Rei dan Isti sempat pulang ke rumah mereka terlebih dahulu, setelah melihat kondisi Aya yang stabil. Setelah berbenah dan membersihkan diri, keduanya pun kembali lagi ke rumah Tara.
Sepasang suami istri itu bisa saja lepas tangan mengenai masalah Aya. Hanya saja, saat melihat gadis itu, keduanya kembali mengingat dengan mendiang putri mereka yang telah tiada karena sebuah kecelakaan. Jika masih hidup, kemungkinan usianya akan sama seperti Aya.
“Terima kasih.” Ucap Tara.
Isti baru saja meletakkan secangkir kopi susu di meja makan, untuk Tara yang tengah membaca surat kabar. Zaman memang sudah semakin canggih, semua hal bisa langsung dicari dalam benda pipih dengan berjuta informasi. Tapi Tara, masih saja setia berlangganan koran setiap harinya.
Pria itu baru saja selesai menyantap sarapan, berupa roti bakar dengan tumpukan sosis serta keju ditengahnya. Buatan sendiri, karena asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya hanya bertugas untuk ber
Gadis itu hanya terdiam, cukup lama. Memandang satu-persatu setiap wajah yang melihatnya, yang menunjukkan berbagai ekspresi dengan seksama sembari berpikir. Sudut pikiran yang masih berputar, membuatnya sedikit kesusahan untuk memaksa kinerja otaknya, untuk berpikir lebih keras.“Kamu … siapa?” tanyanya pada Tara dengan kerjaban pelan seraya memegangi kepala bagian belakangnya yang terasa berat.Kedua alis Tara hampir menyatu. Matanya pun sedikit memicing, menatap curiga. Tara masih ingat, saat ia memeriksa keadaan Aya di rumah sakit kapan lalu, dokter jaga sempat merujuk gadis itu untuk melakukan CT scan pada kepalanya. Hanya saja, Tara menolak dengan alasan Aya tengah mengandung. Ia akhirnya menyarankan, agar Aya berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter kandungannya.“Aku Tara? Teman suamimu? Kamu gak ingat?” kalau dugaannya benar, gadis itu pasti memiliki masalah pada otaknya.“Suami?” Aya mengeleng skepti
Udara yang dihirup Aya dalam-dalam kini begitu menyegarkan dan menenangkan. Hamparan hijaunya pemandangan, hingga di ujung batas puncak gunung, membuat ia betah berlama-lama menghabiskan waktunya dengan duduk santai di teras balkon.Hidupnya, benar-benar tanpa beban. Meskipun sepi, namun lima bulan terkahir ini, Aya dapat merasakan sebuah rasa tenang di dalam jiwa.“Bukannya aku sudah bilang, untuk gak naik ke lantai dua, Ay!” Aya menyambut seruan bernada ketus itu dengan senyuman manis. Kemudian ia menggigit bibir, merasa bersalah karena kembali melanggar peraturan yang sudah ditetapkan oleh Tara.Aya lalu berdiri, menuju sudut balkon. Menumpukan tangan kanannya di atas pagar, dan tangan kirinya secara naluriah mengusap perut yang sudah sangat membola. Dan jika sesuai dengan prediksi kakak Tara yang ternyata adalah seorang dokter kandungan, maka Aya akan melahirkan sekitar dua minggu lagi.“Kalau di bawah, aku gak bakal dapet pemandanga
Separuh jiwanya telah pergi. Hari-hari yang dilaluinya kini, benar-benar hanya dihiasi dengan rasa hampa. Tidak pernah menduga sebelumnya, kalau kehilangan seorang gadis, akan berimbas begitu besar di dalam hidupnya.Yasa merenung, kembali terngiang akan kata-katanya ketika terakhir kali bersama Aya. Pun dengan sikap kasarnya, yang lagi-lagi tidak bisa dibendung ketika emosi telah menguasai diri. Sungguh bodoh! Padahal, Yasa pernah kehilangan Aya satu kali. Akan tetapi, hal itu tidak kunjung dijadikan pelajaran berharga bagi dirinya.Yasa lupa, dengan rasa frustasi yang melanda jiwanya. ketika Sinar memutuskan untuk menjauhkannya dengan Aya. Terlebih-lebih, ketika Janus datang dengan membawa sebuah dokumen perceraian untuk ditandatanganinya. Sungguh ada sebuah rasa patah, yang seolah terlupa karena luapan emosi sesaat yang menyesatkan.Sudah lima bulan ia mencari, tapi tidak kunjung menemukan informasi. Jejak terakhir hanya sampai pada taksi yang sempat ditumpan
Senyum semringah yang begitu lebar sedari tadi selalu dilukiskan Tara di wajahnya. Pria itu keluar dari sebuah toko bayi yang berada di sebuah mall seorang diri. Menenteng berbagai paper bag yang berisi pakaian bayi, yang didominasi dengan warna maskulin nan lembut.Aya memang merahasiakan jenis kelamin bayinya pada Tara. Tapi, setelah berjuang merayu kakak perempuannya, akhirnya Tari menyebutkan jenis kelamin dari bayi yang sebentar lagi dilahirkan oleh Aya.Tara, tidak mengerti, ada apa dengan perasaannya beberapa bulan belakangan ini. Menelepon Aya setiap hari, seakan sudah menjadi kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan. Mengunjungi gadis itu setiap minggu seolah sudah menjadi kebutuhan.Tidak ada obrolan yang mengarah pada hubungan romantisme dua insan. Hanya bertanya kabar dan bercerita tentang kegiatan masing-masing setiap harinya. Tapi semua itu, sedikit demi sedikit menjadi candu bagi Tara.Tapi, Tara tahu, kalau perasaannya saat ini adalah salah.
