Share

Murka

            Eric tersenyum tipis. Ghea terlalu meremehkan pantauan Eric. Tanpa sepengetahuan gadis itu, jam tangan yang diberikan kepadanya ada sebuah titik terpenting yang membuat gadis itu takkan bisa lepas dari pengawasannya.

Flashback on

            Eric menyambar tangan Ghea paksa dan memakaikannya arloji putih yang sangat indah-menurut Ghea.  Gadis itu memandangi jam itu kagum.

            “Jangan sekali-kali melepas arloji ini,” kata Eric penuh ketegasan

            Ghea masih larut memandangi jam itu. Tersenyum. “Kenapa kamu tidak bertanya aku menyukainya atau tidak?” Tanyanya polos.

            “Itu pertanyaan tidak penting. Suka ataupun tidak, kamu harus tetap memakainya,” tandasnya, dingin.

            Mata Ghea menatap Eric lama. “Aku suka kok.”

            Eric berdecih dalam hati. Pilihannya sangat tepat. Memangnya siapa yang tidak tertarik dengan arloji seindah itu. Ghea yang memiliki karakter feminim dan polos sangat cocok dengan arloji putih dengan hiasan serpihan permata merah muda. Tanpa babibu gadis didepannya juga tak bertanya mengapa harus memakainya karena telah mengklaim suka.

            Alisnya diangkat sebelah. Siapa sangka, di arloji itu ada GPS yang setiap detik bisa melacak keberadaannya. Dengan arloji itu pula ia bisa memastikan kalau gadis itu akan baik-baik saja ditangannya. Eric berdecih. GPSnya menyambung ke ponselnya.

Flashback off

            Mata Eric menatap titik merah berkedip di layar ponselnya. Ia sudah menduga lokasi keberadaan gadisnya. Tetapi mengapa harus ditempat yang sangat dihindarinya? Tempat yang seharusnya menjadi sumber kenyamanan namun berganti kebengisan haus kekuasaan. Ghea ada ditempat yang sangat-sangat tak ingin ia injak sedikitpun sejak dulu.

            “Ke rumah,” titah Eric cepat.

            Semua orang dirunag itu melongo. Ke rumah? Jika sekarang sudah dirumahnya sendiri. Maka yang dimaksud rumah dalam kata-kata pemimpinnya adalah… Fin membuang nafas pelan. “Gadis yang ini benar-benar mengibarkan bendera perang” ia menggeleng-gelengkan kepala pelan.

-v-

            Ghea melangkah menuju rumah mewah dengan pandangan takjub, sebenarnya tidak juga. Rumah Eric lebih indah dari ini. Rumah Eric memiliki nuansa yang menerangi seluruh ruangan walau monokrom. Rumah Eric serasa lebih beraura hidup daripada disini yang baginya kurang pencahayaan dan interior yang membingungkan.

            “Kamu bisa bekerja disini.” Ucapan Dean membuyar lamuanannya tentang rumah eric. Rumah Eric? Kenapa ia malah membandingkan?.

            Ghea mengangguk.

            “Dean…” panggil seseorang dibelakang mereka. Ghea dan Dean menoleh.

            Sosok dua orang yang kira-kira berusia hampir setengah abad itu mendekat dengan senyum. “Ini siapa?” Tanya seorang wanita yang mungkin itu adalah ibu Dean lembut.

            Ketika bibir Dean terangkat ingin menyuarakan, suara lain menyahut dari balik pintu. “Kekasihku,” sahut si empu suara yang detik selanjutnya muncul dengan wajah merah padam. Tanpa ijin mereka, pemilik suara yang tak lain Eric itu menyerobot memecah kedekatan mereka menarik pergelangan Ghea dengan erat.

            “Eric?” kedua orang tua itu sangat terkejut. Berbeda dengan Dean yang berwajah pias. Sejak tadi ia memang sudah menduga kalau gadis itu pasti ada hubungannya dengan Eric. Siapa lagi yang akan dipanggil ‘Nona’ oleh Ken jika bukan kekasih tuannya. Berbeda dengan kedua orang tuanya yang terkejut dengan kehadiran Eric usai 4 tahun tak pernah menginjak rumah ini.

            Ghea yang berada dalam suasana panas membara itu meringis. Ia melihat tiap mata yang saling menatap itu tersirat kebencian yang mendalam. Pergelangan tangannya juga mulai memerah karena cekalan Eric mengerat mengikuti suasana hatinya yang berkobar. Tangannya yang lain reflek mencengkeram jas lelaki yang berdiri disisinya.

            “Dean, bagaimana bisa kamu berebutan gadis dengan anak tak tau diuntung itu,” kata wanita paruh baya dengan lembut namun terdapat sorot kemarahan. Bukan pada putranya, melainkan orang lain.

            Perasaan Eric tercabik-cabik mendengar kata ‘anak tak tahu diuntung’ yang terlontar mulus dari bibir wanita itu. Ibunya. Dadanya bergerak naik turun menahan amarah. “Aku pergi,” tak mau berlama-lama, ia pamit sedater mungkin tanpa nada tinggi sedikitpun. Ia membalikkan badan dan menggeret Ghea yang sejak tadi serasa lemas melihat adegan ibu anak yang tak biasa itu.

