Aku menatap penuh minat pada lelaki tampan yang kini duduk di depan Bapak. Sesekali dia tertawa bersama Bapak dan Ibu. Ada saja yang dia bicarakan bersama kedua orang tuaku. Kecuali satu, melamarku. Jiah! Itu sih karepku bukan karepnya.“Nak Andro asli Jakarta?”“Iya, Pak. Tapi kata Papah, buyutnya Papah itu keturunan Chinese dan Palembang. Kalau Mamah Asli Solo.”“Oooo.”“Sering ke Solo?”“Jarang, soalnya orang tua Mamah sudah meninggal semua. Beliau juga anak tunggal. Sementara keluarga Solo juga sudah banyak yang merantau di Jakarta dan Jawa Barat. Makanya jarang ke Jawa.”“Oooo.”Mereka terus saja mengobrol, sementara aku hanya diam, duduk di kursi paling pojok setelah mengantarkan soto yang dibeli Pak Andro ke rumah BIP dan Bu Risa. Sementara yang beliin masih asik ngobrol sama ngopi bersama Bapak.“Maafin Kania ya Nak kalau selama bekerja, anaknya sering nyusahin Nak Andro. Kania itu ya begitulah adanya. Tapi meski begitu, Bapak bangga sama dia. Anaknya gak pernah ngeluh, gak pe
Beberapa kali aku mencubit pipiku. Sakit. Ternyata aku masih berada di bumi manusia bukan di dunia perhaluan. Bahkan sesekali memegang dada kiriku guna memastikan jantungku masih berdebar dan aku masih hidup.“Kenapa?”“Yah.” Aku menoleh ke laki-laki di samping kananku.“Kamu kenapa? Sakit?”“Oh, enggak.”Lelaki di sampingku kembali diam dan fokus menyetir sementara aku, masih sibuk menormalkan debaran di dada.Sejak tadi pagi, lelaki di sampingku memang aneh. Dari mulai tiba-tiba kami berada di toko oleh-oleh yang sama, kedatangan Pak Gito, dia naik motorku untuk makan bareng, belanja batik bareng, mengantarku pulang, hingga ngobrol dengan Bapak Ibuku hingga berujung pada tawaran pulang bareng. Dan itu disetujui oleh Bapak dan Ibu. Ibu bahkan dengan antusias menyiapkan beberapa jajanan atau makanan kering seperti kerupuk mireng, karag, manggleng, oyek dan semua olahan dari singkong yang ada di rumah, dibawakan ibu dan ditaruh di jok tengah. Bagasi sendiri sudah penuh dengan jajanan
Teriakan dari Gita dan kawan-kawan menyambut kedatangaku kembali di pantry. Aku memeluk para wanita dan bersalaman dengan para pria.“Mudik bukannya tambah cantik kok malah jadi item gini? Gosong.”“Maklum, Ta. Aku habis bantu jemur padi. Nanti deh habis gajian aku beli skincare sama hand body yang bikin kulit langsung putih kinclong seketika.”“Hahaha. Bisa aja kamu. Eh, bawa jajanan gak?”“Pasti dong, Sya. Bentar ya, aku taruh di meja dulu.”“Yey.”“Hore.”“Asik.”Aku pun membagi jajanan yang kubawa dari rumah dengan sama rata dan adil. Bahkan beberapa karyawan lain yang kukenal pun ikutan minta. Salah satunya Mbak Mita, seorang staff di bagian keuangan.Selesai membagi-bagikan jajanan, aku dan Ido langsung meluncur ke lantai enam. Pertama kami membersihkan setiap ruangan jajaran petinggi MJS selanjutnya bagian luar menjadi tempat terakhir yang kami bersihkan. Aku mengelap kaca sementara Ido menyapu. Sambil bekerja kami terus bercerita.“Tahu gak, Kania.”“Apa?”“Sandra sama Andi ke
Aku baru saja selesai absen. Karena tadi pekerjaan di lantai enam sedang banyak sekali makanya aku termasuk yang pulang telat. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Untung tempat kostku dekat. Segera saja mencangklong tas lalu berjalan menuju keluar gedung. Pada pak satpam kuulas senyum ramah seperti biasa. Dengan langkah lebar aku segera menuju ke kostan. Namun sebelum sampai di gang menuju kost. Aku dihadang oleh Sandra dan Deswita. Tanpa aba-aba keduanya langsung menyerangku.“Dasar pelakor.”Plak! Plak!“Aw. Sakit!”Dengan membabi-buta Deswita dan Sandra menjambak bahkan menampar pipiku. Aku tak membalas karena teringat ada jambang bayi di perut Deswita. Beruntung teriakanku didengar oleh orang yang berlalu lalang. Hingga aku diselamatkan dari amukan dua ulet keket yang lagi ngamuk.Deswita dan Sandra terus mengataiku dengan sebutan pelakor lah, tukang rebut suami orang lah. Dan tentu saja kubalas perkataan mereka.“Eh, Deswita. Kamu lihat aku umpetin Aryo apa enggak? Kalau ma
