketika menyadari kalau putrinya tidak ada.
"Mungkin masih di jalan, pa."
"Ya udah, kalau gitu kita masuk dulu, ya. Mau liat-liat bentar. Mama penasaran."
"Iya ma."
***
Acara pembukaan toko kosmetik hampir selesai, namun Arin masih juga belum datang. Bagas pun mencoba untuk menghubungi Arin. Panggilannya dijawab, namun bukan suara Arin yang terdengar, melainkan suara seorang cowok yang tampak asing baginya. Entah siapa, tapi Bagas memilih untuk langsung memutuskan panggilannya.
"Gas, Arin mana? Kok sampe sekarang belum nyampe? Kamu udah telfon dia belum?" Rika bertanya.
"Udah, tapi gak aktif nomornya, ma." Bagas berbohong. Tidak mungkin dia memberitahu kalau yang menjawab telepon Arin tadi adalah seorang cowok yang Bagas sendiri tidak tahu siapa.
"Duh, mama jadi khawatir deh. Takut Arin kenapa-napa."
Hery langsung mengusap pundak Rika. "Arin gak akan kenapa-napa kok."
"Maaf, Arin telat." Seketika semuanya langsung menoleh pada Arin.
"Arin. Mama khawatir kamu gak datang. Mama pikir kamu kenapa-napa." Terlihat jelas Rika begitu lega ketika Arin tiba.
"Kamu darimana Rin? Kok ditelfon gak aktif?" Karina bertanya.
"Iya maaf, bun. Tadi hp Arin lowbat makanya gak bisa jawab telfon. Sekali lagi Arin minta maaf ya udah buat semuanya khawatir dan gak ikut acaranya dari awal."
"Gak papa kok, Rin. Yang penting kan sekarang kamu udah sampe di sini dengan selamat. Itu aja udah buat kami lega." Beni menyahut.
***
"Siapa cowok yang tadi di telfon?"
Baru saja sampai di rumah Bagas langsung melontarkan pertanyaan yang sedaritadi ingin sekali dia tanyakan pada Arin.
"Cowok?" Arin tampak berpikir sejenak. Sepertinya tadi Revan menjawab panggilan masuk dari Bagas, tapi kenapa Revan tidak memberitahunya? Apa mungkin dia lupa? "Oh, itu teman."
"Temannya banyak, ya," sindir Bagas.
"Emang teman. Dia cowok yang kemarin kamu liat di restauran."
"Kenapa dia yang angkat telfon?"
"Emang kenapa? Cuma angkat telfon doang dipermasalahin." Alih-alih menjawab pertanyaan Bagas, Arin malah memberikan jawaban yang membuat Bagas kesal.
"Dengar ya, saya tidak peduli kamu mau selingkuh atau apapun, tapi jangan sampai keluarga kita sakit hati karena kelakuan kamu."
Arin berdecih. Sakit hati karena kelakuannya? Memangnya apa yang sudah Arin perbuat? Justru yang membuat keluarga mereka sakit hati bukan dirinya, tapi Bagas. Karena dari awal pria itu tidak pernah menganggap Arin sebagai istrinya. Bahkan, pasangan suami-istri yang harusnya tidur seranjang saja malah pisah kamar. Bukankah keluarga mereka akan marah besar jika mengetahui hal tersebut? Apalagi ketika tahu kalau itu adalah keinginan Bagas.
"Bukannya kamu yang bakal bikin mereka sakit hati? Apalagi kalau tahu selama ini kita cuma pura-pura harmonis di depan mereka. Bahkan mereka gak tahu kalau kita aja gak pernah tidur seranjang." Ucapan Arin seketika membuat Bagas terdiam. Tidak tahu harus merespons apa.
"Kamu tenang aja besok aku bakal minta teman aku buat ketemu sama kamu. Jadi pastiin kamu datang."