Sejak pembicaraan mengenai isi hati Tara beberapa saat yang lalu, keduanya jadi merasa canggung. Tapi, setidaknya ada perasaan lega di hati Tara. Meskipun masa depannya dengan Aya tidak akan pernah terlihat sama sekali.Tara sadar siapa dirinya, yang tidak akan pernah unggul jika bersaing dengan Yasa.Untuk itu, Tara berusaha menepis kecanggungan yang ada. Kembali mengajak Aya berbicara seputar kehamilannya. Pria itupun menghampiri Aya yang tengah memberi makan ikan di kolam belakang vila."Ikan ginian kalau digoreng gimana rasanya, ya?"Manik keduanya sibuk menunduk, menatap gerombolan ikan koi yang saling berebut makanan di sisi kolam tempat Aya berdiri.“Emang kamu tega makannya?” Aya menoleh menajamkan kedua maniknya dengan memicing. Berjalan melewati Tara dan meletakkan wadah makan ikan di atas meja, yang terletak di sudut kolam.Manik Tara mengekor, kemana langkah kaki Aya memijak. “Tinggal makan, masuk perut. Apa sus
Sinar melihat sebuah tatapan berbeda yang dilayangkan Tara kepada Aya, selama makan malam berlangsung di rumah pria itu. Sebuah tatapan penuh perhatian dan rasa … cinta. Sinar mendesah dalam hati, kemungkinan besar Tara jatuh cinta kepada Aya karena, mereka selalu intens berhubungan selama lima bulan ini.Bukannya Sinar tidak setuju jika nantinya Aya berhubungan dengan Tara. Tapi, Tara hanyalah seorang dokter yang tidak memiliki kekuasaan apapun jika dibanding Astro, apalagi Yasa. Kedua orang tuanya bukan dari kalangan politik ataupun pengusaha. Sinar khawatir, nasib putrinya akan terombang-ambing oleh takdir, jika tidak memiliki seseorang yang ‘kuat’. Dalam artian, minimal pria tersebut harus seperti Astro.Anak Aster itu memang tumbuh di kalangan biasa, tapi saat ini, Astro memiliki sebuah hal yang bisa melindungi putrinya. Meskipun karir Astro terlihat tidak secemerlang dulu, tapi pria itu masih menjadi kepercayaan segelintir elite politik di kenegaraan. Tidak menutup
Tara mengetuk pintu kamar yang terbuka separuh itu dua kali. Berdiri di celahnya dengan bertumpu pada handle dan bingkai pintu.Aya yang terlihat tengah memasukkan pakaiannya ke dalam taspun, menoleh lalu tersenyum.“Jadi balik besok pagi?”“Humm,” Aya menggumam sembari menarik resleting tasnya. “Kalau capek, biar abah Rei aja yang anter. Aku gak enak udah banyak ngerepotin kamu. Lagian, emang kamu gak kerja?”Tara masuk ke dalam kamar sembari menggaruk lehernya. Duduk pada kursi panjang yang letaknya di ujung kaki ranjang. Menekuk satu kakinya ke atas sembari memperhatikan semua yang dilakukan Aya lamat-lamat.“Besok aku libur, terus minggu depan aku ambil cuti.”“Heh? Kenapa? kamu mau ke mana?” Aya duduk di kursi yang sama, memberi jarak agar tidak terlalu dekat.“Mau nungguin kamu, pas lahiran sewaktu-waktu kan enak. Aku gak perlu jauh-jauh jalan Jakarta-Bogor.”Aya menggigit separuh bibir bawahnya. Tidak mengerti harus bagaimana, m
Satu alis Yasa terangkat tipis, melihat sebuah amplop cokelat yang disodorkan oleh Zevan di meja kerjanya. Meletakkan berkas serta pensil yang berada di tangan, Yasa meraih amplop tersebut tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Membuka lilitan benang yang tersampir pada penguncinya dan mengeluarkan isinya.“Ini … mobil Asa?” dahinya berkerut memandang foto-foto land rover milik kakak iparnya, yang keluar masuk pagar sebuah rumah. Kondisi kaca mobil yang berwarna hitam dan selalu tertutup, membuat Yasa tidak terlalu tertarik melihatnya. Kemudian meletakkan kembali amplop dan sejumlah foto yang ada di atas meja. “Kenapa memangnya?”“Di dalamnya gak cuma ada Asa, tapi ibu Sinar juga. Dan sudah dua bulan ini, setiap hari libur dan weekend, mereka berdua selalu datang ke sana.”“Kenapa gak bilang dari tadi, Om,” Ada sebuah kecurigaan di benak Yasa. Ia pun beranjak cepat untuk keluar ruangan tapi segera di susu