-v-

            Selama perjalanan, Eric diam tanpa bicara sedikitpun. Fin ynag menyetir juga diam. Suasana mobil serasa kuburan saking sepinya. Tetapi Ghea lebih merasakan aura panas yang tertahan dalam diri Eric. Sejak tadi ia memperhatikan lelaki itu yang duduk dengan mengepalkan kedua tangannya dengan sangat erat. Sangat erat hingga Ghea melihat otot otot tangannya yang tercetak disana. Matanya terpejam, namun Ghea terlanjur memahami akan lelaki itu. Kalau dia sedang meredam amarah. Bukan, lebih dari itu, murka.

            Ghea  mendekat takut-takut, kemudian meraih tangan Eric dan mengurainya lembut. Berharap emosi lelaki itu juga redam. Tetapi ia terlalu berani, detik selanjutnya mata Eric terbuka maksimal memancarkan ketajamannya yang jauh melewati batas prediksi Ghea. TanganEric mencekal kuat menahan lengan kanannya hingga ia lebih condong ke tubuh lelaki itu.

            Wajah terkejut Ghea tak mampu melunturkan gejolak perasaannya yang tersulut api sejak tadi. Ghea berusaha melepaskan cekalan itu dan menjauhkan jarak darinya, tetapi kekuatan Ericlah yang menang. Ia melihat pergelangan tangannya memerah terkena gesekan arloji miliknya. Ada perih disana dan ia tak berani buka suara.

            “KENAPA KAMU KABUR?” pertanyaan kilat itu bukan lagi dengan teriakan saja. Tetapi membentak pemuh amarah. Wajah Eric yang putih bersih berubah merah padam. Keterdiaman Ghea semakin membuatnya murka. Ia merengkuh gadis itu dengan erat, memblokir segala ruang geraknya. “KAMU KIRA AKU BODOH TIDAK TAHU KEBERADAANMU?” bentaknya lantang. Untungnya mobil melaju sangat kencang. Jadi taka da ynag dengar.

            Kabut tipis muncul di mata Ghea. Ingin memberontak, tetapi Eric terlalu mengerikan, terlalu menakutkan saat diujung kemarahannya. “JAWAB!!!” bentaknya lagi tepat didekat muka Ghea. Gadis di rengkuhannya itu semakin kaku tak mampu bicara. Menatap mata Eric, wajahnya, rengkuhannya yang erat tanpa celah bernafas, dan bentakan itu yang sontak menghancurkan hatinya dengan telak.

            Mobil berhenti. Ghea Eric melepas rengkuhan ynag menelan banyak nafasnya. Lelaki itu keluar dengan langkah cepat, membuka pintu sebelahnya dan menariknya paksa.

            “Eric, jangan…” kata Ghea lirih dengan air mata yang muali menetes. Perlakuan ini… menyiksanya.

            “DIAM!!!” sahut eric dengan menggelegar hingga seluruh pembantu rumah keluar melihat apa yang terjadi.

            Eric terus menyeret gadisnya sangat erat, sangat ketat, dan sangat menyakitkan menyusuri rumah mewah itu. Langkah lebarnya Eric membuat gadis itu terseok-seok mengikutinya. Entah sudah berapa kali kakinya terseleo gara-gara mengenakan high hill di kakinya. Terus berjalan dengan kaki membiru hingga berkali-kali tersungkur dan terjatuh tanpa dipedulikan lelaki itu. Berkali-kali jalannya tersendat, ia di paksa bangkit hingga membuat kakinya makin ngilu.

            Dalam tarikan kasar Eric itu, Ghea tak bisa menahan sakit kakinya. Ia jatuh terduduk tepat di bagian tangga bawah. Lelaki yang menyeretnya itu tak sabaran dan langsung membopong tubuhnya. Dan bukan ke kamarnya. Tapi… ke kamar Eric. Ia memberontak keras.  Tapi kekuatannya sudah habis terkuras tangisannya sejak pulang dari rumah Dean. Untuk menggunakan sisa kekuatannya itu tak mempengaruhi Eric sedikitpun.

            Hingga akhirnya….

            Ia terkejut di dudukkan di bathtub dan lelaki itu mengguyurkan air dingin ke kepala Ghea dengan beringas. Mata Eric yang masih memerah itu menatap Ghea seperti sebilah pisau yang begitu mudah menancap lawan sekali tusuk. Air mata Ghea berbaur dengan dinginnya air yang membuatnya menggigil. Tubuhnya semakin kaku bersamaan dengan iar sedingin es yang terkumpul di bathtub.

            “KAMU KIRA MEREKA SIAPA? MEREKA ITU LEBIH KEJAM DARIPADA AKU,” bentak Eric di dekat wajah Ghea.

            Tubuh Ghea memutih pucat, bibirnya membiru dan sejenak-sejenak matanya tertutup demi menahan tubuhnya yang sejak dulu tak bisa menerima hawa dingin. Jika bukan karena tubuhnya ditahan Eric, mungkin tubuhnya juga akan roboh. Lelaki didepannya masih berteriak-teriak yang membuat pertahanan hatinya hancur seketika. Ucapan kejamnya membuat kepercayaan yang dulu dikatakan ayahnya runtuh tak tersisa. Bukankah Eric lebih kejam?

            Hingga kemudian, ia merasakan sesuatu hangat mengalir dari hidungnya. ia menduga ini pasti mimisan sama seperti dulu-dulu jika kedinginan, matanya tak mampu bertahan lebih lama, nafasnya melambat, sampai akhirnya ia tak merasakan apa-apa lagi.

           

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status