******************************
"Sendiri aja, Rin? Gak sama Bagas?" tanya Rika ketika Arin sampai di rumah."Iya ma, dari resto langsung ke sini jadinya gak bareng Bagas.""Tapi Bagas ke sini, kan?""Bang Bagas datang kok, ma. Tadi bang Bagas bilang lagi di jalan. Paling bentar lagi nyampe."Mereka menunggu Bagas hampir dua jam, namun Bagas tak kunjung datang. Arin menatap kedua orang tuanya yang masih setia menunggu Bagas. Padahal Arin sudah menyuruh mereka untuk tidak menunggu Bagas, tapi papanya menolak karena katanya ingin menunggu menantunya. Arin benar-benar tidak habis pikir dengan papanya. Bisa-bisanya Bagas lebih disayangi dibanding dirinya."Pa, udahlah. Gak usah ditungguin lagi Bagas nya. Udah jam segini gak mungkin dia datang," ujar Arin.Hery menggeleng. "Kan papa udah bilang papa mau nungguin Bagas." Hery beralih menatap Aaron. "Ron, udah coba telfon Bagas?""Udah pa, tapi gak diangkat.""Tuh, dia aja gak jawab kok. Buang-buang waktu nungguin dia. Papa kan juga harus istirahat.""Kamu tuh sebenarnya ke
"Kamu mau ke mana?"Bagas menoleh pada Arin kemudian tersenyum. "Mau ke kantor.""Hari ini jangan masuk kantor dulu.""Aku tahu kamu khawatir sama aku, tapi aku gak bisa nunda kerjaan aku. Hari ini aku ada schedule ketemu klien.""Emang gak bisa reschedule?""Gak bisa. Kalau aku minta reschedule yang ada klien aku kecewa terus gak mau kerja bareng lagi. Aku gak mau sampe kehilangan klien.""Ya udah, terserah." Arin memilih menikmati sarapannya. Dia tidak akan melarang Bagas untuk kedua kalinya karena percuma lelaki itu pasti menolak. "Sarapan buat aku ada gak?" tanya Bagas menatap Arin.Karena tidak mendapat jawaban dari Arin, Bagas tahu kalau istrinya itu jelas masih marah padanya. Kemarin Arin membuatkannya bubur hanya karena dia sakit."Aku berangkat dulu. Aku gak bakal pulang telat kok. Oh iya, nanti kamu bisa temenin aku cari kado buat papa gak?""Gak bisa.""Ya udah, gak papa. Nanti aku minta tolong sama Aaron aja." Bagas pun pergi.***"Sorry, ya, Ron, udah ngerepotin."Aaron
"Kak, lo sama bang Bagas lagi berantem, ya?" tanya Aaron."Gak.""Gak salah lagi, kan?""Gak usah sotoy deh.""Lo kan tahu lo gak bisa bohongin gue.""Iya, gue sama Bagas emang lagi berantem. Terus kenapa? Gak ada urusannya sama lo, kan?" ketus Arin."Well, gue emang gak ada urusan sih, tapi gue kasihan ngeliat bang Bagas, kak. Dia keliatan galau banget. Gue tanya kenapa, tapi dia gak mau cerita. Mungkin karena dia gak mau gue tahu lo berdua lagi berantem. Apa gak mau diobrolin baik-baik?""Lo gak usah sibuk mikirin rumah tangga gue. Fokus aja cari kerja.""Gue lagi sementara apply kok. Lagian, gue juga gak mau ikut campur, cuma ngasih saran aja. Lusa kan papa ulang tahun. Gak mungkin kan lo sama bang Bagas datang, tapi masih berantem. Jangan lupa mama gampang curiga kalau ada sesuatu yang gak beres."Arin menatap Aaron curiga. "Lo disuruh Bagas ngomong gini, ya?""Ya enggaklah, bang Bagas aja gak mau cerita masa gue disuruh. Gak mungkinlah. Jadi istri jangan suka curigaan sama suami