“Hai Mbak Kania.”“Eh Mbak Ara. Sehat? Gimana pekerjaannya? Butik makin laris, ‘kan?”“Alhamdulillah banyak yang komplen.”“Loh kenapa?”“Habis calon pengantin prianya pada tergoda sama kecantikanku.”“Tergoda gimana?”“Ya itu. Bukannya pada nemenin calon bini buat lihat-lihat model baju malah pada sibuk kenalan dan minta nomerku. Alamat banyak yang gatot dah nikahnya.”Mbak Ara berlagak sok cantik dengan mengibaskan rambut sebahunya. Aku hanya tertawa melihat tingkah konyol kembaranku ini. Eh, aku lupa bilang ya, kalau aku sama Mbak Ara udah jadi saudara kembar beda bapak ibu. Yang ngasih julukan kalau kami kembar gila ya siapa lagi kalau bukan si Pak Manajer.“Hahaha. Ya begitulah Mbak. Namanya juga wanita cantik.”“Ho’oh. Harus siap dengan kejulitan netijen yang merasa budiman.”“Hahaha.”Kami terus bercerita. Kebetulan aku sedang istirahat jadi makanya bisa santai ngobrol bareng Mbak Ara. Mbak Ara kuliah S1 di Perancis mengambil sekolah mode. Karena sejak kecil dia memang suka sek
Pagi ini aku sudah sibuk membantu Mbok Siti memasak di dapur. Seperti biasa, kami selalu menggunakan logat ngapak kalau ngomong. Kemarin, Tante Laras memintaku datang untuk menginap. Dia menjanjikan kalau Mbok Siti mau masak rendang. Otomatis dong, aku menerima ajakan menginap dari Tante Laras. Pokoknya kalau hubungannya dengan makan gratis, Kania gak bakalan nolak pokoknya.“Wah, udah mateng aja rendangnya. Kania beneran pinter ya. Pokoknya sip dah. Siap jadi mantu.”“Iyalah, Tante. Makanya buruan jadiin Kania mantu. Kalau keduluan orang lain, nanti Tante kecewa loh.”“Oke-oke. Coba nanti tante kodein Andro ya? Kalau Andro gak mau coba nanti tante kode-kode ke sepupu-sepupu Andro.”“Siap, Tante. Pokoknya harus ganteng loh Tan. Jangan cantik. Kalau cantik, nanti Kania kalah saing.”“Ya ampun, bisa aja kamu. Gemesin.” Tante Laras menepuk bahuku pelan. Setelah rendang matang pun dengan masakan yang lainnya, Tante Laras segera memanggil anggota yang lain. Kami pun segera mengelilingi me
“Gak pengen masuk?”“Eh.”Aku kaget mendapati posisi Pak Andro yang begitu dekat denganku. Bahkan pipi kami sedikit bersinggungan. Aku bisa merasakan jambang tipisnya yang begitu menggelitik, membuat jantungku ikut-ikutan kebat-kebit.“Beliau ayah angkat Papah.”Aku hanya mengangguk karena sudah tahu semuanya dari Mbak Ara.“Beliau lelaki yang baik. Sayang punya istri seperti Nenek Inggit.”“Kayak Mak Lampir ya, Pak?”Pak Andro mengerutkan kening lalu menatapku dengan penuh selidik.“Mbak Ara yang cerita.”“Ya begitulah, mereka adalah orang-orang gila harta dan kedudukan. Tante Inggit sudah tahu jika Kakek tak bisa mempunyai anak. Beliau bertahan hanya demi harta Kakek. Om Anton dan Tante Jihan pun sama saja.”Aku menatap Pak Andro. Sesuatu yang menjadi keingintahuanku sejak beberapa waktu lalu akhirnya kusampaikan.“Pak Andro kenapa gak mau dijodohkan sama Mbak Juwita? Kayaknya Mbak Juwita cinta banget sama Pak Andro.”Pak Andro tersenyum sinis. “Dia gak cinta sama saya, dia cuma obs
Semenjak kejadian salah parkir waktu itu, aku masih sakit hati dengan perkataan Pak Andro. Aku yang biasanya mengajak ngobrol duluan, memilih diam. Setelah tugas mengantar minuman atau membersihkan ruangannya selesai, aku langsung keluar tanpa pamit.Sudah terhitung satu minggu kami diam-diaman. Beberapa kali dia mencoba bicara padaku tapi aku memilih berkelit sehingga Pak Andro hanya menghela napas lalu kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing.Selama satu minggu pula, Kakek Ahsan sering mampir ke MJS untuk menemui cucunya. Siapa lagi kalau bukan Pak Andro. Otomatis akulah yang menghidangkan minuman. Celakanya, saat Kakek Ahsan datang, selalu saja pihak julid ada yang ikut. Dan Mbak Juwita sekeluarga sudah tahu pekerjaanku yang hanya sebatas OG. Kakek Ahsan mungkin tak pernah memandang hina statusku, berbeda dengan keluarganya yang lain. Mbak Juwita dan ibunya, sering sekali menyindirku di depan karyawan lain, membuat mereka berbisik-bisik penasaran.Gita dkk bahkan sampai bertanya