"Kamu kenapa, Rin? Kok daritadi aku liat muka kamu kayak gak semangat gitu? Resto baik-baik aja, kan?" tanya Brian sembari memberikan air mineral pada Arin.Arin menerimanya tak lupa mengucapkan terima kasih, lalu meneguknya hingga setengah."Resto baik-baik aja kok. Cuma lagi ada masalah pribadi aja.""Masih berantem sama pak Bagas, ya?"Arin tidak menjawab."Sorry, kalau aku banyak nanya."Arin tersenyum. "Gak papa kok. Ya gitu lah, akhir-akhir ini emang kita lagi sering cek-cok, tapi gak yang parah kok."Brian manggut-manggut. "Wajar sih kalau ada berantemnya. Gak mungkin juga dalam rumah tangga gak ada perbedaan pendapat. Sebelumnya sorry, kalau kesannya aku sok nasehatin, tapi jangan sampe biarin masalah kalian berlarut-larut. Gak baik juga. Apalagi sampe ada orang ketiga dihubungan kalian.""Orang ketiga?""Em, balik yuk. Kamu belum buatin sarapan buat Bagas, kan? Aku juga harus buatin sarapan buat adik aku.""Oke."***"Habis jogging lagi sama Brian? Kayaknya akhir-akhir ini se
Arin memijat keningnya. "Gue bener-bener gak ngerti lagi sama Bagas. Bisa-bisanya dia cemburu gue sama Brian. Padahal dia tahu gue sama Brian cuma sebatas teman kerja, gak lebih. Gak kayak dia yang nipu gue dan diam-diam temuin mantannya itu," kesalnya.Ela mengusap punggung Arin. "Kok dia bisa tiba-tiba cemburu lo sama Brian?""Dia dikirimin foto sama seseorang yang diam-diam fotoin gue sama Brian lagi ngobrol. Dan dia malah percaya gitu aja. Gimana gue gak kesel coba.""Gue mikirnya orang yang ngirim foto itu sengaja mau buat lo sama Bagas berantem.""Siapa?""Gita lah. Mau siapa lagi. Dia kan ngebet banget pengin balik sama Bagas. Dia itu orangnya ambis, jadi pasti bakal ngelakuin apapun buat dapatin apa yang dia mau.""Tapi kan gak ada bukti kalau Gita yang ngirim foto itu.""Duh, Rin, gue itu tahu Gita gimana. Jadi gak mungkin pelakunya orang lain. Lagian, ngapain juga orang lain fotoin lo sama Brian terus kirim ke Bagas? Kayak gak ada kerjaan aja. Tapi ya, Rin, lo gak boleh terp
"Hai." Bagas tersenyum menyapa Arin yang baru bangun tidur.Arin hanya diam."Sarapan yuk. Aku udah buatin nasi goreng buat kamu. Mungkin masakan aku gak seenak masakan kamu, tapi aku harap kamu mau nyoba. Tapi, kalau setelah kamu nyoba dan rasanya bener-bener gak enak gak usah dilanjutin makannya. Kamu mau coba aja aku udah senang banget kok."Masih sama. Arin tidak merespons. Dia malah mendekati area wastafel."Kamu mau ngapain?" tanya Bagas bingung.Arin memegang wajan yang tadi sempat dipakai Bagas untuk memasak. Ternyata wajan tersebut belum dicuci. Dan keadaan dapur cukup berantakan.Bagas menggaruk tengkuknya. "Aku lupa nyuci, tapi habis ini aku cuci kok dan rapihin semuanya. Kamu makan aja dulu.""Gak laper," jawab Arin singkat."Sayang, please, makan dikit aja. Aku gak maksa kamu buat habisin." Bagas masih mencoba merayu Arin berharap sang istri mau menuruti permintaannya. Tapi, sayangnya rayuan Bagas tidak mempan. Arin memilih untuk mencuci wajan. Bagas terlihat kecewa, namu